Setelah menonton G.I.Joe: The Rise of Cobra, saya merasa bahwa film itu merupakan anti-klimaks dari deretan film summer 2009, dan agak desperate menanti film-film apa yang akan muncul pada akhir tahun nanti (yang biasanya diisi oleh film-film keluarga). Tapi kemudian awal minggu ini muncul screening sebuah film yang menjadi kuda hitam di dunia perfilman, karena digawangi oleh orang-orang yang namanya belum pernah dikenal sebelumnya. Film ini berjudul “District 9” karya sutradara Neill Blomkamp.
Saat ini apabila kita search judul film tersebut di Google, dapat dilihat bahwa topik itu sedang booming atau menjadi buah bibir semua penggemar film, khususnya genre science-fiction. Rasa-rasanya malah sebagian pembaca note ini sudah mengetahui apa yang membuat film “District 9” begitu menghebohkan. Tapi untuk yang belum mengetahuinya, saya akan coba mengulas film ini dari berbagai aspek, yang mungkin bisa dijadikan bahan pemikiran ketika film ini sudah ditayangkan di bioskop-bioskop kita.
1. Faktor Peter Jackson
Siapa yang tak kenal dengan Peter Jackson? Sutradara peraih Oscar dari trilogi ”Lord Of The Rings” ini juga menyutradarai berbagai film yang kualitasnya tak diragukan, termasuk remake dari ”King Kong”. Film-filmnya selalu menggunakan special effect yang luar biasa, walaupun tak serumit ”Transformers” namun cukup untuk memenangkan Oscar dalam kategori Best Visual Effects. Untuk film ”District 9” ini Peter Jackson bertindak sebagai produser, dan dia menyediakan visual-effect company miliknya di New Zealand yaitu Weta Digital dengan bekerjasama dengan 3 visual-effect companies kecil di Vancouver yaitu Image Engine, The Embassy, dan Zoic Studios. Jackson tertarik untuk menjadi produser film dari Neill Blomkamp setelah melihat karyanya berupa film pendek di Youtube yang berjudul ”Alive at Joburg” (2005) dan langsung menawari Blomkamp uang sejumlah US$30 juta untuk membuat apa saja yang Blomkamp inginkan. Hasilnya adalah film ini, yang juga dibuat berdasarkan pengembangan film pendek di Youtube tadi.
2. Tidak ada pemeran terkenal
Semua aktor dalam film ini namanya belum pernah kita dengar. Contohnya saja pemeran utamanya, Sharlto Copley. Sebelum ”District 9”, Copley belum pernah berperan dalam film apapun atau menginginkan untuk berkarir di bidang akting. Satu-satunya film dimana ia ikut berperan adalah sebagai figuran dalam film pendek ”Alive at Joburg” dimana Blomkamp mengenalnya untuk pertama kali. Namun kritikus film yang menonton screening film ini memuji habis-habisan perkembangan karakter yang diperankan oleh Copley, dan karena aktingnya dilakukan dengan natural dan manusiawi. Pemeran lainnya adalah Jason Cope, Nathalie Boltt, Sylvaine Strike, dan aktor-aktor lainnya yang tidak terkenal. Sangat menyenangkan menonton aktor-aktor yang masih fresh dan belum pernah mengalami glamornya dunia selebritis. Menurut saya, kasus ini mirip dengan ”Slumdog Millionaire” ketika muncul pertama kali dua tahun yang lalu.
3. Sutradara Neill Blomkamp
Blomkamp berasal dari Afrika Selatan, dan film ini juga dishoot sepenuhnya di Johannesburg, Afrika Selatan. Sangat mirip dengan Peter Jackson yang melakukan shooting semua filmnya di tanah kelahirannya, New Zealand. Bahkan cerita ”District 9” adalah berdasarkan pengalaman pribadi Blomkamp ketika tumbuh besar di rezim apartheid. Tak heran dia menjadikan film ini sangat personal, dan adegan-adegannya begitu emosional dan semi-dokumenter, jadi seolah-olah kita benar-benar masuk dalam film itu dan mengalaminya sendiri (meski bukan dibuat dalam format 3-D). Untuk catatan, Blomkamp belum pernah menyutradarai feature film, hanya iklan dan videoklip. Para kritikus menilai ”District 9” adalah karya Blomkamp sebagai sutradara dan penulis naskah yang original dan fresh, meski agak mirip dengan film ”Alien Nation” (1988) yang dibintangi oleh James Caan.
4. Film Sci-Fi yang “Non U.S.A.-oriented”
Hampir semua film science-fiction selalu menonjolkan U.S. sebagai negara yang super-power, menghancurkan semua alien yang menyerang bumi atau selalu menjadi pimpinan komando ketika bumi akan dihancurkan baik oleh alien, meteor, atau Kaisar Ming dari planet Mongo . Tapi dalam film ini, tidak ada sama sekali peran U.S. ketika sebuah pesawat alien raksasa mendarat di Johannesburg, Afrika Selatan. Dan sepertinya ini satu-satunya film dimana pesawat induk raksasa alien mendarat di daerah non-Amerika. Selain itu, semua pengamanan dan karantina/isolasi alien dihandle oleh perusahaan swasta internasional bernama Multi-National United (MNU) yang dikontrak oleh pemerintah Afrika Selatan. Semua pemeran dalam film ini juga berbahasa inggris dengan aksen non-Amerika (sebagian besar aksen Afrika Selatan).
5. Alien yang menjadi korban
Hampir semua film tentang alien arrival menceritakan tentang alien jahat yang datang dan ingin menghancurkan dunia. Namun dalam “District 9”, diceritakan bahwa 20 tahun lalu sebuah pesawat induk berisikan lebih dari sejuta alien mendarat di Johannesburg karena kehabisan bahan bakar (yup! kehabisan bensin!), dan mereka ternyata adalah pengungsi dari sebuah planet. Kaum pendatang itu terpaksa tinggal di bumi untuk mencari makan, dan makanan kegemarannya adalah… makanan kucing (catfood). Karena bentuknya dan makanan kegemarannya itu, orang-orang menyebut kaum ini sebagai ‘prawn’ (udang). Inspirasi penamaan ini didapatkan oleh Blomkamp ketika memancing udang dengan menggunakan umpan makanan kucing. Kedatangan kaum alien ini tentu saja menambah beban sosial di Afrika Selatan, yang sebagai Negara Dunia Ketiga sudah terbebani dengan berbagai masalah seperti kemiskinan, AIDS, dan sebagainya. Tak heran jika kaum pendatang ini menjadi warga yang direndahkan secara sosial oleh manusia. mereka mendirikan tempat tinggal disekitar tempat mendaratnya pesawat mereka di daerah pinggiran Johannesburg, dimana daerah ini diisolasi oleh MNU dan dinamakan District 9. Ketika salah satu ‘prawn’ diwawancara, dia menyatakan hanya ingin pulang ke planet asalnya.
6. Keserakahan manusia melanglang buana…dan angkasa
Menyambung point sebelumnya mengenai kaum pendatang yang jadi korban, rupanya ketakutan para ‘prawn’ yang mendarat di dunia asing bagi mereka itu dimanfaatkan oleh sebagian manusia yang serakah, baik dari pemerintahan, MNU, maupun kalangan mafia. Apalagi kalau bukan ingin menguasai teknologi yang dimiliki mereka, terutama senjata. Ternyata untuk mengoperasikan senjata itu, dibutuhkan DNA alien juga. Namun halangan itu tidak digubris oleh mafia asal Nigeria, yang walaupun tidak dapat mengoperasikan senjata itu tapi terus saja membelinya dari kaum ‘prawn’ secara illegal dan membayarnya dengan… segudang catfood. Permasalahan rebutan senjata ini juga yang mengisi alur cerita “District 9” sampai akhir film. Sebuah kritikan tajam terhadap keserakahan manusia akan perang dan senjata.
7. Apartheid issues
Seperti yang saya sebutkan tadi, Blomkamp menjadikan film ini personal karena dipengaruhi oleh masa kecilnya yang tumbuh besar dalam rezim apartheid. Blomkamp menjadikan film ini sebagai sarana kritik untuk rezim apartheid tersebut, dan mungkin saat ini masih ada di sebagian Afrika Selatan. Meski kritik tersebut tidak secara eksplisit diungkapkan, namun dapat kita lihat dan rasakan dari visualisasi ketakutan para pendatang sebagai kaum minoritas terhadap manusia yang memandang mereka dengan ‘aneh’. Sebutan ‘prawn’ juga digunakan untuk merendahkan kaum minoritas ini, sebagaimana dulu digunakan istilah ‘nigger’. Pengisolasian kaum pendatang juga dilakukan seperti halnya kaum kulit putih mengisolasi kaum kulit hitam, atau juga bangsa Indian di Amerika. Lokasi District 9, dimana pesawat pendatang mendarat itu rupanya dalam kenyataan juga adalah bekas lokasi kemah pengungsi minoritas kulit hitam ketika rezim apartheid berkuasa, terpisah dari tempat tinggal kaum mayoritas. Dapat dikatakan film ini merupakan metafora dari kegelisahan sosial yang terjadi bukan hanya di Afrika Selatan, tapi juga di sebagaian besar dunia, seperti imigran illegal (di Indonesia: TKI illegal) dan diskriminasi ras. Di film ini, setelah District 9 sudah dianggap tidak layak lagi untuk ditinggali, MNU memutuskan untuk merelokasi para pendatang itu ke kamp konsentrasi yang lebih terpencil dan keamanannya lebih ketat lagi, dengan tujuan terselubung supaya para pendatang itu dijadikan obyek penelitian manusia. Isu-isu tersebut dan isu rasial lainnya sangat mewarnai film ini, dari awal sampai akhir.
Dua tahun lalu, film “Slumdog Millionaire” menjadi kuat bukan karena kuis Who Wants To Be A Millionaire yang menjadi setting utama film tersebut, namun karena side-stories (cerita pendukung) yang mengetengahkan berbagai isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat India. Dalam “District 9”, UFO dan special-effect juga bukan hal yang menjadi kekuatan film ini. Namun justru isu-isu apartheid dan rasialisme yang diungkapkan secara elegan oleh sutradara Neill Blompkamp menjadi nyawa dari film ini.
Film ini tidak dapat dikategorikan sebagai summer movies seperti halnya Transformers dan G.I.Joe, sebab banyak adegan yang brutal dan tidak dapat ditonton oleh semua kalangan. Jauh lebih keras dari “Independence Day”. Di Amerika pun film ini digolongkan sebagai R (Restricted) khusus untuk penonton dewasa. Namun menurut saya justru memang penonton dewasalah yang dapat mencerna makna dibalik adegan-adegan film ini sebagai refleksi sosial masyarakat. Jadi kebalikan dari saran saya ketika akan menonton Transformers:
Prepare your mind for District 9.
No comments:
Post a Comment