Saya yakin kita semua sudah menonton film “A Beautiful Mind” (2001) karya sutradara Ron Howard. Film itu berusaha menyelami pemikiran John Forbes Nash, seorang mathematician dan ekonom brilian yang mempunyai spesialisasi di bidang cryptography (menyembunyikan informasi dengan metode matematis). Film ini memenangkan piala Oscar pertama untuk Ron Howard sebagai sutradara, dan juga untuk Jennifer Connelly sebagai peran pembantu wanita terbaik.
Beberapa tahun kemudian, Ron Howard juga menyutradarai 2 film kontroversial dan penuh dengan symbology, yaitu “The Da Vinci Code” dan ”Angels & Demons” berdasarkan novel-novel karya Dan Brown dengan judul yang sama. Tokoh utama dalam kedua film tersebut adalah Robert Langdon, yang karakternya dibuat berdasarkan tokoh nyata John Langdon, seorang professor Typography di Drexel University dengan spesialisasi ambigram, yaitu desain geometris yang dapat diinterpretasikan dari berbagai sudut pandang (contoh dari ambigram karya John Langdon ini dapat dilihat pada cover novel ”Angels & Demons”).
Ketiga film di atas memang menunjukkan minat Ron Howard terhadap dunia hidden codes dan subliminal message yang harus dipecahkan dengan metodologi sains, baik dengan cryptology maupun symbology. Tapi rupanya kedua ilmu tersebut didasari oleh satu ilmu yang mendasari: matematika. Tidaklah berlebihan jika matematika disebut mendasari hampir seluruh ilmu pengetahuan yang menjadi katalisator evolusi homo sapiens menjadi manusia intelektual modern seperti seluruh pembaca note ini.
Saya bukanlah ahli matematika, saya juga tidak pernah mempelajari matematika secara mendalam. Ilmu matematika yang saya dapatkan terakhir adalah semasa kuliah di Fakultas Ekonomi jurusan Studi Pembangunan, karena memang dibutuhkan sebagai prasyarat mata kuliah Statistik dan Ekonometri. Namun dari dulu saya memang mengagumi matematika. Kebetulan almarhum ayah saya adalah dosen Teknik Sipil, dan selalu menggunakan metodologi matematis dalam mengembangkan keilmuannya. Oleh karena itu, sejak kecil saya sudah diperkenalkan dengan “keajaiban” matematika dan kemampuannya untuk memberikan pendekatan solusi terhadap berbagai masalah kehidupan. Mengapa saya sebut pendekatan, karena segala hal terkait ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah asumsi yang dibuat oleh manusia dengan segala ketidaksempurnaannya. Kepastian dan kesempurnaan tentunya hanya dimiliki oleh Tuhan. Mungkin itu sebabnya matematika tidak dapat disebut sebagai science, karena yang disebut science membutuhkan pengamatan secara empiris. Fisika adalah science.
Kebutuhan umat manusia akan matematika sebenarnya dimulai sejak manusia mengenal alam lingkungannya. Berawal dari menghitung benda-benda disekitarnya, lalu berkembang menjadi perhitungan waktu/hari sampai ke perhitungan musim dan tahun untuk keperluan bercocok tanam. Dari berbagai peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa aplikasi matematika berikutnya adalah untuk berdagang/barter, pengukuran tanah, melukis dan membuat berbagai karya seni. Namun pada 3000 SM, bangsa Babylonia dan Mesir sudah berhasil mengembangkan apa yang kita kenal saat ini dengan nama aritmetika, aljabar, dan geometri untuk keperluan perpajakan dan perhitungan finansial lainnya, konstruksi bangunan termasuk pyramid dan Tower of Babylon, serta astronomi. Dan seperti kita ketahui, pengembangan matematika secara sistematik dilakukan oleh bangsa Yunani pada tahun 600-300 SM.
Masa kegelapan yang ditandai oleh Perang Salib yang terjadi selama beberapa ratus tahun sesudah Masehi, juga mengakibatkan kegelapan ilmu pengetahuan manusia. Dapat dikatakan hampir tidak ada ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, termasuk matematika. Baru setelah jaman Renaissance, bangsa Arab kemudian menata ulang berbagai ilmu pengetahuan termasuk matematika secara sistematik, dan hampir dalam waktu bersamaan dikembangkan secara lebih lanjut oleh bangsa-bangsa di Eropa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masih terdapat perdebatan (ujung-ujungnya terkait soal agama) mengenai siapa sebenarnya yang berjasa membenahi kembali ilmu pengetahuan secara sistematik setelah masa kegelapan – bangsa Arab atau bangsa Eropa? Terlepas dari siapa yang berjasa, faktanya matematika sudah berkembang sedemikian pesatnya hingga saat ini dan dapat digunakan oleh seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Salah satu perkembangan kecil dari matematika yang terjadi baru-baru ini adalah pada artikel yang saya baca di http://www.newsobserver.com/news/health_science/story/1641012.html mengenai metode yang dikembangkan oleh Albert Clay, seorang pensiunan ahli farmasi yang berusia 75 tahun mengenai ”How To Multiply Any Number By Any Number In Your Head”. Dengan metode yang dia utak-atik sejak masa remajanya itu, Clay mengklaim bisa mengalikan berbagai bilangan lebih cepat dari kalkulator. Metode tersebut telah ia patenkan, sehingga siapapun yang menggunakannya harus membayar sejumlah uang kepada Clay.
Namun dari artikel tersebut saya juga belajar sesuatu, bahwa metode yang digunakan oleh Clay tersebut ternyata telah diajarkan kepada anak-anak kelas 4 SD di India sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu sampai sekarang! Jadi rupanya anak-anak di India sedari dulu sudah bisa menghitung berbagai mathematical equations lebih cepat dari kalkulator hanya dengan membayangkannya di kepala. Ilmu ini dikembangkan oleh seorang mathematician India bernama Jagadguru Swami Sri Bharati Krishna Tirthaji Maharaja pada awal abad ke-20, seorang akademisi yang menguasai bahasa sanskrit, filsafat, matematika, sejarah dan science. Ilmu matematika tersebut ia dapatkan berdasarkan hasil interpretasi dan juga ekstrak dari kode-kode enkripsi yang dapat dilihat dalam naskah tertua bangsa India, yaitu kitab Veda (arti harfiah Veda = knowledge). Yang menarik, saat ini hampir semua sudah meyakini bahwa kitab Veda adalah naskah yang paling tua dalam sejarah manusia, dibuat kira-kira 4000 SM (berarti 1000 tahun sebelum bangsa Babylon dan Mesir mengaplikasikan matematika dalam berbagai aspek hidup mereka). Oleh karena itu, meski diselubungi kontroversi, Tirthaji menyebut ilmu ini sebagai ”Vedic Mathematics”.
Saat ini kombinasi antara Vedic Mathematics dan kurikulum nasional telah diujicobakan pada sebuah sekolah di Lancashire, Inggris dalam pembelajaran murid-murid Sekolah Dasar. Hasilnya, selain murid-murid tersebut dapat lulus ujian dengan nilai yang memuaskan, pembelajaran yang dilakukan juga menjadi lebih pro-aktif, dan murid-murid menjadi lebih dapat menikmati dan memahami pelajaran yang diberikan. Lebih jauh lagi, ketika mengikuti test General Certificate of Secondary Education (test untuk masuk SMP), mereka tidak hanya lulus namun juga memperoleh nilai lebih dari 80%, serta lebih cepat setahun dari murid-murid sebayanya yang mengikuti kurikulum reguler.
Yang unik dan menjadi kontroversi, Vedic Mathematics yang dikembangkan Tirthaji hanya menyediakan berbagai shortcut dan solusi singkat untuk berbagai permasalahan matematika. Rupanya hal ini tidak dapat diterima oleh kalangan ilmuwan, yang lebih suka mendekati permasalahan dengan metodologi yang urut dan logis. Namun demikian, para implementor Vedic Mathematics meyakini bahwa ”there’s something more than meets the eye”, bahwa didalam Kitab Veda masih tersimpan kode-kode yang belum terpecahkan oleh para ahli cryptology dan symbology yang paling canggih sekalipun. Mungkinkah Kitab Veda merupakan peninggalan dari peradaban manusia masa lalu yang telah lebih maju dari kita saat ini?
Kita ketahui bahwa dalam Al-Qur’an juga terdapat berbagai kode yang belum terpecahkan disamping hal-hal terkait science yang telah terbukti kebenarannya, seperti big bang theory, teori relativitas, wormhole, dan sebagainya. Mungkinkah dalam Al-Qur’an dan berbagai kitab-kitab kuno juga tersimpan kunci pengetahuan manusia yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, hanya waktu dan kemauan umat manusia sendiri yang akan menentukan. Tirthaji sudah membuktikan hal itu dengan Vedic Mathematics, sekarang giliran kita.
No comments:
Post a Comment