Have fun and enjoy yourself
Showing posts with label stargate. Show all posts
Showing posts with label stargate. Show all posts

Friday, April 4, 2014

Captain America: Patriot, Superhero, Soldier, Spy



Setelah menonton premier Captain America: The Winter Soldier tanggal 2 April 2014 lalu, saya mendapatkan satu kesimpulan bahwa film ini adalah film Marvel terbaik dan terkompleks sejak Iron Man tayang pada tahun 2008 lalu. Bahkan saya bisa katakan bahwa sekuel dari Captain America: The First Avenger ini adalah proyek ambisius Marvel Studios yang berhasil mengguncang pondasi Marvel Cinematic Universe (MCU), khususnya untuk menuju Phase 2 tahun depan saat tayangnya Avengers: Age of Ultron.

Hal ini tentu menggemparkan dunia perkomikan Marvel, memunculkan rasa penasaran para penggemarnya karena anything could happen in the Marvel Cinematic Universe yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi di komik. Apalagi menjelang tayang Captain America: The Winter Soldier di US, Kevin Feige (Marvel Studios President of Production) mengumumkan bahwa mereka telah memiliki roadmap semua Marvel Superheroes yang akan difilmkan hingga tahun 2028.

Fourteen more years of fucking entertainment. Yay!

Dari film lanjutan sang Captain ini sendiri, harga produksinya kira-kira mencapai USD $170,000,000. Sutradaranya kakak beradik, Anthony dan Joe Russo sementara skenario ditulis oleh Christopher Markus dan Stephen McFeely. Proses shooting dilakukan di Los Angeles, Washington, DC, dan Cleveland. Saya sudah mencatat beberapa hal yang bagus-bagus dan juga yang agak negatif menurut sudut pandang saya pribadi.

Semua penonton pasti sudah bisa merasakan bahwa film ini sangat fundamental dalam hal pencarian nilai-nilai ideal dari suatu kebebasan asasi. Yang disorot dalam film ini bukan nasionalisme atau patriotisme buta, tapi corrupted nationalism. Korupsi tidak semata untuk memperkaya diri, namun yang ditekankan adalah lebih jauh lagi, yaitu korupsi terhadap kebebasan publik atau neo-fasisme. Dan di era Edward Snowden juga pasca peristiwa 9/11, rasa-rasanya hal ini menjadi sangat relevan di dunia global yang nyata.

Itulah sebab film ini terasa lebih ekspansif dibandingkan Captain America: The First Avenger. Apabila dulu film pertama terfokus pada US Army, sekarang fokus beralih kepada organisasi rahasia S.H.I.E.L.D. Berselang 2 tahun setelah kejadian penyerangan New York (The Avengers), karakter Steve Rogers (Chris Evans) kini telah berkembang dari seorang tentara patriot yang berperang untuk US di Perang Dunia II bersama The Howling Commandos, menjadi seorang mata-mata yang bekerja untuk S.H.I.E.L.D dengan scope global. Kostumnya pun kini menggunakan kostum stealth yang berwarna biru perak, seperti halnya dalam Secret Avengers. Apalagi dengan munculnya karakter Alexander Pierce (Robert Redford), sehingga nuansa film political thriller tahun 70-an menjadi sangat kental (Three Days of the Condor, French Connection, The Parallax View, All the President’s Men).


Perubahan scope nasionalisme ke kepentingan global tadi tentu membuat Steve Rogers mengubah cara pandangnya, disamping juga harus mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan ideal yang ia miliki. Apalagi ketika di tengah film terjadi assassination terhadap seseorang, sehingga dunia Rogers seolah berbalik menyerangnya. Dan akhirnya iapun harus mendengarkan pesan dari Nick Fury (Samuel L. Jackson), “Trust no one.” Dalam hal ini, Chris Evans berhasil menyeimbangkan antara Rogers yang merasa kesepian dan sendiri di tengah kompleksnya dunia, dengan idealismenya yang tak tergoyahkan dan juga stamina fisiknya yang tak pernah meredup. Bahkan berulangkali Russo Brothers dengan sangat meyakinkan berhasil menampilkan Captain America yang terjatuh dari ketinggian, ditembak dan dilempar bom, serta menerima berbagai tantangan fisik lain hingga membuat penonton terkesiap, namun pada akhirnya tetap bangkit kembali.

Namun bukannya Steve Rogers tak memiliki teman sama sekali. Natasha Romanoff alias Black Widow (Scarlett Johansson) selalu setia mendampingi, walau ia sendiri memiliki banyak rahasia yang tak diceritakan kepada Rogers. Perlu dicatat bahwa Black Widow di film ini sangat mendapat porsi screentime yang cukup, bahkan lebih krusial dibandingkan The Avengers dan Iron Man 2.
 

Selain itu Rogers juga mendapat teman baru Sam Wilson (Anthony Mackie), seorang ex-tentara paratrooper yang terlatih menggunakan exoskeleton bersayap dengan kode “Falcon”. Chemistry antara Evans dan Mackie langsung terasa dari awal film, hingga penonton pun dapat merasakan tulusnya persahabatan Rogers dan Wilson hingga akhir film.

 
Di dalam S.H.I.E.L.D, Rogers tentu saja memiliki sekutu Nick Fury dan Maria Hill (Cobie Smulders), dan kini ditambah Agent 13 (Emily Van Camp). Walau di film ini dia menyamar dengan nama “Kate”, penggemar komik tentu tahu bahwa Agent 13 ini adalah Sharon Carter, anak dari Peggy Carter. Di komiknya, Sharon menjadi love interest Rogers dan bahkan memiliki peran penting dalam The Death of Captain America. Akankah hal yang sama juga terjadi di Marvel Cinematic Universe? Mari kita tunggu.

Yang mengganggu saya adalah absennya Clint Barton alias Hawkeye, dimana jelas-jelas ia adalah Agen S.H.I.E.L.D. Tidak ada penjelasan apapun mengenai kemana atau dimana ia berada, selain kalung berbentuk anak panah yang dikenakan oleh Natasha Romanoff. Mungkin saja ia sedang menjalani terapi penyembuhan pikiran, setelah jatuh dalam pengaruh Loki di The Avengers. Seperti kita ketahui, orang-orang yang pernah dipengaruhi oleh Loki dengan tongkatnya di The Avengers tidak dapat begitu saja sembuh. Contohnya saja Dr. Erik Selvig di Thor: The Dark World yang menjadi setengah gila dan berlari-lari telanjang di Stonehenge.

Sementara itu, di pihak antagonis adalah The Winter Soldier. Semua orang pembaca komik Captain America tentu saja sudah tahu bahwa assassin berdarah dingin ini adalah James “Bucky” Barnes (Sebastian Stan), sahabat Steve Rogers sejak masa kecil dan masa Perang Dunia II. Pada film Captain America: The First Avenger, dikisahkan Bucky jatuh dari ketinggian pada saat Captain America menangkap Arnim Zola di kereta api yang sedang berjalan di pegunungan. Namun ternyata Bucky tidak mati, karena ditemukan oleh Uni Soviet dan diberikan tangan cyborg dengan tanda bintang merah Soviet untuk menggantikan tangan kirinya yang putus. Kemudian ia dicuci otaknya dan dilatih untuk menjadi seorang assassin. Selama 50 tahun badannya bolak-balik ditidurkan di es dan dibangunkan kembali setiap kali ia dibutuhkan untuk membunuh. Dia lupa siapa dirinya, hingga bertemu dengan Steve Rogers di masa modern.

 
Yang menjadi catatan mengesankan, hingga akhir film Bucky masih lupa siapa dirinya walaupun secara samar-samar sudah mulai mengingat. Hal ini tentu saja sangat logis, karena untuk mengembalikan ingatan yang telah hilang selama puluhan tahun itu bukan perkara instan. Apalagi Sebastian Stan memiliki kontrak dengan Marvel Studios sebanyak 9 film (dan baru selesai 2).

Dan jangan lupa, bahwa di komik, Bucky atau The Winter Soldier nantinya akan mengenakan kostum Captain America setelah Steve Rogers dibunuh.

 
Bicara Captain America dan The Winter Soldier tentu juga tak bisa lepas dari HYDRA, salah satu divisi sains NAZI yang memisahkan diri dan dipimpin oleh Johann Schmidt atau Red Skull. Dalam film ini HYDRA muncul kembali sebagai antagonis utama. Saya sendiri sangat menyayangkan bahwa Red Skull tidak muncul dalam film ini. Mudah-mudahan saja Marvel Studios dan Russo Brothers (yang telah dikontrak untuk menyutradarai Cap 3) mau menghadirkan Red Skull lagi.
 
(((apalagi kalau dengan story arc The Death of Captain America!)))
 
Namun demikian, saya cukup terpuaskan dengan munculnya kembali Arnim Zola (Toby Jones). Apabila di komik Zola dikisahkan memiliki badan robot setelah fisiknya mati, di film ini Marvel Studios memiliki cara yang unik dan logis untuk menghidupkan Zola kembali dari alam kematian.
 
Senator Stern (Garry Shandling) yang di Iron Man 2 menjadi musuh bebuyutan Tony Stark di Senat juga muncul di film ini, dan ternyata adalah agen HYDRA. Bahkan di dalam organisasi S.H.I.E.L.D sendiri, tidak dapat dibedakan lagi mana agen HYDRA. Plot ini tentu mengingatkan saya pada Star Wars Episode 1-3, yaitu metode infiltrasi Sith ke dalam Galactic Republic. Dan kabarnya, plot infiltrasi ini juga akan digunakan dalam serial Agents of S.H.I.E.L.D yang kini masih tayang di ABC.

Pertanyaan yang tersisa dari saya, apakah Presiden Matthew Ellis (William Sadler di Iron Man 3) juga merupakan Agen HYDRA, mengingat ia juga menggunakan Captain America sebagai propaganda dengan cara membuat galeri khusus untuk kisah hidup Steve Rogers di Museum Smithsonian? Sebab agak aneh menurut saya, ketika Steve Rogers sedang diberdayakan untuk menjadi mata-mata namun riwayat hidupnya terpampang begitu jelasnya di Museum. Jelas-jelas galeri itu bertujuan untuk propaganda dan menunjukkan bahwa US memiliki Captain America. Sementara wakilnya, Vice President Rodriguez, sudah terbukti membantu Aldrich Killian dan Advanced Idea Mechanics untuk membuat virus Extremis (Iron Man 3).

Anyway, Zola dan The Winter Soldier hanya sebagian dari tokoh antagonis yang harus dihadapi Captain America. Masih ada lagi Georges Batroc (diperankan oleh juara UFC Georges St-Pierre) dan juga Brock Rumlow (Frank Grillo) dan pasukannya. Brock Rumlow di komik bernama lain Crossbones, dan juga berperan penting dalam The Death of Captain America.

Selain The Winter Soldier, kedua tokoh terakhir itu juga menjadi tantangan fisik tersendiri untuk Captain America. Catatan yang sangat baik di film ini adalah penggunaan martial arts dan hand-to-hand combat yang cukup intensif dan menegangkan. Dan kemampuan martial arts ini baru pertama kali digunakan oleh Captain America di dunia perfilman. Ada Cap vs. Batroc (yang menggunakan martial arts savate), Cap vs. Pasukan Batroc, Cap vs. Pasukan Rumlow (di dalam lift), Cap vs. Rumlow, Wilson vs. Rumlow, Black Widow vs. The Winter Soldier, dan yang paling menegangkan adalah Cap vs. The Winter Soldier yang menggunakan pisau. Semua itu cukup untuk membuat kita terpaku di kursi bioskop dengan takjub sekaligus tegang.
 

Apa mungkin Marvel Studios memang berkonsep seperti itu, mengingat Captain America: The Winter Soldier ditayangkan bersama dengan The Raid 2: Berandal? (Hahaha who knows?). Yang jelas, Russo Brothers memang menjadikan The Raid sebagai benchmark dari fighting scene film ini.

Sebuah catatan lain yang bagus adalah mengenai sound dan special effects. Untuk kali ini, sound ketika Captain America melemparkan perisainya begitu meyakinkan, sehingga ketika perisai tersebut memantul, mendarat atau menancap di dinding suaranya begitu intens dan memberi kesan berbahaya. Sementara itu, special effects dibuat oleh 5 perusahaan, diantaranya adalah Industrial Light & Magic dan Scanline VFX. Kualitasnya top notch, kecuali beberapa adegan Falcon mendarat yang masih agak kasar. Tapi Russo Brothers memang sangat menekankan untuk meminimalkan CGI, karena ingin menampilkan adegan yang nyata.

Dan last but not least, easter eggs.

Apalah artinya sebuah film Marvel Studios tanpa adanya easter eggs. Untuk Captain America: The Winter Soldier, antara lain: semua peralatan S.H.I.E.L.D adalah buatan Stark; Exoskeleton Falcon ada tulisan Stark Industries; HYDRA membunuh Howard dan Maria Stark (orang tua Tony Stark); Howard Stark (Dominic Cooper), Peggy Carter (Hayley Atwell), dan Col. Chester Phillips (Tommy Lee Jones) mengembangkan Divisi SSR (Scientific Strategic Reserve) US Army menjadi S.H.I.E.L.D; Ed Brubaker (penulis komik The Winter Soldier) menjadi salah satu ilmuwan yang mengoperasi Bucky; Christopher Markus dan Stephen McFeely (penulis skenario) menjadi Agen S.H.I.E.L.D yang menginterogasi Batroc; Dan target HYDRA untuk dibunuh adalah orang-orang yang akan menghalangi rencananya antara lain Tony Stark, Bruce Banner, dan…. Stephen Strange.

 
Namun yang terpenting tentu saja mid-credit scene dan post-credit scene. Oleh karena itu, jangan beranjak dari tempat duduk dulu setelah film ini usai. Pada mid-credit, ada scene yang menampilkan tokoh antagonis dari HYDRA yang muncul perdana, yaitu Baron Wolfgang Von Strucker (Thomas Kretcshmann). Tak hanya menunjukkan bahwa HYDRA masih eksis, namun ia juga menguasai tongkat Loki (Loki’s Sceptre) dan juga beberapa tawanan hasil percobaan HYDRA, yang utama adalah si kembar Pietro dan Wanda Maximoff alias Quicksilver dan Scarlet Witch (Aaron Taylor-Johnson dan Elizabeth Olsen). Jadi kemungkinan besar, untuk menghindari friksi dengan Fox (pemilik franchise X-Men, mengingat si kembar adalah anak dari Erik Lensherr alias Magneto), Marvel Studios akan membuat origin Quicksilver dan Scarlet Witch sebagai hasil percobaan HYDRA, sebagaimana Bucky yang juga sempat menjadi kelinci percobaan Zola di masa Perang Dunia II (sehingga tidak mati ketika jatuh ke jurang).


Lalu di akhir credit, terdapat scene pergolakan batin The Winter Soldier yang menyamar dan mengunjungi Museum Smithsonian, tempat dimana riwayat hidup Captain America dan The Howling Commandos didokumentasikan. Bucky adalah salah satu personil The Howling Commandos.

Di akhir film, memang HYDRA masih hidup walaupun beroperasi di bawah tanah. Bahkan HYDRA bisa saja kembali menjadi antagonis utama di Phase 3 nanti, mengingat Von Strucker juga menguasai tongkat Loki yang dapat membuka-tutup portal wormhole ke dunia lain, mengembalikan Red Skull, dan kemungkinan juga mendatangkan THANOS.

Kesimpulan saya, walaupun ekspansif dan eksplosif dibanding film Captain America yang pertama, namun The Winter Soldier tak memiliki keunggulan film pertama yaitu kekuatan karakter. Sebagai contoh, di film ini tidak ada tokoh seperti Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci) dan Col. Chester Phillips (Tommy Lee Jones) yang memberikan jiwa kepada seluruh film walau hanya muncul sebentar. Selain itu, sang sutradara sepertinya di paruh kedua 'terjebak' untuk membuat adegan yang klise, dimana para tokoh utama mengejar waktu untuk menghentikan kehancuran.

Jadi untuk mendapatkan impact yang mendalam, mungkin akan lebih baik apabila kita menonton film pertama dan kedua secara kontinyu, karena keduanya merupakan satu kesatuan.

Monday, November 4, 2013

Thor: The Dark Asgard

 
Dua tahun lalu, Marvel Studios mengumumkan dimulainya pembuatan Thor: The Dark World sebagai sekuel Thor (2011). Namun Marvel waktu itu harus mencari sosok sutradara yang tepat, karena sutradara film Thor pertama, Kenneth Branagh mengundurkan diri dari proyek ini. Brian Kirk dan Patty Jenkins yang sebelumnya didekati oleh Marvel Studios untuk menyutradarai film ini juga kemudian mengundurkan diri. Akhirnya pilihan Marvel jatuh kepada Alan Taylor, yang berperan menyutradarai serial Game of Thrones di HBO. Sementara penulis skenarionya adalah Christopher Yost, Christopher Markus, dan Stephen McFeely. Sutradara The Avengers sekaligus supervisor dari seluruh film Marvel Studios, Joss Whedon, bahkan juga ikut menulis ulang beberapa adegan di film ini supaya inline dengan film-film Marvel Studios lainnya.
 
Maka sepanjang film kita akan diberikan cirikhas Alan Taylor di Game of Thrones, yaitu kisah kerajaan Asgard yang penuh intrik politik keluarga dan kekuasaan. Bahkan seperti halnya Game of Thrones, semua tokoh di Thor: The Dark World berada di grey area, tidak semata hitam dan putih seperti yang lazim terjadi di komik. Meneruskan apa yang telah terkonsep oleh Kenneth Branagh di film yang pertama, Alan Taylor dengan berbekal pengalaman di Game of Thrones telah melakukan pekerjaan yang sangat baik. Kuncinya adalah menggabungkan antara drama keluarga dengan dunia alien yang fantastis. Di Game of Thrones, hal yang membuat menarik adalah persaingan antar saudara yaitu Tyrion dan Cersei untuk merebut kasih sayang ayahnya. Hal yang sama juga terjadi dengan Thor dan Loki. Intrik dan persaingan itulah yang dapat menyentuh nurani penonton di level psikologis, karena kita sendiri mengalaminya di kehidupan nyata. Tak seperti Iron Man 3 yang “Disney banget”, Alan Taylor berhasil membuat Thor: The Dark World keluar dari pakem-pakem film Disney yang biasa kita tonton.
 
Seperti yang dinarasikan di awal film maupun di trailer, “Some believe that before the universe, there was nothing. They’re wrong. There was darkness. And it has survived.” Dari narasi itu, rupanya Alan Taylor dan tim penulis ingin menyampaikan pesan kepada penonton bahwa film ini tidak akan memiliki happy ending, dan kekuatan jahat itu akan selalu hidup walaupun semua orang telah menganggapnya mati. Namun tak berarti bahwa kita harus menyerahkan cinta dan kemanusiaan kita kepada kekuatan jahat itu.
 
Seperti halnya film yang pertama, Thor: The Dark World diawali dengan peperangan yang terjadi sebelum masa kekuasaan Odin, Allfather ayah dari Thor. Dikisahkan Bor, ayah Odin, memiliki musuh abadi kaum Dark Elves yang dipimpin oleh Malekith yang bengis (Christopher Eccleston). Kebengisan Malekith karena ia bertujuan untuk mengembalikan jagad raya ke statusnya sebelum masa penciptaan, dengan menggunakan senjata (biologis) Aether yang dapat menghancurkan dunia yang ada di sekitarnya. Asgardian yang bertanggung jawab atas keamanan Nine Realms. Bagi yang belum tahu apa itu Nine Realms, silahkan cek mitologi Norse tentang Yggdrasil.

 
Bor dapat mengalahkan pasukan Dark Elves, namun Malekith dan pengikutnya, Algrim (Adewale Akinnuoye-Agbaje), dapat melarikan diri dan membekukan diri setelah mengorbankan seluruh bangsanya dalam misi bunuh diri. Aether kemudian disimpan oleh Bor di tempat yang dirahasiakan di Asgard. Tak dinyana, Aether dapat menemukan jalan keluar sendiri dari tempat penyimpanan itu, akibat adanya konvergensi (kesejajaran) dari kesembilan dunia di Nine Realms yang terjadi setiap 5.000 tahun sekali. Dan keluarnya Aether ini juga kebetulan karena di saat yang bersamaan, Jane Foster (Natalie Portman) menemukan anomali di London dalam usahanya selama dua tahun menemukan jalan kembali ke Thor, seperti janjinya di akhir film yang pertama. Anomali yang terjadi itu ternyata adalah proses terbukanya pintu gerbang antara 9 dunia akibat sejajarnya alam semesta tadi. Terbukanya portal itu dapat memindahkan secara instan segala sesuatu yang ada di Bumi ke salah satu dunia lain, dan juga sebaliknya. Termasuk juga Jane Foster sendiri yang kemudian tiba-tiba berada di tempat penyimpanan Aether di Asgard. Aether yang wujudnya berubah-ubah itu tiba-tiba masuk ke tubuh Jane, begitu ia menyentuh tempat penyimpanan itu.

 
Kepindahan Jane yang tiba-tiba itu tentu membuat Heimdall (Idris Elba) tiba-tiba tidak dapat melihatnya. Heimdall, sang penjaga Rainbow Bridge, seperti kita tahu dimintai tolong oleh Thor mengawasi Jane sementara Thor dan teman-temannya (Sif, Volstagg, Fandral, dan Hogun) selama dua tahun belakangan memulihkan Nine Realms yang bergejolak akibat hancurnya Rainbow Bridge di akhir film pertama. Setelah mendapat alarm dari Heimdall, maka Thor pun kembali ke Bumi dan akhirnya dapat bertemu dengan Jane sesaat setelah Jane berpindah kembali ke Bumi dari Asgard melalu portal yang terbuka tadi. Namun karena Jane kerasukan Aether yang ternyata menggerogoti tubuhnya bak kanker, maka Thor memutuskan untuk membawanya ke Asgard untuk mendapatkan pengobatan.
 
Namun demikian di saat yang bersamaan, dengan keluarnya Aether dari tempat penyimpanan, keberadaannya dapat dilacak oleh Malekith yang selama ini menunggu dengan sabar. Dan dengan teknologi cloak/stealth seperti yang dimiliki oleh Klingon di Star Trek, maka Heimdall pun tidak dapat mengantisipasi kedatangan Malekith dan pasukannya hingga mereka dapat menyerbu Asgard. Maka perang ribuan tahun lalu pun terulang kembali. Kerajaan Asgard dapat ditembus. Namun dalam usaha melindungi Jane, Thor dan Asgard harus berkorban nyawa, bahkan nyawa dari seseorang yang dicintai oleh Thor sepanjang hidupnya.

 
Seperti halnya kematian (atau pura-pura matinya?) Coulson di The Avengers yang kemudian membuat para superhero bisa bekerjasama, peristiwa kematian ini juga kemudian berujung pada kerjasama Thor dan Loki (yang selama ini dipenjara) untuk memburu Malekith dan menghindarkan perang yang lebih besar lagi apabila Asgard menyerbu Malekith dengan skala pasukan besar. Apabila perang besar benar-benar terjadi, maka perang itu akan terjadi di Bumi selaku Midgard dan jutaan manusia akan mati sia-sia. Namun pada akhirnya, perang Thor dan Malekith di Bumi pun menjadi tak terhindarkan lagi.
 
Sebagai sutradara, Alan Taylor dapat memuaskan penonton (khususnya saya) akan pemandangan Asgard yang lebih megah dari film Thor yang pertama. Bahkan peperangan di Asgard mengingatkan saya pada adegan perang di Star Wars. Ataukah memang Thor: The Dark World ini menjadi ajang ujicoba visual effect untuk Star Wars Episode VII yang franchise-nya juga sudah dibeli Disney dan akan tayang tahun 2015? Kalaupun benar demikian, saya tidak akan merasa kecewa karena adegan-adegan perang itu sudah cukup halus dan benar-benar memanjakan mata.


Perang akhir di film ini juga luar biasa, dan mengingat terjadi pada saat konvergensi semesta, maka peperangannya juga tak hanya terjadi di satu dunia saja. Thor dan Malekith berbaku hantam dan berpindah-pindah dunia pada saat yang bersamaan, sehingga Mjolnir (palu Thor) sampai bingung mengikuti kemana Thor pergi. Humor-humor yang disajikan pada saat finale ini juga cerdas, tak mengurangi keseriusan film namun dapat menurunkan ketegangan penonton yang terpaku sekaligus takjub akan kepiawaian Alan Taylor meramu adegan demi adegan dengan menggunakan sinematografi yang brilyan.
 
Dan Loki. Loki just stole the show. Tom Hiddleston memang seperti biasa brilyan memerankan sang Dewa Penipu (God of Deception). Tapi Alan Taylor dan para penulislah yang berperan besar dalam menghadirkan Loki yang tak bisa diduga langkahnya. Sejak awal penonton selalu dibuat bertanya-tanya, Loki ini baik atau jahat ya? Oleh Alan Taylor, tak hanya Thor yang berhasil dimunculkan sisi manusiawinya, namun juga Loki. Dan sejak film yang pertama, saya sendiri memiliki simpati terhadap Loki dan tindakan-tindakannya. Dan akhirnya di film ini, penonton jadi tahu siapa sebenarnya yang mengajarkan Loki akan the art of deception.

 
Mengenai akting, tak jauh dari film yang pertama. Selain Hiddleston, Chris Hemsworth, Anthony Hopkins, Rene Russo, Natalie Portman, Jaimie Alexander, Ray Stevenson, Zachary Levi, Kat Dennings, dan Stellan Skarsgard menampilkan akting yang menawan. Belum lagi ditambah dengan peran antagonis oleh Christopher Eccleston dan Adewale Akinnuoye-Agbaje. Namun sayang, sebenarnya saya ingin melihat Sif dan Warriors Three lebih banyak lagi. Apalagi Zachary Levi (Chuck) sebagai Fandral yang menggantikan Joshua Dallas (pemeran Fandral di film pertama). Sosok Levi di film ini hampir tak dikenali dengan rambut pirangnya, namun di antara Warriors Three menurut saya aktingnya yang paling charming. Sebagai informasi, di film pertama sebenarnya ia yang dipilih untuk Fandral, namun batal karena jadwal shootingnya bentrok dengan Chuck. Justru pada saat shooting Thor: The Dark World, jadwal Joshua Dallas-lah yang bentrok dengan shooting Once Upon a Time sehingga kembali digantikan oleh Zachary Levi. Di film ini juga ada cameo dari salah satu Avenger yang menjadi bagian dari humor cirikhas Marvel Studios.
 
Seperti yang saya sebut di awal tadi, film ini diawali dengan gelap dan tidak memiliki happy ending. Bahkan menurut saya endingnya jauh lebih gelap dibandingkan film Thor yang pertama. Selain itu, film ini juga masih menyisakan banyak pertanyaan tak terjawab, yang tentunya akan dijawab oleh Marvel Studios pada film-film berikutnya.
 
Dan seperti halnya Marvel Studios lainnya, tentu film ini juga ada scene tambahan. Bahkan di film ini tidak hanya satu, namun dua scene tambahan: mid-credit dan after credit. Tak salah rasanya apabila saya menuliskan apa yang terjadi di scene tambahan itu, karena sebagian besar penonton sepertinya sudah beranjak dari kursinya ketika adegan itu tayang. Pada after credit, Thor kembali ke Bumi untuk menemui Jane Foster dan teman-temannya, sehingga pada saat The Avengers: Age of Ultron yang akan tayang 2015 mendatang, posisi Thor ada di Bumi bersama Jane. Setelah adegan itu, monster dari Jotunheim yang berpindah dunia ketika peperangan terjadi digambarkan sedang mengejar burung-burung.
 
Scene tersebut tidak sepenting mid-credit scene, yang menampilkan Sif dan Volstagg menyerahkan kotak berisi Aether kepada sosok yang kemudian diperkenalkan sebagai The Collector (Benicio Del Toro). Para penggemar Marvel Comics pasti paham bahwa The Collector ini adalah seorang sosok yang abu-abu, bahkan lebih tak jelas dari Nick Fury. Dan The Collector akan berperan penting dalam Guardians of The Galaxy, yang filmnya akan tayang pada tahun 2014. Dan Aether ini ternyata adalah satu dari enam Infinity Stones yang apabila disatukan di Infinity Gauntlet, maka sang pemakai akan menguasai kekuatan layaknya Tuhan. Dalam komik, keenamnya berhasil dicuri oleh Thanos yang dirumorkan akan muncul pada sekuel ketiga dari The Avengers.


 
Serial TV Agents of S.H.I.E.L.D juga menampilkan aftermath dari Thor: The Dark World pada episode ke-8, dimana para agen rahasia itu harus membersihkan sisa-sisa peperangan dan juga pesawat alien yang hancur di Greenwich.
 
Menurut saya, Thor: The Dark World adalah film dari Marvel Studios yang terbaik sepanjang 2013. Overall, terbaik kedua setelah Iron Man. Alan Taylor berhasil menampilkan kemegahan Asgard, dahsyatnya peperangan, sekaligus mengaduk-aduk emosi penonton hingga adegan terakhir.