Setelah menonton premier Captain America: The Winter Soldier tanggal 2
April 2014 lalu, saya mendapatkan satu kesimpulan bahwa film ini adalah film
Marvel terbaik dan terkompleks sejak Iron Man tayang pada tahun 2008 lalu.
Bahkan saya bisa katakan bahwa sekuel dari Captain America: The First Avenger
ini adalah proyek ambisius Marvel Studios yang berhasil mengguncang pondasi
Marvel Cinematic Universe (MCU), khususnya untuk menuju Phase 2 tahun depan
saat tayangnya Avengers: Age of Ultron.
Hal ini tentu menggemparkan dunia perkomikan Marvel, memunculkan rasa
penasaran para penggemarnya karena anything
could happen in the Marvel Cinematic Universe yang tidak sesuai dengan apa
yang terjadi di komik. Apalagi menjelang tayang Captain America: The Winter Soldier
di US, Kevin Feige (Marvel Studios President of Production) mengumumkan bahwa
mereka telah memiliki roadmap semua Marvel Superheroes yang akan difilmkan
hingga tahun 2028.
Fourteen more years of fucking
entertainment. Yay!
Dari film lanjutan sang Captain ini sendiri, harga produksinya kira-kira
mencapai USD $170,000,000. Sutradaranya kakak beradik, Anthony dan Joe Russo
sementara skenario ditulis oleh Christopher Markus dan Stephen McFeely. Proses
shooting dilakukan di Los Angeles, Washington, DC, dan Cleveland. Saya sudah
mencatat beberapa hal yang bagus-bagus dan juga yang agak negatif menurut sudut
pandang saya pribadi.
Semua penonton pasti sudah bisa merasakan bahwa film ini sangat
fundamental dalam hal pencarian nilai-nilai ideal dari suatu kebebasan asasi.
Yang disorot dalam film ini bukan nasionalisme atau patriotisme buta, tapi corrupted nationalism. Korupsi tidak
semata untuk memperkaya diri, namun yang ditekankan adalah lebih jauh lagi,
yaitu korupsi terhadap kebebasan publik atau neo-fasisme. Dan di era Edward
Snowden juga pasca peristiwa 9/11, rasa-rasanya hal ini menjadi sangat relevan
di dunia global yang nyata.
Itulah sebab film ini terasa lebih ekspansif dibandingkan Captain
America: The First Avenger. Apabila dulu film pertama terfokus pada US Army,
sekarang fokus beralih kepada organisasi rahasia S.H.I.E.L.D. Berselang 2 tahun
setelah kejadian penyerangan New York (The Avengers), karakter Steve Rogers (Chris
Evans) kini telah berkembang dari seorang tentara patriot yang berperang untuk US di
Perang Dunia II bersama The Howling Commandos, menjadi seorang mata-mata yang
bekerja untuk S.H.I.E.L.D dengan scope global. Kostumnya pun kini menggunakan
kostum stealth yang berwarna biru perak, seperti halnya dalam Secret Avengers.
Apalagi dengan munculnya karakter Alexander Pierce (Robert Redford), sehingga
nuansa film political thriller tahun 70-an menjadi sangat kental (Three Days of
the Condor, French Connection, The Parallax View, All the President’s Men).
Perubahan scope nasionalisme ke kepentingan global tadi tentu membuat Steve Rogers mengubah cara pandangnya, disamping juga harus mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan ideal yang ia miliki. Apalagi ketika di tengah film terjadi assassination terhadap seseorang, sehingga dunia Rogers seolah berbalik menyerangnya. Dan akhirnya iapun harus mendengarkan pesan dari Nick Fury (Samuel L. Jackson), “Trust no one.” Dalam hal ini, Chris Evans berhasil menyeimbangkan antara Rogers yang merasa kesepian dan sendiri di tengah kompleksnya dunia, dengan idealismenya yang tak tergoyahkan dan juga stamina fisiknya yang tak pernah meredup. Bahkan berulangkali Russo Brothers dengan sangat meyakinkan berhasil menampilkan Captain America yang terjatuh dari ketinggian, ditembak dan dilempar bom, serta menerima berbagai tantangan fisik lain hingga membuat penonton terkesiap, namun pada akhirnya tetap bangkit kembali.
Perubahan scope nasionalisme ke kepentingan global tadi tentu membuat Steve Rogers mengubah cara pandangnya, disamping juga harus mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan ideal yang ia miliki. Apalagi ketika di tengah film terjadi assassination terhadap seseorang, sehingga dunia Rogers seolah berbalik menyerangnya. Dan akhirnya iapun harus mendengarkan pesan dari Nick Fury (Samuel L. Jackson), “Trust no one.” Dalam hal ini, Chris Evans berhasil menyeimbangkan antara Rogers yang merasa kesepian dan sendiri di tengah kompleksnya dunia, dengan idealismenya yang tak tergoyahkan dan juga stamina fisiknya yang tak pernah meredup. Bahkan berulangkali Russo Brothers dengan sangat meyakinkan berhasil menampilkan Captain America yang terjatuh dari ketinggian, ditembak dan dilempar bom, serta menerima berbagai tantangan fisik lain hingga membuat penonton terkesiap, namun pada akhirnya tetap bangkit kembali.
Namun bukannya Steve Rogers tak memiliki teman sama sekali. Natasha
Romanoff alias Black Widow (Scarlett Johansson) selalu setia mendampingi, walau
ia sendiri memiliki banyak rahasia yang tak diceritakan kepada Rogers. Perlu
dicatat bahwa Black Widow di film ini sangat mendapat porsi screentime yang
cukup, bahkan lebih krusial dibandingkan The Avengers dan Iron Man 2.
Selain itu Rogers juga mendapat teman baru Sam Wilson (Anthony Mackie),
seorang ex-tentara paratrooper yang terlatih menggunakan exoskeleton bersayap dengan kode “Falcon”. Chemistry antara Evans dan Mackie langsung terasa dari awal film, hingga
penonton pun dapat merasakan tulusnya persahabatan Rogers dan Wilson hingga
akhir film.
Di dalam S.H.I.E.L.D, Rogers tentu saja memiliki sekutu Nick Fury dan
Maria Hill (Cobie Smulders), dan kini ditambah Agent 13 (Emily Van Camp). Walau
di film ini dia menyamar dengan nama “Kate”, penggemar komik tentu tahu bahwa
Agent 13 ini adalah Sharon Carter, anak dari Peggy Carter. Di komiknya, Sharon
menjadi love interest Rogers dan bahkan memiliki peran penting dalam The
Death of Captain America. Akankah hal yang sama juga terjadi di Marvel Cinematic
Universe? Mari kita tunggu.
Yang mengganggu saya adalah absennya Clint Barton alias Hawkeye,
dimana jelas-jelas ia adalah Agen S.H.I.E.L.D. Tidak ada penjelasan apapun
mengenai kemana atau dimana ia berada, selain kalung berbentuk anak panah yang
dikenakan oleh Natasha Romanoff. Mungkin saja ia sedang menjalani terapi
penyembuhan pikiran, setelah jatuh dalam pengaruh Loki di The Avengers. Seperti
kita ketahui, orang-orang yang pernah dipengaruhi oleh Loki dengan tongkatnya
di The Avengers tidak dapat begitu saja sembuh. Contohnya saja Dr. Erik
Selvig di Thor: The Dark World yang menjadi setengah gila dan berlari-lari
telanjang di Stonehenge.
Sementara itu, di pihak antagonis adalah The Winter Soldier. Semua
orang pembaca komik Captain America tentu saja sudah tahu bahwa assassin
berdarah dingin ini adalah James “Bucky” Barnes (Sebastian Stan), sahabat Steve
Rogers sejak masa kecil dan masa Perang Dunia II. Pada film Captain America: The
First Avenger, dikisahkan Bucky jatuh dari ketinggian pada saat Captain America
menangkap Arnim Zola di kereta api yang sedang berjalan di pegunungan. Namun
ternyata Bucky tidak mati, karena ditemukan oleh Uni Soviet dan diberikan
tangan cyborg dengan tanda bintang merah Soviet untuk menggantikan tangan kirinya yang
putus. Kemudian ia dicuci otaknya dan dilatih untuk menjadi seorang assassin. Selama
50 tahun badannya bolak-balik ditidurkan di es dan dibangunkan kembali setiap
kali ia dibutuhkan untuk membunuh. Dia lupa siapa dirinya, hingga bertemu
dengan Steve Rogers di masa modern.
Yang menjadi catatan mengesankan, hingga akhir film Bucky masih lupa
siapa dirinya walaupun secara samar-samar sudah mulai mengingat. Hal ini tentu
saja sangat logis, karena untuk mengembalikan ingatan yang telah hilang selama
puluhan tahun itu bukan perkara instan. Apalagi Sebastian Stan memiliki kontrak dengan Marvel Studios sebanyak 9 film (dan baru selesai 2).
Dan jangan lupa, bahwa di komik, Bucky atau The Winter Soldier
nantinya akan mengenakan kostum Captain America setelah Steve Rogers dibunuh.
Bicara Captain America dan The Winter Soldier tentu juga tak bisa lepas dari HYDRA, salah satu divisi sains NAZI yang memisahkan diri dan dipimpin oleh Johann Schmidt atau Red Skull. Dalam film ini HYDRA muncul kembali sebagai antagonis utama. Saya sendiri sangat menyayangkan bahwa Red Skull tidak muncul dalam film ini. Mudah-mudahan saja Marvel Studios dan Russo Brothers (yang telah dikontrak untuk menyutradarai Cap 3) mau menghadirkan Red Skull lagi.
(((apalagi kalau dengan story arc The Death of Captain America!)))
Namun demikian, saya cukup terpuaskan dengan munculnya kembali Arnim Zola (Toby Jones). Apabila di komik Zola dikisahkan memiliki badan robot setelah fisiknya mati, di film ini Marvel Studios memiliki cara yang unik dan logis untuk menghidupkan Zola kembali dari alam kematian.
Senator Stern (Garry Shandling) yang di Iron Man 2 menjadi musuh
bebuyutan Tony Stark di Senat juga muncul di film ini, dan ternyata adalah agen
HYDRA. Bahkan di dalam organisasi S.H.I.E.L.D sendiri, tidak dapat dibedakan
lagi mana agen HYDRA. Plot ini tentu mengingatkan saya pada Star Wars Episode
1-3, yaitu metode infiltrasi Sith ke dalam Galactic Republic. Dan kabarnya,
plot infiltrasi ini juga akan digunakan dalam serial Agents of S.H.I.E.L.D yang
kini masih tayang di ABC.
Pertanyaan yang tersisa dari saya, apakah Presiden Matthew Ellis (William Sadler di Iron Man 3) juga merupakan
Agen HYDRA, mengingat ia juga menggunakan Captain America sebagai propaganda
dengan cara membuat galeri khusus untuk kisah hidup Steve Rogers di Museum
Smithsonian? Sebab agak aneh menurut saya, ketika Steve Rogers sedang
diberdayakan untuk menjadi mata-mata namun riwayat hidupnya terpampang begitu
jelasnya di Museum. Jelas-jelas galeri itu bertujuan untuk propaganda dan
menunjukkan bahwa US memiliki Captain America. Sementara wakilnya, Vice
President Rodriguez, sudah terbukti membantu Aldrich Killian dan Advanced Idea
Mechanics untuk membuat virus Extremis (Iron Man 3).
Anyway, Zola dan The Winter Soldier hanya sebagian dari tokoh
antagonis yang harus dihadapi Captain America. Masih ada lagi Georges Batroc
(diperankan oleh juara UFC Georges St-Pierre) dan juga Brock Rumlow (Frank
Grillo) dan pasukannya. Brock Rumlow di komik bernama lain Crossbones, dan juga
berperan penting dalam The Death of Captain America.
Selain The Winter Soldier, kedua tokoh terakhir itu juga menjadi tantangan
fisik tersendiri untuk Captain America. Catatan yang sangat baik di film ini
adalah penggunaan martial arts dan hand-to-hand combat yang cukup intensif dan
menegangkan. Dan kemampuan martial arts ini baru pertama kali digunakan oleh
Captain America di dunia perfilman. Ada Cap vs. Batroc (yang menggunakan martial arts savate), Cap
vs. Pasukan Batroc, Cap vs. Pasukan Rumlow (di dalam lift), Cap vs. Rumlow, Wilson
vs. Rumlow, Black Widow vs. The Winter Soldier, dan yang paling menegangkan
adalah Cap vs. The Winter Soldier yang menggunakan pisau. Semua itu cukup untuk
membuat kita terpaku di kursi bioskop dengan takjub sekaligus tegang.
Apa mungkin Marvel Studios memang berkonsep seperti itu, mengingat
Captain America: The Winter Soldier ditayangkan bersama dengan The Raid 2:
Berandal? (Hahaha who knows?). Yang jelas, Russo Brothers memang menjadikan The Raid sebagai benchmark dari fighting scene film ini.
Sebuah catatan lain yang bagus adalah mengenai sound dan special
effects. Untuk kali ini, sound ketika Captain America melemparkan perisainya
begitu meyakinkan, sehingga ketika perisai tersebut memantul, mendarat atau
menancap di dinding suaranya begitu intens dan memberi kesan berbahaya. Sementara
itu, special effects dibuat oleh 5 perusahaan, diantaranya adalah Industrial
Light & Magic dan Scanline VFX. Kualitasnya top notch, kecuali beberapa
adegan Falcon mendarat yang masih agak kasar. Tapi Russo Brothers memang sangat
menekankan untuk meminimalkan CGI, karena ingin menampilkan adegan yang nyata.
Dan last but not least, easter eggs.
Apalah artinya sebuah film Marvel Studios tanpa adanya easter eggs.
Untuk Captain America: The Winter Soldier, antara lain: semua peralatan S.H.I.E.L.D
adalah buatan Stark; Exoskeleton Falcon ada tulisan Stark Industries; HYDRA
membunuh Howard dan Maria Stark (orang tua Tony Stark); Howard Stark (Dominic
Cooper), Peggy Carter (Hayley Atwell), dan Col. Chester Phillips (Tommy Lee
Jones) mengembangkan Divisi SSR (Scientific Strategic Reserve) US Army menjadi
S.H.I.E.L.D; Ed Brubaker (penulis komik The Winter Soldier) menjadi salah satu ilmuwan yang mengoperasi Bucky; Christopher Markus dan Stephen McFeely (penulis skenario) menjadi Agen S.H.I.E.L.D yang menginterogasi Batroc; Dan target HYDRA untuk dibunuh adalah orang-orang yang akan
menghalangi rencananya antara lain Tony Stark, Bruce Banner, dan…. Stephen
Strange.
Namun yang terpenting tentu saja mid-credit scene dan post-credit
scene. Oleh karena itu, jangan beranjak dari tempat duduk dulu setelah film ini
usai. Pada mid-credit, ada scene yang menampilkan tokoh antagonis dari HYDRA
yang muncul perdana, yaitu Baron Wolfgang Von Strucker (Thomas Kretcshmann). Tak
hanya menunjukkan bahwa HYDRA masih eksis, namun ia juga menguasai tongkat Loki
(Loki’s Sceptre) dan juga beberapa tawanan hasil percobaan HYDRA, yang utama adalah
si kembar Pietro dan Wanda Maximoff alias Quicksilver dan Scarlet Witch (Aaron
Taylor-Johnson dan Elizabeth Olsen). Jadi kemungkinan besar, untuk menghindari
friksi dengan Fox (pemilik franchise X-Men, mengingat si kembar adalah anak dari Erik Lensherr alias Magneto), Marvel Studios akan membuat origin
Quicksilver dan Scarlet Witch sebagai hasil percobaan HYDRA, sebagaimana Bucky
yang juga sempat menjadi kelinci percobaan Zola di masa Perang Dunia II
(sehingga tidak mati ketika jatuh ke jurang).
Lalu di akhir credit, terdapat scene pergolakan batin The Winter Soldier
yang menyamar dan mengunjungi Museum Smithsonian, tempat dimana riwayat hidup
Captain America dan The Howling Commandos didokumentasikan. Bucky adalah salah
satu personil The Howling Commandos.
Di akhir film, memang HYDRA masih hidup walaupun beroperasi di bawah tanah.
Bahkan HYDRA bisa saja kembali menjadi antagonis utama di Phase 3 nanti, mengingat Von
Strucker juga menguasai tongkat Loki yang dapat membuka-tutup portal wormhole
ke dunia lain, mengembalikan Red Skull, dan kemungkinan juga mendatangkan
THANOS.
Kesimpulan saya, walaupun ekspansif dan eksplosif dibanding film Captain America yang pertama, namun The Winter Soldier tak memiliki keunggulan film pertama yaitu kekuatan karakter. Sebagai contoh, di film ini tidak ada tokoh seperti Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci) dan Col. Chester Phillips (Tommy Lee Jones) yang memberikan jiwa kepada seluruh film walau hanya muncul sebentar. Selain itu, sang sutradara sepertinya di paruh kedua 'terjebak' untuk membuat adegan yang klise, dimana para tokoh utama mengejar waktu untuk menghentikan kehancuran.
Jadi untuk mendapatkan impact yang mendalam, mungkin akan lebih baik apabila kita menonton film pertama dan kedua secara kontinyu, karena keduanya merupakan satu kesatuan.
Kesimpulan saya, walaupun ekspansif dan eksplosif dibanding film Captain America yang pertama, namun The Winter Soldier tak memiliki keunggulan film pertama yaitu kekuatan karakter. Sebagai contoh, di film ini tidak ada tokoh seperti Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci) dan Col. Chester Phillips (Tommy Lee Jones) yang memberikan jiwa kepada seluruh film walau hanya muncul sebentar. Selain itu, sang sutradara sepertinya di paruh kedua 'terjebak' untuk membuat adegan yang klise, dimana para tokoh utama mengejar waktu untuk menghentikan kehancuran.
Jadi untuk mendapatkan impact yang mendalam, mungkin akan lebih baik apabila kita menonton film pertama dan kedua secara kontinyu, karena keduanya merupakan satu kesatuan.
No comments:
Post a Comment