Have fun and enjoy yourself

Wednesday, September 9, 2009

The Greatest Beatles Urban Legend


Tanggal 9 September selalu diperingati sebagai The Beatlemania International Day, atau lazim disebut B-Day. Momen 09-09-09 pun ditandai dengan peluncuran kembali seluruh album The Beatles ke dunia musik, dan juga tak ketinggalan adalah videogame The Beatles: Rock Band yang menyuguhkan keunikan masing-masing anggota band yang juga dijuluki “The Fab Four” itu.

Kita semua tahu bahwa The Beatles adalah salah satu fenomena musik terbesar di abad ke-20, yang menancapkan tonggak musik modern yang jauh lebih maju di masanya. Banyak sekali pengaruh musik The Beatles terhadap band-band musik yang muncul sesudahnya, bahkan sampai sekarang. Lagu-lagunya pun banyak sekali dinyanyikan ulang oleh banyak musisi, tak terbatas di genre rock namun juga pop, jazz, country, orchestra, bahkan samba dan bossanova. Penggemarnya tersebar luas menembus batas negara, bangsa, gender, maupun umur. Bahkan penelitian menunjukkan bahwa bayi dalam kandungan dan anak-anak balita yang diperdengarkan lagu-lagu The Beatles cenderung akan memiliki keseimbangan otak kanan dan kiri yang lebih baik. Begitu dahsyatnya pengaruh The Beatles, sehingga hak atas penjualan lagu-lagunya pun diperebutkan di kalangan eksekutif musik bahkan Michael Jackson juga membeli hak atas 250 lagu The Beatles pada pertengahan 1980-an (ditandai dengan merilis lagu ‘Come Together’ dalam film Moonwalker).

Tapi mungkin
sebagian dari kita pernah mendengar bahwa pada tahun 1966, ketika dalam masa jayanya, The Beatles pernah didera oleh berita yang sangat menggemparkan dunia musik, yaitu meninggalnya Paul McCartney, sang bassist kidal. Walaupun berita kematian itu dibantah oleh pihak manajemen The Beatles sejak tahun 1966, namun sampai sekarang Sir Paul sendiri masih kerepotan menjawab pertanyaan dari wartawan mengenai berita itu. Sebab masih ada banyak orang yang menganggap berita itu adalah benar, dan Paul McCartney yang masih aktif di dunia musik itu adalah aktor/penyanyi yang wajah dan suaranya mirip dengan Paul yang meninggal pada tahun 1966 itu. Luar biasa bukan?

Sebenarnya apa peristiwa yang memicu berita yang menghebohkan pada tahun 1966 itu? Alkisah pada hari Rabu tanggal 9 November 1966, The Beatles sedang merampungkan album kompilasi sebagai bagian dari kontrak dengan perusahaan rekaman EMI (album ini nantinya diberi judul ‘Oldies…. But Goodies’). Keputusan untuk membuat album komp
ilasi ini muncul karena The Beatles terlalu sibuk membuat album ‘Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band’ yang tidak bisa kelar tepat waktu. Seperti biasa, pertengkaran selalu mewarnai suasana studio rekaman. Setelah semalaman bertengkar dengan ketiga temannya, Paul memutuskan untuk keluar dari studio Abbey Road. Jam menunjukkan menjelang pukul 5.00 pagi dan di luar sedang hujan lebat.

Paul masuk ke dalam mobil Austin Healey miliknya dan ketika mobil baru saja berjalan, dia melihat seorang perempuan sedang berjalan di tengah hujan, sepertinya kedinginan. Lalu Paul pun menawarkan tumpangan kepada perempuan itu. Rupanya dia tidak tahu bahwa orang yang memberikan tumpangan adalah Paul McCartney, tapi lama kelamaan dia menyadarinya dan seperti fan-fan The Beatles lainnya pada waktu itu, perempuan itu tiba-tiba berteriak-teriak histeris dan
menarik-narik rambut dan baju Paul yang sedang menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Kepanikan itu membuat Paul kehilangan kendali atas mobilnya. Dia menerobos lampu merah dan kemudian menabrak sebuah lori/gerbong kereta berwarna kuning yang mengakibatkan mobilnya terbalik dan akhirnya menghantam tiang telegraph. Perempuan itu berhasil mengeluarkan diri dari mobil, lalu kembali untuk menolong Paul. Tapi mobil sudah keburu terbakar dan perempuan itupun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jari-jari Paul patah sehingga dia tidak bisa membuka handle pintu dan meloloskan diri. Terperangkap di mobil, orang-orang yang melihat kejadian itupun tidak dapat berbuat apa-apa karena api semakin membesar. Di antara orang-orang itu ada yang menelepon polisi dan pemadam kebakaran, dan tak b
erapa lama kemudian mereka pun datang. Tapi sayangnya sudah terlambat, ketika Paul akan ditolong tiba-tiba mobilnya meledak sehingga mengakibatkan kepala Paul terpisah dari badannya. Paul meninggal dunia pada 9 November 1966 jam 05.00 pagi.

Orang-orang yang menonton itu tidak tahu siapa korban kecelakaan yang meninggal itu, mereka hanya menganggap wajahnya familiar, tapi karena rambutnya sudah habis terbakar mereka tidak tahu pasti. Identifikasi terhadap jenazah dengan menggunakan dental record juga terkendala karena beberapa giginya rontok akibat kecelakaan yang mengerikan itu.

Tapi ternyata ada seorang wartawan yang mengikuti setiap gerak gerik Paul semenjak dia keluar dari studio Abbey Road, sehingga tak pelak dia menyaksikan seluruh peristiwa yang terjadi. Ketika jenazah Paul dievakuasi oleh Polisi, dia pun segera bergegas ke kantornya untuk menulis berita tentang kejadian nahas itu, untuk dimuat dalam surat kabar terbitan pagi itu juga. Sementara itu, Polisi pun mengecek plat nomor mobil itu dan mengetahui pemiliknya adalah Paul McCarney. Segera mereka menelpon Brian Epstein, manager The Beatles, untuk mengabarinya. Setelah diberitahu oleh Polisi mengenai wartawan yang mencatat seluruh peristiwa
itu, Epstein pun mengontak kantor surat kabar tempat asal wartawan itu untuk mengetahui apa headline yang akan keluar. Ternyata headline-nya adalah mengenai peristiwa itu, sehingga Epstein menyuap mereka untuk menghentikan pencetakannya dan menghancurkan semua surat kabar yang telah tercetak. Langkah berikutnya adalah menyuap polisi yang mengecek plat nomor tadi. Rencana Epstein adalah memberikan waktu sejenak untuk berpikir dan berdiskusi dengan anggota The Beatles lainnya mengenai langkah apa yang harus dilakukan.

Anggota band yang lain tentunya sangat terkejut, dan sangat berduka atas kematian sahabatnya itu. Namun demikian, karena The Beatles sedang berada di puncak kreativitas, dan juga karena mereka terikat dengan terlalu banyak deal dan kontrak yang akan merugikan apabila diakhiri, mereka memutuskan untuk tetap jalan terus. Tapi masalahnya adalah siapa yang akan menggantikan Paul se
bagai pemain bass. Masalah ini menimbulkan perdebatan, karena apabila muncul anggota baru pasti akan menimbulkan histeria massa karena sudah ada trademark “The Cute Beatle” untuk Paul sehingga jumlah penggemar pasti akan berkurang. Belum lagi pihak-pihak yang marah karena keputusan untuk menyimpan berita kematian Paul tersebut. Akhirnya Epstein, Lennon, Harrison, dan Starr memutuskan untuk mengganti Paul dengan orang yang mirip dengannya.

Mencari orang yang benar-benar mirip sangat sulit dilakukan, tapi kemudian dilakukan dengan mengadakan lomba ‘Paul Look-a-like’ yang terbuka di kalangan publik, dengan juri yang professional tapi tidak mengetahui tujuan lomba yang sebenarnya. Pemenang lomba ini bernama William Campbell yang bekerja di Kantor Polisi di Ontario, Canada. Setelah memenangkan lomba in
i, Campbell diberitakan menghilang dari Ontario. Pantas saja dia menghilang, karena sejak itu namanya berubah menjadi Paul McCartney.


Walau Campbell sangat mirip dengan Paul, tapi ada beberapa detail yang harus diperbaiki dengan operasi plastik, antara lain bibir atas dan alisnya. Pada akhirnya, Campbell benar-benar tidak dapat dibedakan dari Paul, dan anggota band yang lain pun percaya bahwa rencana itu akan berhasil.

Tapi rupanya ada masalah lain, aksen Campbell adalah Scottish, sehingga dia harus menjalani terapi wicara supaya dapat beraksen Liverpudlian seperti Paul. Dan walaupun dia bisa memainkan bass, dia tidak kidal seperti Paul. Oleh karena itu ketika di dalam studio dia bisa memainkan bass dengan tangan kanan, namun ketika di panggung dia harus ‘berakting’ kidal. Mungkin itu yang menyebabkan The Beatles memutuskan untuk tidak bermain musik di panggung lagi sejak tahun 1967, setahun setelah kematian Paul.

Kematian Paul, walaupun sudah ‘digantikan’ oleh William Campbell, tak pelak menimbulkan kedukaan mendalam bagi anggota band yang lain. John, George, dan Ringo telah kehilangan tak hanya partner dalam menciptakan lagu-lagu yang hebat, namun juga kehilangan seorang sahabat. Tapi mereka tidak dapat mengungkap kesedihan itu secara terbuka, karena akan mencederai marketing yang dijalankan oleh pihak manajemen The Beatles. Dengan fans yang tersebar di seluruh belahan dunia dan juga kekayaan dari hasil penjualan album yang saat itu berada di atas musisi lain di seluruh dunia, tentunya pihak manajemen tidak mau mengambil risiko sekecil apapun akibat kematian Paul ini. Oleh karena itu, ekspresi duka mereka ternyata tertuang dalam banyak lagu yang tercipta setelah peristiwa itu.


Album ‘Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band’

Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band
"Let me introduce to you, the one and only Billy Shears..."
Kenapa tiba-tiba John memperkenalkan Billy Shears, siapakah Billy Shears itu? Ada banyak yang berpendapat bahwa dia sebenarnya bukan menyebutkan Billy Shears, tapi “Billy’s here.” Seperti kita ketahui Billy adalah nama panggilan untuk William.

"Billy Shears!"
Dinyanyikan pada akhir lagu, sebelum lagu 'With a Little Help From my Friends' dimulai. Apabila diputar ulang secara terbalik akan berbunyi “Fish is dead”.

Getting Better
"I have to admit it's getting better, a little better all the time."
Apabila diputar ulang terbalik akan berbunyi "After all, Paul is dead. He lost his hair, head."

Fixing a Hole
"I'm fixing a hole where the rain gets in and stops my mind from wandering."
Apakah ini terkait dengan luka (lubang) di kepala Paul ketika kecelakaan (kejadiannya waktu hujan/rain), yang apabila dibiarkan akan mengakibatkan otaknya (mind) tercecer ke luar?

She's Leaving Home
"Wednesday morning at 5 o'clock as the day begins." (Hari dan jam kematian Paul)

Within You Without You
"Never glimpse the truth, then it's far too late as they pass away." (Jangan tunjukkan kebenaran)
"If they only knew." (Seandainya mereka tahu apa?)
"We were talking about the love that's gone so cold." (Love diartikan sebagai Paul yang menjadi dingin/mati)
"And the people who gain the world but lose their soul." (William Campbell mendapatkan dunia Paul, tapi kehilangan jiwanya sendiri)
"And life flows on within you and without you." (The Beatles tetap hidup dengan Paul dan tanpa Paul).

Good Morning Good Morning
"Nothing to do to save his life, call his wife in."

Sgt Pepper Reprise
"1... 2... 3... 4..."
Pada hitungan ketiga, John membisikkan kata “Bye”. Di cover belakang album, Paul adalah orang ketiga dari urutan kiri ke kanan.

"Sgt. Peppers lonely hearts... (Paul is dead!) club... (Really dead!) band."
Kalimat “Paul is dead” harus didengarkan dengan teliti, karena tenggelam oleh suara lainnya. Akan terdengar jelas apabila menggunakan OOP (Out Of Phase) effect.

A Day in the Life
"He blew his mind out in a car. He didn't notice that the lights had changed. A crowd of people stood and stared. They'd seen his face before, nobody was really sure if he was from the house of Lords."
Apakah ini cerita tentang kecelakaan Paul? “Blew his mind out” juga bisa berarti kepalanya terpenggal. “Lights had changed” karena Paul tak melihat lampu merah yang berubah. “House of Lords” karena Paul saat itu sudah diberi gelar Knight oleh kerajaan Inggris.
Album ‘Magical Mystery Tour’

Magical Mystery Tour
"Roll up! Roll up for the mystery tour."
Kira-kira 48 detik ketika lagu akan dimulai terdengar suara mobil kecelakaan.

I Am The Walrus
"Sitting on a cornflake waiting for the van to come."
“Cornflake” adalah sereal yang biasa dimakan pagi hari (jam kecelakaan adalah jam 5.00 pagi). “The van” adalah ambulans yang akan datang menolong.
"Goog goog ga joob."
Ini adalah kata-kata terakhir dari tokoh kartun Humpty Dumpty sebelum jatuh dan kepalanya terbelah.
"Pretty little policemen in a row." (Polisi yang menolong ketika kecelakaan?)
"New man, they take the fortune."
Kalimat ini terdengar di tengah-tengah lagu, sebelum final verse. Apakah „New man“ adalah William Campbell?
"Oom pah, oom pah, stick it oop ya joompah."
Apabila diputar terbalik akan terdengar "Ha, ha, Paul is dead. Ha, ha, Paul is dead..."

Hello Goodbye
"You say goodbye and I say hello."
Paul yang berkata goodbye dan William berkata hello?

Strawberry Fields Forever
"It's getting hard to be someone." (William kesulitan menjadi Paul?)
"Nothing is real."
Apa yang tidak nyata? Di akhir lagu, George membunyikan gitarnya seperti suara sirine ambulans.
"I buried Paul."
Kalimat yang diucapkan John di akhir lagu ini kedengarannya seperti 'cranberry sauce'

All You Need is Love
"Nothing you can say but you can learn how to play the game."
Menunjukkan bahwa anggota yang lain tidak dapat berkata apa-apa, tapi hanya ikut bersandiwara saja.
"Nothing you can do but you can learn how to be you in time."
Nasehat John kepada William untuk menjadi Paul?
"Yes he's dead. We loved you yeah, yeah, yeah. Loved you yeah, yeah, yeah."
Tiba-tiba dinyanyikan oleh John diakhir lagu. Lagu itu aslinya dinyanyikan oleh Paul.


Album ‘The White Album’

While My Guitar Gently Weeps
"Paul, Paul, Paul, Paul..."
Dibisikkan oleh George pada akhir lagu.

I'm So Tired
"Paul is dead man. Miss him, miss him, miss him!."
Apa yang dibisikkan oleh John di akhir lagu terdengar tidak jelas, namun apabila diputar terbalik akan terdengar kalimat di atas.

Don't Pass Me By
"I'm sorry that I doubted you, I was so unfair. You were in a car crash and you lost your hair..."

Why Don't We Do It in the Road?
"Why don't we do it in the road?"
Apabila diputar terbalik akan terdengar "Paul, really dead. I really want it out."

Birthday
"I would like you to dance. (Birthday) Take a cha-cha-cha-chance."
Apabila diputar terbalik akan terdengar "He's dead, yes, yes, yes, yes, yes. (Dead, dead) He's dead, we sing hallelujah."

Yer Blues
"Paul McCartney, wanna die."
Dibisikkan oleh John di bagian akhir lagu.

Revolution #9
"Number nine."
Dua kata ini diucapkan 13 kali. Nama ‘Paul McCartney’ memiliki 13 huruf dan ‘McCartney’ memiliki 9 huruf.
"My fingers are broken and so is my hair."
Keterangan mengenai jari Paul yang patah dan rambut yang terbakar.
"He hit a pole. We'd better get him to see a surgeon."
Paul menabrak tiang (pole)
"So anyhow he went to the dentist instead. They gave him a pair of teeth that weren't any good at all."
Gigi Paul rontok ketika kecelakaan


Album ‘Yellow Submarine’

All Together Now
"All together now. All together now. All together now. All together now."
Apabila diputar terbalik akan terdengar 'I buried Paul'.
Album ’Abbey Road

You Never Give Me Your Money
"Yellow lorry slow, nowhere to go."
Lori/gerbong kereta kuning adalah yang ditabrak Paul sebelum tewas.
"1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, all good children go to heaven."
Angka 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 apabila dijumlah menghasilkan 28, umur Paul ketika tewas kecelakaan.

She Came in Through the Bathroom Window
"And so I quit the police department, got myself a steady job."
William Campbell adalah polisi di Ontario, Canada sebelum mengikuti lomba “Paul Look-a-like.”


Album ‘Let It Be’

Let It Be
"I woke up to the sound of music, mother Mary comes to me."
Apakah ini ilustrasi Paul yang terbangun di surga dan disambut ibunya yang bernama Mary?
"Let it be, let it be. Let it be, let it be..."
Apabila diputar terbalik akan terdengar "He's dead"

I've Got a Feeling
"All these years I've been wandering around wondering how come nobody told me. All that I was looking for was somebody who looked like you."

Get Back
"Get back! Get back! Get back to where you once belonged."
Apabila diputar terbalik akan terdengar "Help me! Help me! I need some wheels!.”


Album ‘Past Masters II’

Lady Madonna
"Wednesday morning papers didn't come."
Surat kabar hari Rabu 6 November 1966 itu tidak terbit karena ditarik oleh Epstein.


Lirik-lirik lagu yang menggambarkan peristiwa kematian Paul itu hanyalah sebagian, masih terdapat clue-clue lain yang didapat dari foto-foto Paul sebelum dan sesudah tahun 1966, dimana Paul tiba-tiba bertambah tinggi beberapa inci. Selain itu, pada berbagai videoklip The Beatles setelah tahun 1966 juga terdapat berbagai clue mengenai tewasnya Paul, termasuk videoklip lagu “Free As a Bird” yang dirilis pada tahun 1995 di album “Anthology”.

Percaya atau tidak, urban legend ini sampai sekarang masih menjadi misteri.

Monday, September 7, 2009

China Kuno Yang Menyimpan Enigma


The Mummy: Tomb of The Dragon Emperor sudah saya tonton setidaknya 3 kali. Satu kali di bioskop, satu kali di DVD, dan satu kali ketika diputar di salah satu layanan TV berlangganan. Film ini disutradarai oleh Rob Cohen (The Fast and The Furious, Stealth), berbeda dengan dua film Mummy sebelumnya yang disutradarai oleh Stephen Sommers (Van Helsing, G.I.Joe: The Rise of Cobra). Dengan sutradara yang berbeda, maka nuansa yang disajikan pun berbeda dengan film sebelumnya. Walaupun demikian, Sommers masih berperan penting dalam menentukan alur cerita film ini sebagai produser dan penulis naskah. Oleh karena itu, pengembangan karakter keluarga O’Connell juga tidak mengalami perubahan dari film sebelumnya walaupun Evelyn O’Connell yang tadinya diperankan oleh Rachel Weisz digantikan oleh Maria Bello, juga Alex yang dikisahkan sudah dewasa dan diperankan oleh Luke Ford (namun lucunya, aksen Inggrisnya pada film sebelumnya berubah menjadi aksen Amerika).

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa fokus eksplorasi cerita kali ini tidak lagi menyangkut Mesir, namun mengambil setting di China yang dikisahkan memiliki sejarah bernuansa supranatural, khususnya pada saat pemerintahan Kaisar Han (Jet Li), seorang warlord yang menjadi kaisar pertama di China, mempunyai julukan The Dragon Emperor. Sebagai titah pertamanya, Kaisar Han memerintahkan untuk membangun Tembok Besar China yang memakan jutaan korban penduduk akibat kerja paksa. Saya tidak akan meneruskan ceritanya karena saya yakin sebagian besar pembaca sudah tahu. Intinya bahwa seorang penyihir bernama Zi-Yuan (Michelle Yeoh) membacakan mantera Sanskrit yang diambil dari sebuah buku kuno dari ranah India sehingga sang Kaisar dan seluruh pasukannya berubah menjadi tanah liat, dikenal dengan nama Terracota Army. Kaisar Han dan pasukan Terracota inilah yang dikemudian hari ditemukan oleh Alex O’Connell dan bangkit kembali dengan tujuan menguasai dunia.

Rasa-rasanya, penggunaan judul “The Mummy” ataupun penyebutan “mummy” untuk Kaisar dan pasukannya kurang tepat. Sebab tidak ada yang melalui proses mumifikasi seperti halnya Imhotep pada film “The Mummy” yang pertama. Satu-satunya mummy di film ini hanyalah tubuh yang terbaring di dalam peti mati Kaisar yang ditusuk oleh Lin (anak dari Zi-Yuan) yang ternyata hanya untuk mengalihkan perhatian.

Ditinjau dari sisi sejarah, kaisar China yang pertama adalah Qin Shi Huang. Dia memang yang membuat salah satu bagian tertua dari Tembok Besar China pada tahun 220 SM, yang kemudian dibangun ulang dan diperpanjang oleh kaisar-kaisar dan dinasti penerusnya. Selain itu, Qin Shi Huang juga membangun mausoleum yang berisikan ribuan Terracota Army. Pembangunan mausoleum seisinya ini dimulai pada tahun 246 SM, dan memakan waktu 38 tahun dan menggunakan 700.000 pekerja dan pengrajin. Konon, Qin Shi Huang juga dimakamkan di dalam mausoleum ini ketika meninggal pada tahun 210 SM. Mungkin referensi Qin Shi Huang inilah yang mendasari karakter Kaisar Han dalam film ini.


Selain itu, dalam film ini juga disuguhkan berbagai legenda yang berkembang di China dan Himalaya seperti naga, Shangri-La, dan yeti. Sedikit juga disinggung mengenai kitab-kitab India yang mengungkap rahasia alam, termasuk penguasaan 4 materi alam: tanah, udara, air, dan api. Kalau kita lihat dengan seksama, banyak sekali legenda kuno yang berusaha untuk diungkapkan di film ini. Namun anehnya, ada satu legenda yang tidak disinggung-singgung sama sekali di film ini, walaupun legenda ini sangat terkait erat dengan sejarah bangsa China. Yaitu legenda tentang piramida China.

Yup, piramida bukan hanya ada di Mesir dan Amerika Latin. Bahkan Candi Borobudur kebanggaan kita dan Candi Sukuh (foto di bawah ini) di Tawangmangu, Jawa Tengah, juga dikategorikan sebagai piramida.

Di tepian sungai Mississippi di AS dan juga kawasan Polynesia juga ditemukan piramida. Namun tidak ada penemuan kompleks piramida sebanyak di China, yaitu sebanyak 38 buah piramida terletak 30 km di barat daya Xi’an, propinsi Shaanxi. Piramida China difoto pertama kali oleh seorang pimpinan Trans World Airlines (TWA) bernama Col. Maurice Sheahan yang sedang melintas pada tahun 1947, namun entah kenapa foto ini kemudian dirahasiakan oleh militer AS selama 45 tahun! Sheahan mengaku melihat piramida di China yang dihiasi oleh permata putih di ujung atasnya, namun tidak ada bukti nyata yang mendukungnya.



Ternyata selama bertahun-tahun itu pula pemerintah China juga berusaha merahasiakan eksistensi piramida-piramida tersebut. Bahkan sebagian besar diantaranya dijaga ketat oleh tentara (forbidden zone). Memang secara foto satelit yang dapat dilihat di Google Earth, sekilas memang kompleks piramida tersebut tidak kelihatan jelas karena sebagian besar tertutup rumput dan pepohonan. Tapi setelah kita amati dengan seksama, tampak jelas bentuk geometris dari piramida dengan sisi-sisinya yang simetris.



Saat ini, seiring dengan keterbukaan China, piramida-piramida ini pun sedikit demi sedikit mulai di-ekspos keberadaannya oleh Pemerintah China. Sebagian darinya bahkan sudah dibangun Visitor Centre, lengkap dengan tour guide yang siap mengantarkan kita berkeliling piramida.


Tapi tentunya hal ini masih belum menjelaskan kenapa selama 50 tahun belakangan China dan dunia terkesan menutupi keberadaannya, termasuk dalam film The Mummy: Tomb of The Dragon Emperor. Padahal yang menarik, kompleks piramida Xi’an tersebut hanya berjarak 1,7 km dari lokasi ditemukannya Terracota Army yang menjadi fokus dalam film tersebut. Dan apabila selama ini piramida Mesir selalu masuk dalam keajaiban dunia, mengapa piramida China tidak pernah disinggung-singgung? Usia kompleks piramida tersebut lebih tua dari Tembok Besar China, dan jumlahnya jauh lebih banyak dari kompleks piramida Mesir.

Lebih jauh lagi, asal usul piramida ini juga masih menyimpan misteri yang tidak kalah menariknya. Secara fungsi, piramida-piramida ini memang berfungsi sebagai mausoleum atau makam dari kaisar-kaisar China. Mirip dengan fungsi piramida di Mesir. Namun secara fisik, bentuk dari piramida Xi’an sangat mirip dengan kompleks piramida di Teotihuacan, Mexico yang ujungnya rata (tidak lancip seperti piramida Mesir). Seperti diketahui, fungsi piramida di Amerika Latin adalah sebagai altar pemujaan serta pengorbanan terhadap dewa. Fungsi yang saling silang inilah yang membuat arkeolog di China pusing tujuh keliling selama beberapa dasawarsa terakhir ini, sampai sekarang.

Apakah memang kala itu penduduk China sudah melanglang buana hingga Mesir dan Amerika Latin, sehingga pulang dengan membawa hasil ”studi banding” berupa konsep makam para Kaisar yang kemudian direalisasikan oleh Kaisar pertama China, Qin Shi Huang? Atau apakah piramida-piramida tersebut sudah eksis dari sebelum Qin Shi Huang naik tahta seperti halnya piramida Mesir dan Sphinx yang sudah eksis sebelum pemerintahan Fir’aun yang pertama? Kalau begitu, apakah bangunan piramida adalah bangunan yang ”biasa” ditemukan pada peradaban prasejarah, mengingat legenda The Tower of Babylon juga berbentuk piramida? Apabila memang terkait dengan peradaban prasejarah, apakah ada kaitannya dengan penemuan reaktor nuklir di Gabon yang sudah berumur jutaan tahun? Kaitan tersebut saya kemukakan karena dalam kenyataannya, di daerah Gaozhuang, beberapa kilometer di selatan kompleks piramida Xi’an juga berdiri sebuah reaktor nuklir raksasa.

But who knows?

Friday, September 4, 2009

What's So Cool About "District 9"


Setelah menonton G.I.Joe: The Rise of Cobra, saya merasa bahwa film itu merupakan anti-klimaks dari deretan film summer 2009, dan agak desperate menanti film-film apa yang akan muncul pada akhir tahun nanti (yang biasanya diisi oleh film-film keluarga). Tapi kemudian awal minggu ini muncul screening sebuah film yang menjadi kuda hitam di dunia perfilman, karena digawangi oleh orang-orang yang namanya belum pernah dikenal sebelumnya. Film ini berjudul “District 9” karya sutradara Neill Blomkamp.

Saat ini apabila kita search judul film tersebut di Google, dapat dilihat bahwa topik itu sedang booming atau menjadi buah bibir semua penggemar film, khususnya genre science-fiction. Rasa-rasanya malah sebagian pembaca note ini sudah mengetahui apa yang membuat film “District 9” begitu menghebohkan. Tapi untuk yang belum mengetahuinya, saya akan coba mengulas film ini dari berbagai aspek, yang mungkin bisa dijadikan bahan pemikiran ketika film ini sudah ditayangkan di bioskop-bioskop kita.

1. Faktor Peter Jackson

Siapa yang tak kenal dengan Peter Jackson? Sutradara peraih Oscar dari trilogi ”Lord Of The Rings” ini juga menyutradarai berbagai film yang kualitasnya tak diragukan, termasuk remake dari ”King Kong”. Film-filmnya selalu menggunakan special effect yang luar biasa, walaupun tak serumit ”Transformers” namun cukup untuk memenangkan Oscar dalam kategori Best Visual Effects. Untuk film ”District 9” ini Peter Jackson bertindak sebagai produser, dan dia menyediakan visual-effect company miliknya di New Zealand yaitu Weta Digital dengan bekerjasama dengan 3 visual-effect companies kecil di Vancouver yaitu Image Engine, The Embassy, dan Zoic Studios. Jackson tertarik untuk menjadi produser film dari Neill Blomkamp setelah melihat karyanya berupa film pendek di Youtube yang berjudul ”Alive at Joburg” (2005) dan langsung menawari Blomkamp uang sejumlah US$30 juta untuk membuat apa saja yang Blomkamp inginkan. Hasilnya adalah film ini, yang juga dibuat berdasarkan pengembangan film pendek di Youtube tadi.

2. Tidak ada pemeran terkenal

Semua aktor dalam film ini namanya belum pernah kita dengar. Contohnya saja pemeran utamanya, Sharlto Copley. Sebelum ”District 9”, Copley belum pernah berperan dalam film apapun atau menginginkan untuk berkarir di bidang akting. Satu-satunya film dimana ia ikut berperan adalah sebagai figuran dalam film pendek ”Alive at Joburg” dimana Blomkamp mengenalnya untuk pertama kali. Namun kritikus film yang menonton screening film ini memuji habis-habisan perkembangan karakter yang diperankan oleh Copley, dan karena aktingnya dilakukan dengan natural dan manusiawi. Pemeran lainnya adalah Jason Cope, Nathalie Boltt, Sylvaine Strike, dan aktor-aktor lainnya yang tidak terkenal. Sangat menyenangkan menonton aktor-aktor yang masih fresh dan belum pernah mengalami glamornya dunia selebritis. Menurut saya, kasus ini mirip dengan ”Slumdog Millionaire” ketika muncul pertama kali dua tahun yang lalu.

3. Sutradara Neill Blomkamp

Blomkamp berasal dari Afrika Selatan, dan film ini juga dishoot sepenuhnya di Johannesburg, Afrika Selatan. Sangat mirip dengan Peter Jackson yang melakukan shooting semua filmnya di tanah kelahirannya, New Zealand. Bahkan cerita ”District 9” adalah berdasarkan pengalaman pribadi Blomkamp ketika tumbuh besar di rezim apartheid. Tak heran dia menjadikan film ini sangat personal, dan adegan-adegannya begitu emosional dan semi-dokumenter, jadi seolah-olah kita benar-benar masuk dalam film itu dan mengalaminya sendiri (meski bukan dibuat dalam format 3-D). Untuk catatan, Blomkamp belum pernah menyutradarai feature film, hanya iklan dan videoklip. Para kritikus menilai ”District 9” adalah karya Blomkamp sebagai sutradara dan penulis naskah yang original dan fresh, meski agak mirip dengan film ”Alien Nation” (1988) yang dibintangi oleh James Caan.

4. Film Sci-Fi yang “Non U.S.A.-oriented”

Hampir semua film science-fiction selalu menonjolkan U.S. sebagai negara yang super-power, menghancurkan semua alien yang menyerang bumi atau selalu menjadi pimpinan komando ketika bumi akan dihancurkan baik oleh alien, meteor, atau Kaisar Ming dari planet Mongo . Tapi dalam film ini, tidak ada sama sekali peran U.S. ketika sebuah pesawat alien raksasa mendarat di Johannesburg, Afrika Selatan. Dan sepertinya ini satu-satunya film dimana pesawat induk raksasa alien mendarat di daerah non-Amerika. Selain itu, semua pengamanan dan karantina/isolasi alien dihandle oleh perusahaan swasta internasional bernama Multi-National United (MNU) yang dikontrak oleh pemerintah Afrika Selatan. Semua pemeran dalam film ini juga berbahasa inggris dengan aksen non-Amerika (sebagian besar aksen Afrika Selatan).

5. Alien yang menjadi korban

Hampir semua film tentang alien arrival menceritakan tentang alien jahat yang datang dan ingin menghancurkan dunia. Namun dalam “District 9”, diceritakan bahwa 20 tahun lalu sebuah pesawat induk berisikan lebih dari sejuta alien mendarat di Johannesburg karena kehabisan bahan bakar (yup! kehabisan bensin!), dan mereka ternyata adalah pengungsi dari sebuah planet. Kaum pendatang itu terpaksa tinggal di bumi untuk mencari makan, dan makanan kegemarannya adalah… makanan kucing (catfood). Karena bentuknya dan makanan kegemarannya itu, orang-orang menyebut kaum ini sebagai ‘prawn’ (udang). Inspirasi penamaan ini didapatkan oleh Blomkamp ketika memancing udang dengan menggunakan umpan makanan kucing. Kedatangan kaum alien ini tentu saja menambah beban sosial di Afrika Selatan, yang sebagai Negara Dunia Ketiga sudah terbebani dengan berbagai masalah seperti kemiskinan, AIDS, dan sebagainya. Tak heran jika kaum pendatang ini menjadi warga yang direndahkan secara sosial oleh manusia. mereka mendirikan tempat tinggal disekitar tempat mendaratnya pesawat mereka di daerah pinggiran Johannesburg, dimana daerah ini diisolasi oleh MNU dan dinamakan District 9. Ketika salah satu ‘prawn’ diwawancara, dia menyatakan hanya ingin pulang ke planet asalnya.

6. Keserakahan manusia melanglang buana…dan angkasa

Menyambung point sebelumnya mengenai kaum pendatang yang jadi korban, rupanya ketakutan para ‘prawn’ yang mendarat di dunia asing bagi mereka itu dimanfaatkan oleh sebagian manusia yang serakah, baik dari pemerintahan, MNU, maupun kalangan mafia. Apalagi kalau bukan ingin menguasai teknologi yang dimiliki mereka, terutama senjata. Ternyata untuk mengoperasikan senjata itu, dibutuhkan DNA alien juga. Namun halangan itu tidak digubris oleh mafia asal Nigeria, yang walaupun tidak dapat mengoperasikan senjata itu tapi terus saja membelinya dari kaum ‘prawn’ secara illegal dan membayarnya dengan… segudang catfood. Permasalahan rebutan senjata ini juga yang mengisi alur cerita “District 9” sampai akhir film. Sebuah kritikan tajam terhadap keserakahan manusia akan perang dan senjata.



7. Apartheid issues

Seperti yang saya sebutkan tadi, Blomkamp menjadikan film ini personal karena dipengaruhi oleh masa kecilnya yang tumbuh besar dalam rezim apartheid. Blomkamp menjadikan film ini sebagai sarana kritik untuk rezim apartheid tersebut, dan mungkin saat ini masih ada di sebagian Afrika Selatan. Meski kritik tersebut tidak secara eksplisit diungkapkan, namun dapat kita lihat dan rasakan dari visualisasi ketakutan para pendatang sebagai kaum minoritas terhadap manusia yang memandang mereka dengan ‘aneh’. Sebutan ‘prawn’ juga digunakan untuk merendahkan kaum minoritas ini, sebagaimana dulu digunakan istilah ‘nigger’. Pengisolasian kaum pendatang juga dilakukan seperti halnya kaum kulit putih mengisolasi kaum kulit hitam, atau juga bangsa Indian di Amerika. Lokasi District 9, dimana pesawat pendatang mendarat itu rupanya dalam kenyataan juga adalah bekas lokasi kemah pengungsi minoritas kulit hitam ketika rezim apartheid berkuasa, terpisah dari tempat tinggal kaum mayoritas. Dapat dikatakan film ini merupakan metafora dari kegelisahan sosial yang terjadi bukan hanya di Afrika Selatan, tapi juga di sebagaian besar dunia, seperti imigran illegal (di Indonesia: TKI illegal) dan diskriminasi ras. Di film ini, setelah District 9 sudah dianggap tidak layak lagi untuk ditinggali, MNU memutuskan untuk merelokasi para pendatang itu ke kamp konsentrasi yang lebih terpencil dan keamanannya lebih ketat lagi, dengan tujuan terselubung supaya para pendatang itu dijadikan obyek penelitian manusia. Isu-isu tersebut dan isu rasial lainnya sangat mewarnai film ini, dari awal sampai akhir.

Dua tahun lalu, film “Slumdog Millionaire” menjadi kuat bukan karena kuis Who Wants To Be A Millionaire yang menjadi setting utama film tersebut, namun karena side-stories (cerita pendukung) yang mengetengahkan berbagai isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat India. Dalam “District 9”, UFO dan special-effect juga bukan hal yang menjadi kekuatan film ini. Namun justru isu-isu apartheid dan rasialisme yang diungkapkan secara elegan oleh sutradara Neill Blompkamp menjadi nyawa dari film ini.

Film ini tidak dapat dikategorikan sebagai summer movies seperti halnya Transformers dan G.I.Joe, sebab banyak adegan yang brutal dan tidak dapat ditonton oleh semua kalangan. Jauh lebih keras dari “Independence Day”. Di Amerika pun film ini digolongkan sebagai R (Restricted) khusus untuk penonton dewasa. Namun menurut saya justru memang penonton dewasalah yang dapat mencerna makna dibalik adegan-adegan film ini sebagai refleksi sosial masyarakat. Jadi kebalikan dari saran saya ketika akan menonton Transformers:

Prepare your mind for District 9.

From Earthquakes to The Legacy of Tesla



Setelah mendapatkan pengalaman terkena dampak guncangan gempa 7,3 skala Richter dengan episentrum di Barat Daya Tasikmalaya pada 2 September 2009 jam 14.55 WIB, saya terinspirasi untuk melanjutkan note saya yang berjudul “Ilmuwan yang Terpinggirkan” mengenai peran Nikola Tesla dalam dunia ilmu pengetahuan.

Peran Nikola Tesla yang dalam penciptaan alat-alat yang tak terpikirkan oleh benak kita tidak berhenti ketika dia meninggal dalam kesendirian di kamar hotel pada tanggal 7 Januari 1943. Seperti kita ketahui, menjelang kematiannya Tesla tengah membuat proyek bersama US War Department untuk membuat berbagai senjata yang tak terbayangkan sebelumnya. Setelah kematian Tesla, seluruh file pekerjaannya diambil oleh pemerintah US dan dikategorikan sangat rahasia. Tidak ada yang mengetahui pekerjaan apa saja yang sedang dilakukan, atau bahkan yang sudah selesai dilakukan oleh Tesla dan pemerintah US. Tapi walau kita tidak tahu apa hasilnya, paling tidak dari tulisan-tulisan maupun karya-karya Tesla sebelumnya kita dapat mengetahui esensi dan tujuan dari Tesla yang sejati, tak lain adalah “free energy for everyone”.

Meski Tesla adalah pribadi yang eksentrik, homophobic, germophobic, dan megalomaniac, tapi sudah banyak sekali aplikasi-aplikasi teknologi yang berakar dari penemuan Tesla yang (tanpa kita sadari) ada di sekitar kita sekarang ini. Contoh kecilnya adalah segala teknologi wireless: remote control, microwave, serta berbagai teknologi seluler (termasuk infrared dan Bluetooth yang biasa kita gunakan untuk transfer data). Sayangnya nama Tesla keburu tenggelam dan identik dengan julukan “mad scientist”, bahkan dijadikan inspirasi untuk peran-peran ilmuwan gila di film-film, sehingga orangpun cenderung untuk memandang manusia jenius ini dengan sebelah mata.

Namun apakah pendiskreditan nama Tesla itu semata berdasarkan keeksentrikannya, atau memang ada pihak-pihak yang sengaja melakukannya untuk menyamarkan aplikasi teknologi Tesla menjadi berbagai bentuk yang sama sekali tidak kita duga? Salah satu yang sangat menarik bagi saya adalah sebuah proyek yang dikembangkan sejak tahun 1993 oleh US Air Force, US Navy, Defence Advanced Research Projects Agency (DARPA), University of Alaska, Penn State University (ARL), Boston College, UCLA, Clemson University, Dartmouth College, Cornell University, Johns Hopkins University, University of Maryland, College Park, University of Massachusetts, MIT, Polytechnic Institute of New York University, Stanford University, dan University of Tulsa. Proyek ini berlokasi terpencil di sebelah Wrangell-Saint National Park, Gakona, Alaska (koordinat Google Earth 62°23′30″N, 145°09′03″W/62.39167°N, 145.15083°W) dan dinamakan HAARP (High Frequency Active Auroral Research Program). Menariknya, proyek ini disponsori oleh 3 lembaga pertahanan US dan bertujuan untuk menyediakan fasilitas riset dalam rangka eksperimen terhadap fenomena yang terjadi di ionosfer, menganalisis komponen ionosfer dan menggunakan ionosfer sebagai sarana pengembangan teknologi komunikasi dan surveillance.



Mengapa militer sangat tertarik untuk meneliti ionosfer, bahkan menghabiskan milyaran dollar untuk itu?

Tujuan dari proyek ini sampai saat ini belum sepenuhnya tercapai. Namun demikian, proyek HAARP telah menghasilkan sebuah instrumen utama bernama Ionospheric Research Instrument (IRI). IRI tersebut adalah sebuah high-frequency (HF) transmitter system yang berfungsi untuk memodifikasi/mengubah ionosfer. Agak lebih spesifik, modifikasi ini dilakukan dengan cara memanaskan ionosfer dengan menggunakan frekuensi tinggi. Tujuannya adalah menciptakan panas matahari buatan yang dibutuhkan dalam penelitian fenomena-fenomena yang terjadi pada lapisan terluar dari atmosfer tersebut. Hal ini kemudian menjadi kepentingan militer maupun sipil, mengingat banyak sekali sistem komunikasi dan navigasi yang dipantulkan atau bahkan menembus ionosfer ke satelit-satelit.

Salah satu yang dipublikasikan sebagai hasil pemanasan ionosfer tersebut adalah penemuan dan produksi Very Low Frequency (VLF) dan Extremely Low Frequency (ELF). Kedua frekuensi/gelombang ini dapat dikatakan hampir mustahil untuk diproduksi sebelum adanya HAARP (karena saking rendahnya sehingga membutuhkan antena raksasa). Karena frekuensi ini sangat sangat rendah, ia dapat menembus benda yang paling padat sekalipun. Kini, aplikasi VLF dan ELF ini sudah dapat digunakan untuk riset bawah air dan juga bawah tanah. Selain untuk memperbaiki kualitas komunikasi kapal selam di bawah laut, gelombang ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi mineral-mineral apa saja yang ada di bawah tanah. Ibaratnya, dapat digunakan sebagai sinar-x/rontgen untuk bumi dan juga benda-benda solid lainnya.

Itu baru sisi positifnya, sekarang sisi yang kontroversi.

Sebenarnya dimana kontribusi Tesla terhadap pengembangan HAARP ini? Pada tahun 1898, Tesla pernah menemukan dan mematenkan sebuah alat seberat 1 kg dengan nama Tesla Oscillator. Apa yang menarik dari alat ini, adalah ketika Tesla mengujicobakannya di laboratoriumnya di New York pada tahun 1898 itu juga, tempat itu nyaris luluh lantak hancur berkeping-keping. Mengapa demikian, karena ternyata Oscillator itu dapat menghasilkan gelombang yang dapat menghancurkan benda-benda. Teorinya bahwa pada dasarnya semua benda padat itu sebenarnya bergetar. Ketika sebuah benda padat digetarkan dengan frekuensi yang tepat, secara otomatis benda itu akan mengalami shock dan kemudian hancur dengan sendirinya. Dengan alat ini, hanya diperlukan frekuensi yang tepat, SEMUA jenis benda padat dapat dihancurkan.

Bayangkan, alat yang kecil (1 kg) saja sudah dapat meluluhlantakkan laboratorium. Menurut Tesla, semakin besar alat ini, maka semakin rendah frekuensi yang dihasilkan dan penghancuran benda akan menjadi semakin cepat dan mudah. Bahkan Tesla pernah menyatakan, dia bisa membelah bumi dengan Oscillator yang berukuran lebih besar. Oleh karena itu, Tesla Oscillator juga sering disebut dengan Tesla’s Earthquake Machine.

Oscillator inilah yang dikembangkan oleh proyek HAARP secara rahasia, dengan berkedok penelitian ionosfer. Betapa tidak, VLF dan ELF yang telah dihasilkan oleh HAARP sudah terbukti dapat menembus benda yang paling padat, termasuk bumi. Mengerikan apabila frekuensi ini diarahkan ke bawah tanah dan diatur dalam resonansi tertentu, sehingga mengakibatkan getaran. Bukankah yang terjadi adalah.... gempa bumi? Belum lagi kemampuan yang dimiliki oleh IRI yang bertindak sebagai panas matahari buatan. Anda tahu bagaimana cara mengendalikan tornado/hurricane? Cukup dengan memanaskan air yang ada di lajurnya. HAARP dengan menggunakan IRI bisa melakukan itu. Lebih jauh lagi, HAARP dapat memanipulasi cuaca dengan memancarkan panas terhadap tanah, udara, dan laut, serta dengan cara mengubah tekanan udara pada ionosfer dengan pancaran panasnya. Namun selain mempengaruhi cuaca, rupanya High Frequency yang dipancarkan ke ionosfer juga dapat mempengaruhi elektron dan ion sehingga dapat mengganggu –bahkan mematikan– semua jenis sistem elektronik dan komunikasi yang tercanggih sekalipun.

Bayangkan saja apa yang dapat dilakukan oleh militer US dengan HAARP. Melumpuhkan komunikasi satelit lawan, mematikan peluru kendali, melumpuhkan sistem elektronik pesawat lawan, dan.... last but not least, membuat gempa bumi di negara lawan! Dan semua ini tidak mustahil terjadi, karena HAARP sudah ada di dunia ini sejak tahun 1993 dan sebagian besar pendanaannya berasal dari US Air Force dan US Navy.

Gempa bumi. Tsunami. HAARP.

One of the best kept secrets of our time.

Tambahan note:

Pada tahun 1981, ternyata Eks-Uni Sovyet (Rusia) telah lebih dulu membangun fasilitas Sura Ionospheric Heating Facility di sebelah timur kota Nizhny Novgorod yang berfungsi untuk menganalisis perilaku ionosfer dan memproduksi frekuensi rendah, sama dengan fungsi dan tujuan HAARP. Sangat sedikit informasi yang didapatkan mengenai Sura ini, tapi yang jelas fasilitas ini sampai sekarang masih beroperasi. Sementara HAARP dimulai tahun 1993.



Kejadian yang menimbulkan pertanyaan adalah pada bulan April 1997 US mengecam Rusia karena memiliki suatu senjata elektromagnetis yang berbahaya. Kemudian pada bulan Juni 2002 US menarik diri dari kesepakatan Russian-American Anti-Ballistic Missile Treaty, disusul oleh laporan yang diterbitkan pada bulan Agustus 2002 oleh Parlemen Duma Rusia mengenai HAARP, yang menyatakan: "the U.S. is creating new integral geophysical weapons that may influence the near-Earth medium with high-frequency radio waves ... The significance of this qualitative leap could be compared to the transition from cold steel to firearms, or from conventional weapons to nuclear weapons. This new type of weapons differs from previous types in that the near-Earth medium becomes at once an object of direct influence and its component."

Sepertinya perang dingin belum benar-benar berakhir…

Thursday, September 3, 2009

Ancient Math



Saya yakin kita semua sudah menonton film “A Beautiful Mind” (2001) karya sutradara Ron Howard. Film itu berusaha menyelami pemikiran John Forbes Nash, seorang mathematician dan ekonom brilian yang mempunyai spesialisasi di bidang cryptography (menyembunyikan informasi dengan metode matematis). Film ini memenangkan piala Oscar pertama untuk Ron Howard sebagai sutradara, dan juga untuk Jennifer Connelly sebagai peran pembantu wanita terbaik.

Beberapa tahun kemudian, Ron Howard juga menyutradarai 2 film kontroversial dan penuh dengan symbology, yaitu “The Da Vinci Code” dan ”Angels & Demons” berdasarkan novel-novel karya Dan Brown dengan judul yang sama. Tokoh utama dalam kedua film tersebut adalah Robert Langdon, yang karakternya dibuat berdasarkan tokoh nyata John Langdon, seorang professor Typography di Drexel University dengan spesialisasi ambigram, yaitu desain geometris yang dapat diinterpretasikan dari berbagai sudut pandang (contoh dari ambigram karya John Langdon ini dapat dilihat pada cover novel ”Angels & Demons”).

Ketiga film di atas memang menunjukkan minat Ron Howard terhadap dunia hidden codes dan subliminal message yang harus dipecahkan dengan metodologi sains, baik dengan cryptology maupun symbology. Tapi rupanya kedua ilmu tersebut didasari oleh satu ilmu yang mendasari: matematika. Tidaklah berlebihan jika matematika disebut mendasari hampir seluruh ilmu pengetahuan yang menjadi katalisator evolusi homo sapiens menjadi manusia intelektual modern seperti seluruh pembaca note ini.

Saya bukanlah ahli matematika, saya juga tidak pernah mempelajari matematika secara mendalam. Ilmu matematika yang saya dapatkan terakhir adalah semasa kuliah di Fakultas Ekonomi jurusan Studi Pembangunan, karena memang dibutuhkan sebagai prasyarat mata kuliah Statistik dan Ekonometri. Namun dari dulu saya memang mengagumi matematika. Kebetulan almarhum ayah saya adalah dosen Teknik Sipil, dan selalu menggunakan metodologi matematis dalam mengembangkan keilmuannya. Oleh karena itu, sejak kecil saya sudah diperkenalkan dengan “keajaiban” matematika dan kemampuannya untuk memberikan pendekatan solusi terhadap berbagai masalah kehidupan. Mengapa saya sebut pendekatan, karena segala hal terkait ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah asumsi yang dibuat oleh manusia dengan segala ketidaksempurnaannya. Kepastian dan kesempurnaan tentunya hanya dimiliki oleh Tuhan. Mungkin itu sebabnya matematika tidak dapat disebut sebagai science, karena yang disebut science membutuhkan pengamatan secara empiris. Fisika adalah science.

Kebutuhan umat manusia akan matematika sebenarnya dimulai sejak manusia mengenal alam lingkungannya. Berawal dari menghitung benda-benda disekitarnya, lalu berkembang menjadi perhitungan waktu/hari sampai ke perhitungan musim dan tahun untuk keperluan bercocok tanam. Dari berbagai peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa aplikasi matematika berikutnya adalah untuk berdagang/barter, pengukuran tanah, melukis dan membuat berbagai karya seni. Namun pada 3000 SM, bangsa Babylonia dan Mesir sudah berhasil mengembangkan apa yang kita kenal saat ini dengan nama aritmetika, aljabar, dan geometri untuk keperluan perpajakan dan perhitungan finansial lainnya, konstruksi bangunan termasuk pyramid dan Tower of Babylon, serta astronomi. Dan seperti kita ketahui, pengembangan matematika secara sistematik dilakukan oleh bangsa Yunani pada tahun 600-300 SM.

Masa kegelapan yang ditandai oleh Perang Salib yang terjadi selama beberapa ratus tahun sesudah Masehi, juga mengakibatkan kegelapan ilmu pengetahuan manusia. Dapat dikatakan hampir tidak ada ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, termasuk matematika. Baru setelah jaman Renaissance, bangsa Arab kemudian menata ulang berbagai ilmu pengetahuan termasuk matematika secara sistematik, dan hampir dalam waktu bersamaan dikembangkan secara lebih lanjut oleh bangsa-bangsa di Eropa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masih terdapat perdebatan (ujung-ujungnya terkait soal agama) mengenai siapa sebenarnya yang berjasa membenahi kembali ilmu pengetahuan secara sistematik setelah masa kegelapan – bangsa Arab atau bangsa Eropa? Terlepas dari siapa yang berjasa, faktanya matematika sudah berkembang sedemikian pesatnya hingga saat ini dan dapat digunakan oleh seluruh umat manusia tanpa terkecuali.

Salah satu perkembangan kecil dari matematika yang terjadi baru-baru ini adalah pada artikel yang saya baca di http://www.newsobserver.com/news/health_science/story/1641012.html mengenai metode yang dikembangkan oleh Albert Clay, seorang pensiunan ahli farmasi yang berusia 75 tahun mengenai ”How To Multiply Any Number By Any Number In Your Head”. Dengan metode yang dia utak-atik sejak masa remajanya itu, Clay mengklaim bisa mengalikan berbagai bilangan lebih cepat dari kalkulator. Metode tersebut telah ia patenkan, sehingga siapapun yang menggunakannya harus membayar sejumlah uang kepada Clay.

Namun dari artikel tersebut saya juga belajar sesuatu, bahwa metode yang digunakan oleh Clay tersebut ternyata telah diajarkan kepada anak-anak kelas 4 SD di India sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu sampai sekarang! Jadi rupanya anak-anak di India sedari dulu sudah bisa menghitung berbagai mathematical equations lebih cepat dari kalkulator hanya dengan membayangkannya di kepala. Ilmu ini dikembangkan oleh seorang mathematician India bernama Jagadguru Swami Sri Bharati Krishna Tirthaji Maharaja pada awal abad ke-20, seorang akademisi yang menguasai bahasa sanskrit, filsafat, matematika, sejarah dan science. Ilmu matematika tersebut ia dapatkan berdasarkan hasil interpretasi dan juga ekstrak dari kode-kode enkripsi yang dapat dilihat dalam naskah tertua bangsa India, yaitu kitab Veda (arti harfiah Veda = knowledge). Yang menarik, saat ini hampir semua sudah meyakini bahwa kitab Veda adalah naskah yang paling tua dalam sejarah manusia, dibuat kira-kira 4000 SM (berarti 1000 tahun sebelum bangsa Babylon dan Mesir mengaplikasikan matematika dalam berbagai aspek hidup mereka). Oleh karena itu, meski diselubungi kontroversi, Tirthaji menyebut ilmu ini sebagai ”Vedic Mathematics”.

Saat ini kombinasi antara Vedic Mathematics dan kurikulum nasional telah diujicobakan pada sebuah sekolah di Lancashire, Inggris dalam pembelajaran murid-murid Sekolah Dasar. Hasilnya, selain murid-murid tersebut dapat lulus ujian dengan nilai yang memuaskan, pembelajaran yang dilakukan juga menjadi lebih pro-aktif, dan murid-murid menjadi lebih dapat menikmati dan memahami pelajaran yang diberikan. Lebih jauh lagi, ketika mengikuti test General Certificate of Secondary Education (test untuk masuk SMP), mereka tidak hanya lulus namun juga memperoleh nilai lebih dari 80%, serta lebih cepat setahun dari murid-murid sebayanya yang mengikuti kurikulum reguler.

Yang unik dan menjadi kontroversi, Vedic Mathematics yang dikembangkan Tirthaji hanya menyediakan berbagai shortcut dan solusi singkat untuk berbagai permasalahan matematika. Rupanya hal ini tidak dapat diterima oleh kalangan ilmuwan, yang lebih suka mendekati permasalahan dengan metodologi yang urut dan logis. Namun demikian, para implementor Vedic Mathematics meyakini bahwa ”there’s something more than meets the eye”, bahwa didalam Kitab Veda masih tersimpan kode-kode yang belum terpecahkan oleh para ahli cryptology dan symbology yang paling canggih sekalipun. Mungkinkah Kitab Veda merupakan peninggalan dari peradaban manusia masa lalu yang telah lebih maju dari kita saat ini?

Kita ketahui bahwa dalam Al-Qur’an juga terdapat berbagai kode yang belum terpecahkan disamping hal-hal terkait science yang telah terbukti kebenarannya, seperti big bang theory, teori relativitas, wormhole, dan sebagainya. Mungkinkah dalam Al-Qur’an dan berbagai kitab-kitab kuno juga tersimpan kunci pengetahuan manusia yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, hanya waktu dan kemauan umat manusia sendiri yang akan menentukan. Tirthaji sudah membuktikan hal itu dengan Vedic Mathematics, sekarang giliran kita.