Selain itu, film ini juga seolah “menjawab” pertanyaan what if dari para penggemar komik yang terlontar sejak dulu. What if Spider-Man tidak pernah digigit laba-laba radioaktif? What if Batman mempunyai sidekick Robin yang benar-benar masih anak-anak?
Semua pertanyaan itu akan terjawab oleh film ini dengan unsur-unsur humor yang smart dan tidak kekanak-kanakan. Bagi penulis sendiri, kesan pertama ketika film ini selesai hanya tiga kata: That was fun.
“Kick Ass” adalah eksplorasi dari pemikiran yang over-active dari seorang remaja modern bernama Dave Lizewski (Aaron Johnson). Dave adalah seorang geek penggemar komik, dan berpendapat bahwa superhero tidak ada di dunia hanya karena tidak ada orang yang berani.
Namun ia menemukan keberuntungan ketika sekelompok geek merekam aksinya dengan HP ketika menghadapi penjahat dan meng-uploadnya ke Youtube. Seketika nama Kick Ass jadi sorotan khalayak dan menjadi idola baru. Ia pun membuat akun MySpace supaya masyarakat dapat mengontaknya.
Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan 2 superhero lain yang rupanya telah mengamati keberadaan Kick Ass sejak awal. Mereka adalah Big Daddy dan Hit Girl, alter-ego dari Damon Macready (Nicolas Cage) dan putrinya Mindy (Chloe Moretz) yang masih berumur 11 tahun. Mereka bagaikan Batman dan Robin versi horor, dengan tujuan memburu bos mafia sadis Frank D’Amico (Mark Strong), yang menguasai perdagangan narkotika di New York. Rupanya di balik itu, Damon menyimpan dendam kesumat terhadap D’Amico yang membuat jiwanya terganggu.
Catatan penulis, akting Johnson sebagai Dave Lizewski/Kick Ass sangat baik dan natural, bahkan lebih baik dari Tobey Maguire yang memerankan Peter Parker dalam Spider-Man. Nicolas Cage (yang juga penggemar komik), setelah berbagai akting yang menjemukan, seolah menemukan performanya kembali yang hilang. Dia menggabungkan unsur-unsur Adam West (pemeran Batman tahun 1960-an) dengan Elvis Presley. Bahkan secara bersamaan ia juga dapat menyindir gaya bicara Christian Bale yang memerankan Batman. Cage memerankan Damon sebagai seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya, namun di sisi lain juga mendidiknya dengan keras bahkan abusive (contohnya, menembaknya dalam jarak dekat walau Mindy memakai baju anti peluru, kemudian sebagai imbalannya Mindy boleh menikmati eskrim). Semua itu dilakukan dengan senyuman lebar seorang ayah, seperti yang kita lihat dalam sitcom di TV tahun 70-an. Creepy.
Sementara Mark Strong memerankan bos mafia yang sadis tanpa kesulitan, seperti halnya ia memerankan 2 peran jahat pada tahun ini (Sherlock Holmes dan Robin Hood). Namun di film ini yang paling mencuri perhatian adalah Chloe Moretz yang memerankan Mindy Macready atau Hit Girl. Sungguh tak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan aktingnya yang luar biasa. Moretz berhasil memerankan seorang anak berumur 11 tahun yang dididik bela diri dan menggunakan senjata sejak lahir, sementara ia sangat sayang dan loyal kepada ayahnya. Saat ini sudah banyak komentar negatif mengenai karakter Hit Girl, yang sengaja “dibuat” oleh ayahnya menjadi mesin pembunuh yang bermulut kotor. Namun menurut saya, justru karakter “buatan” ini menunjukkan sisi bijaksananya selain manis sekaligus kejam: ia dapat mengerti rasa sakit hati ayahnya. Bahkan ia menunjukkan sisi manusiawinya yang rapuh di akhir film, dan ia tak dapat menentang kodratnya sebagai seorang anak-anak. Tapi bagi Kick Ass, Hit Girl adalah sosok mentor, penyelamat dan inspirasi. Abused and abusive, horrified and horrific, tearfully vulnerable and ingeniously cruel.
Saya tidak akan masuk lebih detail lagi mengenai cerita dari film ini, karena terlalu menarik untuk dibocorkan spoiler-nya. Tapi saya dapat meyakinkan pembaca bahwa film ini tidak akan menjadi apa yang kita duga atau tebak, karena adegan-adegannya terlalu gila dibanding film superhero konvensional lainnya.
Yang saya dapat katakan adalah sebagai sutradara, Matthew Vaughn berhasil menjaga ritme film ini. Adrenalin penonton seolah dipompa namun dalam kadar dan juga timing yang tepat. Adegan action-nya brutal (namun tak sebrutal Ninja Assassin) tapi seperti menonton tari balet, diiringi dengan pilihan soundtrack yang aneh. Dari semua film action yang pernah saya tonton, hanya Matthew Vaughn yang dapat membuat adegan pembantaian manusia diiringi lagu tema The Banana Splits. Mungkin karena ia sangat dipengaruhi oleh gaya pembuatan film yang post-modernis dan hyper-stylized dari Quentin Tarantino dan Guy Ritchie. Dengan kesuksesan Kick Ass ini, tak heran jika Marvel menariknya untuk dijadikan sutradara film X-Men terbaru, yaitu X-Men: First Class.
Lalu apa yang membuat Kick Ass benar-benar monumental? Walaupun sekejap, film ini menawarkan kemungkinan seorang superhero amatir dapat benar-benar berhasil. Bruce Wayne (a.k.a Batman) dapat menjadi seorang superhero karena uang, namun kekuatan Dave Lizewski sebenarnya adalah tidak punya rasa malu, walaupun tidak punya uang. Kalau Peter Parker terkena gigitan laba-laba radioaktif, Dave berhasil menggunakan kekuatan web (Youtube dan MySpace) untuk membuatnya jadi idola. Clark Kent menggunakan media suratkabar (The Daily Planet) untuk memperoleh informasi mengenai kejahatan yang terjadi, namun sekarang Dave menggunakan dunia online untuk mempublikasikan superheroismenya.
Pada dasarnya, Kick Ass adalah contoh cara membuat sebuah fenomena pop-culture. Bagi saya, Cage dan Moretz yang paling menunjukkan penampilan terbaiknya disini. Somehow, I wish film ini adalah tentang karakter mereka berdua. Tapi walau bagaimanapun, secara keseluruhan film ini sangat bagus.
No comments:
Post a Comment