Have fun and enjoy yourself

Wednesday, May 12, 2010

He’s not so invincible… He’s just an Iron Man

Sudah agak lama semenjak saya menulis movie review yang terakhir. Kali ini saya akan menulis tentang film yang telah lama saya tunggu-tunggu sejak tahun lalu dan telah diantisipasi oleh jutaan penggemarnya… Iron Man 2.

Saya sendiri baru menonton film ini seminggu setelah penayangan perdananya di Indonesia. Di samping menunggu berkurangnya antrian di bioskop yang berjubel itu, kebetulan anak saya juga baru sembuh dari penyakit tifus yang mengharuskannya bedrest di rumah.

Selama seminggu itu, rupanya banyak teman-teman saya yang telah menonton Iron Man 2. Dan semuanya memberikan “laporan pandangan mata” kepada saya bahwa film itu jelek, action-nya kurang, bahkan ada yang sempat mengantuk di tengah-tengah film. Well, saya belum bisa memberikan komentar apa-apa sampai saya benar-benar menontonnya.

Dan inilah hasil pengamatan saya, dari sudut pandang saya sendiri.

Ulasan Iron Man 2 tentu tak dapat terlepas dari film pertamanya 2 tahun lalu. Waktu itu, Jon Favreau sang sutradara telah berhasil memperkenalkan Tony Stark dan Iron Man yang perkasa dan heroik, dengan tutur cerita yang menyenangkan semua kalangan. Tak heran bila duo film Iron Man – The Dark Knight waktu itu berhasil menguasai box-office, dimana keduanya menonjolkan ketangguhan pikiran dan mental (bukan sekedar fisik) para tokoh utamanya, ditunjang dengan cerita yang masuk akal bagi semua pihak.

Sekedar intermezzo, baik Tony Stark (Iron Man) maupun Bruce Wayne (Batman) keduanya adalah karakter yang sama-sama kaya raya, playboy, orang tua mereka meninggal karena tragedi, pewaris tunggal harta orang-tuanya, menggunakan berbagai peralatan canggih (tidak punya kekuatan super), pemilik perusahaan warisan ayah mereka (Stark Industries dan Wayne Enterprises), dan sangat dipengaruhi oleh idealisme ayah mereka (Howard Stark dan Thomas Wayne).


Nah, kalau Christopher Nolan (sutradara Batman Begins dan The Dark Knight) menonjolkan hubungan Thomas dan Bruce Wayne itu pada film Batman Begins (pendahulu The Dark Knight), Jon Favreau tidak menyinggung hubungan antara Tony Stark dan ayahnya pada film Iron Man yang pertama. Hubungan itu baru di-ekspos oleh Favreau pada film Iron Man 2, dimana pemikiran-pemikiran Howard Stark-lah yang rupanya menyelamatkan hidup Tony selama ini. Padahal Tony semasa kecil hingga dewasa tidak pernah merasakan kasih sayang dan kedekatan hubungan dengan ayahnya yang seorang ilmuwan jenius tapi pemabuk itu. Namun walaupun pemabuk dan kurang perhatian terhadap anak, ternyata Howard Stark mengakui bahwa dari semua kreasinya, Tony adalah “masterpiece-nya.”

Dan seperti halnya cerita dalam komiknya, di balik keglamorannya ternyata Tony Stark adalah orang yang frustrasi dan tenggelam dalam kesendiriannya. Dalam kenyataan ia memiliki banyak teman yang sayang dan melindunginya, antara lain Virginia “Pepper” Potts (Gwyneth Paltrow), James “Rhodey” Rhodes (Terrence Howard, digantikan oleh Don Cheadle), dan supirnya, Harold “Happy” Hogan (Jon Favreau), yang selalu mendukungnya dalam berbagai kesempatan. Namun Stark menemukan dunianya ketika ia bekerja sendiri di workshop-nya, hanya dengan ditemani oleh J.A.R.V.I.S. (komputer utama di rumahnya, disuarakan oleh Paul Bettany) dan robot-robotnya yang setia walau terkadang bloon.

Kesendirian itu yang menyebabkan ia enggan bergabung dalam “Avengers Initiative” yang diprakarsai oleh Direktur S.H.I.E.L.D, Nick Fury (Samuel L. Jackson). Pada akhirnya, Fury juga hanya menjadikan Stark sebagai konsultan dalam tim superhero yang dibentuknya itu.

Dari pengamatan saya, ketika film-film superhero lain lebih menyoroti perubahan sisi psikologis tokoh antagonis atau bad guy-nya, film Iron Man dan Iron Man 2 berhasil dalam menyoroti aspek psikologis sang good guy, Tony Stark. Upaya ini sebenarnya pernah dilakukan oleh Sam Raimi untuk Spider-Man 3, namun gagal. Pengutamaan sisi psikologis karakter utama inilah yang menyebabkan porsi tampilnya Tony Stark lebih banyak dari Iron Man, sehingga adegan action-nya jadi “kurang”.

Pada film pertama, aspek yang disorot adalah perubahan cara pandang (vision) Stark terhadap kehidupan dan kemanusiaan. Mulanya Tony Stark adalah seorang pembuat dan dealer senjata yang jenius, arogan, dan egosentris. Namun setelah diculik dan ditahan selama 3 bulan oleh teroris Ten Rings di Afghanistan, ia mendapat pencerahan sekaligus seorang figur ayah dari sesama tahanan bernama Yinsen.

Wejangan-wejangan Yinsen membuatnya sadar bahwa hidupnya selama ini telah ia sia-siakan, terutama dalam hal kemanusiaan. Oleh karena itu, setelah berhasil membebaskan diri dengan baju besi Mark I (dan juga berkat Yinsen yang mengorbankan dirinya), Stark melakukan langkah ekstrim dengan menutup divisi senjata di Stark Industries. Sejak itu, ia pun semakin tenggelam dalam kesendirian untuk mengembangkan Mark I menjadi baju Iron Man yang kita kenal itu. Tujuannya bukan untuk membuat senjata, tapi untuk melindungi yang tak berdaya dan menjaga perdamaian. Setelah 40 tahun kehidupannya, Stark baru menyadari apa yang ia harus lakukan.

Dalam film keduanya, posisi Stark menjadi dilematis karena seluruh dunia sudah mengetahui jatidirinya sebagai Iron Man. Ia pun masuk dalam kancah politik ketika semua pihak (senat, militer, dan industrialis militer) menginginkan teknologi Iron Man. Di sisi lain, rupanya Stark juga menghadapi masalah kesehatan dimana bahan palladium yang digunakan sebagai sumber tenaga untuk arc reactor di dadanya itu justru menyebabkan darahnya menjadi terkontaminasi. Padahal arc reactor itu sangat berperan untuk menyelamatkan jantungnya sejak terkena pecahan-pecahan rudal Jericho di Afghanistan. Dan baju Iron Man yang dikenakannya justru mempercepat kontaminasi itu.

Berbagai tekanan medis dan psikologis membuat Stark makin frustrasi, dan akhirnya menjadi seorang alkoholik. Satu per satu teman-temannya meninggalkannya, bahkan Rhodey mengkhianatinya dengan memberikan baju Mark II kepada militer. Satu hal yang tak disadari oleh Rhodey, bahwa rupanya iapun terjebak dalam permainan politik korup dari pihak militer dan Justin Hammer, seorang industrialis militer yang ingin menjadi seperti Tony Stark dan ingin menguasai teknologi Iron Man.

Lucunya, sang pemeran Justin Hammer (Sam Rockwell) dulu adalah salah satu kandidat utama pemeran Tony Stark, namun akhirnya kalah oleh Robert Downey, Jr. (RDJ) yang berhasil membawakan karakter Stark dengan alamiah. Sebagai catatan khusus dan anekdot dari para pengamat film, di Iron Man bukan RDJ yang menyesuaikan diri untuk berakting menjadi Stark, tapi Tony Stark-lah yang menyesuaikan diri untuk RDJ.

Kembali ke Iron Man 2. Dalam keputusasaan Tony Stark, datanglah sang penyelamat yang tak lain adalah ayahnya sendiri dalam wujud pesan video terselubung. Rupanya berpuluh tahun yang lalu, Howard Stark telah memikirkan sebuah sumber energi yang lebih canggih dari palladium, yang dicita-citakan oleh Howard Stark untuk menjadi free energy untuk seluruh dunia, menggantikan bahan bakar karbon (minyak dan gas). Namun untuk membuatnya, teknologi yang ada ketika itu masih belum memadai. Kemudian oleh Howard Stark, struktur atom dari elemen baru itu disiratkan dalam sebuah maket kota modern yang dibuatnya, dan diwariskan kepada anaknya.

Sumber energi baru ini lebih ramah lingkungan dan tidak menimbulkan pencemaran, termasuk terhadap manusia. Inilah inti "misi" dari film Iron Man 2. Iron Man hadir di dunia bukan hanya untuk menyelamatkan satu, dua, atau sekelompok orang dari penjahat, seperti halnya superhero lainnya. Tapi kehadiran Tony Stark/Iron Man adalah untuk menyelamatkan Bumi secara global, dengan menciptakan sumber energi baru pengganti bahan bakar karbon. Sembari mendorong "green earth" itu, solusi energi itu juga merupakan solusi bagi masalah kesehatan Stark yang darahnya semakin terkontaminasi oleh palladium. Dan untuk itu, sekali lagi, Stark menghadapi situasi seperti ketika ia diculik di Afghanistan: invent… or die.

Untuk menciptakan elemen baru itu, Stark harus membuat sebuah particle collider di workshop-nya. Particle collider ini adalah miniatur dari Large Hadron Collider (LHC) di Eropa yang merupakan laboratorium terbesar di dunia, mencakup area dua negara: Switzerland dan Perancis. Sebagai reminder, LHC muncul pertama kali dalam film Angels & Demons tahun lalu dan terkenal dengan tujuan untuk mencari “partikel Tuhan” yang kontroversial.

Large Hadron Collider (LHC) di Eropa

Particle Collider versi Tony Stark

Dengan elemen baru itu, darah Stark pun terbebas dari kontaminasi dan kemudian ia merancang baju Iron Man yang baru (Mark VI) untuk menghadapi Ivan Vanko (Mickey Rourke) dan Hammer Drones hasil rancangan Justin Hammer.

Berbicara mengenai karakter Ivan Vanko, menurut saya justru tidak memberikan nilai tambah terhadap Iron Man 2. Memang ia adalah anak dari Anton Vanko, mantan partner dari Howard Stark yang turut merancang arc reactor yang menjadi cikal bakal Stark Industries. Ketika Howard Stark mendirikan perusahaan itu, Anton Vanko dideportasi ke Rusia dan tenggelam dalam kemiskinan, sehingga anaknya menyimpan dendam terhadap Tony Stark. Kemudian Ivan Vanko membuat baju versinya sendiri, dengan arc reactor mini serupa dengan milik Stark yang dibuatnya berdasarkan blueprint yang disimpan oleh ayahnya. Baju Vanko ini menggunakan teknologi plasma yang difungsikan menjadi cemeti, bentuknya terinspirasi oleh bentuk lightsaber dari Star Wars.

Nah, apabila karakter Vanko ini dihilangkan dari Iron Man 2, tidak akan mengurangi makna. Sebab musuh Stark yang sebenarnya adalah Justin Hammer. It’s Stark vs. Hammer, not Stark vs. Vanko. Hammer dapat saja memperoleh arc reactor untuk sumber tenaga drones-nya tanpa bantuan Vanko, seperti halnya dia dapat memperoleh baju Mark II sebagai hasil kerjasamanya dengan militer. Tapi mungkin kalau demikian Iron Man 2 akan lebih bersifat politis dan mengurangi eye-candy, dengan konsekuensi jumlah penonton akan berkurang. Bagaimanapun di mata penonton, terutama penonton film di Indonesia, sudah identik bahwa film superhero = eye-candy (ingat kasus Watchmen yang nggak laku di Indonesia?).

Now, what about Natasha Romanoff? Karakter yang di dalam komik disebut dengan nama “Black Widow” dan diperankan oleh Scarlett Johansson ini memang terkesan kurang berperan penting dalam Iron Man 2. Perannya sebenarnya dapat digantikan oleh agen Coulson ditambah dengan beberapa agen S.H.I.E.L.D yang lain, seperti halnya dalam film yang pertama.

Kehadiran Romanoff dalam kehidupan Stark seolah menekankan bahwa Nick Fury sudah benar-benar “menancapkan taringnya” di Stark Industries, apalagi ternyata Howard Stark juga adalah salah satu founding fathers dari S.H.I.E.L.D yang dipimpin Fury. Di samping itu, Romanoff adalah wakil S.H.I.E.L.D di tim Avengers, sehingga kemunculannya di Iron Man 2 adalah sebagai “perkenalan”. Memang perannya belum begitu besar, namun saya yakin untuk ke depannya peran Romanoff akan semakin besar dan vital.

Berbicara mengenai Avengers, rupanya Iron Man 2 juga menjadi ajang “promosi” untuk film-film superhero Marvel selanjutnya. Ketika Stark membuat Particle Collider, ia mencari alat untuk mengganjal salah satu tabung collider itu, dan agen Coulson memberikannya… tameng Captain America yang belum jadi. Seperti yang diketahui penggemar komik, setelah tameng sang Kapten yang asli hilang, Stark membuat imitasinya dari bahan logam adamantium (sama dengan bahan cakar logam Wolverine).

Kemunculan anggota Avengers yang lain adalah ketika Stark berbincang dengan Nick Fury di akhir film, berita di TV sedang menayangkan liputan ketika Hulk mengamuk di kampus Culver University (adegan di film The Incredible Hulk). Hal ini menandakan bahwa kejadian di Iron Man 2 waktunya paralel dengan kejadian-kejadian di The Incredible Hulk.

Last but not least, kemunculan anggota Avengers yang paling saya tunggu-tunggu muncul di akhir credit, dimana terdapat adegan agen Coulson sedang menyusuri jalan di New Mexico dan berhenti di sebuah tempat yang sedang diekskavasi oleh agen-agen S.H.I.E.L.D. Kemudian ia melapor ke atasannya (Nick Fury) bahwa mereka menemukannya. Kamera pun bergerak ke benda yang ditemukan, yaitu Mjolnir, palu dari Thor.

Dan sehari setelah premiere Iron Man 2 di Asia dan Eropa, Marvel merilis foto pertama dari Thor, yang diperankan oleh Chris Hemsworth.

Wow, can’t wait for The Avengers to assemble.

Tapi apa sebenarnya yang membuat Tony Stark sebuah karakter yang menarik dan fenomenal? Kita mulai dari fakta bahwa seluruh dunia sudah mengetahui bahwa Tony Stark adalah Iron Man. Bukan dari tabloid atau foto paparazzi, tapi karena Stark mengakuinya. Spider-Man, Batman, bahkan seorang Superman pun tidak memiliki keberanian untuk membuka identitasnya seperti itu. Seiring perkembangan social networking saat ini, semua orang mengetahui apapun yang orang lain lakukan, dan juga sebaliknya. Dalam sebuah penelitian, dari tahun ke tahun informasi mengenai diri kita dengan cepat menyebarluas ke seluruh jagad maya berkat Facebook, Friendster, Twitter, dan berbagai media social networking lainnya. Clark Kent, Bruce Wayne, dan Peter Parker nampaknya tidak akan sanggup hidup dalam “dunia Facebook” ini, sebuah dunia dimana semua hal terkoneksi. Untuk seorang Tony Stark, transparansi bukanlah hal yang dapat menurunkan kualitasnya sebagai superhero. Bahkan saat ini bukan era superhero yang memiliki konflik identitas. Dengan keterbukaan seperti sekarang ini, kita tidak dapat menjadi seseorang dalam satu konteks, kemudian menjadi orang lain dalam konteks yang lain. Kita tidak dapat menjadi Clark Kent sang wartawan di siang hari, kemudian menjadi Superman yang memberantas kejahatan di malam hari. Kita adalah diri kita sendiri setiap saat. Dan tak seperti superhero yang lain, tidak ada konflik identitas bagi Tony Stark. Hanya ada satu identitas yang absolut.

Selain itu, tren yang terjadi pada masyarakat sekarang menunjukkan bahwa terjadi pergeseran idola. Dulu Superman dan Batman menjadi idola masyarakat karena menumbuhkan harapan ketika terjadi Great Depression pada tahun 1930-an. Setelah kejadian 11 September 2001, tampaknya dunia menjadi sangat kompleks sehingga tak ada lagi konsep monolithical evil dimana kita mempunyai satu musuh untuk diperangi. “Pahlawan” dari generasi saat ini bukanlah seseorang yang memberantas kejahatan lagi seperti dulu. Yang menjadi idola adalah para milyarder dan rockstars. Dan itulah yang diidolakan dari Tony Stark. Setelah dia membuka identitasnya kepada dunia, dia menjadi seorang selebritis. Bahkan seorang pekerja asing yang menjual strawberry kepadanya bertanya, “Are you Iron Man?” Dan tak seperti Superman, Batman, atau superhero lain yang takut identitasnya terbongkar, Stark pun menjawab dengan santai, “Sometimes.”

Pada sisi lain, masyarakat tampaknya juga tidak keberatan untuk menerima bahwa Tony Stark adalah Iron Man. Itulah salah satu ciri-ciri apa yang disebut dengan Gen Y, sebuah generasi yang toleran terhadap perbedaan lifestyle, dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Dalam kasus X-Men, mereka memang tidak menutupi identitas mereka, tapi itu karena mereka memang tidak dapat menutupnya. Lihat saja fisik Beast dan Nightcrawler, atau kasus mutasi Cyclops dan Rogue. Jelas-jelas mereka tidak dapat “lulus” dalam masyarakat normal. Dan memang masyarakat sampai saat ini tidak dapat menerima X-Men dalam kehidupan mereka. Tapi tidak dengan Tony Stark. Dia bukan mutan, bukan orang terbuang. Dia adalah selebritis, the most popular kid in school. Bahkan almarhum DJ AM menjadi jockey di acara ulang tahunnya. Tony Stark mengumumkan bahwa dia adalah Iron Man, dan seluruh dunia pun berucap, “Cool…!!!”

Rupanya sebagai model untuk menginterpretasikan Tony Stark di layar lebar, Jon Favreau berpanutan pada co-founder dari Paypal, yaitu Elon Musk. Bahkan Favreau memberikan kesempatan Musk untuk tampil sebagai cameo di Iron Man 2, dimana ia berbincang dengan Stark mengenai konsep electric rocket yang sedang dikerjakannya di tempat kerjanya sekarang, Tesla Motors. Tesla Motors saat ini terkenal sudah dapat memproduksi mobil sport listrik yang performanya menyaingi Porsche. Selain electric car, Musk juga berbincang dengan Tony mengenai konsep SpaceX, perusahaan aerospace swasta yang sedang membuat roket yang dapat didaur ulang, sehingga mengurangi biaya untuk space-travel.

Tapi apa sebenarnya yang men-drive seorang Tony Stark? Mengapa dia melakukan apa yang ia lakukan? Secara spesifik, tidak ada trauma masa kecil seperti halnya Bruce Wayne yang orang tuanya tewas tertembak ketika ia masih kecil. Dia tidak diadopsi oleh pasangan petani yang mengajarkannya konsep moral yang tinggi di pedesaan Amerika, seperti Clark Kent. Krisis yang ia alami hanyalah ketika diculik oleh Ten Rings di Afghanistan. Tapi mengapa ia sampai berusaha keras untuk “menswastakan perdamaian dunia” (to privatize world peace)? Cuma satu alasannya: hanya untuk kesenangan belaka! Tak seperti superhero era sebelumnya, superhero abad 21 ini menyelamatkan dunia bukan karena adanya sense of obligation, tapi hanya karena ia dapat melakukan apa yang ia mau, kapanpun yang ia mau, karena ia mau, dan yang terpenting adalah ia selalu mendapatkan apa yang ia mau. Tapi memang, ia harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang ia mau, seperti halnya orang-orang lain. Tapi bagi Tony Stark, menjadi Iron Man bukanlah sebuah beban, tapi ibarat menaiki roller-coaster.

Apa yang membuat Tony Stark menarik adalah karena ia seorang hedonis, narsis, bahkan nihilistik, pecandu adrenalin, dan milyarder yang suka melakukan hal yang baik. Jika pelajaran yang didapat oleh Peter Parker adalah “With great power comes great responsibility”, pelajaran yang didapat Tony Stark adalah “With great power comes a shit-ton of fun.”

No comments:

Post a Comment