Demikian pula dengan Toy Story 3, yang baru-baru ini saya tonton. Dengan niat untuk menemani anak mengisi liburan, terus terang saya tidak memiliki pengharapan apa-apa dari film ini. Tapi justru dengan berangkat dari “pikiran kosong” itu, Disney dan Pixar berhasil membuat saya berpikir dan bernalar setelah menonton film ini.
Menurut saya, film ini adalah salah satu film animasi yang berhasil mengemas banyak sekali elemen-elemen film horror dan suspense thriller dengan apik. Begitu apiknya, sebagai orang tua kita mungkin tidak sadar bahwa secara psikologis elemen-elemen itu langsung masuk ke pikiran bawah sadar anak-anak kita. Tidak berlebihan jika saya tangkap nuansa film noir mengenai penjara. Dan tak heran, karena ternyata belakangan diketahui bahwa produser dan para pembuat film Toy Story 3 ini memperoleh inspirasi dari perjalanan mereka ke… Alcatraz.
Sedikit untuk mengingatkan, walau film ini diawali dengan suasana cerah seperti halnya 2 film pendahulunya, namun kisah berikutnya segera berbalik ke kesedihan ketika Andy beranjak dewasa dan memutuskan untuk menyimpan mainan-mainan itu, kecuali Woody. Setelah “insiden kantong sampah” terjadi, mulailah segmen film horror ketika mainan-mainan itu masuk ke Sunnyside Daycare, sebuah tempat penitipan anak yang sempat memberikan harapan kepada jagoan-jagoan kita.
Tapi tak lama setelah masuk ke Daycare itu, mereka menyadari bahwa mainan-mainan disana diatur oleh mainan beruang diktator psikopat jahat berwarna pink yang bernama Lotso. Karakternya adalah gabungan dari Strother Martin dalam “Cool Hand Luke” dan Big Daddy dalam “Cat on a Hot Tin Roof”. Ia memiliki tukang pukul Big Baby, mainan bayi bermata satu yang mirip dengan Chucky dalam “Child’s Play”, dan juga tangan kanan sekaligus Humas-nya yang bernama Ken, mainan metroseksual yang memikat hati Barbie. Lotso mengatur kerajaannya itu dengan tangan besi, dan tidak segan-segan untuk mematahkan mainan apapun yang berusaha melarikan diri darinya.
Ternyata bukan itu saja kengeriannya, karena ternyata anak-anak yang masuk Daycare itu tak kalah brutalnya. Bagi kita para orang tua, mungkin tidak ada masalah karena begitulah kelakuan bayi terhadap mainannya. Tapi untuk anak-anak yang menonton, mungkin mereka tidak bisa menghapus bayangan ketika tokoh-tokoh utamanya di Toy Story diludahi, dipukuli, dan bahkan dimutilasi.
Mungkin seperti saya yang sampai sekarang tidak dapat menghapus bayangan adegan penyiksaan di film “Pengkhianatan G30S/PKI”.
Akhirnya, adegan klimaks dalam film ini jelas lebih “kelam” dari adegan apapun dalam serial Toy Story. Anak-anak diperkenalkan dengan konsep kepasrahan dan keberanian dalam menghadapi ajal.
Selepas menonton Toy Story 3 sampai saat ini, anak saya yang umurnya 7 tahun masih sering bertanya mengenai beberapa adegan “horror” dalam film itu. Walau saya sudah mencoba memberikan berbagai jawaban, tapi pertanyaan itu tetap saja dilontarkan oleh anak saya di kemudian hari. Pertanda bahwa ia belum dapat menerima jawaban-jawaban saya, serta pertanda juga bahwa Disney dan Pixar telah berhasil merasuki anak saya dengan adegan-adegan “horror” itu. Saya masih berpikir mengapa film ini mendapat rating G, sementara Wall-E dan Up mendapat rating PG.
Walau demikian, saya menangkap banyak unsur positif dari film ini. Secara kilas balik, dua film pertamanya terfokus kepada konsep dasar pertemanan, kecemburuan, dan kerjasama. Toy Story 3 lebih menyoroti aspek perpisahan, hilangnya keluguan anak-anak, dan hilangnya harapan untuk memiliki orang lain sebagai teman.
Selain itu, film ini juga berkisah mengenai pendewasaan serta tak terelakkannya sebuah perubahan – bahwa perubahan adalah fakta kehidupan, baik itu ke arah baik maupun buruk. Dan seperti yang saya tulis di atas, film ini juga mengajarkan tentang kepasrahan dalam menghadapi kematian, dan bahwa kematian akan lebih mudah dihadapi ketika kita sedang bersama orang yang kita sayangi.
Dan pada adegan ending Toy Story 3, barulah penonton diingatkan kepada bagaimana film originalnya dapat menyentuh hati para penggemarnya. Wajar jika beberapa penonton dewasa menitikkan air mata ketika melihatnya.
Setelah menangkap esensi tadi, segera saya sadari bahwa ternyata Toy Story 3 memberikan kesempatan kepada saya untuk berkomunikasi dengan anak saya mengenai hal-hal yang berat dalam hidup ini. Dan ketika saya melihat perkembangan sinetron dan hiburan di sekitar kita sehari-hari yang hanya berorientasi uang, uang, dan uang, menonton film ini mengingatkan saya bahwa masih ada hiburan yang membuat saya tertawa, menitikkan air mata, sekaligus berpikir dan bernalar.
No comments:
Post a Comment