Sudah menjadi tradisi di Hollywood bahwa ketika musim panas/summer para produsen film biasanya menampilkan film-film blockbuster yang menghibur, memberikan kesan yang mendalam kepada para penikmat film sehingga menjadi acuan untuk produksi film di tahun-tahun berikutnya.
Namun entah kenapa musim panas kali ini hampir tidak ada film yang benar-benar ”nendang”. Terminator Salvation dan X Men Origins: Wolverine yang semula dijagokan ternyata (menurut saya) hanya biasa-biasa saja dan tidak ada hal yang baru baik dalam hal cerita maupun special effect. Hanya Star Trek yang lumayan berani untuk menampilkan cerita yang lain dari yang lain, walaupun bagi saya pribadi masih ada beberapa lubang dalam ceritanya yang sampai sekarang belum dapat saya cerna, walaupun filmnya sudah ditonton beberapa kali. Oleh karena itu, harapan orang tertuju pada film Transformers: Revenge Of The Fallen (ROTF) yang sudah diramalkan menjadi film terdahsyat di musim panas 2009 ini. Hal ini kemudian didukung oleh trailer-trailernya yang cukup ”menjanjikan”. Terbukti midnight screening-nya saja telah menghasilkan lebih dari USD $16 juta, menjadi screening termahal no. 3 sepanjang masa, setelah The Dark Knight dan Star Wars Episode III: Revenge Of The Sith.
Namun demikian, ada satu hal yang cukup menggelitik. Sutradara film ini adalah Michael Bay, yang sudah sangat terkenal pandai mengelola ekspektasi publik. Dari pengalaman menyaksikan film Transformers yang pertama (2007), perasaan saya campur aduk begitu keluar dari bioskop. Menurut saya film itu gagal memenuhi potensi cerita yang seharusnya bisa lebih baik dari itu. Namun demikian, saya terpesona oleh pendekatan Michael Bay melalui special effect dan sinematografi yang benar-benar berkualitas tinggi dan jaw-dropping. Jadi apa yang saya rasakan adalah semacam guilty pleasure, seperti makan sate kambing dengan gajih/lemaknya, udah tahu nggak baik tapi tetap ingin nambah.
Mungkin bagi sebagian orang yang menganggap film pertamanya bagus banget, tentunya menganggap bahwa film yang kedua ini juga tidak kalah bagusnya. Namun saya sendiri (atau mungkin dengan sebagian orang juga) ketika akan nonton justru berharap-harap cemas, berdoa agar Michael Bay belajar dari pengalaman film pertama yang banyak sekali lubangnya, sekaligus menyajikan hiburan selama dua jam yang benar-benar mengesankan, tanpa adanya guilty pleasure.
Tapi apa daya, walaupun saya sudah menurunkan ekspektasi saya, ternyata setelah menonton ROTF saya masih merasakan guilty pleasure yang sama. Bahkan terus terang, secara skenario film ini malah lebih jelek dari pendahulunya. Walaupun, sekali lagi, secara teknologi film ini benar-benar luar biasa dan benar-benar memenuhi imajinasi penonton akan image dari robot-robot Autobots dan Decepticons. Apalagi terdapat satu adegan yang luar biasa, dan layak mendapatkan standing ovation untuk sinematografinya walaupun masih di tengah-tengah film. Adegan itu adalah Optimus Prime yang bertarung dengan 3 Decepticons sekaligus: Megatron, Starscream, dan Sideways.
Sebuah film akan menjadi benar-benar bagus apabila semua komponennya juga bagus. Apalagi yang namanya skenario merupakan nyawa dari sebuah film. Namun Michael Bay sekali lagi bisa mengubah paradigma itu. Nyawa dari Transformers bukan skenarionya, tapi special-effectnya dan hingar bingar action serta ledakan disana-sini. Jadi sejelek apapun skenarionya, orang-orang tetap akan datang untuk menonton Transformers dan ROTF. Itulah sebabnya Michael Bay dibayar oleh Steven Spielberg dengan honor tidak tanggung-tanggung, USD $75 juta untuk film yang pertama dan pastinya lebih tinggi lagi untuk film yang kedua.
Apa resep sukses Michael Bay dalam membuat Transformers dan ROTF sehingga orang-orang berduyun-duyun melihatnya, bahkan rela memesan tiketnya jauh-jauh hari? Secara cerita, perlu saya singgung sekilas disini, agak sulit untuk menganalisis jalan cerita ROTF yang sesungguhnya dibandingkan dengan film pertamanya. Pada film pertama, fokusnya sejak awal film jelas yaitu Allspark. Decepticons menginginkannya, Autobots dan para karakter manusia berusaha menghentikan supaya Decepticons tidak mendapatkannya. Simpel dan efektif. Sementara dalam ROTF, Bay berusaha mereunikan tokoh-tokoh utama pada film pertama (kecuali Jon Voight – sebuah kehilangan besar) namun gagal dalam menciptakan sebuah alur cerita yang memberikan motivasi atau tujuan kepada tokoh-tokoh utama itu. Yang ada hanya mereka lari dari sesuatu atau lari menuju sesuatu, sekali lagi tentunya dengan diiringi ledakan dan teriakan yang hingar-bingar disana-sini.
Minimnya plot tersebut ternyata juga diperparah dengan kurangnya ide-ide baru oleh penulis skenario Roberto Orci, Alex Kurtzman, dan Ehren Kruger. Bahkan ada beberapa adegan yang sengaja atau tidak sengaja menjiplak adegan-adegan dalam film-film misalnya Aliens vs. Predator, Terminator 3, Spider-Man 3, dan beberapa film lain. Selain adegan yang menjiplak, beberapa adegan juga merupakan repetisi dari film Transformers yang pertama, bahkan adegan utama di akhir film sangat mirip sekali dengan serangan Scorponok di gurun pasir pada film pertama.
Pada penokohon karakter manusianya, peran pembantu (karakter selain karakter utama) pada ROTF ternyata juga memiliki karakter sama dengan peran pembantu pada film pertama. Sementara dari karakter robot, menurut saya masih bisa dieksplorasi perselisihan kepemimpinan Decepticons antara Megatron dan Starscream, namun ternyata tidak dilakukan juga.
Disinilah letak kepiawaian Michael Bay dalam mengolah miskinnya skenario menjadi film dengan sense of rhythm tertentu sehingga menimbulkan alur cerita yang seolah-olah logis. Hasilnya adalah film bernuansa schizophrenic yang melompat-lompat dari komedi ke action ke melodrama secara cepat dari satu scene ke scene berikutnya sehingga penonton tidak sempat lagi menganalisis kesimpulan dari berbagai adegan itu. Dalam jam pertama, penonton diajak untuk mengikuti berbagai alur cerita tanpa ada kesempatan ”bernapas”. Dan ketika penonton diperkenalkan kepada suatu benda yang menjadi tujuan film dan ekuivalen dengan Allspark, disebut The Matrix (yang dapat membuka kunci dari suatu senjata pemusnah planet), ternyata film sudah memasuki menit ke-90 (dari total durasi film 140 menit).
Tentu saja kita dihibur dengan special-effect dan CGI yang top notch, hasil besutan Industrial Light and Magic (ILM) milik George Lucas. Namun demikian, seperti halnya film yang pertama, seluruh robot baik Autobots maupun Decepticons nampak dan bersuara seolah-olah sama, kecuali dua robot yaitu Optimus Prime dan Bumblebee. Tampilan yang sama dari berbagai robot itu seharusnya dibedakan oleh penekanan karakter yang khas dari masing-masing robot, namun rupanya hal itu tidak dilakukan oleh Bay. Alhasil ketika adegan berkelahi antar robot, penonton akan sulit sekali membedakan mana yang Autobots dan mana yang Decepticons (tentunya kecuali Optimus Prime dan Bumblebee). Berbicara mengenai penokohan robot, rupanya Michael Bay sendiri juga kurang jeli. Tokoh Devastator yang di film pertama berwujud tank dan sudah mati dibunuh oleh pasukan Lennox dan Epps, ternyata diperkenalkan kembali di akhir ROTF sebagai tokoh robot raksasa yang berbeda karakter sama sekali. Ketidaksengajaan atau ketidakkonsistenan?
Selain itu Bay juga mengulangi kesalahan pada film Transformers yang pertama. Hampir semua penonton bertanya-tanya apa yang terjadi dengan robot Decepticon bernama Barricade yang dapat berubah wujud jadi mobil polisi. Pada adegan perang di akhir film, tokoh ini tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Padahal adegan sebelumnya, dia digambarkan mengejar Autobots di jalan raya bersama dengan Bonecrusher dan Devastator (adegan dimana Optimus Prime membunuh Bonecrusher). Begitu juga dalam ROTF, karakter kembar dari Autobots bernama Skids dan Mudflap tiba-tiba mengalami nasib yang sama dengan Barricade, menghilang bak ditelan bumi.
Bagaimanapun, saya tetap harus mengapresiasi hasil penyutradaraan Michael Bay, terutama efek visualnya yang membuat seluruh penonton ternganga-nganga. Beberapa tokohnya juga berhasil mencuri perhatian selain Optimus Prime dan Bumblebee. Misalnya saja penampilan Kevin Dunn dan Julie White sebagai ayah dan ibu Sam yang menyegarkan atau Skids dan Mudflap (Skids disuarakan oleh Tom Kenny, pengisi suara Spongebob Squarepants) yang lucu dan menghibur.
Film Transformers: Revenge Of The Fallen memang ditujukan untuk kaum remaja laki-laki – serta orang dewasa yang belum sepenuhnya dewasa. Semua yang diimpikan oleh kaum remaja laki-laki ada disini: mobil keren, perempuan berbaju minim, ledakan, robot, perang, tentara, perang lagi, robot lagi,... dan komedi. Film ini adalah murni entertainment dan bila anda tidak peduli dengan plot dan character development, anda akan merasa puas.
So turn off your mind and logic... and go watch Transformers: Revenge Of The Fallen.
No comments:
Post a Comment