“Public Enemies” adalah film mengenai John Dillinger dan sepak terjangnya pada tahun 1930-an, sebelum akhirnya tewas diterjang peluru agen FBI. Film ini dibintangi oleh Johnny Depp dan Christian Bale, 2 aktor yang dijagokan oleh khalayak untuk tampil bersama sebagai Batman dan The Riddler dalam kelanjutan “The Dark Knight” (untuk sementara berjudul “The Caped Crusader”). Sedangkan sutradaranya adalah Michael Mann, pencipta serial TV Miami Vice dan sutradara “Heat”, “Ali”, dan “Miami Vice” (versi layar lebar).
Secara sinematografi, setelah kegagalan Miami Vice nampaknya Mann ingin mengembalikan nuansa “Heat” ke dalam film ini. Bagi yang mengharapkan film action dengan tembak-tembakan dari awal sampai akhir film, bersiaplah untuk kecewa. Ekuivalen dengan “Heat” yang dibintangi oleh Robert De Niro dan Al Pacino, film ini lebih banyak menonjolkan pengenalan karakter John Dillinger, dan memahami mimpi sekaligus apa yang ditakutinya, sehingga menghasilkan sebuah karakter yang mempesona sekaligus berbahaya. Dalam hal ini, saya akui Johnny Depp adalah maestronya.
Bukan Michael Mann namanya kalau adegan-adegan dalam filmnya tidak membuat penasaran penonton dari detik pertama sampai akhir film. Namun demikian, meski dalam promonya film ini dikategorikan sebagai thriller, faktanya film ini adalah drama yang dibumbui action. Seluruh adegannya ditampilkan dengan lugas, tidak ada plot apapun yang tersembunyi atau mengecoh penonton. Semuanya menampilkan kehidupan John Dillinger apa adanya.
Mengapa film ini menjadi relevan ditampilkan sekarang? Bagi yang sudah mengetahui sejarahnya, John Dillinger dikenal sebagai salah satu perampok bank paling terkenal pada era krisis keuangan di Amerika Serikat tahun 1930-an, atau yang dikenal dengan nama The Great Depression. Krisis itu mirip dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat pada saat ini, menandai runtuhnya sistem kapitalisme dan liberalisasi ekonomi yang menjadi fundamental ekonomi negara adidaya itu.
Kala itu, semua bank di AS mempunyai masalah di bidang public relations. Hampir semuanya bangkrut, dan menyapu bersih seluruh tabungan dari jutaan orang yang telah bekerja keras untuk mendapatkan uang. Rumah-rumah, peternakan, dan toko-toko yang menjadi sumber penghasilan masyarakat pun disita dan perekonomian menjadi bertambah kacau.
Ironisnya, para perampok bank ketika itu (termasuk John Dillinger) justru mendapat tempat di hati warga Amerika yang terkena dampak krisis. Bahkan para perampok itu dinobatkan menjadi “Robin Hood” ketika mereka menghancurkan file-file kredit nasabah di bank yang dirampok. Keberanian dan ketrampilan para perampok ketika melarikan diri juga menjadi bahan pembicaraan yang menggairahkan masyarakat, khususnya apabila perampok itu memiliki wajah tampan, santun, dan juga fotogenik.
Maka John Dillinger, “Pretty Boy” Floyd, “Babyface” Nelson, dan anggota gang Dillinger yang lain menjadi selebritis dadakan yang cerita dan legendanya beredar dari mulut ke mulut warga Amerika yang lelah didera krisis layaknya menyaksikan serial televisi yang seru.
Namun demikian, FBI yang waktu itu sedang mulai berkembang dan dipimpin oleh J. Edgar Hoover rupanya tidak terima dengan pengidolaan dan penobatan selebritis terhadap para perampok bank yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan beberapa anggota polisi itu. Bahkan jargon “I stole from the bankers who stole from the people” yang didengung-dengungkan semakin meyakinkan Hoover bahwa para perampok itu merupakan ancaman serius bagi moral masyarakat Amerika Serikat. Hoover segera meyakinkan kongres AS membuat anticrime laws yang untuk pertama kalinya melebarkan sayap FBI dan membuat perampokan bank serta pelarian buronan ke luar negara bagian untuk menghindari tuntutan hukum menjadi masuk wilayah yurisdiksi dari FBI.
Perburuan terhadap Dillinger dipercayakan kepada seorang agen FBI bernama Melvin Purvis (yang diperankan oleh Christian Bale) yang berfisik pendek dan kurus namun di lain pihak bersifat ambisius, cerdas, dan suka publisitas. Publikasi besar-besaran FBI ini memang sengaja didorong oleh Hoover untuk mengimbangi legenda kepahlawanan perampok bank yang terlanjur merebak luas di masyarakat. John Dillinger pun dinobatkan oleh Hoover sebagai “Public Enemy No. 1” dan penangkapan Dillinger pun dipertaruhkan untuk mendapatkan anggaran yang lebih besar dari kongres untuk pengembangan FBI.
Setelah berkali-kali memasang perangkap dan gagal (Dillinger Gang adalah kelompok yang benar-benar professional), akhirnya Purvis dan pasukannya berhasil menembak mati John Dillinger pada 22 Juli 1934 ketika keluar dari sebuah bioskop di Chicago. Namun setelah kematiannya, masyarakat Amerika Serikat tetap mengenang kepahlawanan Dillinger dengan merayakan “John Dillinger’s Day” setiap tanggal 22 Juli.
Film “Public Enemies” di-shoot dengan menggunakan kamera HD (High Definition), sebuah langkah berani dari Michael Mann yang belum pernah dilakukan oleh sineas-sineas manapun (kecuali George Lucas dalam film Star Wars Episode I-III, namun masih disesuaikan sehingga menyamai kamera 35 mm). Penggunaan kamera sinema digital ini mungkin dengan tujuan untuk mendapatkan nuansa tahun 1930-an yang otentik dan genuine. Namun demikian, rasa-rasanya nuansa tahun 1930-an yang dihasilkan ternyata malah nampak terlalu bersih. Far too clean and too nice. Penonton tidak melihat adanya suasana krisis keuangan di jalan-jalan yang dilewati Dillinger. Padahal suasana itulah yang seharusnya ditekankan dalam film ini.
Christian Bale rupanya sulit bisa melepaskan citra Batman dan suara growling-nya yang sedikit mengganggu karakter Melvin Purvis yang diperankannya. Bertolak belakang dengan Purvis sebenarnya yang suka publisitas, karakter Bale disini lebih banyak menampilkan rahang yang kaku dan tanpa senyum. Demikian pula dengan Johnny Depp, walaupun upaya untuk menampilkan Dillinger sudah luar biasa, namun ada beberapa adegan yang hanya menampilkan wajah yang kaku tapi tanpa makna.
Last but not least, menurut saya skenario film ini justru kurang membuat penonton bersimpati dengan kedua tokoh utama seperti halnya film “Heat”. Dalam film “Heat”, kedua tokoh utama (De Niro dan Pacino) sama-sama mendapat simpati dari penonton walaupun salah satu diantaranya harus mati di akhir film. Simpati itulah yang rasa-rasanya tidak didapatkan dalam film “Public Enemies.”
Setelah berkali-kali memasang perangkap dan gagal (Dillinger Gang adalah kelompok yang benar-benar professional), akhirnya Purvis dan pasukannya berhasil menembak mati John Dillinger pada 22 Juli 1934 ketika keluar dari sebuah bioskop di Chicago. Namun setelah kematiannya, masyarakat Amerika Serikat tetap mengenang kepahlawanan Dillinger dengan merayakan “John Dillinger’s Day” setiap tanggal 22 Juli.
Film “Public Enemies” di-shoot dengan menggunakan kamera HD (High Definition), sebuah langkah berani dari Michael Mann yang belum pernah dilakukan oleh sineas-sineas manapun (kecuali George Lucas dalam film Star Wars Episode I-III, namun masih disesuaikan sehingga menyamai kamera 35 mm). Penggunaan kamera sinema digital ini mungkin dengan tujuan untuk mendapatkan nuansa tahun 1930-an yang otentik dan genuine. Namun demikian, rasa-rasanya nuansa tahun 1930-an yang dihasilkan ternyata malah nampak terlalu bersih. Far too clean and too nice. Penonton tidak melihat adanya suasana krisis keuangan di jalan-jalan yang dilewati Dillinger. Padahal suasana itulah yang seharusnya ditekankan dalam film ini.
Christian Bale rupanya sulit bisa melepaskan citra Batman dan suara growling-nya yang sedikit mengganggu karakter Melvin Purvis yang diperankannya. Bertolak belakang dengan Purvis sebenarnya yang suka publisitas, karakter Bale disini lebih banyak menampilkan rahang yang kaku dan tanpa senyum. Demikian pula dengan Johnny Depp, walaupun upaya untuk menampilkan Dillinger sudah luar biasa, namun ada beberapa adegan yang hanya menampilkan wajah yang kaku tapi tanpa makna.
Last but not least, menurut saya skenario film ini justru kurang membuat penonton bersimpati dengan kedua tokoh utama seperti halnya film “Heat”. Dalam film “Heat”, kedua tokoh utama (De Niro dan Pacino) sama-sama mendapat simpati dari penonton walaupun salah satu diantaranya harus mati di akhir film. Simpati itulah yang rasa-rasanya tidak didapatkan dalam film “Public Enemies.”
No comments:
Post a Comment