Have fun and enjoy yourself

Tuesday, August 25, 2009

An Indonesian name in Hollywood



Setelah menonton untuk pertama kalinya serial “Aaron Stone” di Disney Channel yang akhir-akhir ini jadi serial kegemaran anakku, ada satu nama yang menyita perhatianku: Tania Gunadi. Pertanyaan langsung muncul di benak: does that sound like an Indonesian name?



It turns out she is an Indonesian, lahir di Bandung pada 29 Juli 1983. Dia bermigrasi ke Amerika Serikat setelah memenangkan Green Card Lottery dari US Embassy ketika berumur 15 tahun (1999). Dan begitu mendarat di Los Angeles, dia segera mengejar cita-citanya untuk menjadi aktris Hollywood. Pihak Disney pun mengakui bakatnya dan sejak tahun 2000 dia berperan dalam berbagai film Disney (baik lepas maupun serial) sampai tahun ini, ketika JJ Abrams memberinya kesempatan untuk turut berperan sebagai salah satu Federation Cadet dalam film “Star Trek.”

Berikut adalah filmografi dari Tania Gunadi:
•(2009) Star Trek
•(2009) Princess Protection Program
•(2009) Aaron Stone
•(2005) Go Figure
•(2005) The Magic of Ordinary Days
•(2004) Eulogy
•(2004) Pixel Perfect
•(2003) Nudity Required
•(2003) Lock Her Room
•(2002) Even Stevens
•(2001) A Real Job
•(2000) Sabangga: G.I. Thai Girl

Go Tania!
Oh ya, dan siapa menyangka kalau nenek kandung dari aktris Kristin Kreuk (Smallville, Street Fighter: The Legend of Chun-Li) di bawah ini adalah orang Surabaya:

Thursday, August 20, 2009

Dillinger: Perampok biasa atau "Robin Hood"?



“Public Enemies” adalah film mengenai John Dillinger dan sepak terjangnya pada tahun 1930-an, sebelum akhirnya tewas diterjang peluru agen FBI. Film ini dibintangi oleh Johnny Depp dan Christian Bale, 2 aktor yang dijagokan oleh khalayak untuk tampil bersama sebagai Batman dan The Riddler dalam kelanjutan “The Dark Knight” (untuk sementara berjudul “The Caped Crusader”). Sedangkan sutradaranya adalah Michael Mann, pencipta serial TV Miami Vice dan sutradara “Heat”, “Ali”, dan “Miami Vice” (versi layar lebar).

Secara sinematografi, setelah kegagalan Miami Vice nampaknya Mann ingin mengembalikan nuansa “Heat” ke dalam film ini. Bagi yang mengharapkan film action dengan tembak-tembakan dari awal sampai akhir film, bersiaplah untuk kecewa. Ekuivalen dengan “Heat” yang dibintangi oleh Robert De Niro dan Al Pacino, film ini lebih banyak menonjolkan pengenalan karakter John Dillinger, dan memahami mimpi sekaligus apa yang ditakutinya, sehingga menghasilkan sebuah karakter yang mempesona sekaligus berbahaya. Dalam hal ini, saya akui Johnny Depp adalah maestronya.

Bukan Michael Mann namanya kalau adegan-adegan dalam filmnya tidak membuat penasaran penonton dari detik pertama sampai akhir film. Namun demikian, meski dalam promonya film ini dikategorikan sebagai thriller, faktanya film ini adalah drama yang dibumbui action. Seluruh adegannya ditampilkan dengan lugas, tidak ada plot apapun yang tersembunyi atau mengecoh penonton. Semuanya menampilkan kehidupan John Dillinger apa adanya.

Mengapa film ini menjadi relevan ditampilkan sekarang? Bagi yang sudah mengetahui sejarahnya, John Dillinger dikenal sebagai salah satu perampok bank paling terkenal pada era krisis keuangan di Amerika Serikat tahun 1930-an, atau yang dikenal dengan nama The Great Depression. Krisis itu mirip dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat pada saat ini, menandai runtuhnya sistem kapitalisme dan liberalisasi ekonomi yang menjadi fundamental ekonomi negara adidaya itu.

Kala itu, semua bank di AS mempunyai masalah di bidang public relations. Hampir semuanya bangkrut, dan menyapu bersih seluruh tabungan dari jutaan orang yang telah bekerja keras untuk mendapatkan uang. Rumah-rumah, peternakan, dan toko-toko yang menjadi sumber penghasilan masyarakat pun disita dan perekonomian menjadi bertambah kacau.

Ironisnya, para perampok bank ketika itu (termasuk John Dillinger) justru mendapat tempat di hati warga Amerika yang terkena dampak krisis. Bahkan para perampok itu dinobatkan menjadi “Robin Hood” ketika mereka menghancurkan file-file kredit nasabah di bank yang dirampok. Keberanian dan ketrampilan para perampok ketika melarikan diri juga menjadi bahan pembicaraan yang menggairahkan masyarakat, khususnya apabila perampok itu memiliki wajah tampan, santun, dan juga fotogenik.

Maka John Dillinger, “Pretty Boy” Floyd, “Babyface” Nelson, dan anggota gang Dillinger yang lain menjadi selebritis dadakan yang cerita dan legendanya beredar dari mulut ke mulut warga Amerika yang lelah didera krisis layaknya menyaksikan serial televisi yang seru.

Namun demikian, FBI yang waktu itu sedang mulai berkembang dan dipimpin oleh J. Edgar Hoover rupanya tidak terima dengan pengidolaan dan penobatan selebritis terhadap para perampok bank yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan beberapa anggota polisi itu. Bahkan jargon “I stole from the bankers who stole from the people” yang didengung-dengungkan semakin meyakinkan Hoover bahwa para perampok itu merupakan ancaman serius bagi moral masyarakat Amerika Serikat. Hoover segera meyakinkan kongres AS membuat anticrime laws yang untuk pertama kalinya melebarkan sayap FBI dan membuat perampokan bank serta pelarian buronan ke luar negara bagian untuk menghindari tuntutan hukum menjadi masuk wilayah yurisdiksi dari FBI.



Perburuan terhadap Dillinger dipercayakan kepada seorang agen FBI bernama Melvin Purvis (yang diperankan oleh Christian Bale) yang berfisik pendek dan kurus namun di lain pihak bersifat ambisius, cerdas, dan suka publisitas. Publikasi besar-besaran FBI ini memang sengaja didorong oleh Hoover untuk mengimbangi legenda kepahlawanan perampok bank yang terlanjur merebak luas di masyarakat. John Dillinger pun dinobatkan oleh Hoover sebagai “Public Enemy No. 1” dan penangkapan Dillinger pun dipertaruhkan untuk mendapatkan anggaran yang lebih besar dari kongres untuk pengembangan FBI.

Setelah berkali-kali memasang perangkap dan gagal (Dillinger Gang adalah kelompok yang benar-benar professional), akhirnya Purvis dan pasukannya berhasil menembak mati John Dillinger pada 22 Juli 1934 ketika keluar dari sebuah bioskop di Chicago. Namun setelah kematiannya, masyarakat Amerika Serikat tetap mengenang kepahlawanan Dillinger dengan merayakan “John Dillinger’s Day” setiap tanggal 22 Juli.

Film “Public Enemies” di-shoot dengan menggunakan kamera HD (High Definition), sebuah langkah berani dari Michael Mann yang belum pernah dilakukan oleh sineas-sineas manapun (kecuali George Lucas dalam film Star Wars Episode I-III, namun masih disesuaikan sehingga menyamai kamera 35 mm). Penggunaan kamera sinema digital ini mungkin dengan tujuan untuk mendapatkan nuansa tahun 1930-an yang otentik dan genuine. Namun demikian, rasa-rasanya nuansa tahun 1930-an yang dihasilkan ternyata malah nampak terlalu bersih. Far too clean and too nice. Penonton tidak melihat adanya suasana krisis keuangan di jalan-jalan yang dilewati Dillinger. Padahal suasana itulah yang seharusnya ditekankan dalam film ini.

Christian Bale rupanya sulit bisa melepaskan citra Batman dan suara growling-nya yang sedikit mengganggu karakter Melvin Purvis yang diperankannya. Bertolak belakang dengan Purvis sebenarnya yang suka publisitas, karakter Bale disini lebih banyak menampilkan rahang yang kaku dan tanpa senyum. Demikian pula dengan Johnny Depp, walaupun upaya untuk menampilkan Dillinger sudah luar biasa, namun ada beberapa adegan yang hanya menampilkan wajah yang kaku tapi tanpa makna.

Last but not least, menurut saya skenario film ini justru kurang membuat penonton bersimpati dengan kedua tokoh utama seperti halnya film “Heat”. Dalam film “Heat”, kedua tokoh utama (De Niro dan Pacino) sama-sama mendapat simpati dari penonton walaupun salah satu diantaranya harus mati di akhir film. Simpati itulah yang rasa-rasanya tidak didapatkan dalam film “Public Enemies.”

Tuesday, August 11, 2009

Transformers: Sebuah Catatan dari Seorang Penggemar



Sudah menjadi tradisi di Hollywood bahwa ketika musim panas/summer para produsen film biasanya menampilkan film-film blockbuster yang menghibur, memberikan kesan yang mendalam kepada para penikmat film sehingga menjadi acuan untuk produksi film di tahun-tahun berikutnya.

Namun entah kenapa musim panas kali ini hampir tidak ada film yang benar-benar ”nendang”. Terminator Salvation dan X Men Origins: Wolverine yang semula dijagokan ternyata (menurut saya) hanya biasa-biasa saja dan tidak ada hal yang baru baik dalam hal cerita maupun special effect. Hanya Star Trek yang lumayan berani untuk menampilkan cerita yang lain dari yang lain, walaupun bagi saya pribadi masih ada beberapa lubang dalam ceritanya yang sampai sekarang belum dapat saya cerna, walaupun filmnya sudah ditonton beberapa kali. Oleh karena itu, harapan orang tertuju pada film Transformers: Revenge Of The Fallen (ROTF) yang sudah diramalkan menjadi film terdahsyat di musim panas 2009 ini. Hal ini kemudian didukung oleh trailer-trailernya yang cukup ”menjanjikan”. Terbukti midnight screening-nya saja telah menghasilkan lebih dari USD $16 juta, menjadi screening termahal no. 3 sepanjang masa, setelah The Dark Knight dan Star Wars Episode III: Revenge Of The Sith.

Namun demikian, ada satu hal yang cukup menggelitik. Sutradara film ini adalah Michael Bay, yang sudah sangat terkenal pandai mengelola ekspektasi publik. Dari pengalaman menyaksikan film Transformers yang pertama (2007), perasaan saya campur aduk begitu keluar dari bioskop. Menurut saya film itu gagal memenuhi potensi cerita yang seharusnya bisa lebih baik dari itu. Namun demikian, saya terpesona oleh pendekatan Michael Bay melalui special effect dan sinematografi yang benar-benar berkualitas tinggi dan jaw-dropping. Jadi apa yang saya rasakan adalah semacam guilty pleasure, seperti makan sate kambing dengan gajih/lemaknya, udah tahu nggak baik tapi tetap ingin nambah.

Mungkin bagi sebagian orang yang menganggap film pertamanya bagus banget, tentunya menganggap bahwa film yang kedua ini juga tidak kalah bagusnya. Namun saya sendiri (atau mungkin dengan sebagian orang juga) ketika akan nonton justru berharap-harap cemas, berdoa agar Michael Bay belajar dari pengalaman film pertama yang banyak sekali lubangnya, sekaligus menyajikan hiburan selama dua jam yang benar-benar mengesankan, tanpa adanya guilty pleasure.

Tapi apa daya, walaupun saya sudah menurunkan ekspektasi saya, ternyata setelah menonton ROTF saya masih merasakan guilty pleasure yang sama. Bahkan terus terang, secara skenario film ini malah lebih jelek dari pendahulunya. Walaupun, sekali lagi, secara teknologi film ini benar-benar luar biasa dan benar-benar memenuhi imajinasi penonton akan image dari robot-robot Autobots dan Decepticons. Apalagi terdapat satu adegan yang luar biasa, dan layak mendapatkan standing ovation untuk sinematografinya walaupun masih di tengah-tengah film. Adegan itu adalah Optimus Prime yang bertarung dengan 3 Decepticons sekaligus: Megatron, Starscream, dan Sideways.

Sebuah film akan menjadi benar-benar bagus apabila semua komponennya juga bagus. Apalagi yang namanya skenario merupakan nyawa dari sebuah film. Namun Michael Bay sekali lagi bisa mengubah paradigma itu. Nyawa dari Transformers bukan skenarionya, tapi special-effectnya dan hingar bingar action serta ledakan disana-sini. Jadi sejelek apapun skenarionya, orang-orang tetap akan datang untuk menonton Transformers dan ROTF. Itulah sebabnya Michael Bay dibayar oleh Steven Spielberg dengan honor tidak tanggung-tanggung, USD $75 juta untuk film yang pertama dan pastinya lebih tinggi lagi untuk film yang kedua.

Apa resep sukses Michael Bay dalam membuat Transformers dan ROTF sehingga orang-orang berduyun-duyun melihatnya, bahkan rela memesan tiketnya jauh-jauh hari? Secara cerita, perlu saya singgung sekilas disini, agak sulit untuk menganalisis jalan cerita ROTF yang sesungguhnya dibandingkan dengan film pertamanya. Pada film pertama, fokusnya sejak awal film jelas yaitu Allspark. Decepticons menginginkannya, Autobots dan para karakter manusia berusaha menghentikan supaya Decepticons tidak mendapatkannya. Simpel dan efektif. Sementara dalam ROTF, Bay berusaha mereunikan tokoh-tokoh utama pada film pertama (kecuali Jon Voight – sebuah kehilangan besar) namun gagal dalam menciptakan sebuah alur cerita yang memberikan motivasi atau tujuan kepada tokoh-tokoh utama itu. Yang ada hanya mereka lari dari sesuatu atau lari menuju sesuatu, sekali lagi tentunya dengan diiringi ledakan dan teriakan yang hingar-bingar disana-sini.

Minimnya plot tersebut ternyata juga diperparah dengan kurangnya ide-ide baru oleh penulis skenario Roberto Orci, Alex Kurtzman, dan Ehren Kruger. Bahkan ada beberapa adegan yang sengaja atau tidak sengaja menjiplak adegan-adegan dalam film-film misalnya Aliens vs. Predator, Terminator 3, Spider-Man 3, dan beberapa film lain. Selain adegan yang menjiplak, beberapa adegan juga merupakan repetisi dari film Transformers yang pertama, bahkan adegan utama di akhir film sangat mirip sekali dengan serangan Scorponok di gurun pasir pada film pertama.

Pada penokohon karakter manusianya, peran pembantu (karakter selain karakter utama) pada ROTF ternyata juga memiliki karakter sama dengan peran pembantu pada film pertama. Sementara dari karakter robot, menurut saya masih bisa dieksplorasi perselisihan kepemimpinan Decepticons antara Megatron dan Starscream, namun ternyata tidak dilakukan juga.

Disinilah letak kepiawaian Michael Bay dalam mengolah miskinnya skenario menjadi film dengan sense of rhythm tertentu sehingga menimbulkan alur cerita yang seolah-olah logis. Hasilnya adalah film bernuansa schizophrenic yang melompat-lompat dari komedi ke action ke melodrama secara cepat dari satu scene ke scene berikutnya sehingga penonton tidak sempat lagi menganalisis kesimpulan dari berbagai adegan itu. Dalam jam pertama, penonton diajak untuk mengikuti berbagai alur cerita tanpa ada kesempatan ”bernapas”. Dan ketika penonton diperkenalkan kepada suatu benda yang menjadi tujuan film dan ekuivalen dengan Allspark, disebut The Matrix (yang dapat membuka kunci dari suatu senjata pemusnah planet), ternyata film sudah memasuki menit ke-90 (dari total durasi film 140 menit).

Tentu saja kita dihibur dengan special-effect dan CGI yang top notch, hasil besutan Industrial Light and Magic (ILM) milik George Lucas. Namun demikian, seperti halnya film yang pertama, seluruh robot baik Autobots maupun Decepticons nampak dan bersuara seolah-olah sama, kecuali dua robot yaitu Optimus Prime dan Bumblebee. Tampilan yang sama dari berbagai robot itu seharusnya dibedakan oleh penekanan karakter yang khas dari masing-masing robot, namun rupanya hal itu tidak dilakukan oleh Bay. Alhasil ketika adegan berkelahi antar robot, penonton akan sulit sekali membedakan mana yang Autobots dan mana yang Decepticons (tentunya kecuali Optimus Prime dan Bumblebee). Berbicara mengenai penokohan robot, rupanya Michael Bay sendiri juga kurang jeli. Tokoh Devastator yang di film pertama berwujud tank dan sudah mati dibunuh oleh pasukan Lennox dan Epps, ternyata diperkenalkan kembali di akhir ROTF sebagai tokoh robot raksasa yang berbeda karakter sama sekali. Ketidaksengajaan atau ketidakkonsistenan?

Selain itu Bay juga mengulangi kesalahan pada film Transformers yang pertama. Hampir semua penonton bertanya-tanya apa yang terjadi dengan robot Decepticon bernama Barricade yang dapat berubah wujud jadi mobil polisi. Pada adegan perang di akhir film, tokoh ini tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Padahal adegan sebelumnya, dia digambarkan mengejar Autobots di jalan raya bersama dengan Bonecrusher dan Devastator (adegan dimana Optimus Prime membunuh Bonecrusher). Begitu juga dalam ROTF, karakter kembar dari Autobots bernama Skids dan Mudflap tiba-tiba mengalami nasib yang sama dengan Barricade, menghilang bak ditelan bumi.

Bagaimanapun, saya tetap harus mengapresiasi hasil penyutradaraan Michael Bay, terutama efek visualnya yang membuat seluruh penonton ternganga-nganga. Beberapa tokohnya juga berhasil mencuri perhatian selain Optimus Prime dan Bumblebee. Misalnya saja penampilan Kevin Dunn dan Julie White sebagai ayah dan ibu Sam yang menyegarkan atau Skids dan Mudflap (Skids disuarakan oleh Tom Kenny, pengisi suara Spongebob Squarepants) yang lucu dan menghibur.



Film Transformers: Revenge Of The Fallen memang ditujukan untuk kaum remaja laki-laki – serta orang dewasa yang belum sepenuhnya dewasa. Semua yang diimpikan oleh kaum remaja laki-laki ada disini: mobil keren, perempuan berbaju minim, ledakan, robot, perang, tentara, perang lagi, robot lagi,... dan komedi. Film ini adalah murni entertainment dan bila anda tidak peduli dengan plot dan character development, anda akan merasa puas.

So turn off your mind and logic... and go watch Transformers: Revenge Of The Fallen.

Monday, August 10, 2009

Ilmuwan Yang Terpinggirkan


Pasti sebagian dari kita ada yang pernah mendengar nama Nikola Tesla. Seorang ilmuwan kelahiran Serbia, 10 Juli 1856, 253 tahun yang lalu. Tapi ada pula sebagian yang belum atau baru mendengar nama itu. Beberapa bahkan hanya mengenal nama Tesla sebagai band rock yang populer di tahun 1990-an. Saya sendiri sebenarnya sudah mendengar nama ini sejak SMA, namun baru benar-benar berminat untuk melakukan background check setelah menonton film “The Prestige” yang dibintangi oleh Hugh Jackman, Christian Bale, dan Michael Caine.

Dalam film “The Prestige”, Tesla dikisahkan membantu salah satu ilusionis dalam melakukan pertunjukannya, dengan cara membuat sebuah mesin yang dapat mengkloning manusia secara instan. Tentu saja hal tersebut adalah fiksi semata, namun benak saya terusik untuk mengetahui lebih lanjut seberapa hebatkah ilmuwan bernama Tesla itu, sehingga pembuat film “The Prestige” itu terkesan sangat memujanya.

Pencarian saya memang hanya sebatas literatur semata, namun cukup bagi saya untuk menyimpulkan bahwa Nikola Tesla adalah ilmuwan jenius, namun agak terpinggirkan karena ide-idenya yang kontroversial. Selain berselisih paham mengenai hak cipta komunikasi nirkabel (radio) dengan Marconi yang akhirnya dimenangkannya, yang legendaris adalah perseteruannya dengan Thomas Alva Edison, penggagas sistem Direct Current (DC). Seperti kita ketahui, Tesla adalah penggagas sistem Alternating Current (AC). Belakangan, menjelang kematiannya, Edison secara eksplisit menyesali keputusannya untuk mengembangkan Direct Current dan mengakui kebenaran teori Tesla dalam hal Alternating Current yang lebih superior tersebut.

Setelah memenangkan “War of Currents” dengan Edison dan keduanya gagal mendapatkan hadiah Nobel, Tesla masih terus menggagas ide-ide yang sama sekali tak terpikirkan oleh orang lain, bahkan oleh orang pada jaman sekarang sekalipun. Tesla melakukan dasar-dasar pembuatan sinar X, dimana hasil-hasil penelitiannya di-share kepada Wilhelm Röntgen yang akhirnya mengadopsi ide itu dan mematenkan hak ciptanya atas namanya sendiri. Sayangnya Tesla tidak dapat membuktikan bahwa ide tersebut adalah idenya, karena peristiwa kebakaran pada laboratoriumnya pada Maret 1895.

Selain sinar X, Tesla juga meletakkan fondasi pengembangan pengetahuan robotic, remote control, radar, ilmu komputerisasi, laser, serta fisika nuklir dimana kesemuanya dia hanya sedikit mendapatkan apresiasi. Sedikitnya apresiasi ini ditambah dengan predikat ‘mad scientist’ dari ilmuwan lain akibat kepribadiannya yang eksentrik dan suka menyendiri. Namun di sisi lain kepribadiannya yang eksentrik, Tesla sangat gemar mempertontonkan hasil inovasinya kepada khalayak ramai, layaknya seorang pesulap. Dan kawan-kawannya justru sebagian besar dari kalangan seniman, antara lain Mark Twain yang seringkali menemaninya melakukan percobaan di laboratoriumnya.

Salah satu hasil ciptaannya yang mengagumkan adalah menggunakan bumi sebagai sumber energi untuk menghidupkan bola lampu, yang dibuktikannya pada percobaan di Colorado Springs pada tahun 1899. Selain itu, di tempat yang sama dia berhasil membuktikan teorinya bahwa energi yang dihasilkan oleh bumi tersebut dapat dipindahkan tanpa menggunakan kabel, yang kemudian dia namakan Tesla Effect. Lebih jauh lagi, teknologi nirkabel ini juga dia kembangkan lebih lanjut untuk menciptakan teori bahwa energi juga dapat dihasilkan secara tak terbatas oleh alam, termasuk dalam kondisi hampa udara di luar angkasa. Oleh karena itu, dalam teorinya tidak mustahil bahwa mobil, pesawat terbang, dan berbagai kendaraan lain dapat dijalankan dengan energi yang tak terbatas dan gratis. Tentu saja apabila teori ini diterapkan saat ini, akan memecahkan masalah energi yang sedang dihadapi oleh planet kita. Tentu saja ada sebagian pihak, terutama perusahaan-perusahaan minyak dan energi dunia yang akan sangat dirugikan.

Menjelang kematiannya pada 7 Januari 1943, Tesla sedang mengerjakan berbagai proyek pembuatan senjata dengan US War Department, menciptakan berbagai senjata yang tak terbayangkan oleh benak kita seperti teleforce weapon dan death ray. Setelah kematian Tesla dalam keadaan sendiri di hotel New Yorker, seluruh makalah penelitiannya disimpan erat oleh pemerintah Amerika Serikat dan dikategorikan Top Secret.

Pada akhirnya, penghargaan memang diberikan kepada Nikola Tesla setelah kematiannya oleh negara kelahirannya, Czechoslovakia yang memberinya gelar tertinggi yaitu White Lion, bandara Belgrade dinamakan sesuai namanya, dan beberapa tempat mengabadikannya dalam bentuk patung.

Tuesday, August 4, 2009

Angels, Demons, and Human Greed



Bagi yang telah menonton “Angels & Demons” yang dibuat berdasarkan novel Dan Brown dengan judul sama, tentu sudah mengetahui bahwa film ini adalah prekuel dari film/novel “The Da Vinci Code”, sebuah novel yang menggemparkan dunia karena terkait erat dengan ideologi dan kepercayaan agama Katolik. Tak jauh beda dari pendahulunya, “Angels & Demons” juga menyentuh aspek kepercayaan. Bagi penonton filmnya mungkin tidak begitu merasakan aspek itu, karena Ron Howard sang sutradara sudah berhasil mengemasnya dengan apik seperti halnya film Hollywood yang laris di pasaran, belajar dari kesalahan yang dilakukannya pada “The Da Vinci Code” yang dibuat secara eksplisit seperti novelnya. Padahal aspek keagamaan yang disentuh dalam “Angels & Demons” lebih berat, yakni menyangkut pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Pertanyaan ini utamanya ditunjukkan dengan percobaan LHC (Large Hadron Collider) oleh sebuah institusi internasional bernama CERN (Conseil Européen pour la Recherche Nucléaire/European Organization for Nuclear Research).

Institusi ini benar-benar ada dan lokasinya sangat luas karena masuk dalam 2 wilayah negara – Swiss dan Perancis. Begitu pula dengan proyek LHC yang terletak di bawah tanah dengan kedalaman 100 meter, dengan bentuk lingkaran yang panjang kelilingnya 27 kilometer. LHC yang berada di bawah pegunungan Alpen, merupakan percobaan fisika terbesar di dunia. Biaya konstruksi untuk pembangunan fasilitas ini mencapai USD$8,8 milyar yang didanai CERN bekerja sama dengan ribuan universitas dan laboratorium di seluruh dunia. Untuk apakah institusi dan proyek seluas dan sebesar itu?



Di dalam novelnya, Brown berusaha mendeskripsikan mekanisme kerja LHC sedetil mungkin, walaupun pada saat novelnya dibuat akselerator LHC belum beroperasi sama sekali (akselerator LHC baru dioperasikan pada September 2008). Oleh karena itu terdapat beberapa kesalahan mengenai deskripsi fungsi LHC tersebut. Misalnya saja, dalam kenyataan LHC tidak memproduksi anti-matter (bahan yang digunakan untuk membuat bom dalam novelnya).

Walau demikian, CERN memang memproduksi anti-matter secara rutin (bahkan sebelum ada LHC). Metode produksi itu sangat rumit, sehingga anti-matter yang diproduksi oleh CERN sampai saat ini masih sangat sedikit, tidak sebanyak yang ditunjukkan dalam film, apalagi sampai bisa dibuat bom. Ilmuwan menegaskan bahwa untuk membuat anti-matter sebanyak di novel itu, membutuhkan waktu milyaran tahun. Entah kenapa terjadi kesalahan persepsi tersebut, mungkin karena keterbatasan pengetahuan atau mungkin juga disengaja untuk menyamarkan kekhawatiran Dan Brown yang sebenarnya mengenai LHC.

Lalu apa sebenarnya yang diproduksi oleh mesin sebesar LHC itu? Ternyata dengan menggunakan LHC, CERN akan mereka ulang terbentuknya Tata Surya beberapa detik setelah Big Bang (ledakan dahsyat). Selama ini Big Bang diyakini sebagai teori terbentuknya jagad raya secara instan. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta berasal dari kondisi superpadat dan panas, yang kemudian mengembang sekitar 13.700 juta tahun lalu.

Para ilmuwan juga percaya bawa Big Bang membentuk sistem Tata Surya. Ide sentral dari teori ini adalah bahwa teori relativitas umum dapat dikombinasikan dengan hasil pemantauan dalam skala besar pada pergerakan galaksi terhadap satu sama lain, dan meramalkan bahwa suatu saat alam semesta akan kembali menyusut atau terus berkembang. Konsekuensi alami dari Teori Big Bang yaitu pada masa lampau alam semesta punya suhu yang jauh lebih tinggi dan kerapatan yang jauh lebih tinggi.

Dalam mereka ulang pembentukan Tata Surya itu, ilmuwan akan menguji coba bermacam prediksi fisika berenergi tinggi dengan melemparkan tembakan proton berkecepatan tinggi. Proton akan ”dibenturkan” melalui terowongan hingga bertabrakan dan terpecah menjadi bagian lebih kecil. Detektor partikel di sepanjang terowongan akan menganalisa hasil tabrakan itu. Hasil akhir dari tabrakan partikel itu dapat menyediakan pemahaman baru bagaimana partikel berinteraksi dan bisa menjelaskan hasil dari proses partikel setelah terjadinya Big Bang saat pembentukan jagad raya.

Tujuan akhir dari percobaan LHC ini ternyata disinggung sekilas dalam ”Angels & Demons”. Para ilmuwan di sana berharap dapat menjelaskan teori dari Peter Higgs, seorang fisikawan Inggris yang mengemukakan teorinya 40 tahun lalu bahwa terdapat energi berkekuatan besar yang membentuk massa alam semesta hingga kehidupan dapat terbentuk. Teori Higgs berawal dari keheranannya mengapa benda bermassa akan kehilangan wujud jika bagian-bagiannya dipecah dalam ukuran molekul, atom, dan quark. Dari sana, ia berpendapat bahwa materi pertama yang terbentuk di ruang angkasa tidak memiliki berat di awal pembentukan alam semesta. Namun, seiring bertambahnya waktu, materi semakin besar massanya. Hal tersebut hanya bisa terjadi jika terdapat ruang khusus yang menyatukan pertikel-partikel menjadi satu. Sebab, jika tidak, partikel-partikel akan beterbangan bebas di ruang angkasa dan tidak akan pernah membentuk bintang atau planet. Energi/materi/ruang yang sedang berusaha ditemukan oleh ilmuwan CERN itu disebut Higgs Boson, merupakan partikel misterius yang secara hipotesis diprediksikan ada dalam standar model fisika partikel, tapi tidak pernah diisolasi secara eksperimen. Dalam bahasa populer, para ilmuwan juga sering menyebutnya sebagai ”Partikel Tuhan” (The God Particle).

Tapi, kritikus menilai, LHC yang mampu mempercepat partikel hingga 99,99 persen kecepatan cahaya dapat memunculkan panas triliunan derajat. Selain itu, rupanya ada efek samping yang tak kalah mengerikannya apabila percobaan tersebut menemui sedikit kesalahan. Tumbukan-tumbukan partikel dalam LHC juga bisa menimbulkan apa yang disebut lubang hitam yang bisa menelan bumi. Namun setelah dilakukan penelitian oleh Komisi Keselamatan CERN, lubang hitam yang terbentuk akibat LHC masih aman dan dapat dikendalikan. Pertanyaannya: sampai kapan?

Kekhawatiran mengenai lubang hitam akibat LHC ini juga disampaikan sutradara J.J. Abrams dalam filmnya yang terbaru, ”Star Trek”. Di film itu dikisahkan bahwa Nero, sang tokoh antagonis menggunakan alat semacam LHC yang ukurannya lebih kecil untuk memproduksi sebuah ”red matter”, yang apabila ditembakkan ke sebuah planet akan membentuk lubang hitam yang menyedot seluruh kehidupan planet tersebut. Kekhawatiran ini mengingatkan kita bahwa semulia apapun tujuan ilmuwan yang bekerja dalam percobaan LHC, semoga mereka tidak terjebak dalam sifat keserakahan akibat penguasaan teknologi yang akhirnya akan berujung pada kehancuran, seperti yang dialami oleh Atlantis ribuan tahun yang lalu.