Have fun and enjoy yourself

Thursday, December 31, 2009

Forbidden Kingdom, Forbidden History, Forbidden Archaeology

Hampir di seluruh kebudayaan dan agama-agama dunia kita menemukan istilah “Dewa Langit” atau “Orang-orang dari langit” atau “Yang Di Atas” datang ke Bumi lewat angkasa, datang dari bintang, dan kembali ke bintang. Bahkan banyak dari kebudayaan-kebudayaan manusia yang menyebut secara eksplisit nama bintang asal muasal dari para “dewa” itu (misalnya penduduk asli Hawaii yang percaya bahwa kita adalah keturunan Dewa Langit yang berasal dari Pleiades). Dari ‘kekompakan’ budaya itulah kemudian muncul teori “Ancient Astronaut”. Teori ini tentu saja masih ditolak mentah-mentah oleh masyarakat dunia, karena juga menyangkut asal-usul berbagai agama, menjadi kepercayaan yang mendarah-daging.

Kali ini, kita coba menyoroti lingkup Asia dan khususnya China yang selama ini tidak banyak dipublikasikan.

“The Three Sovereigns” dari China Kuno

Sejarah China yang terekam secara ‘resmi’ dimulai dengan Dinasti Xia (2100-1600 SM), diikuti oleh Dinasti Shang (1600-1046 SM). Apa yang terjadi sebelumnya tidak ada yang mengetahui. Bahkan apa yang dikisahkan melalui mulut ke mulut mengenai apa yang terjadi sebelum Dinasti Xia, hanya dianggap sebagai cerita rakyat yang fiktif oleh masyarakat China modern. Tapi justru ketika cerita-cerita itu kita gabungkan secara holistik, kita akan menemukan “dewa” yang datang dari langit, bahkan teknologi maju dan juga perjalanan angkasa luar.

Para sejarawan menganggap Dinasti Shang secara keseluruhan adalah sejarah, sementara Dinasti Xia dianggap separuh sejarah dan separuh mitologi. Hal ini berarti bahwa sejarawan hanya menerima bukti yang sesuai dengan dogmanya, dan menolak bukti yang menentang. Tapi mengingat bahasa dan budaya China sudah berkembang secara penuh pada tahun 2000 SM, pasti sebelumnya ada ‘sesuatu’ yang terjadi. Mustahil bahasa dan budaya jatuh seketika dari langit tanpa ada proses pembentukan atau pembelajarannya.

Saat-saat ‘mitologi’ pra-Dinasti Xia seringkali disebut sebagai “The Age of the Five Rulers” atau “The Age of the Three Sovereigns and Five Emperors”, yang juga menimbulkan misteri: mengapa dibedakan antara ‘sovereign’ dan ‘emperor’?

Kata ‘emperor’ sendiri sebenarnya sebuah mistranslasi. Para sejarawan dan ahli bahasa sudah menyetujui bahwa asal muasal kata ini adalah:


yang bukan berarti “emperor” atau “kaisar”, tapi sebenarnya artinya ”setengah dewa” atau ”manusia super”.

Seperti tulisan-tulisan sebelumnya, pada berbagai kebudayaan dunia terekam dengan jelas kesamaan visi mengenai ’dewa’, ’manusia setengah dewa’, dan kemudian menurunkan manusia, contohnya adalah di Mesir dan Yunani kuno. Dan seperti halnya kebudayaan-kebudayaan itu, di China pun dikisahkan bahwa ketika manusia berkuasa, mereka memberontak bahkan menganggap keberadaan dewa-dewa mereka hanya sebagai sebuah legenda.

Kembali ke ”Three Sovereigns”, yang pertama adalah Penguasa Langit bernama Fu Xi. Penguasa ini adalah dewa penguasa pertama di China. Fu Xi dikisahkan adalah yang mengajarkan rakyat China menulis dan memperkenalkan ’I Ching’ (konsep kosmologi dan filosofi) kepada peradaban China kuno. Istri dari Xu Fi bernama Nuwa, Penguasa Bumi atau Dewi Bumi.

Mitos kemudian menyebutkan bahwa terjadi banjir besar yang menyapu Bumi, sehingga yang tersisa hanya Xu Fi dan Nuwa sendiri. Kemudian mereka pergi ke Pegunungan Kunlun (Tibet) dan disana meminta pertanda (melakukan komunikasi?) dari ”Dewa-Dewa Langit yang lain”. ”Dewa-Dewa” itu merestui mereka untuk memulai lagi peradaban manusia yang baru. Untuk mempercepat penciptaan manusia, mereka menemukan cara untuk menggunakan tanah liat dalam membuat bentuk manusia dan kemudian dihidupkan dengan cara yang ajaib.

Banjir itu sendiri telah dihentikan oleh Nuwa dengan cara memperbaiki “dinding langit”. Adapun penyebab banjir tersebut adalah dua dewa yang bernama Gong Gong dan Xiang Yao. Dikisahkan, Gong Gong merasa kecewa karena kalah dalam perang perebutan tahta di langit, kemudian dengan amarahnya dia ’menggeser bumi dan langit’. Sepertinya Bumi mengalami pergeseran kutub (pole shift) yang mengakibatkan banjir besar. Dan apabila diteliti, maka ada kemiripan antara kisah banjir besar ini dengan apa yang tertulis di kebudayaan Sumeria (pada tulisan berjudul ”Human Origins of The Seventh Kind”).

Yang menarik dan mirip dengan kebudayaan Sumeria, bahwa Xu Fi dan Nuwa divisualisasikan sebagai setengah ular, seperti halnya Enki sang Dewa dari Sumeria itu.

Fu Xi dan Nuwa

Peran tanah liat dalam penciptaan manusia juga disinggung dalam Islam, dan penelitian modern ternyata menunjukkan peran tanah liat itu dalam membentuk suatu kehidupan:

”Clay had already proved to be potentially important in the origin of life. In the 1990s biochemist James Ferris of Rensselaer Polytechnic Institute showed that montmorillonite can help create RNA. When he poured nucleotides onto the surface of the clay, the montmorillonite grabbed the compounds, and neighboring nucleotides fused together. Over time, as many as 50 nucleotides joined together spontaneously into a single RNA molecule. The RNA world might have been born in clay, Ferris argued, perhaps the clay that coated the ocean floor around hydrothermal vents. “The thing that’s interesting is that there’s this one mineral that can get RNA precursors to assemble into RNA and membrane precursors to assemble into membranes,”

Sovereign ketiga adalah Shennong, yang dijuluki Penguasa Manusia. Dialah yang mengajarkan manusia cara bertani, pengobatan medis, dan juga membuat teh. Beberapa legenda menyebutkan dia adalah leluhur dari bangsa China, yang menurunkan kaisar pertama China, Huang-Di (The Yellow Emperor). Shennong dapat membuat badannya transparan (invisible).

Tapi ada yang menguasai ketiga sovereign itu, yang disebut ”Jade Emperor”. ”Jade Emperor” ini tidak mempunyai wujud fisik yang nyata. Dalam Taoisme, ”Jade Emperor” menguasai seluruh keberadaan jagad raya. Mungkinkah ini Tuhan yang sebenarnya, atau Tuhan yang ditemukan oleh Ibrahim/Abraham?


Kaisar Mitologi dari China Kuno

Lima Kaisar/Emperor atau “Raja-Dewa” yang berkuasa setelah “Three Sovereigns” adalah:

  • The Yellow Emperor (Huang-Di)
  • Zhuanxu
  • Ku
  • Yao
  • Shun

Beberapa sumber menyebutkan nama Kaisar Shaohao sebagai yang pertama, bukan Huang-Di. Tapi kita akan bahas keduanya.

Huang-Di (2697-2598 B.C.) dianggap sebagai kaisar pertama China dan leluhur dari bangsa China. Tokoh ini masih diperdebatkan antara tokoh nyata atau mitos belaka. Berbagai sumber menyebutkan ia adalah seorang god-king, mythical-king, real king, a god-like-king, a “son of the heavens” atau half-god. Penulis menyimpulkan solusinya adalah di tengah-tengah: dia nyata, tapi bukan manusia. Menurut legenda, sesaat sebelum Huang-Di lahir terdapat sinar terang dari bintang Chi dan Konstelasi Ursa Major. Kelahirannya ditandai dengan suara gemuruh (thunderclaps) di angkasa. Huang-Di kemudian mempersatukan China dan dianggap sebagai pahlawan kebudayaan, memperkenalkan pengobatan tradisional termasuk akupunktur. Istrinya mengajarkan untuk membuat kain sutera. Dikisahkan bahwa ia tinggal di pegunungan Kunlun, di jantung Tibet. Setelah hidup dan berkuasa lebih dari 100 tahun, dia mempersiapkan diri untuk “kembali ke langit”. Kemudian, sebuah “Naga” turun dari langit dan membawanya pergi (mirip dengan kisah Elijah dan Chariots of Fire-nya). Beberapa sumber mengatakan dia tidak mati, namun hidup 200 tahun lagi di konstelasi Syuan-Yuan (Leo). Menariknya, Huang-Di juga meninggalkan sebuah buku “Bai Ze Tu” yang mendeskripsikan 11.520 jenis makhluk di jagad raya. Lebih jauh lagi, Huang-Di adalah guru dari Lao Tzu, penemu Taoisme.

Banyak sumber kuno yang menyebutkan bahwa Huang-Di adalah pencipta dari banyak alat mekanis yang aneh. Sebuah mesin yang bernama “the south pointing chariot” telah membantunya memenangkan berbagai peperangan. Selain itu ia juga menciptakan sebuah “tripod”. “Tripod” ini bertinggi 4 meter dan mempunyai “100 buah energi” dan juga “bersuara aneh”. Legenda menyebutkan bahwa alat ini mengendalikan naga yang terbang di langit. Untuk mengaktifkan alat ini, harus diarahkan ke konstelasi Syuan Yuan (Leo). “Tripod” ini juga digunakan untuk merekam data, karena dikisahkan bahwa Huang-Di merekam seluruh kehidupannya di dalam alat itu. Sementara itu, “naga” tidak digambarkan sebagai makhluk hidup tapi merupakan alat yang dapat terbang hingga matahari, dan umurnya lebih dari 3.000 tahun.

Dalam biografi Huang-Di menyebutkan bahwa “naga” yang dinamakan Changhuan memiliki kemampuan untuk menempuh jarak yang amat jauh dalam sehari, dan manusia yang menaikinya dapat mencapai umur 2.000 tahun. Sangat konsisten dengan teori relativitas Albert Einstein dan wormhole bukan?

Huang-Di dalam bentuk Terracota

Sementara itu, beberapa sumber juga menyebutkan bahwa bapak bangsa China adalah Kaisar Shaohao. Dalam Ensiklopedia disebutkan bahwa:

Legend says that his mother, a weaver goddess, was a beautiful fairy named Huange who fell in love with the planet Venus while drifting on the Milky Way.

Bukankah hal ini menunjukkan secara gamblang mengenai sebuah perjalanan angkasa luar (spaceflight)? Kemudian dalam mitologi China, hal ini dilengkapi dengan kisah bahwa ibu dari Shaohao sedang berada dalam “istana bintang” ketika kemudian dia menaiki “perahu” dan terbang di atas “sungai perak” (sinolog mengartikannya sebagai galaksi Bimasakti). Dia jatuh cinta kepada Jin Xing dan kemudian melahirkan Shaohao. Jin Xing diterjemahkan sebagai Planet Venus. Kemudian Shaohao dibawa ke Bulan, dan akhirnya ke Bumi. Bagian lain dari mitologi ini menyebutkan bahwa orang tua Shaohao memakan buah dari suatu ‘pohon’ yang membuat mereka hidup selamanya (ingat kisah ‘pohon terlarang’ dalam kitab suci?).

Shaohao tidak pernah dipasangkan dengan Naga seperti halnya Huang-Di. Dia lebih banyak diasosiasikan dengan “The White God”. Beberapa menyebut Shaohao adalah Dewa (God), yang lain menyebut dia sebagai cucu Dewa. Perlambangannya adalah sebagai burung Nasar, Phoenix, Rajawali, Elang, dan beberapa burung lain (yang secara mitologi merupakan musuh dari Naga). Makam dari Shaohao adalah piramida batu satu-satunya di China, berlokasi di daerah Qufu. Apakah hanya kebetulan atau tidak, tapi pendiri piramida terbesar di Mesir juga bernama Khufu.

Piramida Makam Shaohao

Urutan berikut dari “Five Emperors” adalah Zhuanxu, cucu dari Yellow Emperor (beberapa sumber menyatakan bahwa Shaohao adalah putra dari Yellow Emperor). Ke-4 Emperor mulai dari Zhuanxu ini nampaknya tidak memiliki asal-usul extraterrestrial, melainkan dilahirkan di Bumi. Bagaimanapun, mereka tetap diasosiasikan dengan berbagai karya inovasi. Zhuanxu dikisahkan menciptakan kalender, astrologi, mengubah masyarakat matriarki dengan patriarki, melarang praktek shaman/dukun, dan melarang pernikahan antar keluarga dekat. Dia memimpin klan Shi untuk bermigrasi ke Timur untuk menikah dengan klan Dongyi. Dari 98 tahun hidupnya, dia memerintah selama 78 tahun.

Tiga Emperor berikutnya yaitu Ku, Yao, dan Shun, memperkenalkan ketrampilan-ketrampilan baru kepada manusia, tapi tidak memiliki kemampuan “ajaib” seperti leluhurnya.

Disamping Jade Emperor, Three Sovereigns, dan Five Emperors, terdapat satu bentuk/wujud yang sebenarnya tidak ”masuk” ke dalam urutan cerita, tapi rupanya posisinya diletakkan di antara Jade Emperor dan Three Sovereigns, yaitu Tian. Terdapat kontroversi bahwa Tian memiliki arti “Supreme Being”, “God” (Dewa), atau “Heaven” (langit), dan beberapa interpretasi lain. Tapi menilik deskripsi tulisan untuk ”Tian”, nampaknya bukan berarti ”Supreme Being” atau Shang-Di (misalnya saja Jade Emperor yang metafisik sehingga tak pernah diwujudkan dengan gambar atau lambang apapun). Tulisan dari ”Tian” adalah sebagai berikut:










Menurut pakar sinology Herrlee Creel:

For three thousand years it has been believed that from time immemorial all Chinese revered T'ien , "Heaven," as the highest deity, and that this same deity was also known as Ti or Shang Ti 上帝. But the new materials that have become available in the present century, and especially the Shang inscriptions, make it evident that this was not the case. It appears rather that T'ien is not named at all in the Shang inscriptions, which instead refer with great frequency to Ti or Shang Ti. T'ien appears only with the Chou, and was apparently a Chou deity. After the conquest the Chou considered T'ien to be identical with the Shang deity Ti (or Shang Ti), much as the Romans identified the Greek Zeus with their Jupiter.

Lebih jauh lagi, Creel membuktikan bahwa awalnya bangsa China menganggap Shang-Di (yang metafisik) sebagai “Supreme Being”. Namun anehnya, seiring dengan waktu, entah bagaimana Shang-Di digantikan oleh Tian sebagai “Supreme Being”. Creel juga menunjukkan bahwa Tian bukanlah “Supreme Being” tapi hanya dirujuk sebagai “Gods” (plural) atau “manusia hebat”, atau (lagi-lagi) “Dewa-Raja”. Sebagai tambahan, Creel juga menunjukkan bahwa Tian juga merujuk sebagai “langit” dan bahkan juga “Orang-orang dari langit”.

Karakter penulisan kuno tadi kemudian berubah menjadi seperti ini:




dan mempunyai beberapa arti sebagai berikut:

  • Kening, kepala
  • Benda dari bintang, bintang
  • Langit
  • Angkasa luar
  • Dewa-Dewa
  • Raja, Yang Dituakan

Terdapat beberapa bahasa yang paralel dengan translasi kata Tian. Dari bahasa Mongol, “tengri” berarti langit, angkasa, sekaligus juga berarti dewa, dan raja. Bahasa Tibet “talen” atau “talyan” berarti langit. Dalam budaya Naga dari Burma dan India, “tin” berarti langit.

De-evolusi?

Awal mula China mungkin saja memiliki kondisi lebih maju dari periode-periode selanjutnya. Kalau memang demikian, kondisi tersebut adalah hampir sama dengan yang dialami oleh Mesir Kuno: piramida yang baru justru kurang megah dan kurang kokoh dibanding piramida yang usianya paling kuno di Giza. Ini tentu bertentangan dengan pemikiran konvensional mengenai evolusi maju dari kebudayaan dunia. Tipe de-evolusi juga terlihat di beberapa bagian di Amerika Selatan. Contoh lain adalah pengetahuan para ilmuwan di abad pertengahan sepertinya kurang dibandingkan para leluhurnya. Bangsa Yunani sebelum Masehi sudah menyebutkan bahwa Bumi berbentuk seperti bola. Namun doktrin abad pertengahan sesudah Masehi justru menyebutkan bahwa Bumi berbentuk datar.

Kasus de-evolusi memang jarang terjadi, namun kemungkinan di China terjadi kasus tersebut, melihat dari peninggalan-peninggalan peradaban kuno yang ditemukan/digali di propinsi Sichuan.


Patung di atas adalah patung seorang Raja di kerajaan She (nama sebelum Sichuan). Tinggi patung ini 2,62 meter dan umurnya 3.100 tahun. Patung Raja ini dimahkotai dengan motif matahari dan digambarkan berbaju tiga lapis perunggu yang dihiasi pola naga.

Selain itu, juga ditemukan beberapa peninggalan hasil penggalian di Sichuan antara lain seperti di bawah ini:

Bangsa China sampai sekarang masih tidak dapat memecahkan bagaimana bangsanya di masa lalu dapat menjadi sedemikian maju. Mereka juga tak dapat menjelaskan asal-usul benda-benda yang berumur 3.000 sampai 5.000 tahun itu, maupun keterkaitannya dengan sejarah yang mereka ketahui.

Lalu, di pegunungan Helan di China Utara terdapat petroglyphs atau pahatan di batu dengan berbagai motif. Dari pahatan-pahatan yang umurnya lebih muda, motif-motif gambarnya tidak sulit untuk diidentifikasi. Namun pahatan yang lebih tua justru menunjukkan motif yang misterius.

Pahatan-pahatan batu itu telah dilindungi oleh UNESCO sebagai peninggalan kaum nomad. Beberapa pihak memperkirakan umur pahatan itu adalah 3.000 hingga 9.000 tahun. Selain di pegunungan Helan, pahatan juga ada di Damadai, masih di China Utara. Beberapa ahli menyatakan bahwa pahatan ini dibuat pada 7.000 SM, namun ada yang berpendapat bahwa pahatan ini dibuat pada 30.000 SM.


Di area Damadai tersebut terdapat 4.200 pahatan, sebagian motifnya dapat kita kenal (ternak, pertanian, pernikahan, perang, perayaan), namun beberapa menunjukkan hal-hal yang aneh seperti benda terbang, piringan, dan makhluk aneh).


The Archer and The Moon Goddess

Terdapat mitos kuno China yang bernama “The Archer and the Moon Goddess” yang mengisahkan Dewa Matahari bernama Dijun dan istrinya yang memiliki 10 anak yang dapat terbang dengan mengendarai burung. 10 anaknya itu dikirim ke Bumi untuk mengerjakan berbagai tugas, namun kemudian mereka bosan kemudian memberontak terhadap orang tuanya.

Peperangan antara Dewa Matahari dan anak-anaknya itu dikisahkan menyebabkan bencana besar di Bumi: permukaan Bumi terbelah dilukai oleh sinar berkekuatan 10 matahari. Manusia terpaksa bersembunyi di gua-gua bawah tanah untuk melindungi diri dari sinar yang panas itu.

Tidak ada yang lolos dari sinar yang membakar itu.

Mitos itu mengisahkan dan mengingatkan kita kembali tentang aplikasi sinar laser atau sejenisnya. Seringkali dalam sejarah, karena keterbatasan pengetahuan manusia seringkali menyalahartikan teknologi sebagai sebuah fenomena religius.

Kembali ke kisah tadi, Dijun berulangkali memohon kepada anak-anaknya supaya tidak merusak Bumi, tapi rupanya tidak didengarkan. Seorang Dewa lain bernama Yi minta ijin kepada Dijun untuk menembak jatuh anak-anak pemberontak itu. Walau awalnya sang ayah keberatan, tapi akhirnya ia setuju. Dia memberi Yi persenjataan (busur ajaib dan panah merah), karena Yi dikenal sebagai pemanah ulung dan telah berjanji untuk hanya menembak burung-burung yang dinaiki oleh anak-anaknya, bukan menembak pengendaranya.

Yi ‘terbang turun ke Bumi’ dan memposisikan dirinya di gunung tertinggi kemudian mulai menembaki burung-burung itu. Yang aneh, mitos justru mendeskripsikan bahwa burung-burung itu berbentuk seperti matahari, dengan kata lain berbentuk piringan. Yi kemudian menembak salah satu burung, kemudian berikutnya tiga burung, dan berhenti untuk memberikan kesempatan yang lain menyerah. Ketika mereka tidak mau menyerah, Yi marah dan menembak satu per satu sisanya. Ketika 9 burung sudah tertembak jatuh, barulah anak yang terakhir menyerah kalah dan bersumpah tidak akan memberontak terhadap orang tuanya lagi.

Setelah menembak “9 matahari” dan menyelamatkan manusia, Yi ‘kembali ke angkasa’. Rupanya Dijun marah kepadanya karena menembak 9 anaknya. Akibat kemarahannya itu, Yi dan istrinya Chang-O diusir dan disuruh tinggal di Bumi. Sounds familiar? Yi ‘diusir dari langit/surga’, mirip dengan kisah Adam. Namun meski penduduk Bumi memujanya, Yi dan Chang-O tidak begitu saja dapat menyesuaikan diri karena sudah terbiasa dengan kehidupan dewa atau kehidupan surga.

Meski Yi berusaha untuk membuat kehidupan mereka nyaman dan bekerjasama dengan manusia, namun Chang-O tetap merasa jijik terhadap manusia dan juga manusia-manusia yang masih tinggal di dalam gua.

Chang-O khawatir kalau mereka terlalu lama tinggal bersama manusia, maka mereka berdua akan kehilangan keabadiannya. Kemudian ia membujuk suaminya untuk pergi ke tempat seorang Ratu di Barat yang tinggal di Istana Giok pada puncak pegunungan Kunlun. Ratu itu mempunyai ramuan ajaib yang bisa membuat seseorang abadi.

Dalam legenda China, pegunungan Kunlun adalah istana tempat tinggal berbagai Dewa dan Emperor, termasuk Huang-Di, sang Yellow Emperor. Ratu dari Barat itu dikisahkan sebagai pasangan Huang-Di (bahkan beberapa sejarawan mengidentikkan ratu tersebut dengan Ratu Sheba dalam Injil atau Ratu Balqis dalam Al-Qur’an).

Yi berjanji untuk mendapatkan ramuan itu dan pergi ke pegunungan Kunlun. Legenda menyebutkan mengapa manusia tidak dapat pergi ke Istana Giok itu. Istana itu dikelilingi oleh rawa-rawa dan juga gurun yang sangat panas sehingga tidak mungkin dilalui oleh makhluk hidup. Ratu dari Barat tersebut juga dilukiskan sebagai monster. Yang menarik, selain rawa dan gurun, istana itu dijaga oleh burung raksasa biru berkepala tiga yang selalu melayang-layang di atas istana. Bagaimanapun, Yi dengan kekuatannya berhasil menembus segala rintangan itu dan bertemu dengan sang Ratu. Setelah mendengar kisah Yi, rupanya sang Ratu berbelas kasihan dan kemudian memberikan 1 botol ramuannya.

Sang Ratu kemudian menjelaskan, apabila suami istri itu masing-masing meminum setengah botol, mereka akan hidup bahagia selamanya di Bumi. Namun apabila salah satu dari mereka meminum seluruh botol, maka yang meminumnya akan mendapatkan kembali kehidupannya di surga. Yi pun menangis dan berterima kasih.

Sekembalinya Yi, rupanya Chang-O tergoda untuk meminum seluruh ramuan itu. Ketika suaminya sedang berburu untuk mencari makanan, Chang-O meminum seluruhnya. Seketika tubuhnya ditarik oleh kekuatan langit, dan saat itulah ia merasa menyesal telah meninggalkan suaminya. Ketika dalam perjalanan ke langit itu, ia melihat bintang dan juga Bulan tak jauh darinya. Chang-O pun menyadari bahwa teman-temannya di langit tidak akan memaafkan perbuatannya karena telah meninggalkan suami. Oleh karena itu, untuk menghindari rasa malu, ia mendarat di Bulan. Tapi rupanya Bulan adalah tempat yang jauh dari indah, dimana permukaannya kosong dan abu-abu.

Untuk sebuah mitos yang berumur lebih dari 2.000 tahun, yang terakhir itu adalah deskripsi yang cukup akurat mengenai permukaan Bulan bukan? Dari sini dapat diduga bahwa mungkin mitologi adalah sekedar misinterpretasi dari sebuah technologically advanced civilization. Mitos ”The Archer and The Moon Goddess” juga merupakan salah satu ”perang antar dewa” (seperti dalam kebudayaan kuno lainnya di dunia), dimana saat itu teknologi sudah sedemikian maju dan terdapat sarana yang menghubungkan Bumi, Bulan, dan planet-planet lain yang merupakan tempat tinggal dari ”Dewa”.


The Sky Gods” Dalam Kebudayaan Asia

Mitologi Tibet

Terdapat 42 nama yang disebut-sebut menjadi penguasa Tibet sejak jaman purba. Tapi seperti halnya China, sejarawan menganggap sebagian di antaranya faktual dan lainnya fiktif. Lebih spesifik, 26 penguasa pertama adalah legenda, 27 sampai 32 historis, dan 33 sampai 42 adalah faktual.

“Emperor” yang pertama dari daerah yang kemudian dikenal dengan nama Tibet adalah Nyatri Tsenpo. “Tsenpo” sering diartikan sebagai “emperor”, tapi arti harfiahnya adalah “Son of Gods”. Sang penemu daerah Bod (sekarang Tibet) ini adalah keturunan dari Theurang, yang menurut agama Bön (pendahulu dari Buddhisme) adalah sebuah “jiwa dari angkasa luar”. Nyatri Tsenpo berwujud mengerikan; matanya menutup dari bawah ke atas (bukan atas ke bawah seperti manusia) dan di sela-sela jarinya terdapat sirip. Menurut legenda, dia adalah keturunan dari langit, karena setiap kali ditanya asal-usulnya dia selalu menunjuk ke langit. Kedatangannya adalah dengan mendarat di Gunung Yalashangbo. Karena wujudnya yang mengerikan itu, penduduk Tibet segera menjadikannya raja. Tahun dimana kekuasaannya berakhir menjadi awal penanggalan bangsa Tibet.

Menurut mitos bangsa Tibet, raja-rajanya selalu ‘terhubung’ ke langit atau bintang-bintang dengan menggunakan “dmu thag” yang artinya “tali angkasa” (wormhole?). Dmu thag inilah yang menarik Nyatri Tsenpo kembali ke langit di akhir kekuasaannya.

Mitologi Korea

Di Korea, dapat dikatakan tidak dikenal istilah mitologi. Kejadian-kejadian prasejarah hanya disebut sebagai “seolhwa” (artinya cerita atau laporan) dan diklasifikasikan menjadi tiga bagian: Shinwa, Cheonseol, dan Mindam.

Shinwa: Cerita mengenai Dewa, fokusnya ke “Dewa dari langit”.

Cheonseol: Cerita turun temurun, mengenai kisah kepahlawanan.

Mindam: Cerita rakyat biasa.

Kisah penciptaan di Korea dimulai dengan adanya “Sky Men” 천인(天人) dan “Sky Women” 천녀(天女) yang tinggal di benteng di bintang yang dinamakan Magoseong.

There were four Heavenly Men guarding each cardinal direction of the fortress, and they were Cheong-gung 청궁(靑穹), Hwang-gung 황궁(黃穹) who were children of Gunghwee, and Hukso 흑소(黑巢), Baekso 백소(白巢)who were children of Sohwee. They in turn married the four Heavenly Women, and gave birth to twelve children, who would become the ancestors of the humans. (wikipedia.org/wiki/Korean_folklore)

Kisah lainnya mengenai asal-usul Korea adalah “Kisah Oseon”. Menurut kisah ini, ada seorang Dewa bernama Hwanin yang tinggal di tempat ‘selain Bumi’. Para sejarawan mengidentifikasi Hwanin sebagai nama lain dari Indra, seorang Dewa yang dikenal hampir di seluruh dataran Asia, terutama di agama Hindu. Putra dari Hwanin bernama Hwanung dikisahkan melihat Bumi dan menangis melihat nasib manusia. Dia minta ke ayahnya untuk menjadi penguasa manusia supaya dapat mendatangkan kedamaian dan keadilan di Bumi. Hwanin mengijinkannya dan memberikan tiga asisten (“Heavenly Heirlooms”), 3.000 pembantu, serta 3 penguasa angin, hujan, dan awan.

Hwanung thus descended onto the world. He first arrived at the mountain-top of Mt. Taebaek and there established a city he called Shinshi 신시(神市), meaning City of the Gods. Hwanung took care of 360 human affairs, including agriculture, life, illness, justice, good and evil, etc. (pantheon.org/areas/mythology/asia/korean/articles.html).


Mitologi Vietnam

Ribuan tahun yang lalu di Linh Nam, tinggallah sebuah kelompok dengan kekuatan super. Pemimpinnya bernama Kinh Duong. Suatu hari ia bertemu Long Nu, anak perempuan dari Raja Naga Long Vuong. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah putra bernama Sung Lam yang mewarisi kerajaan ayahnya (Lac Long Quan: Dragon Lord of the Country of Lac). Dialah sumber dari semua cerita dan legenda kepahlawanan Vietnam.

Seperti halnya China, bangsa Vietnam juga memiliki kisah tentang Bimasakti, sebagai berikut:

Once upon a time there lived a very beautiful and charming princess, named Chuc-Nu. She was one of the many daughters of the King of Heaven.

Chuc-Nu was a very hard-working lady and she was often seen sitting on the shore of the Silver River to sew clothes for her younger sisters.

One day a young man herded his buffaloes to the river. His name was Nguu-Lang. He was very handsome. He fell in love with the princess at first sight, and she loved him, too. The King of Heaven, fully aware of their love, consented for her daughter to marry Nguu-Lang. But the couple had to promise to continue their work after their marriage.

They enjoyed being married so much they forgot their promise. The King became furious and ordered them to separate. Each of them would live on one side of the river and could only look at each other from across the river. The King allowed them to meet once a year in the seventh month of the lunar year. This month is called "The Month of Sudden and Short Showers". When they meet each other, they usually cry for joy. They cry even more bitterly when it is time for separation.

That is why it rains torrentially at the beginning of the seventh lunar month in Vietnam. If you happen to be in the countryside during this month, you do not expect to find any ravens. They are believed to have flown to the sky to help carry the bridge across the river for the reunion of Chuc-Nu and Nguu-Lang and if you look at the sky on clear nights, you may see the Silver River which looks like a long milky white strip. Therefore, it is called "Ngan ha" (The Milky Way) . (vietnam-culture.com/zones-4-1/Myths-and-Legends.aspx)

Ini adalah contoh dimana beberapa mitos memiliki akar yang sama dan diceritakan dengan sedikit perbedaan dari negara ke negara. Cerita Bimasakti di atas pada dasarnya sama dengan milik China, tapi dengan kandungan extraterrestrial yang berkurang.


Mitologi Filipina

Lebih jauh dari dataran China, kita masih dapat menemukan kisah mengenai asal-usul manusia. DIpercaya bahwa bangsa Filipina telah tinggal di tempat itu selama 30.000 tahun, dan mereka meneruskan cerita mengenai asal-usul mereka secara turun temurun.

Kisah Bathala

Pada awalnya terdapat tiga Dewa yang berkuasa: Bathala, penguasa Bumi, Ulilang Kaluluwa, ular yang hidup di awan, dan Galang Kaluluwa, dewa bersayap. Para dewa ini tidak kenal satu sama lain.

Arti harfiah dari “Ulilang” adalah “yatim piatu”. Ini menarik karena juga terkait dengan mitos-mitos lain yang mengisahkan ular yang dijadikan “yatim piatu”, sebuah kiasan dari “dibuang oleh Tuhan”.

Bathala dan Ulilang Kaluluwa dikisahkan sebagai Dewa-Dewa yang kesepian. Bathala ingin menciptakan manusia, namun ragu karena waktu itu Bumi masih ‘kosong’. Sementara itu, mitos Korea menyebutkan bahwa Ulilan Kaluluwa gemar mengarungi angkasa luar dan Bumi merupakan salah satu tempat singgah favoritnya. Mitos ini merupakan indikasi bahwa terdapat “Dewa Ular” (seperti Enki di Sumeria) yang melakukan perjalanan antar planet, seorang ET-Traveller.

Kedua Dewa itu akhirnya bertemu. Ulilang Kaluluwa merasa tidak senang dengan adanya seorang Dewa saingan, kemudian menantang Bathala untuk bertarung. Bathala mengalahkan Sang Dewa Ular kemudian membakar tubuhnya. Kemudian Bathala bertemu dengan Galang Kaluluwa dan berteman dengannya hingga bertahun-tahun kemudian, Galang Kaluluwa sakit kemudian mati. Pada saat itulah, Bathala memutuskan untuk menciptakan manusia.

Bathala kemudian dipuja dan disembah sebagai “Dewa Yang Maha Tinggi” oleh bangsa Tagalog (penduduk asli Filipina), dan sebagai pencipta alam semesta dan manusia. Tapi itu terjadi setelah beberapa waktu. Pada awalnya, menurut sumber-sumber yang ada, dia tidak dianggap sebagai “The Supreme Being” atau Tuhan yang sebenarnya. Bahkan dia dianggap hanya berlagak seolah dia adalah Tuhan.

Meskipun bahasa Tagalog lebih dekat ke Polynesia, tapi rupanya nama “Bathala” berasal dari bahasa Sanskrit, yaitu “Battara Guru”. Artinya bukanlah “Pencipta Alam Semesta”, melainkan “The Great Teacher”. Dikisahkan bahwa dia tinggal di Kaluwalhatian yang melayang di angkasa, mengirimkan Dewa yang kelasnya lebih rendah bernama Anito untuk berurusan dengan manusia.

Seperti halnya yang terjadi di bangsa Maya dan Aztec (Amerika Selatan), misi agama Kristen yang datang di Filipina kemudian mengubah Bathala menjadi Tuhan agama Kristen dan Anito menjadi malaikat dan santo, sementara wujud yang lain dianggap iblis.

Selain bangsa Tagalog, di Filipina juga terdapat bangsa Visayan yang memiliki Dewa dan mitos lain. Dewa tertingginya adalah Kan-Laon yang tinggal di Gunung Kanlaon. Dewa langitnya adalah Kaptan.


The Sky God” dalam Budaya Lain

Dalam Hindu Rigveda, “Sky Lord” dipanggil dengan nama Dyusa, yang diturunkan dari bahasa Sanskrit “Div” yang artinya “bersinar”. Varian lain dari nama itu adalah “Dyeus” yang berarti “ayah dari langit” atau juga “ayah yang bersinar”, dan kata itu menjadi dasar kata latin “Deus” (Tuhan), spanyol “Dios” (Tuhan), Yunani “Zeus” (Dewa tertinggi), dan Dewa Langit Slavic “Div”. Kemunculan Dyusa di angkasa selalu didahului/diikuti dengan suara petir yang menggelegar. Seiring dengan waktu, kemudian Dyusa diwujudkan sebagai banteng merah atau kuda hitam yang dihiasi mutiara di sekujur tubuhnya (perlambang dari UFO dengan lampu-lampu yang berkilauan?). Dikisahkan, akhirnya ia ditembak hingga hancur oleh anaknya sendiri yang bernama Indra.

Di Roma dan Yunani Kuno, “Dewa Langit” adalah Jupiter (Roma) dan Zeus (Yunani) dan dilambangkan dengan elang atau rajawali serta dikisahkan selalu terbang diantara awan. Rupanya sebagian besar mitos Asia juga menyebutkan adanya Dewa Elang, yang dikisahkan selalu berperang dengan Dewa Ular.

Dalam mitologi Maori, Rangi dan Papa adalah ayah dan ibu dari langit (menariknya, dewa-dewa langit selalu dikisahkan dengan wujud laki dan perempuan). Rangi dalam kebudayaan Hawaii disebut Wakea, di Rarotonga disebut Atea. Sementara di Cook Islands, Dewa Langit yang sama disebut Vatea, yang mirip dengan bahasa Jerman “Vater” yang merupakan asal-usul kata dalam bahasa Inggris “Father”.

Rangi dan Papa adalah orang tua dari banyak anak. Salah satu anaknya adalah Tumatauenga, yang ingin membunuh orang tuanya setelah ada suatu pertengkaran. Kakaknya, Tane membela orang tuanya. Dan untuk mencegah pembunuhan itu, Tane memisahkan orang tuanya, Rangi di angkasa dan Papa hidup di Bumi. Tapi pemisahan itu tidak dilakukan dengan mudah, karena Rangi dan Papa saling mencintai. Anaknya yang lain lagi, Twhirimtea, tidak setuju dengan tindakan Tumateunga dan juga Tane, akhirnya terbang bergabung dengan Rangi di angkasa, disertai keturunannya. Keturunan Twhirimtea itu dijadikan pasukan untuk memerangi saudara-saudaranya itu. Caranya, dengan mengirimkan banjir, topan, dan badai di permukaan Bumi. Laut bergejolak dan muncul ombak-ombak raksasa, sehingga Dewa-Dewa yang ada di permukaan Bumi pun panik. Salah satu dari Dewa, Tangaroa, tinggal di dalam laut. Anaknya, Punga memiliki dua anak yaitu Ikatere, yang diasosiasikan dengan ikan dan Tu-tu-wehiwehi, ‘leluhur dari ular’. Karena takut akan bencana yang diakibatkan oleh Twhirimtea, Tane memberikan Tumatauenga dan keturunannya kapal, kail, dan jaring untuk menangkap keturunan Tangaroa, supaya mereka dapat hidup. Tangaroa pun membalas dendam dengan menyapu kapal-kapal itu.

“War of The Worlds” itu berlangsung selama beberapa waktu, tapi pada intinya ternyata adalah sama dengan kisah-kisah banjir besar di belahan dunia lain, sebagai akibat dari peperangan para Dewa.

“Penguasa langit” yang paling penting di Mesir adalah Horus yang juga sering digambarkan sebagai elang atau rajawali bertubuh manusia, atau humanoid. Dia adalah putra dari Isis dan Osiris. Namanya berasal dari “hr w” yang tidak hanya berarti “elang”, tapi juga berarti “Yang Berada di Kejauhan”, “Yang Di Atas”, atau “Yang Berada di Angkasa”. Isis menyuruh Horus melindungi penduduk Mesir dari Seth, Dewa Kekacauan, Badai, dan Banjir. Pharaoh/Fir’aun selalu dianggap sebagai bentuk manusia dari Horus.

Bangsa Mixtec dari Mexico kuno adalah salah satu dari mereka yang mengakui terbuka bahwa leluhur mereka adalah extraterrestrial. Kata “Mixtec” sendiri berarti “tempat dari orang-orang yang berasal dari awan”. Mereka tidak menyebut leluhur mereka sebagai Dewa, tapi hanya “orang-orang yang turun dari langit”.

Mitologi Aztec, yang juga dari Mexico kuno, mengisahkan “elang” yang membunuh “ular” pada jaman dahulu kala. Asal-usul Aztec adalah bangsa Toltecs yang memuja Quetzalcoatl, sebuah ular berbulu yang terbang. Bahkan pada bendera Mexico sekarang, tergambar dengan jelas legenda tersebut.

Lambang Mexico

Selain itu masih banyak sekali petunjuk-petunjuk yang bisa kita dapatkan dari berbagai kebudayaan lain, namun rasanya tidak mungkin untuk dituliskan satu per satu. Tapi kisah-kisah di atas rasanya sudah cukup untuk membuat kita berpikir bahwa mungkin kita salah dalam menginterpretasikan sejarah kita sendiri sebagai manusia.

Naga Terbang: Kendaraan Para Dewa?

Pembahasan “sky-gods” dari China tentunya tak bisa lepas dari pembahasan mengenai naga, yang disebutkan dalam hampir semua literatur sejarah China, bahkan juga di seluruh bagian dunia.

Seperti sudah disebut di atas, naga ditengarai adalah deskripsi dari wujud pesawat terbang atau pesawat antar planet. Ide yang ada di kepala kita bahwa wujud naga adalah seperti ular bermata merah dan menyemburkan api kemungkinan hanyalah misinterpretasi dan distorsi seiring waktu terhadap wujud naga yang sebenarnya. Memang kedengarannya aneh, tapi lama kelamaan akan menjadi logis ketika kita membaca deskripsi awal mengenai naga dan perilakunya. Yang menarik, berdasarkan deskripsi awal tersebut, naga berwujud benda metalik bulat yang terbang yang dapat mengeluarkan api, bukan sebagai monster. Kesimpulan metalik tersebut adalah dari berbagai deskripsi warna naga: emas, perak, tembaga, perunggu, ”mengkilat”. Naga juga digambarkan bercahaya ketika gelap, dapat terbang, mendarat, kemudian take-off lagi. Bahkan naga juga dapat menyelam di bawah air, dan menjadi wahana transportasi dari berbagai makhluk/dewa yang dapat masuk ke dalam perutnya. Menyemburkan api? Ya. Kita coba bayangkan, bagaimana leluhur kita yang belum mengerti teknologi mendeskripsikan sebuah pesawat jet lepas landas. Mungkin dengan menggunakan bahasa: “it roars like thunder and spits fire”.

Dalam Internet-Encyclopedia on Dragons terdapat definisi sebagai berikut:

The dragon is a legendary creature with serpentine or otherwise reptilian traits that features in the myths of many cultures. The two most familiar interpretations of dragons are European dragons, derived from various European folk traditions, and the unrelated Oriental dragons, derived from the Chinese dragon ("long").

(wikipedia.org/wiki/Chinese_dragon)

Definisi yang simpel itu menurut penulis memiliki beberapa masalah. Misalnya, mengapa naga China dikatakan tidak ada hubungannya dengan naga Eropa? Siapa yang mengatakan demikian? Padahal, kalau kita menelusuri berbagai kebudayaan dunia, justru terdapat kesamaan mengenai mitos naga tersebut.

Apophis adalah ular raksasa dari Mesir Kuno. Azazel adalah naga yang disebut dalam kitab suci. Dalam mitologi Avestan, naga disebut Azhi Dahaka. Penguasa China Kuno disebut “Dragon Emperor”. Hikayat Inggris menyebutkan bahwa naga pernah menguasai Bumi. Gorynych adalah naga dari Rusia yang terkenal. Dalam mitologi Yunani kita kenal Hydra, makhluk yang mirip naga. Dalam literatur Yahudi terdapat naga Leviathan yang menguasai perairan. Dalam mitologi Aztec di Amerika Kuno terdapat ular terbang bernama Quetzalcoatl. Terdapat ribuan naga dalam mitologi Jepang. Di Hungaria, naga disebut Sarkany. Tiamat dan Apsu dari mitologi Babylonia adalah reptil. Naga dari Jerman Kuno adalah Lindwurm. Dalam mitologi Slavic, Zmey Gorynych adalah ular bersayap yang menyemburkan api. Suku Aborigin memiliki ular pelangi.

Jenis-jenis ular/naga itu ada hampir di setiap kebudayaan dan negara, bahkan hingga ribuan. Tapi pengetahuan modern konvensional menyebutkan bahwa mereka tidak saling berhubungan dan fiksi semata. Contohnya adalah Carl Sagan dalam bukunya “Dragons of Eden” (1977):

“The Myth of Dragons arose from the innate fear of reptiles that we share with other mammals”

Kalimat di atas menunjukkan arogansi ilmuwan modern yang seketika menghapus ribuan literatur yang telah dengan susah payah dikodifikasi oleh leluhur kita.

Benarkah Naga Berwujud Piringan?

Penulis menemukan beberapa literatur yang menyebutkan bahwa “naga” pada awalnya tidak dideskripsikan seperti ular atau reptil, tapi melainkan berbentuk seperti per (coil) atau piringan (disc).

One such early form was the pig dragon. It is a coiled, elongated creature with a head resembling a boar. The character for "dragon" in the earliest Chinese writing has a similar coiled form, as do later jade dragon amulets from the Shang period. (wikipedia.org/wiki/Chinese_dragon)

Menurut pandangan ini, leluhur naga dinamakan Zhulong atau “Naga Babi” yang digambarkan oleh bangsa China dengan bentuk “per yang membuka menjadi bentuk ular”. Bentuk naga Zhulong ini ditunjukkan melalui berbagai artefak kuno, dan saat ini pun dijual sebagai suvenir batu giok. Berikut adalah artefak kuno yang beberapa dari tahun 4.000 SM.


Apa yang menarik dari bentuk-bentuk asal naga ini bahwa tidak ada yang mirip dengan apa yang digambarkan saat ini dalam film-film, games, maupun kartun. Bayangkan bentuk seperti di atas yang melayang di angkasa. Apa yang kita lihat?

Secara harfiah, ternyata kata “Zhulong” juga berarti “menyinari” atau “bercahaya”. Mengapa dari “bercahaya” menjadi “naga babi”, penulis tidak mengetahui kronologinya. Apalagi ketika piringan/per metalik yang bercahaya itu menjadi monster hijau bermata merah, penulis juga tidak mengetahuinya. Bahkan di barat, asal-usul naga juga mengalami perubahan serupa.

Naga dalam bahasa Yunani adalah “drakon” (ular raksasa), berasal dari kata “drakein”, dan merupakan evolusi dari kata “derkomai” yang berarti “ia yang bercahaya”.

Evolusi arti kata naga di dunia barat itu ternyata konsisten dengan evolusi di China. Lebih konsisten lagi adalah mengenai deskripsi naga yang merupakan wahana transportasi dewa, dan naga bukanlah dewa. Mahabharata juga menyebut bahwa naga adalah kendaraan dewa. Pertanyaan penulis, mengapa para leluhur kita dari berbagai belahan dunia seolah-olah “kompak” menggunakan reptil untuk menggambarkan apa yang mereka lihat? Apakah wahana transportasi itu bentuknya mirip reptil, ataukah pilotnya yang menyerupai reptil? Memang tidak jelas juga, tapi mungkin kita bisa lebih memahami dengan melihat tulisan China kuno yang berartikan ”naga” berikut:

Sekarang karakter di atas dituliskan sebagai berikut.

Melihat bentuk asal karakter tersebut, dengan mudah kita dapat menginterpretasikannya sebagai humanoid yang melekat dengan sebuah wahana yang aerodinamis. Bahkan kita tidak melihat bentuk monster ular sebagaimana persepsi orang mengenai naga. Fakta yang menarik lagi dari ensiklopedia:

Upon his head he has a thing like a broad eminence (a big lump), called [chimu] (尺木). If a dragon has no [chimu], he cannot ascend to the sky. (wikipedia.org/wiki/Chinese_dragon)

Yang menarik dari kalimat di atas adalah kata “Chimu” yang ternyata juga nama dari kerajaan kuno di Peru. Kerajaan Chimu di Peru itu dikisahkan merupakan keturunan naga (kuil utamanya disebut “Huaca El Dragon”) dan ibukota kerajaannya bernama Chan Chan (mirip dengan nama China).

Dari sumber yang sama juga disebutkan hal berikut. It can fly among the clouds or hide in water (according to the Guanzi). It can form clouds, can turn into water or fire, can become invisible or glow in the dark (according to the Shuowen Jiezi). At the end of his reign, the first legendary Emperor Huang Di was said to have ascended to Heaven with his Dragon. Since the Chinese consider Huang Di as their ancestor, they sometimes refer to themselves as "the descendants of the dragon". This legend also contributed towards the use of the Chinese dragon as a symbol of imperial power. (wikipedia.org/wiki/Chinese_dragon)

Bangsa China mengenal banyak sekali jenis “naga”, dan penggambarannya cenderung menyerupai sepasukan pesawat dibandingkan dengan bentuk-bentuk fantasi. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

  • Tialong: berarti “Sky Dragon” atau “Star Dragon”, naga yang menarik kereta dewa-dewa dan menjaga tempat-tempat di angkasa.
  • Shenlong: berarti “God Dragon”.
  • Fucalong: berarti “Hidden Treasure Dragon”, naga yang masuk ke dalam gunung dan bawah tanah untuk menyembunyikan harta karun.
  • Dilong: berarti “Earth Dragon” (kebalikan dari “Sky Dragon”), naga yang hidup di sungai, danau, dan laut.
  • Yinglong: berarti “Naga yang berkomunikasi atau menjawab balik”
  • Panlong: Naga berbentuk per
  • Jialong: Naga bersisik
  • Huanglong: “Yellow Dragon”, kendaraan Emperor
  • Feilong: berarti “Flying Dragon”, yang terbang di angkasa menembus awan.
  • Qinglong: berarti “Azure Dragon” yang terhubung dengan beberapa makhluk dalam mitologi
  • Qilong: Naga yang kadang bertanduk, kadang tidak bertanduk
  • Longwang: berarti “Dragon Kings”
  • Hong: berarti “Rainbow Serpent”
  • Teng: Naga yang terbang tanpa kaki

Selain itu masih banyak lagi jenis naga yang lain. Kalau kisah-kisah ini berasal dari “ketakutan manusia akan ular” seperti yang didoktrinkan oleh para ilmuwan, maka akan menjadi tidak logis. Karena yang muncul bukanlah rasa ketakutan terhadap naga, melainkan justru rasa kekaguman manusia terhadap mereka.

Mitologi mengenai Naga lainnya di Asia

Sebagai pembanding, mari kita lihat literatur sansekerta (Mahabharata). Dalam Mahabharata, musuh dari “naga” (ular terbang) adalah “burung raksasa” bernama Garuda. Mirip dengan mitologi suku Aztec bukan? Tentu saja seperti halnya “naga” yang bukan ular secara harfiah, Garuda juga bukanlah burung yang sebenarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa Garuda adalah separuh elang, separuh manusia. Ia juga dikisahkan sangat kejam, bergerak cepat, dan memiliki ilmu bela diri. Garuda selalu diasosiasikan dengan gugus bintang Aquila (nama latin dari elang). Konstelasi itu juga dihubungkan dengan burung Nasar oleh bangsa Romawi kuno. Menariknya, kaum Buddha juga memiliki versi tentang Garuda yang dilukiskan sebagai “burung predator raksasa”. Mitologi Buddha menyebutkan bahwa Garuda memiliki tubuh berwarna emas, dan saking besarnya ketika terbang ia akan menutupi matahari.

Meski Garuda adalah musuh dari naga, namun dikisahkan bahwa saudara ibunya (yang bernama Vinata) adalah “ibu dari naga”. Suatu hari Vinata kalah bertaruh dari saudaranya yang naga itu dan terpaksa menjadi budaknya. Garuda ingin membebaskan ibunya dari perbudakan itu, ia pun mendekati naga-naga itu dan mencari tahu bagaimana cara membeli kembali ibunya. Mereka menyuruhnya untuk terbang ke ”Lautan Susu” (Milky Way?) dan mengambil ”amrita”, cairan keabadian. Dikisahkan bahwa amrita disimpan dan dijaga oleh dewa-dewa lain. Mereka ”memagari amrita dengan cincin api yang bercahaya” dan ”menghalangi siapapun yang akan mengambilnya dengan alat mekanik yang memiliki pinggiran tajam yang berputar”. Garudapun terbang ke tempat ”dewa-dewa bersemayam” itu untuk mencuri harta itu. Tapi para dewa menghadangnya, dan terjadilah peperangan di angkasa yang dahsyat. Akhirnya Garuda dapat mengalahkan pasukan mereka dan mencerai-beraikannya. Dia memadamkan cincin api itu dan berhasil menghindari pisau mekanis dengan cara mengecilkan tubuhnya. Dan Garudapun berhasil mengambil amrita dan menyerahkannya ke para naga, walaupun kemudian ia berhasil merebutnya kembali untuk dirinya sendiri.

Meski hanya merupakan bagian kecil dari kitab Veda, namun di bagian ini sudah menunjukkan bahwa bangsa India kuno dapat mendeskripsikan berbagai teknologi canggih, serta pesawat-pesawat yang dikemudikan para ”dewa”. Nampaknya di sini, informasi diwariskan dengan penyaringan yang relatif sedikit, tidak seperti kebudayaan-kebudayaan yang lain.

Tapi memang di China-lah dimana naga benar-benar dipuja-puja dalam jangka waktu yang cukup lama. Adalah suatu kejahatan untuk menghina naga. Ketika para ilmuwan di barat berusaha mengkategorikan mitologi sebagai hal-hal bersifat spiritual dan tidak ada hubungannya dengan realitas fisik, mitologi China justru menempatkan naga dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bahkan menurut mitologi kuno China:

· Naga mengawini manusia dan mempunyai keturunan (mirip dengan Nephilim)

· Naga dapat mengangkat beban yang berat

· Naga menyukai musik dan literatur

· Naga dapat terbang sangat cepat

· Naga dapat membunuh musuhnya

· Naga dapat bersuara berisik dan keras

Dalam literatur Veda, musuh dari naga adalah elang. Dalam mitologi China, musuh utama naga adalah harimau – tepatnya harimau terbang. Lebih tepatnya lagi, harimau terbang yang dikendarai oleh berbagai dewa, setengah dewa, maupun manusia. Menurut legenda Himalaya, Guru Rinpoche dikisahkan terbang ke berbagai area untuk menyelamatkan orang-orang dari naga dan siluman, sambil menyebarkan Buddhisme. Terdapat juga berbagai kepercayaan dan agama yang ditemukan sebagai sarana untuk memerangi ”ular” – agama Kristiani adalah salah satunya.

Di Bhutan, ”Druk” adalah sebutan untuk ”Thunder Dragon”. Dalam bahasanya, Bhutan disebut Druk Yul, yang artinya “Land of the Dragon”, pemimpinnya disebut Druk Gyalpo, raja kaum naga. Mengapa disebut ”Thunder Dragon”, karena menurut mereka suara naga terdengar seperti petir.

Di Jepang, kata tertua untuk naga adalah ”Tatsu” (mirip dengan kata kuno Jerman untuk naga: ”Tatzel-wurm”). Kata lainnya adalah ”Ryu”. Di Jepang kuno, selain dapat terbang, naga juga sering menyelam di bawah air. Kaisar pertama Jepang bernama Jimmu yang setengah dewa, adalah keturunan dari Toyotama-hime, seorang dewi yang menikah dengan Dewa Naga Ryujin. Jadi ada satu lagi pendiri negara yang berasal dari keturunan ”naga”. Mitologi Jepang juga menyebutkan bahwa ”naga” selalu berkonflik dengan ”harimau”. Tatsu dikisahkan dapat berubah bentuk dan menghilang.

Naga Korea juga dapat terbang, tapi seperti halnya di Jepang ia lebih sering berada di bawah air. Perbedaan karakteristik dengan China ini mungkin karena di China lebih banyak daratan dibanding perairan. Tapi di Korea, naga dikisahkan lebih banyak berbicara dan berkomunikasi, baik di antara mereka maupun dengan manusia. Perbedaan yang menarik lagi adalah naga di Korea selalu membawa sebuah orb yang dinamakan Yuh-Ji-Joo. Dikisahkan bahwa siapa yang menguasai orb ini akan memiliki kekuasaan untuk ”mencipta seketika”.

Menarik, karena menurut sebagian besar saksi close encounter, UFO juga berbentuk seperti orb.


Piringan Kuno dan Peradaban yang Hilang

Piringan Bi atau Pi adalah artefak berbentuk lingkaran yang berasal dari China kuno. Keberadaannya ditengarai sudah sejak tahun 4.000 SM. Piringan-piringan Bi yang tertua terbuat dari giok (sementara yang lebih baru ada yang terbuat dari kaca). Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Kata “bi” diterjemahkan sebagai “langit”, sehingga kita pun memperoleh istilah ”piringan dari langit”. Piringan-piringan yang original (umurnya tertua di antara yang lain) tidak berhias dan plain. Sementara yang umurnya lebih muda kemudian ditambahkan warna dan gambar. Bentuk ini kemudian mengingatkan penulis pada artefak “naga babi” yang juga melingkar dan berawal dari bentuk yang plain kemudian seiring waktu berevolusi menjadi bentuk yang lebih menarik. Di Mesir kuno juga terdapat “piringan matahari” yang menjadi wahana transportasi dewa-dewa.

Pendapat para sejarawan mengenai piringan dari langit ini juga beragam. Beberapa menjelaskan bahwa piringan tersebut merupakan symbol dari kekuasaan, karena hanya para penguasa yang dikuburkan bersama dengan artefak-artefak itu. Juga karena piringan-piringan itu diklaim sebagai cap kerajaan China dan dianggap sebagai “mandat dari langit”. Sementara itu, sejarawan lain menganggap artefak itu adalah simbol dari tata surya atau jagad raya dan juga symbol metafisik dari keesaan. Ada juga yang menganggap piringan itu digunakan sebagai alat oleh para shaman atau tabib. Penulis menduga bahwa fungsi dari piringan itu lebih dari ketiga pendapat tersebut di atas. Tapi yang jelas, secara umum para sejarawan sudah menerima teori bahwa piringan itu adalah perlambangan dari langit. Pertanyaannya, mengapa langit disimbolkan sebagai piringan… kecuali mereka bukan merujuk ke langit secara harfiah, tapi “wahana dewa” yang terbang di langit….

Tapi yang menarik perhatian penulis adalah fungsi piringan-piringan itu yang dikisahkan merupakan “alat komunikasi dengan langit”.

Bi discs were often considered to be “the Ear of Heaven”, and sometimes the hole in the disc was placed in front of the mouth so that the dead could speak to their ancestors. (Teng Shu-Ping / The Original Significance of Bi-Discs, 2000)

Fungsi itulah yang merupakan asal muasal penggunaan piringan itu oleh para shaman atau tabib. Perkembangan lain adalah ketika teknologi yang begitu simpel itu kemudian dispiritualkan sehingga menjadi alat mistis untuk berkomunikasi dengan mereka yang sudah mati. Mengapa demikian? Pada jaman budaya Neolithic itu, piringan-piringan itu dikuburkan bersama dengan orang yang baru meninggal karena piringan itu dipercaya dapat “membawa” mereka ke langit. Dan seperti yang disebutkan di atas, hanya kalangan penguasalah yang dikubur bersama dengan piringan-piringan itu. Hal ini nampaknya berhubungan dengan kepercayaan bahwa hanya Raja dan penguasa yang akan “diangkat ke langit”. Kepercayaan ini tentunya terkait dengan sejarah bahwa Raja-Raja itu juga “turun dari langit”.

Menariknya penguburan jenazah dengan piringan itu tidak hanya ada di China, tapi juga di Mesoamerica, mendukung teori adanya kontak antara China dan Amerika pada jaman kuno.


The Epic of King Gesar

Tampaknya pembahasan tentang China kuno tak lengkap apabila tidak menyebutkan karya seni “The Epic of King Gesar”. Dikatakan bahwa karya literatur tersebut merupakan yang terpanjang di dunia, mencakup lebih dari 20 juta kata. Ia merupakan karya literatur utama di Asia Tengah, menjadi dasar dari berbagai puisi, lagu, balada, opera, dan teater. Terdapat perdebatan apakah karya itu berasal dari China, Tibet, atau Mongolia – karena isinya yang melintasi batas ketiga wilayah itu. Ada juga perdebatan apakah King Gesar yang legendaris itu nyata atau fiksi semata, karena karya itu juga mencakup hal-hal yang ”realistis” maupun yang ”mitologi”.

Epik itu sangat menarik karena mengilustrasikan jaman prasejarah lain dari apa yang kita pelajari di sekolah-sekolah. Yang kita ketahui secara normatif, jaman prasejarah adalah masanya kaum nomaden yang berburu binatang. Namun apa yang dilukiskan dalam karya seni berumur lebih dari 1.000 tahun ini adalah perjalanan antar planet, pesawat ruang angkasa, gedung pencakar langit, sistem persenjataan canggih, perang antar dunia, penerbangan angkasa, permesinan, dan detil-detil yang umumnya kita temui dalam karya fiksi ilmiah modern. Meski karya ini ’baru’ berumur 1.000 tahun, namun dasarnya adalah legenda dan tradisi dari mulut ke mulut yang telah berlangsung ribuan tahun sebelumnya.

Bagian pertama dari terjemahan epik tersebut (dalam bahasa Inggris) juga dinamakan ”The First Branch”, berisikan detil sebelum Gesar lahir. Menurut pendapat penulis, kata ”Gesar” bisa jadi merupakan akar dari kata Tsar (Rusia) dan Cesar (Latin). Dikisahkan bahwa saat itu kaum ”Tenger” perang satu dengan yang lain. Terjemahan ”Tenger” atau ”Tengri” dalam bahasa Mongolia adalah ”Sky Gods” atau ”Sky Lords”.

Pembukaannya dimulai dengan deskripsi panjang dari seperti apa kehidupan di masa lalu (old days), termasuk gambaran ketika Sky Gods berdamai satu dengan lainnya.

When the many gods of the heaven did not compete with each other, When the many tenger of the skies did not quarrel with each other;

When fifty-five tenger were born from the Milky Way

Tema bahwa “Tenger” berasal dari Bimasakti/Milky Way selalu diulang-ulang dalam epik ini.

Han Hormasta Tenger’s white oldest son, Master of the peak of a high jutting mountain, With the power of the tornado, With a horse brown as a hawk, He who poisons the poisonous and has revenge on evil, Who sees good and stops evil, Was Zasa Mergen Baatar.

Beberapa Sky Gods diasosiasikan dengan banteng terbang, kuda terbang, dan elang dengan suara menggelegar, berputar-putar seperti tornado dan menimbulkan kehebohan ketika mereka muncul.

The middle red daughter,
Who steals the love of those who are in love,
Who takes away the thoughts of those thinking of their beloved,
Who flies in the still high skies,
She who is said to be the most beautiful in our world,
Was the maiden Duran Goohon.

The very greatest warrior of Han Hormasta,
With a strong and stiff bow and hot and swift arrows,
With a strong back and a powerful broad chest,
Traveling between heaven and earth
On his camel-colored pacer horse,
The eldest son of Booluur Sagaan Tenger,
Buidan Ulaan Baatar.

Dalam epik ini, juga disebutkan mengenai keberadaan beberapa "Dewa" dalam lusinan paragraf.

He who could swoop down and hit his target, He riding a blue steed and shooting arrows as white as the stars, Was the white oldest son of Oyodol Sagaan Tenger-- Erjen Shuumar Baatar.

Berbagai dewa dan wahana terbangnya seringkali dituliskan sebagai “hitting targets”. “Panah” yang ditembakkan selalu dilukiskan sebagai halilintar atau bintang-bintang putih. Oleh karenanya tidak sukar untuk membayangkan sinar laser dibandingkan panah kayu.

Who shows resentment and jealousy in the high silver heavens,

Beberapa sejarawan barat, dengan sudah memiliki asosiasi kepercayaan agama di barat, mencoba untuk mengidentifikasi dewa-dewa dalam epik Gesar sebagai “Tuhan”. Tapi dewa-dewa ini ternyata menunjukkan sifat cemburu dan dengki seperti halnya manusia.

Having done this he stepped quickly over the silver threshold, Like a mare going to her foal he did not stumble, He stepped over the silver threshold with grace, Like a mare going after her colt, He opened the pearly door beautifully.

Sepanjang epik tersebut, “heavenly abodes” atau tempat dimana dewa-dewa pergi ke langit selalu digambarkan bernuansa perak dan berkilauan. Ini dapat mengindikasikan adanya penggunaan metal untuk bangunan, infrastruktur, dan pesawat – dan menunjukkan kemajuan peradaban di masa itu.

The several gods of the western direction were trying to confirm their place of control, The several tenger of the eastern direction Fought and argued among themselves

Sebelum perang antar dewa dimulai dan manusia diseret ikut perang dengan keterpaksaan, ketegangan muncul di antara dewa itu.

Two leaders of the tenger greeted each other as equals, Two great gods stood close, looking at each other. They split apart a dried up tree with their cursing, They bent and broke a living tree with their arguing. A fight began, an event for all time, A fight that would determine history. In their struggling they kicked up clouds of black dust.

Epik ini memuat banyak sekali peperangan antar dewa, antara lain menggambarkan bagaimana mereka menendang “awan hitam” (sepertinya menggambarkan ledakan).

The three Hura tenger, drawing on their strength, Rushed forward yelling and making a loud noise. The three Buudal tenger, taking their power from lightning, Drew their bows from their cases. They circled around each other in the direction of the sun.


Bait di atas adalah contoh lain dari “panah” yang dihubungkan dengan halilintar.

The noise of battle reached the high heavens, The struggle made the earth to tremble.

Peperangan mereka selalu disertai dengan kerasnya suara dan getaran seperti halnya peperangan modern yang terjadi saat ini.

The white oldest son of Atai Ulaan Tenger, Sagaan Hasar Buhe, Whistling through the air like an arrow, Fell from the high serene heavens to the broad earth.

Bait di atas menarik karena menggambarkan salah satu wahana terbang tertembak dan jatuh ke Bumi, bersuara seperti orang bersiul. Bagaimana para leluhur tahu bahwa obyek yang berat akan mengeluarkan suara siulan ketika jatuh dengan tajam? Padahal suara ini baru diketahui oleh manusia modern pada saat penciptaan suara meriam, dan juga ketika perang dengan menggunakan pesawat dan bom pada Perang Dunia I.

Having been born in spirit upon the earth, They flew upward to the heavens, To the land of the fifty five tenger of the west.

Salah satu contoh lain mengenai orang yang terbang ke atas, menuju tanah dewa-dewa. Mengapa di hampir semua mitos dan legenda, ketika merujuk ke tuhan atau dewa selalu diilustrasikan dengan “pergi ke atas”?

His older brother having been dispatched so easily,
Thrown down to earth so disrespectfully,
Anger and hate boiled in his heart.

They soared like two hawks in battle.
The serene heavens shook to its highest skies,
The broad earth quaked down to its roots.

Shara Hasar Buhe,
Scattering like dust,
Blown by the wind like ashes,
Fell from the serene heavens to the broad earth.

They battled in the clouds

Throwing him down to earth ,
Where he became stuck in the ground!

Bait-bait di atas mencontohkan hal-hal sebagai berikut: Beberapa adegan peperangan secara spesifik menyebut dewa-dewa dengan “kuda terbang dan naga” saling berperang di awan dan “dilempar ke Bumi” kemudian “tersangkut di tanah”. Gampangannya, kita melihat adegan pesawat yang ditembak jatuh. Apabila epik ini hanyalah fantasi, bukankah kita akan disuguhkan paling tidak satu adegan dimana salah satu pesawat secara ajaib dapat terbang kembali? Tapi hal itu tidak ada sama sekali di epik ini. Dan apabila ini hanya fiksi, darimana para leluhur mendapatkan gambaran mengenai perang antar pesawat itu? Padahal mereka hanyalah bangsa Nomaden yang sehari-hari berburu hewan.

Many white gods lost their cunning, Ten thousand gods were confused.

Lagi-lagi kita melihat bahwa dewa-dewa ini bukanlah tuhan, melainkan makhluk seperti kita yang dapat kehilangan keberanian dan menjadi bingung, karena dampak perang.

She who came down from the Milky Way

Seperti halnya salah satu bait di atas, menunjukkan asal usul para dewa.

Two great tenger,
Two great gods,
Following the path of war,
Following the trail to battle.
Started fighting in the heights of the skies,
Battling on the wide expanse of the earth.

With his sixty six warriors,
Six hundred leaders of the army,
And six thousand soldiers,
Making preparations for battle

The serene high heavens became dusky,
On the broad earth it became completely dark.
In the great hot country they hit each other again and again,
On the mountainous broad earth they spilled each other’s blood.

Taking his silvery hard steel sword
Han Hormasta Tenger chopped off the neck of Atai Ulaan Tenger.
He spitted the neck on his sword,
Flinging it forcefully toward the earth.
Piece by piece he sent them
Tumbling to crash in the earth below.

Bait di atas menunjukkan deskripsi detil, hingga ke jumlah pasukan dalam peperangan.

Entering the golden court

“Golden court” adalah nama dari salah satu bangunan di langit dimana dewa-dewa datang dan pergi.

They led into the palace built in the sky.

“Langit” terdiri atas berbagai istana dan bangunan.

Taking her large shaman mirror She looked at what was happening in the upper world

Sebuah “cermin” yang memungkinkan melihat berbagai tempat yang jauh. Layar monitor?

Quick messengers Were sent out in ten thousand directions With the instructions: “Going quickly give your message to the tenger, Going skilfully speak to the gods! Meeting in the stars we will make a wise decision, Meeting on the moon we will make a beautiful decision!

Lebih dari selusin kalimat dalam bagian pertama epik ini yang menyebut bahwa Bulan adalah sebuah tempat pertemuan.

Although Father Esege Malaan Tenger,
Having reached old age
Had not attended any meetings for many years,
He came to this year’s wise meeting in the stars,
He went to this year’s beautiful meeting on the moon.
When he arrived,
When he stood before them
Leaning on the colorful golden table,
He looked about the gathering with his dark black eyes.
Many white gods were gathered together,
Ten thousand tenger sat crowded together.
Rich god princes were all packed in together.
Rich tenger princes were sitting in splendor.
They said, “Father Etseg Malaan is here to exercise his authority!”
Many white gods acclaimed him,
Ten thousand tenger made a great noise.

Bait di atas menyebut secara spesifik bahwa terdapat pertemuan di Bulan, yang dalam epik ini digambarkan sebagai markas dari Sky Lords.

Father Etseg Malaan Tenger Opened the meeting in the stars with wisdom, He opened the beautiful meeting on the moon with dispatch.

At the wise meeting in the stars,
At the beautiful meeting on the moon
,
They could not find any tenger
Who wanted to go to the earth, Who wanted to fight the 900 evil spirits and 90 demons.
The tenger said:
“If we go down to the earth,
We cannot return from there,
We cannot go back to the sky,
Becoming polluted we become mortal,
We will not be able to go home!”
Many tenger and gods became
Dejected and reluctant.
Father Etseg Malaan became angry,
His mouth gaping in fury,
He said what needed to be said:
“The biggest offender among you
Is Han Hormasta Tenger!
He having made the offense,
He needs to correct it himself,
Going down to earth,
He needs to make right what he made wrong himself!”

Dari berbagai bait dalam epik, nampak jelas bahwa tidak semua dewa memandang manusia dengan kasih sayang, melainkan dengan kesombongan.

This having happened,
The many gods come from the stars,
The wise tenger come from the constellations,
Were agitated and said:
“Han Hormasta Tenger
Being responsible for the wrong
Must go himself to the broad world!
Who is going to do the tasks of someone else!
Who is going to kill for someone else!
The person who has done wrong
Must correct his own mistakes!”
The tenger made a great tumult,
They shunned Han Hormasta Tenger.

Han Hormasta Tenger
Wanting to speak some words
Tried many times to get recognized.
Because the rich god princes
Were arguing among themselves
He was not able to say a word.
“It is necessary to quickly go down to earth,
It will be an order to send away the
Head of our family.
If the older brother I look up to,
The younger brother I look down to,
Are unwilling to go down from
Serene high heaven to the earth,
I will certainly go.”

Han Hormasta Tenger summoned his oldest son,
Who dwells in the high heavens,
Who has the power of the tornado,
Who rides a hawk brown horse,
Zasa Mergen Baatar,
His message commanded him to come and enter the assembly.

When Zasa Mergen had arrived,
Han Hormasta Tenger asked his oldest son
If he would be willing to go to the world below.

The oldest white son of Han Hormasta Tenger,
Zasa Mergen Baatar,
Did not like hearing the words
His father spoke, saying:
“Do you tell me you want your oldest son
To be sleeping outside in the forest?
I have no desire to be soaked by a week’s worth of rain,
I have no wish to be shot with the shafts of seventy arrows.
I have two younger brothers,
Send those two instead!”
He having said this,
Han Hormasta Tenger put on a severe face,
He spoke words trying to compel
His youngest son, Habata Gerel.

Orang yang akhirnya mau turun ke Bumi adalah yang kemudian dikenal dengan nama Gesar. Bagian ini kemudian diikuti oleh bagian yang kedua berjudul “Gesar comes Down to Earth”:

The evil beings that developed from the body of Atai Ulaan
Spreading death and suffering upon the earth,
With noses as big as stove pipes,
Two lines of snot running from their nostrils,
With black kettles full of tarry food,
Eating disgusting black food,
Having soleless boots,
Topless hats,
Tailless horses,

Bait di atas menunjukkan keadaan Bumi ketika kedatangan Gesar, dimana ia diutus untuk memperbaikinya. Keadaan yang menjijikkan itu akibat perang antar dewa yang menggunakan zat kimia.

When they had travelled further they came to a very dense forest.
Benevolent Sargal Noyon Khan said:
"Take the lead rope of the ox,
Walk before me and guide him.
Make a pot out of wood
And prepare some meat to satisfy my hunger!"
When he had said this
Altan Shagai prepared a wooden bowl.
Sargal Noyon Khan spitted meat on a stick and roasted it.
When the father had eaten he rode further,
The son followed after, still hungry.

Nah, bait di atas adalah salah satu bait yang tidak mencerminkan sky gods dan peresenjataan mutakhir. Seperti yang penulis sebutkan di atas, isi dari epik ini sebagian mitologi dan sebagian lagi realitas atau aktivitas normal.

They came to a taiga with tens of thousands of trees, Benevolent Sargal Noyon Khan Asked his son a question to test him: "What would you build with this fine wood?" The boy Altan Shagai, Being naive and innocent, said, "This would be fine wood to build a temple!"

Bahkan justru ketika Gesar sudah turun ke Bumi, bait-bait dalam epik ini lebih banyak menyentuh kehidupan sehari-hari, dan cenderung membosankan. Nampaknya dengan turunnya Gesar, para dewa seolah-olah “mengundurkan diri” dari urusan Bumi karena Bumi sudah rusak akibat peperangan antar dewa itu. Dalam istilah modern, kita menamakannya “non-interference-policy”. Tapi kemudian Gesar menunjukkan kekuatan ‘magis’-nya kembali ketika berperang dengan berbagai macam musuh di Kerajaan Ling. Sebelum dikenal dengan nama Gesar, ia bernama Nyuhate Nyurgai.

The boy Nyuhata Nyurgai,
In the late evening,
When it was darker than a fox fur,
Quietly pulled on his clothes.
Going outside he went quickly,
He sped along on his way.
His two pretty wives,
Following his trail,
Arrived at the foot
Of the world mountain Humber Uula.
When he had come to the mountain
Nyuhata Nyurgai turned into an eagle,
Flying straight up in the air,
He landed on the summit of Humber Uula.
The two pretty women
Were unable to ascend the mountain,
Trying to scale the cliffs
They slid back down.
When they gazed up at the summit,
An awesome thing was happening:
A man was standing there--
Seeing him from behind,
He was as massive as a yellow mountain,
He had the face of a real man,
Seeing him from the front,
He was as huge as a lofty mountain,
Having a dark red face,
White teeth like spades,
A strong broad chest,
A powerful back,
Bright eyes of many colors,
Black hair an ell long,
He was not a boy but a powerful being!

When they had seen this
The two pretty wives
Ran away toward home,
They were filled with wonder,
They will filled with astonishment.

They said, "This boy Nyuhata Nyurgai
This slimy faced child,
Is a being of great magical power.
Until now he has not revealed this to us.
Such an entity of great power
Is certainly come down from the upper world
.
Why has he let us suffer so?
Why has he deceived us?
Why did he deceive us?"
Thus they wept and complained.

Kemudian salah satu dewa “melihat ke Bumi di bawah” dan berkata tentang Gesar:

Is ready to receive his steed, He is ready to use his equipment, He is ready to ride with his thirty three warriors. Let us now send these down to the earth!"

Bait di atas adalah sebelum Gesar masuk ke medan perang dan menggambarkan bagaimana ia menerima “peralatan” dari dewa. Setelah mendapatkan peralatan dan juga wahana untuk terbang:

When this happened, A horse came down from the sky, Having a powerful body, With a body full of wisdom, Having hooves that never slip, Having a spine that could not be broken, With a body thirty ells long, With teeth three spans long, With a tail thirty cubits long, With ears three spans long

Paragraf di atas jelas tidak membicarakan tentang “kuda” yang sebenarnya, tapi yang dikendarai Gesar adalah sebuah obyek yang sangat besar.

His two spirited black eyes
Full of fire and lightning.
Beligen the bay horse
Travelled between heaven and earth,
Flying like an eagle,
Soaring like an eagle,
The sky trembled to the highest heaven,
The earth quaked to its roots,
Breaking off the tops of black mountains
Black dust was raised,
Treading against the summits of red peaks,
Red dust was raised.
Our hero Abai Geser,
The mighty hero has come!"
They cheered as they came to him.
Smiling as they looked up,
Overcome with emotion as they looked down,
They came to greet him.
The blessing of the western fifty five tenger
Had come down to earth.
By the fate of the five wise gods,
The red middle son of Han Hormasta Tenger,
Bukhe Beligte Baatar,
Had come down to the earth,
Coming to kill the evil enemies
Of men and living things,
Coming to bring peace and happiness
To the inhabitants of the earth.
Coming to restore order in the land of the Tugshen khans,
Coming to restore their good fortune,
The elders of the land honored him,
Giving him the name Abai Geser!
When Geser came down to earth
With his fiery steed,
He had all the things he needed
For war and battle.
Followed by his warriors,
He had taken on his true form!

Secara singkat, Gesar pergi ke puncak gunung untuk “memanggil para dewa” dan kembali dengan membawa sebuah pesawat dan peralatan untuk perang. Yang menarik, Gesar tidak hanya memenangkan peperangan (karena musuhnya tidak dapat melawan teknologi para “dewa”), tapi Gesar juga dikisahkan terbang ke berbagai penjuru dunia, antara lain Pegunungan Altai atau “the land of Uha Loson Khan”.

Abai Geser entered the land of Uha Loson Khan. It was sunny and full of plants--a beautiful place. Having mountains and hills--it was immense. It was another world, Like the earth of long ago.

Untuk melengkapinya, terdapat hal yang spektakuler:

They built a square palace Tall enough to touch the blue sky. They built a building That reached the edge of the heavens. Three beautiful houses Were built along the river, Homes in which the three wives could live, On the earth there were fields On which the plants could grow, In the sky there were towers, Reaching up from the earth below. On the outside they were gilt with silver, Making them appear as white as snow, Inside they were gilded with gold and silver, So that they appeared more lovely than gold. With seventy thousand windows below.

Sebuah bangunan kotak berwarna perak, dengan 70.000 jendela yang tingginya hingga mencapai angkasa? Kalau artinya bukan pencakar langit, lalu apa?

Penulis akan menutup dengan menyerahkan tulisan ini ke para peneliti untuk men-decipher epik yang nampaknya berbau “extraterrestrial” ini. Penemuan karya tulis bersejarah ini menunjukkan adanya kesamaan dengan apa yang berkembang di berbagai belahan dunia secara turun temurun. Harapannya adalah tulisan ini dapat memberikan inspirasi untuk melakukan studi komparatif terhadap berbagai teks sejarah dunia, yang diduga menceritakan suatu hal yang sama dengan perspektif yang berbeda.