Have fun and enjoy yourself

Monday, August 9, 2010

The Avengers Initiative: Unity in Diversity

Dalam dunia perkomikan, rasanya semua sudah paham bahwa terdapat dua kompetitor yang mendominasi pasar: Marvel dan DC. Para penggemar komik senantiasa menunggu kisah-kisah superhero dari kedua grup itu. Tokoh-tokoh DC “dipimpin” oleh Superman, sementara Marvel oleh Captain America. Masing-masing pun tak segan untuk “mematikan” tokoh utamanya. Superman mati di tangan Doomsday pada tahun 1992, sementara Captain America dibunuh oleh kaki tangan Red Skull tahun 2007 lalu.

Namun demikian, walaupun keduanya sukses menerbitkan komik dan memiliki penggemar fanatiknya masing-masing, ternyata hanya salah satu grup yang berhasil mewujudkannya ke dalam film dengan sukses dan konsisten, yaitu Marvel. Sementara DC hanya benar-benar menuai sukses semenjak Christopher Nolan menyutradarai “Batman Begins”. Serial Superman (sejak “Superman: The Movie” sampai dengan “Superman Returns”) maupun Batman (versi Tim Burton dan Joel Schumacher) memang menuai uang di Box Office, namun dari segi cerita masih kalah jauh dengan Batman-nya Nolan.

Sementara Marvel bak mendulang emas semenjak “X-Men” dimunculkan oleh Bryan Singer dan dilanjutkan dengan triloginya, walaupun sebelumnya sudah ada film Marvel juga yang sukses antara lain trilogi “Blade” (yang muncul pertama kali di komik Spider-Man). Menyusul X-Men, muncullah “Spider-Man” yang disutradarai oleh Sam Raimi dan jauh lebih sukses. “Spider-Man 2” dan “Spider-Man 3” juga meraup kesuksesan yang sama, hanya dengan kualitas cerita yang menurun drastis di film yang ketiga. Film-film Marvel yang lain seperti “Daredevil”, “Elektra”, “Hulk”, “Ghost Rider”, dua film “The Punisher”, dan dua film “Fantastic Four” biasa-biasa saja dari segi cerita, namun cukup untuk membuktikan eksistensi Marvel di dunia layar perak.

Era baru dari film Marvel Studios dimulai ketika Jon Favreau menyutradarai “Iron Man”. Sebuah konsep cerita yang down to earth dan berkesinambungan untuk pertama kalinya diterapkan, dimulai dengan memperkenalkan tameng Captain America, S.H.I.E.L.D dan Nick Fury dalam film itu. Kesinambungan ini dalam rangka mempersiapkan sebuah megamovie bertitel “The Avengers” yang rencananya dirilis pada tahun 2012. Dalam istilah Nick Fury: The Avengers Initiative.

Film Marvel Studios berikutnya, yaitu “The Incredible Hulk” me-reformat film karya Ang Lee tentang raksasa hijau itu. Louis Letterier, sang sutradara, memasukkan storyline yang menampilkan formula super soldier (yang berwarna biru a la Captain America), keterlibatan Stark Industries dalam pembuatan formula itu, serta kemunculan Tony Stark di akhir film. Bahkan pada deleted scene di DVD-nya, ada tubuh Captain America yang terperangkap es di Iceland.

Film “Iron Man 2” semakin mempertegas perkenalan dengan anggota Avengers. Peran Howard Stark (ayah Tony) dalam pembentukan S.H.I.E.L.D, perkenalan dengan Natasha Romanoff (a.k.a Black Widow), tameng Captain America (lagi), dan di akhir kredit ada Mjolnir, palu godam milik Thor.

“Thor” yang disutradarai Kenneth Branagh dan “Captain America: The First Avenger” yang disutradarai Joe Johnston akan rilis pada medio 2011 mendatang. Ekpektasi saya terhadap dua film ini sangat tinggi, untuk “Thor” karena disutradarai Branagh yang film-filmnya terkenal elegan, dan untuk “Captain America: The First Avenger” karena untuk pertama kalinya seorang superhero diterjunkan ke medan perang yang riil. Saya agak-agak berharap nuansanya adalah seperti “Band of Brothers” atau “Saving Private Ryan”. Moga-moga saja ekspektasi saya tidak meleset jauh.

Sementara DC Comics sedang berjuang keras untuk menghadirkan “Justice League of America” sejak 10 tahun yang lalu dan nampaknya selalu menemui kegagalan, tampaknya the road to The Avengers bakal berjalan mulus. Apalagi didukung dengan film-film Marvel Studios lain yang sudah dan akan muncul beriringan, seperti “X-Men Origins: Wolverine”, “X-Men: First Class” (yang akan disutradarai oleh Matthew Vaughn), “Spider-Man” (remake yang akan disutradarai Marc Webb dan dibintangi oleh Andrew Garfield), “Fantastic Four: Reborn” (remake), “Deadpool” (spin-off Wolverine), “X-Men Origins: Magneto”, “S.H.I.E.L.D”, “Black Panther”, “Iron Fist”, “Doctor Strange”, dan lebih banyak lagi.

Tapi mengapa Marvel Studios terkesan begitu fokus dan ambisius untuk membuat “The Avengers”?

Seperti halnya film-film tim Superhero lain (seperti Watchmen, League of Extraordinary Gentlemen, X-Men, dsb), “The Avengers” akan ditaburi superheroes dan aktor-aktornya yang terkenal, dimana masalah utamanya adalah ego masing-masing. “Perang ego” itu sudah dimulai dari sekarang, dimana berakibat penggantian pemeran Bruce Banner (Hulk) dari Edward Norton ke Mark Ruffalo.

Disamping ego, tentunya yang menjadi tantangan adalah storyline. Bagaimana menggabungkan tokoh dengan nasionalisme tahun 1940-an (Steve Rogers/Captain America), dengan seorang narsis berteknologi canggih dan modern (Tony Stark/Iron Man), Dewa Nordik yang religius sekaligus mistis, kuno dan kaku (Thor), seorang veteran perang (Nick Fury), agen-agen rahasia (Romanoff dan Coulson), seorang bekas pencuri (Hawkeye/Clint Barton), serta seorang berkepribadian ganda (Bruce Banner/Hulk) dalam satu scene? Itulah mengapa Marvel Studios mempercayakannya kepada sutradara Joss Whedon, yang dikenal sangat imajinatif itu. Karya-karya Whedon sebelumnya antara lain Buffy The Vampire Slayer, Toy Story, Atlantis: The Lost Empire, Alien Resurrection, Titan A.E., dan ikut menulis Speed, Waterworld, Twister, serta X-Men.

Persilangan budaya antar anggota tim itu yang akan menjadi fokus utama Whedon, disamping storyline utama yang sampai sekarang masih dirahasiakan. Tapi yang jelas, berikut adalah tokoh-tokoh yang akan mewarnai “The Avengers”:


Captain America (Steve Rogers)

Dibesarkan pada masa krisis tahun 1930-an, Steve Rogers ditolak masuk ke ketentaraan AS karena sakit-sakitan. Namun sense of nationalism-nya membuat pihak militer dan Stark Industries merekrutnya untuk program super soldier. Setelah disuntik serum Dr. Erskine, diapun menjadi prajurit AS pertama yang memiliki agilitas dan kekuatan fisik di atas manusia biasa (walaupun tidak bullet proof), dan diberi kode nama Captain America. Namun sayang, sebelum Erskine berhasil menduplikasi serum itu, ia dibunuh oleh Nazi. Kemudian Rogers diterjunkan ke beberapa misi pada masa Perang Dunia II, dan mengalami beberapa pergantian kostum. Ia memiliki partner bernama Bucky Barnes, dan juga pasukan elit bernama The Howling Commandos dibawah pimpinan Sgt. Nick Fury dengan tangan kanannya, Dum Dum Dugan. Belakangan diketahui ternyata Nick Fury juga mendapatkan suntikan formula khusus sehingga memperlambat penuaannya.

Musuh utama sang Captain adalah tangan kanan Hitler yang bernama Johann Schmidt, atau lebih dikenal dengan Red Skull. Red Skull dibantu oleh Arnim Zola, seorang ahli biokimia Nazi. Merekalah yang kemudian bertanggungjawab atas kejadian yang berujung pada membekunya Captain America di Iceland pada saat akhir Perang Dunia II. Tubuhnya kemudian ditemukan pada abad ke-21 dan langsung direkrut oleh Nick Fury (yang kini Jenderal dan telah menjadi pimpinan S.H.I.E.L.D) ke dalam The Avengers Initiative.


Iron Man (Tony Stark)

Sebagaimana kita ketahui, Stark adalah industrialis senjata canggih sampai dengan peristiwa penculikannya oleh kelompok Ten Rings di Afghanistan. Berkat wejangan dari Yinsen, teman satu sel yang sama-sama diculik, Stark tersadar betapa ia menyia-nyiakan hidupnya dan kemudian berniat untuk mendamaikan dunia dengan cara dan teknologi buatannya sendiri. Ia membuat berbagai baju besi untuk memberantas ketidakadilan, dengan kode Mark. Teknologi ini kemudian menjadi rebutan para teroris, hingga senat dan pihak militer AS. Kehidupan pribadinya transparan, dan ia tak segan membuka identitasnya sebagai Iron Man ke publik.

Namun ketenarannya bukannya tanpa konsekuensi, dan iapun tenggelam menjadi alkoholik. Oleh karena ketidakstabilannya ini, Nick Fury memutuskan untuk hanya merekrut Iron Man sebagai anggota The Avengers, sedangkan Tony Stark hanya berfungsi sebagai konsultan.

Ketika tameng Captain America hilang di Antartika, S.H.I.E.L.D memintanya untuk membuat duplikat tameng itu dari bahan adamantium (seperti bahan tulang belulang Wolverine), sebuah komponen logam yang didapatkan dari Wakanda, Afrika (tempat tinggal The Black Panther).


Thor

Thor adalah Dewa Petir bangsa Nordic yang arogan, anak Dewa Odin. Ia memiliki senjata berupa palu godam yang dinamakan Mjolnir. Karena kesalahan yang dibuatnya, Thor dibuang oleh Odin ke Bumi tanpa ingatan apapun bahwa ia adalah seorang Dewa. Di Bumi, ia dijadikan oleh ayahnya sebagai seorang dokter bernama Donald Blake. Setelah Thor menemukan rasa kemanusiaan dan merasakan jatuh cinta dengan Jane Foster, Odin memutuskan untuk mengirimkan Mjolnir ke Bumi, yang kemudian ditemukan oleh agen-agen S.H.I.E.L.D (pada akhir kredit Iron Man 2). Dalam waktu yang bersamaan, musuh abadi Thor yaitu kakaknya sendiri, Loki, berambisi untuk menginvasi Bumi dengan pasukannya.

Kalau kita simak, cerita komik Thor memang agak menyentuh aspek religius walaupun disamarkan, seperti dibuang dari surga, kebangkitan kembali, musuh yang berbau-bau satanik, dan sebagainya.


Hulk (Bruce Banner)

Sejak Perang Dunia II, militer AS dan Stark Industries berusaha mengembangkan formula super soldier. Formula itu baru diujicobakan sekali dan berhasil pada Captain America. Sebelum dapat diduplikasi, Dr. Erskine (sang pencipta formula itu) dibunuh oleh Nazi. Sayangnya sampai sekarang tidak ada yang dapat memproduksi ulang formula itu. Tapi pihak militer tak pernah menyerah, dan salah satu ilmuwan yang ditugaskan untuk membuatnya adalah Bruce Banner.

Suatu ketika Banner mengujicobakan formula hasil buatannya ke dirinya sendiri. Namun percobaan itu gagal, dan sejak itu ia memiliki karunia sekaligus musibah untuk menjadi seorang raksasa hijau setiap kali marah, atau ketika tekanan darahnya meninggi. Hidupnya selalu dalam pelarian dari Gen. Thunderbolt Ross, sang pemimpin proyek super soldier militer AS.

Mungkin dari semua karakter dalam The Avengers, Hulk adalah yang paling dikenal. Mungkin karena ia memiliki serial TV, baik live-action atau kartun. Tapi mungkin juga karena karakter Bruce Banner dengan kepribadian ganda adalah yang paling “manusiawi” dan dapat diterima oleh akal sehat. Dan pasti sebagian besar di antara kita berimajinasi untuk bisa menjadi Hulk ketika sedang marah bukan?


Hawkeye (Clint Barton)

Dalam komik, Hawkeye direkrut dalam The Avengers oleh Natasha Romanoff a.k.a Black Widow. Ia adalah seorang yatim piatu, eks pemain sirkus dan pencuri yang memiliki mata setajam elang dalam memanah. Untuk dapat direkrut ke dalam Tim, ia membuktikan keahliannya menerobos masuk ke dalam rumah Tony Stark yang memiliki sistem keamanan super canggih.

Hawkeye adalah satu-satunya karakter dalam “The Avengers” yang belum pernah difilmkan. Oleh karena itu, agak sulit memprediksi apakah Joss Whedon akan setia pada “pakem” dalam komiknya atau akan mengembangkan plot baru untuk Barton. Karakter Clint Barton akan diperankan oleh Jeremy Renner, sang nominator Academy Awards tahun 2010 untuk film “The Hurt Locker”.


Nick Fury

Nama Nick Fury dikisahkan dalam komik dikenal sejak era Perang Dunia II sebagai pemimpin pasukan elit The Howling Commandos, sampai ke era kini sebagai pemimpin S.H.I.E.L.D. Dulu, kepanjangannya adalah Supreme Headquarters, International Espionage, Law-Enforcement Division. Kemudian pada tahun 1991 diubah menjadi Strategic, Hazard Intervention, Espionage Logistics Directorate. Dan akhirnya pada film Iron Man, kepanjangannya berubah lagi menjadi Strategic Homeland Intervention, Enforcement and Logistics Division.

Rentang umur Fury memang panjang (bahkan ada yang menyebutkan lebih dari 100 tahun). Itu karena pada saat Perang Dunia II, ia juga menjadi bahan percobaan militer AS untuk sebuah serum (Infinity Formula) yang memperlambat proses penuaannya. Sebagai pendiri dan pemimpin S.H.I.E.L.D, ia telah bekerja sama dengan berbagai superhero untuk kepentingan global maupun domestic AS. Kali ini, ia tidak hanya merekrut satu atau dua superhero saja, tapi berbagai karakter dengan ego yang tinggi untuk dapat bekerjasama dalam The Avengers Initiative.


The Black Widow (Natasha Romanoff)

Walaupun dalam komik awalnya tokoh ini adalah antagonis, namun dalam “Iron Man 2” nampaknya Marvel Studios ingin mempersingkat cerita sehingga Romanoff dikisahkan langsung bekerja sebagai agen S.H.I.E.L.D dan ditugaskan untuk mengawasi sepak terjang Tony Stark dan Iron Man. Bagi penggemar komik tentunya tidak masalah, karena pada akhirnya Romanoff memang bekerja untuk S.H.I.E.L.D.

Dikisahkan terlahir di Rusia, Romanoff semula adalah agen rahasia Soviet yang juga dijadikan bahan percobaan bio teknologi dan psycho-technology, sehingga seperti halnya Nick Fury, ia juga memiliki rentang umur yang panjang. Ia bahkan pernah menjalin kasih dengan Bucky Barnes (partner Captain America ketika Perang Dunia II), yang ketika itu menderita amnesia dan bekerja untuk Soviet sebagai Winter Soldier.

Sayangnya peran dan sepak terjang Romanoff dalam Iron Man 2 terasa masih kurang, dan Scarlett Johansson masih terasa terlalu “manis” untuk memerankannya. Sebenarnya imajinasi saya akan Natasha Romanoff justru terpenuhi ketika melihat sepak terjang Angelina Jolie dalam “Salt”. Seperti itulah seharusnya seorang Black Widow beraksi.


Agent Phil Coulson

Nama Coulson muncul pertama kali di dunia Marvel pada film Iron Man, ketika ia diutus oleh Nick Fury untuk mengamati Tony Stark sekaligus mengajaknya bekerjasama dengan S.H.I.E.L.D. Walaupun perannya termasuk kecil, namun Marvel Studios nampaknya ingin memfungsikan Coulson sebagai “the glue of The Avengers”, dimana ia muncul hampir di setiap film anggota The Avengers (kecuali dalam film “The Incredible Hulk”).


So here they are, The Avengers assembled.

From left to right: Robert Downey, Jr. (Iron Man), Clark Gregg (Phil Coulson), Scarlett Johansson (Natasha Romanoff), Chris Hemsworth (Thor), Chris Evans (Captain America), Samuel L. Jackson (Nick Fury), Jeremy Renner (Hawkeye), Mark Ruffalo (Hulk), dan Joss Whedon.

Friday, July 16, 2010

Inception: The Best Cinematic Experience of 2010

Tahun lalu, kita disuguhkan aksi Batman vs. The Joker dalam film “The Dark Knight”. Setelah berhasil mengembalikan Batman pada kodratnya di “Batman Begins”, Christopher Nolan sebagai sutradara di film Batman keduanya ini juga dengan sukses menjungkirbalikkan konsep good guys vs. bad guys. Nolan juga mengungkapkan secara gamblang “grey area” yang selama ini jarang ditampilkan dalam film bertemakan superhero. Maka sudah sepantasnya film itu masuk dalam jajaran film terlaris sepanjang masa, dengan pendapatan lebih dari USD 1 Milyar.

Tahun ini, Chris Nolan kembali menghadirkan “Inception” yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio, Joseph Gordon-Levitt, Ellen Page, Cillian Murphy, Marion Cotillard, dan Ken Watanabe. Seperti halnya “Avatar”-nya James Cameron, “Inception” adalah ambisi Nolan yang digagas dan ditulis pertama kali 10 tahun yang lalu. Tak salah jika memberikan film ini sebagai masterpiece dari Nolan. Untuk memahami ceritanya, tentu kita harus mengerti arti kata inception itu sendiri. Inception adalah kebalikan dari extraction.

Ringkasnya, film ini mengisahkan Dom Cobb (DiCaprio) yang memiliki keahlian supernatural masuk ke dalam mimpi orang dan mengambil ide-idenya, lazim disebut the art of extraction. Keahlian itu membuat Cobb disewa oleh berbagai perusahaan untuk mencuri ide-ide pesaingnya, sementara ia sendiri adalah seorang pelarian yang diburu oleh Pemerintah AS. Ketika ia berniat pensiun dari pekerjaan itu, seorang pengusaha (Watanabe) menyewanya untuk melakukan kebalikan dari extraction, yaitu inception: menaruh suatu ide dalam kepala seseorang. Imbalannya, bebas dari segala tuntutan hukum dan kembali ke keluarganya.

Disini kita tidak sedang berbicara tentang hipnotis, tapi suatu hal yang lebih sophisticated. Pada tahun 1984 terdapat film “Dreamscape”, tapi ini hal yang berbeda. Dalam melakukan pekerjaannya, Cobb tidak dapat begitu saja masuk ke dalam mimpi seseorang dan mengambil ide dengan mudahnya. Ia harus dibantu oleh timnya yang bekerja a la “Mission: Impossible”. Seorang arsitek mimpi terlebih dahulu mengkonstruksi dunia mimpi yang digunakan untuk memancing sang korban sesuai keinginan Cobb, dan ketika masuk ke dunia itu Cobb juga harus didampingi oleh seorang back-up, kalau sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan.

Dengan budget sebesar USD 160 Juta, “Inception” dapat dikatakan sebagai gabungan antara film-film James Bond dan “The Matrix”. Kita dapat merasakan nuansa “The Blade Runner” di dalamnya, juga “Memento” dan “The Dark Knight”, dimana keduanya adalah karya Nolan sendiri. Tapi bukan berarti film ini tidak memiliki cirikhasnya sendiri. Kalau “Memento” menggunakan metode storytelling yang mundur, maka dalam film ini Nolan menciptakan sebuah dunia mimpi dengan berbagai tingkatan (layer). Dengan kata lain, dunia mimpi di dalam dunia mimpi di dalam dunia mimpi. Yup, benar itu bukan salah ketik. Kekuatan masing-masing tingkatan mimpi itu tergantung pada stabilitas tingkatan sebelumnya, sehingga tantangan bagi Nolan adalah membuat script di dalam script di dalam script yang non-linear, tapi tetap harus terhubung secara benang merah satu sama lain.

Jadi saran untuk penonton film ini adalah: kita harus menontonnya lagi dan lagi untuk memahami esensi ceritanya. Jangan khawatir mengenai durasi film yang 2 ½ jam, karena pace film ini sangat cepat dan konstan. Bahkan waktu selama itu masih akan terasa kurang, dan itulah salah satu keahlian Nolan untuk menarik kita untuk menonton filmnya kembali. Menurut saya, ceritanya sangat menghibur sekaligus menantang untuk berpikir. Dan semua dilakukan Nolan tanpa embel-embel “3D”.

Pengalaman menonton “Inception” tentu saja berbeda dengan menonton “Mulholland Drive” atau “2001: A Space Odyssey”. Kedua film itu adalah masterpiece karena atmosfernya terbuka akan semua interpretasi. Sedangkan makna cerita “Inception” justru sangat jelas, keajaibannya adalah bahwa penonton tidak bisa menebak akhir ceritanya (walaupun adegan klimaksnya akan menghantui benak penonton sehingga memunculkan multi interpretasi juga).

Film ini mungkin tak akan dapat menyamai “The Dark Knight” dalam hal pendapatan Box-Office. Tapi tidak seperti “The Dark Knight” yang dicuekin di ajang Academy Awards dalam kategori Best Picture, rasanya keterlaluan apabila para juri di American Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) tidak menominasikan “Inception” dalam kategori tersebut.

Oh ya, Nolan juga mengeluarkan komik “Inception: The Cobol Job” sebagai prolog sebelum filmnya diluncurkan. Meski banyak yang mengatakan prolog tersebut tidak begitu esensial, tapi bagi yang berminat, dapat meng-klik website ini: http://movies.yahoo.com/feature/inception-comic.html

Tuesday, July 13, 2010

Toy Story 3: When grown-ups and children communicate

Saya selalu bersikap skeptis jika hendak menonton sequel sebuah film. Bukannya tidak setuju akan adanya sequel, tapi menurut saya, sequel adalah tantangan besar bagi sang pembuat film untuk lebih mengeksplorasi dan menggali lagi film originalnya. Tentunya dengan kualitas yang lebih baik dari pendahulunya itu.

Demikian pula dengan Toy Story 3, yang baru-baru ini saya tonton. Dengan niat untuk menemani anak mengisi liburan, terus terang saya tidak memiliki pengharapan apa-apa dari film ini. Tapi justru dengan berangkat dari “pikiran kosong” itu, Disney dan Pixar berhasil membuat saya berpikir dan bernalar setelah menonton film ini.

Menurut saya, film ini adalah salah satu film animasi yang berhasil mengemas banyak sekali elemen-elemen film horror dan suspense thriller dengan apik. Begitu apiknya, sebagai orang tua kita mungkin tidak sadar bahwa secara psikologis elemen-elemen itu langsung masuk ke pikiran bawah sadar anak-anak kita. Tidak berlebihan jika saya tangkap nuansa film noir mengenai penjara. Dan tak heran, karena ternyata belakangan diketahui bahwa produser dan para pembuat film Toy Story 3 ini memperoleh inspirasi dari perjalanan mereka ke… Alcatraz.

Sedikit untuk mengingatkan, walau film ini diawali dengan suasana cerah seperti halnya 2 film pendahulunya, namun kisah berikutnya segera berbalik ke kesedihan ketika Andy beranjak dewasa dan memutuskan untuk menyimpan mainan-mainan itu, kecuali Woody. Setelah “insiden kantong sampah” terjadi, mulailah segmen film horror ketika mainan-mainan itu masuk ke Sunnyside Daycare, sebuah tempat penitipan anak yang sempat memberikan harapan kepada jagoan-jagoan kita.

Tapi tak lama setelah masuk ke Daycare itu, mereka menyadari bahwa mainan-mainan disana diatur oleh mainan beruang diktator psikopat jahat berwarna pink yang bernama Lotso. Karakternya adalah gabungan dari Strother Martin dalam “Cool Hand Luke” dan Big Daddy dalam “Cat on a Hot Tin Roof”. Ia memiliki tukang pukul Big Baby, mainan bayi bermata satu yang mirip dengan Chucky dalam “Child’s Play”, dan juga tangan kanan sekaligus Humas-nya yang bernama Ken, mainan metroseksual yang memikat hati Barbie. Lotso mengatur kerajaannya itu dengan tangan besi, dan tidak segan-segan untuk mematahkan mainan apapun yang berusaha melarikan diri darinya.

Ternyata bukan itu saja kengeriannya, karena ternyata anak-anak yang masuk Daycare itu tak kalah brutalnya. Bagi kita para orang tua, mungkin tidak ada masalah karena begitulah kelakuan bayi terhadap mainannya. Tapi untuk anak-anak yang menonton, mungkin mereka tidak bisa menghapus bayangan ketika tokoh-tokoh utamanya di Toy Story diludahi, dipukuli, dan bahkan dimutilasi.

Mungkin seperti saya yang sampai sekarang tidak dapat menghapus bayangan adegan penyiksaan di film “Pengkhianatan G30S/PKI”.

Akhirnya, adegan klimaks dalam film ini jelas lebih “kelam” dari adegan apapun dalam serial Toy Story. Anak-anak diperkenalkan dengan konsep kepasrahan dan keberanian dalam menghadapi ajal.

Selepas menonton Toy Story 3 sampai saat ini, anak saya yang umurnya 7 tahun masih sering bertanya mengenai beberapa adegan “horror” dalam film itu. Walau saya sudah mencoba memberikan berbagai jawaban, tapi pertanyaan itu tetap saja dilontarkan oleh anak saya di kemudian hari. Pertanda bahwa ia belum dapat menerima jawaban-jawaban saya, serta pertanda juga bahwa Disney dan Pixar telah berhasil merasuki anak saya dengan adegan-adegan “horror” itu. Saya masih berpikir mengapa film ini mendapat rating G, sementara Wall-E dan Up mendapat rating PG.

Walau demikian, saya menangkap banyak unsur positif dari film ini. Secara kilas balik, dua film pertamanya terfokus kepada konsep dasar pertemanan, kecemburuan, dan kerjasama. Toy Story 3 lebih menyoroti aspek perpisahan, hilangnya keluguan anak-anak, dan hilangnya harapan untuk memiliki orang lain sebagai teman.

Selain itu, film ini juga berkisah mengenai pendewasaan serta tak terelakkannya sebuah perubahan – bahwa perubahan adalah fakta kehidupan, baik itu ke arah baik maupun buruk. Dan seperti yang saya tulis di atas, film ini juga mengajarkan tentang kepasrahan dalam menghadapi kematian, dan bahwa kematian akan lebih mudah dihadapi ketika kita sedang bersama orang yang kita sayangi.

Dan pada adegan ending Toy Story 3, barulah penonton diingatkan kepada bagaimana film originalnya dapat menyentuh hati para penggemarnya. Wajar jika beberapa penonton dewasa menitikkan air mata ketika melihatnya.

Setelah menangkap esensi tadi, segera saya sadari bahwa ternyata Toy Story 3 memberikan kesempatan kepada saya untuk berkomunikasi dengan anak saya mengenai hal-hal yang berat dalam hidup ini. Dan ketika saya melihat perkembangan sinetron dan hiburan di sekitar kita sehari-hari yang hanya berorientasi uang, uang, dan uang, menonton film ini mengingatkan saya bahwa masih ada hiburan yang membuat saya tertawa, menitikkan air mata, sekaligus berpikir dan bernalar.