Have fun and enjoy yourself

Monday, May 6, 2013

Iron Man 3: Disney’s Stark


Sebenarnya saya ingin menulis review ini sejak seminggu yang lalu, setelah menonton filmnya pada saat premiernya di Indonesia, 25 April 2013. Tapi saya merasa kurang sreg apabila mereviewnya tanpa membahas beberapa detil dari Iron Man 3. Dengan kata lain, mau nggak mau saya harus mengungkap beberapa spoiler. Jadi bagi pembaca yang tidak ingin membaca mild spoiler tersebut, saya sarankan untuk berhenti membaca post ini disini.
 
Iron Man 3 disutradarai oleh Shane Black, yang selama ini terkenal sebagai screenwriter untuk berbagai film-film ternama antara lain Lethal Weapon, Lethal Weapon 2, The Last Boy Scout, Last Action Hero, dan The Long Kiss Goodnight. Black pernah juga berakting sebagai peran pembantu dalam film Predator (1987). Sebelum Iron Man 3, dia hanya pernah menyutradarai satu film saja yaitu Kiss Kiss Bang Bang (2005) yang juga dibintangi oleh Robert Downey Jr. Sudah rahasia umum bahwa atas rekomendasi RDJ yang sekarang menjadi anak emas Marvel Studios, maka Shane Black dapat menyutradarai Iron Man 3 setelah Jon Favreau mengundurkan diri.
 
Iron Man 3 adalah film kedua Marvel Studios setelah hak distribusinya dibeli oleh Walt Disney Studios dari Paramount. Yang pertama adalah The Avengers. Dasar ceritanya diambil dari beberapa cerita komik Iron Man antara lain Extremis, Invincible Iron Man, Armor Wars, dan Enter the Mandarin. Jajaran aktor film sebelumnya juga kembali: RDJ, Paltrow, Cheadle, Favreau, Bettany, ditambah dengan aktor-aktor kawakan Ben Kingsley, Guy Pearce, Rebecca Hall, William Sadler, Miguel Ferrer, James Badge Dale, dan Stephanie Szostak. Tak lupa, Stan Lee seperti biasa muncul sebagai cameo. Cameo lain adalah para pemain sepakbola Liverpool FC yang muncul pada salah satu adegan kunci.
 
Dari segi plot cerita, tampaknya Shane Black masih menggunakan formula yang sama seperti naskah-naskahnya sebelumnya: buddy movie dan penculikan. Tapi sebenarnya itu bukan masalah karena memang cirikhas Shane Black seperti itu. Yang jadi masalah sebenarnya adalah plot-holes dan inkonsistensi. Dan juga The Mandarin.
 
Memang kali ini Disney menggaet investor utama dari China, yaitu DMG Entertainment. Tak kurang dari 1 milyar Yuan (atau setara 158 juta US Dollar) digelontorkan oleh DMG untuk pembuatan Iron Man 3. Dan hal ini bukan hal yang baru di Hollywood. Looper yang dibuat tahun lalu juga menggunakan investor dari DMG Entertainment. Sementara remake The Karate Kid menggunakan investor perusahaan film milik Pemerintah China. Imbal balik dari investasi itu tentu penggunaan aktor-aktor dari China dan promosi budayanya. Dari kacamata marketing, China adalah pasar penikmat film yang sangat potensial.

 
Namun dalam kasus Iron Man 3, imbal baliknya tak hanya itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kerjasama Hollywood dan China, sebuah perusahaan China menginvestasikan ratusan juta dollar tak hanya untuk distribusi pemasaran, namun juga dalam hal produksi. Walhasil, pihak DMG berhasil memutar balik naskah film yang mendiskreditkan China sebagai pihak antagonis. Padahal musuh utama Iron Man di komik adalah The Mandarin, yang dari namanya saja sudah ketahuan kalau asal usulnya adalah dari China. Di komik, The Mandarin adalah ilmuwan China, menguasai martial art China kuno, keturunan Genghis Khan, dan mempunyai sepuluh cincin dengan kekuatan magis yang berbeda-beda. Layak disebut dengan supervillain.
 
Perubahan mendasar sudah mulai terasa ketika proses casting The Mandarin yang akhirnya memunculkan nama Ben Kingsley, yang notabene adalah aktor Inggris keturunan India. Walaupun saya tak meragukan kapabilitas aktor peraih Oscar dalam film Gandhi tersebut, namun pemilihan Kingsley sebagai The Mandarin tentu sempat membuat para penggemar komik mengernyitkan dahinya. Dan ketika menyaksikan filmnya, kernyitan dahi semua penggemar komik tersebut sepertinya benar-benar terbukti. DMG telah sukses membuat musuh abadi Iron Man menjadi sebuah lelucon yang menurut saya sama sekali tidak lucu.
 
Saya bisa memahami apabila Shane Black ingin menghindarkan kesan meniru plot cerita Batman Begins, yang secara brilian mengungkap identitas Ra’s Al Ghul yang sesungguhnya dengan plot twist yang mencengangkan. Tapi seharusnya Black dapat lebih menaruh respek pada sosok The Mandarin, bukannya menjadikannya sebagai tokoh yang fiktif dan membadut, dan membuat tokoh antagonis kelas dua seperti Aldrich Killian menjadi antagonis utama. Ya sekali lagi, ini mungkin di luar kuasa Black sebagai sutradara, karena seorang sutradara pun masih harus tunduk terhadap investor. Dan dalam hal ini investor tidak menginginkan The Mandarin menjadi musuh utama Iron Man. Dan investor juga menginginkan bahwa solusi dari semua permasalahan yang dihadapi oleh Stark adalah di China. Idealisme komik pun meluntur karena uang.
 
Namun yang sangat saya paling saya sayangkan bukan hal yang berada di luar kendali Shane Black, tapi justru yang sangat berada di bawah kendalinya yaitu konsistensi cerita dengan film-film Iron Man sebelumnya dan juga The Avengers. Misalnya saja mengenai armor atau baju besinya. Secara logika, teknologi yang kini dikuasai Stark seharusnya lebih maju, apalagi dengan adanya teknologi alien Chitauri yang berserakan di New York dimana bisa dilakukan reverse-engineering. Ternyata di film ini, armor Iron Man tidak kuat menahan suhu 3000 derajat. Padahal sebelumnya, Iron Man bisa menerima petir Thor yang suhunya 30.000 derajat, bahkan meningkatkan kekuatannya hingga 400%. Armor War Machine atau Iron Patriot juga langsung rusak ketika disentuh oleh seorang yang terinfeksi virus Extremis. Armor Iron Man yang bisa menghancurkan monster raksasa Chitauri dari dalam itu ternyata juga sangat gampang dirobek dan dibelah oleh pasukan Killian yang terinfeksi virus Extremis, bahkan Mark XLII dapat hancur berantakan hanya gara-gara ditabrak oleh truk.
 
Inkonsistensi lain, seperti:
 
Mengapa J.A.R.V.I.S yang sudah sedemikian canggihnya, hanya diam saja ketika ada misil yang mengarah ke rumah Stark di Malibu? Sebagai catatan tambahan, saya kehilangan J.A.R.V.I.S yang seringkali saling menyindir dengan Stark di Iron Man, Iron Man 2, dan The Avengers. J.A.R.V.I.S di Iron Man 3 tak ubahnya seperti komputer biasa yang membosankan.
 
Mengapa sepanjang film Stark hanya berkutat memperbaiki Mark XLII, padahal ia tahu bahwa di basement rumahnya masih tersimpan puluhan armor-nya?

 
Mengapa power dari J.A.R.V.I.S dan armor Mark XLII itu cepat sekali habis, sehingga harus di-charge seperti HP? Bukankah Stark di The Avengers sudah mengembangkan clean energy yang memperbaharui diri secara otomatis? Apalagi dari puluhan armor Stark yang muncul di akhir film ada Godkiller dan Space Armor yang digunakan untuk mengarungi luar angkasa tanpa adanya sumber energi.
 
Maya Hansen telah 13 tahun bekerja dengan Aldrich Killian dan A.I.M (Advanced Idea Mechanics) untuk mengembangkan virus Extremis dan mengujicobakannya terhadap manusia. Mengapa ia berubah pikiran dengan tiba-tiba, sehingga tanpa ba-bi-bu tiba-tiba mengetuk pintu rumah Stark dan memperingatkannya tentang Killian?
 
Tidak ada ID check terhadap Iron Patriot ketika akan memasuki Air Force One bersama Presiden Ellis. Padahal Iron Patriot tak hanya didesign untuk dipakai oleh Lt. Col. James Rhodes sendiri. Begitu parahnyakah sistem keamanan intelejen US? Oh ya dan adegan Presiden memakai armor Iron Patriot itu benar-benar absurd.
 
Dan ending film ini seolah menimbulkan banyak pertanyaan. Stark menyebutkan bahwa dia berhasil menyembuhkan Pepper. Bagaimana caranya? Stark juga dikisahkan menjalani operasi di China untuk mengangkat pecahan-pecahan bom di dadanya, sekaligus menyingkirkan arc reactor yang selama ini membuatnya hidup. Dokter yang mengoperasinya sudah dikenal Stark sejak konvensi di Bern tahun 1999. Kalau memang demikian, kenapa Stark tidak melakukan operasi sejak film yang pertama? Apalagi di film kedua ia harus sekarat karena teracuni arc reactor di dadanya itu.

Terlepas dari investor (Disney dan DMG Entertainment) yang memegang alur cerita, hal-hal detil semacam itu seharusnya lebih diperhatikan oleh Shane Black dan Marvel Studios.
 
Salah satu alur cerita komik Iron Man yang paling terkenal adalah Demon in a Bottle, yang mengisahkan ketergantungan Tony Stark terhadap alkohol. Jon Favreau sudah berani menampilkan beberapa adegan Stark yang mabuk di Iron Man 2, bahkan juga ketergantungan alkohol yang juga dialami oleh Howard Stark, ayah Tony. Namun karena sudah diambil alih Disney, tentu sampai kapanpun tak akan pernah muncul seorang Tony Stark yang alkoholik. Instead, di Iron Man 3 hanya dikisahkan seorang Tony Stark dengan gejala posttraumatic stress disorder akibat kejadian wormhole di akhir film The Avengers. Mungkin stress itu lebih tepat jika dialami Captain America yang masih mengalami penyesuaian waktu setelah tertidur selama 70 tahun.
 
Dan tak seperti Iron Man 2, di film ini tak terdapat tanda-tanda kontinuitas ke Phase 2 dari The Avengers, seperti yang digembar-gemborkan Marvel Studios. Adegan di akhir credit pun hanya cameo yang tidak menunjukkan clue atau hint arah cerita ke film Marvel berikutnya. Dan yang menyedihkan, tidak ada lagi music rock yang dulunya menghiasi film-film Iron Man dan Iron Man 2, bahkan hingga The Avengers.
 
All in all, sebenarnya film Iron Man 3 tidak jelek, bahkan penuh dengan adegan fantastis cirikhas Marvel Studios. Apalagi tanggung jawab special effects dari Industrial Lights and Magic (ILM) telah beralih ke beberapa perusahaan sekaligus, yaitu Scanline VFX, Digital Domain, Weta Digital, Framestore, The Third Floor, dan Trixter Film, sehingga efek visual yang dihadirkan juga terasa lebih canggih.
 
Iron Man 3 bagi saya mungkin lebih cocok sebagai film stand-alone, tidak terkait dengan The Avengers Initiative maupun 2 film Iron Man pendahulunya. Bahkan menurut saya, malah cocok dijadikan serial TV yang alur ceritanya disingkat dan diburu-buru.
 
Fun, enjoyable, but forgettable. 

No comments:

Post a Comment