Sebenarnya saya ingin menulis review ini sejak seminggu yang lalu, setelah menonton filmnya pada saat premiernya di Indonesia, 25 April 2013. Tapi saya merasa kurang sreg apabila mereviewnya tanpa membahas beberapa detil dari Iron Man 3. Dengan kata lain, mau nggak mau saya harus mengungkap beberapa spoiler. Jadi bagi pembaca yang tidak ingin membaca mild spoiler tersebut, saya sarankan untuk berhenti membaca post ini disini.
Iron Man 3 disutradarai oleh Shane Black, yang selama ini terkenal
sebagai screenwriter untuk berbagai film-film ternama antara lain Lethal
Weapon, Lethal Weapon 2, The Last Boy Scout, Last Action Hero, dan The Long
Kiss Goodnight. Black pernah juga berakting sebagai peran pembantu dalam film
Predator (1987). Sebelum Iron Man 3, dia hanya pernah menyutradarai satu film
saja yaitu Kiss Kiss Bang Bang (2005) yang juga dibintangi oleh Robert Downey
Jr. Sudah rahasia umum bahwa atas rekomendasi RDJ yang sekarang menjadi anak
emas Marvel Studios, maka Shane Black dapat menyutradarai Iron Man 3 setelah
Jon Favreau mengundurkan diri.
Iron Man 3 adalah film kedua Marvel Studios setelah hak distribusinya dibeli
oleh Walt Disney Studios dari Paramount. Yang pertama adalah The Avengers. Dasar
ceritanya diambil dari beberapa cerita komik Iron Man antara lain Extremis,
Invincible Iron Man, Armor Wars, dan Enter the Mandarin. Jajaran aktor film
sebelumnya juga kembali: RDJ, Paltrow, Cheadle, Favreau, Bettany, ditambah
dengan aktor-aktor kawakan Ben Kingsley, Guy Pearce, Rebecca Hall, William
Sadler, Miguel Ferrer, James Badge Dale, dan Stephanie Szostak. Tak lupa, Stan
Lee seperti biasa muncul sebagai cameo. Cameo lain adalah para pemain sepakbola
Liverpool FC yang muncul pada salah satu adegan kunci.
Dari segi plot cerita, tampaknya Shane Black masih menggunakan formula
yang sama seperti naskah-naskahnya sebelumnya: buddy movie dan penculikan. Tapi
sebenarnya itu bukan masalah karena memang cirikhas Shane Black seperti itu.
Yang jadi masalah sebenarnya adalah plot-holes dan inkonsistensi. Dan juga The
Mandarin.
Memang kali ini Disney menggaet investor utama dari China, yaitu DMG
Entertainment. Tak kurang dari 1 milyar Yuan (atau setara 158 juta US Dollar) digelontorkan
oleh DMG untuk pembuatan Iron Man 3. Dan hal ini bukan hal yang baru di
Hollywood. Looper yang dibuat tahun lalu juga menggunakan investor dari DMG
Entertainment. Sementara remake The Karate Kid menggunakan investor perusahaan
film milik Pemerintah China. Imbal balik dari investasi itu tentu penggunaan
aktor-aktor dari China dan promosi budayanya. Dari kacamata marketing, China
adalah pasar penikmat film yang sangat potensial.
Namun dalam kasus Iron Man 3, imbal baliknya tak hanya itu. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah kerjasama Hollywood dan China, sebuah perusahaan
China menginvestasikan ratusan juta dollar tak hanya untuk distribusi
pemasaran, namun juga dalam hal produksi. Walhasil, pihak DMG berhasil memutar
balik naskah film yang mendiskreditkan China sebagai pihak antagonis. Padahal
musuh utama Iron Man di komik adalah The Mandarin, yang dari namanya saja sudah
ketahuan kalau asal usulnya adalah dari China. Di komik, The Mandarin adalah
ilmuwan China, menguasai martial art China kuno, keturunan Genghis Khan, dan
mempunyai sepuluh cincin dengan kekuatan magis yang berbeda-beda. Layak disebut
dengan supervillain.
Perubahan mendasar sudah mulai terasa ketika proses casting The
Mandarin yang akhirnya memunculkan nama Ben Kingsley, yang notabene adalah
aktor Inggris keturunan India. Walaupun saya tak meragukan kapabilitas aktor
peraih Oscar dalam film Gandhi tersebut, namun pemilihan Kingsley sebagai The Mandarin
tentu sempat membuat para penggemar komik mengernyitkan dahinya. Dan ketika menyaksikan
filmnya, kernyitan dahi semua penggemar komik tersebut sepertinya benar-benar
terbukti. DMG telah sukses membuat musuh abadi Iron Man menjadi sebuah lelucon
yang menurut saya sama sekali tidak lucu.
Saya bisa memahami apabila Shane Black ingin menghindarkan kesan
meniru plot cerita Batman Begins, yang secara brilian mengungkap identitas Ra’s
Al Ghul yang sesungguhnya dengan plot twist yang mencengangkan. Tapi seharusnya
Black dapat lebih menaruh respek pada sosok The Mandarin, bukannya
menjadikannya sebagai tokoh yang fiktif dan membadut, dan membuat tokoh
antagonis kelas dua seperti Aldrich Killian menjadi antagonis utama. Ya sekali lagi,
ini mungkin di luar kuasa Black sebagai sutradara, karena seorang sutradara pun
masih harus tunduk terhadap investor. Dan dalam hal ini investor tidak menginginkan
The Mandarin menjadi musuh utama Iron Man. Dan investor juga menginginkan bahwa
solusi dari semua permasalahan yang dihadapi oleh Stark adalah di China. Idealisme
komik pun meluntur karena uang.
Namun yang sangat saya paling saya sayangkan bukan hal yang berada di
luar kendali Shane Black, tapi justru yang sangat berada di bawah kendalinya
yaitu konsistensi cerita dengan film-film Iron Man sebelumnya dan juga The
Avengers. Misalnya saja mengenai armor atau baju besinya. Secara logika, teknologi
yang kini dikuasai Stark seharusnya lebih maju, apalagi dengan adanya teknologi
alien Chitauri yang berserakan di New York dimana bisa dilakukan
reverse-engineering. Ternyata di film ini, armor Iron Man tidak kuat menahan
suhu 3000 derajat. Padahal sebelumnya, Iron Man bisa menerima petir Thor yang
suhunya 30.000 derajat, bahkan meningkatkan kekuatannya hingga 400%. Armor War
Machine atau Iron Patriot juga langsung rusak ketika disentuh oleh seorang
yang terinfeksi virus Extremis. Armor Iron Man yang bisa menghancurkan monster
raksasa Chitauri dari dalam itu ternyata juga sangat gampang dirobek dan dibelah
oleh pasukan Killian yang terinfeksi virus Extremis, bahkan Mark XLII dapat hancur
berantakan hanya gara-gara ditabrak oleh truk.
Inkonsistensi lain, seperti:
Mengapa J.A.R.V.I.S yang sudah sedemikian canggihnya, hanya diam saja
ketika ada misil yang mengarah ke rumah Stark di Malibu? Sebagai catatan
tambahan, saya kehilangan J.A.R.V.I.S yang seringkali saling menyindir dengan
Stark di Iron Man, Iron Man 2, dan The Avengers. J.A.R.V.I.S di Iron Man 3 tak
ubahnya seperti komputer biasa yang membosankan.
Mengapa sepanjang film Stark hanya berkutat memperbaiki Mark XLII,
padahal ia tahu bahwa di basement rumahnya masih tersimpan puluhan armor-nya?
Mengapa power dari J.A.R.V.I.S dan armor Mark XLII itu cepat sekali
habis, sehingga harus di-charge seperti HP? Bukankah Stark di The Avengers sudah
mengembangkan clean energy yang memperbaharui diri secara otomatis? Apalagi dari
puluhan armor Stark yang muncul di akhir film ada Godkiller dan Space Armor
yang digunakan untuk mengarungi luar angkasa tanpa adanya sumber energi.
Maya Hansen telah 13 tahun bekerja dengan Aldrich Killian dan A.I.M
(Advanced Idea Mechanics) untuk mengembangkan virus Extremis dan
mengujicobakannya terhadap manusia. Mengapa ia berubah pikiran dengan tiba-tiba,
sehingga tanpa ba-bi-bu tiba-tiba mengetuk pintu rumah Stark dan memperingatkannya tentang Killian?
Tidak ada ID check terhadap Iron Patriot ketika akan memasuki Air
Force One bersama Presiden Ellis. Padahal Iron Patriot tak hanya didesign
untuk dipakai oleh Lt. Col. James Rhodes sendiri. Begitu parahnyakah sistem
keamanan intelejen US? Oh ya dan adegan Presiden memakai armor Iron Patriot itu
benar-benar absurd.
Dan ending film ini seolah menimbulkan banyak pertanyaan. Stark
menyebutkan bahwa dia berhasil menyembuhkan Pepper. Bagaimana caranya? Stark
juga dikisahkan menjalani operasi di China untuk mengangkat pecahan-pecahan bom
di dadanya, sekaligus menyingkirkan arc reactor yang selama ini membuatnya
hidup. Dokter yang mengoperasinya sudah dikenal Stark sejak konvensi di Bern
tahun 1999. Kalau memang demikian, kenapa Stark tidak melakukan operasi sejak
film yang pertama? Apalagi di film kedua ia harus sekarat karena teracuni arc
reactor di dadanya itu.
Terlepas dari investor (Disney dan DMG Entertainment) yang memegang alur cerita, hal-hal detil semacam itu seharusnya lebih diperhatikan oleh Shane Black dan Marvel Studios.
Terlepas dari investor (Disney dan DMG Entertainment) yang memegang alur cerita, hal-hal detil semacam itu seharusnya lebih diperhatikan oleh Shane Black dan Marvel Studios.
Salah satu alur cerita komik Iron Man yang paling terkenal adalah
Demon in a Bottle, yang mengisahkan ketergantungan Tony Stark terhadap alkohol.
Jon Favreau sudah berani menampilkan beberapa adegan Stark yang mabuk di Iron
Man 2, bahkan juga ketergantungan alkohol yang juga dialami oleh Howard Stark,
ayah Tony. Namun karena sudah diambil alih Disney, tentu sampai kapanpun tak
akan pernah muncul seorang Tony Stark yang alkoholik. Instead, di Iron Man 3
hanya dikisahkan seorang Tony Stark dengan gejala posttraumatic stress disorder
akibat kejadian wormhole di akhir film The Avengers. Mungkin stress itu lebih tepat jika dialami Captain America yang masih mengalami penyesuaian waktu setelah tertidur selama 70 tahun.
Dan tak seperti Iron Man 2, di film ini tak terdapat tanda-tanda
kontinuitas ke Phase 2 dari The Avengers, seperti yang digembar-gemborkan
Marvel Studios. Adegan di akhir credit pun hanya cameo yang tidak menunjukkan
clue atau hint arah cerita ke film Marvel berikutnya. Dan yang menyedihkan, tidak
ada lagi music rock yang dulunya menghiasi film-film Iron Man dan Iron Man 2,
bahkan hingga The Avengers.
All in all, sebenarnya film Iron Man 3 tidak jelek, bahkan penuh
dengan adegan fantastis cirikhas Marvel Studios. Apalagi tanggung jawab special
effects dari Industrial Lights and Magic (ILM) telah beralih ke beberapa
perusahaan sekaligus, yaitu Scanline VFX, Digital Domain, Weta Digital,
Framestore, The Third Floor, dan Trixter Film, sehingga efek visual yang
dihadirkan juga terasa lebih canggih.
Iron Man 3 bagi saya mungkin lebih cocok sebagai film stand-alone,
tidak terkait dengan The Avengers Initiative maupun 2 film Iron Man
pendahulunya. Bahkan menurut saya, malah cocok dijadikan serial TV yang alur ceritanya
disingkat dan diburu-buru.
Fun, enjoyable, but forgettable.
No comments:
Post a Comment