Dunia
Star Trek diciptakan oleh Gene Roddenberry, yang diawalinya dengan pembuatan
proposal pada tahun 1964, berjudul awal “Wagon Train to the Stars”. Konsep
ceritanya dibuat berdasarkan model novel “Gulliver’s Travel” karya Jonathan
Swift, yang menggabungkan cerita petualangan suspense dan kisah moral.
Proposal
Roddenberry itu kemudian disambut oleh NBC, yang kemudian diaplikasikan dalam
serial televisi Star Trek pada tahun 1966. Sejak itu dimulailah berbagai saga
Star Trek baik dalam bentuk serial live action, animasi, layar lebar, dan
bahkan novel. Serial-serial TV yang kita kenal antara lain Star Trek: The
Original Series, Star Trek: The Animated Series, Star Trek: The Next
Generation, Star Trek: Deep Space Nine, Star Trek: Voyager, dan Star Trek:
Enterprise. Film-film layar lebarnya yang berjumlah tak kurang dari 12 buah,
juga tak kalah dalam membentuk mitos-mitos di seputar franchise ini.
Kisah-kisah
Star Trek berputar di sekitar petualangan manusia dan aliens yang berada di
Starfleet, sebuah organisasi humanitarian penjaga perdamaian di kawasan United
Federation of Planets. Oleh karena Roddenberry menggambarkan dunia yang utopis,
maka tokoh-tokoh utamanya juga dikisahkan menganut paham altruistic, yaitu sebuah
paham dimana semua makhluk saling memberi sehingga tidak ada yang merasa
kekurangan secara materi. Altruistic adalah kebalikan dari sifat egoistis, dan
tokoh-tokoh di Star Trek harus menerapkan paham itu dalam segala hal, walau
seringkali menghadapi situasi dan kondisi yang dilematis. Konflik dan
pertikaian politis yang terjadi di Star Trek juga menggambarkan berbagai kultur
yang terjadi di dunia nyata, antara lain: peperangan, kesetiaan,
otoritarianisme, imperialisme, pertikaian kelas, ekonomi, rasisme, religi,
Vietnam, dan juga politik. Roddenberry menginginkan Star Trek untuk
menggambarkan the next step of human evolution, dimana manusia telah belajar
dari kesalahannya di masa lalu dan mengakhiri kekejaman dalam bentuk apapun.
Hal ini digambarkan antara lain dengan Vulcans, yang dulunya merupakan bangsa
yang kejam namun sudah berubah dengan cara mengontrol emosinya. United
Federation of Planets juga merupakan angan-angan Roddenberry tentang bentuk
yang ideal dan optimis dari United Nations atau PBB. Bhinneka Tunggal Ika.
Selama
43 tahun, konsep Roddenberry yang demikian berusaha dipertahankan di semua
franchise-nya baik di serial-serial TV, animasi, maupun layar lebarnya. Namun
ternyata hal ini berbanding terbalik dengan popularitas franchise tersebut.
Star Trek: Enterprise bahkan hanya bisa bertahan selama 4 season, jauh menurun
dibanding serial-serial TV pendahulunya. Film layar lebar Star Trek: Nemesis
juga jeblok dalam hal pendapatan, sehingga Paramount harus memutar otak untuk
menggenjot rating franchise ini. Beberapa naskah dari Bryan Singer, J. Michael
Stracynzski, Jonathan Frakes, dan William Shatner (pemeran James T. Kirk pada Original
Series) ditolak mentah-mentah oleh Paramount. Pada akhirnya, proyek reboot Star
Trek diserahkan ke Tim Kreatif yang baru yang digawangi oleh JJ Abrams, Roberto
Orci, dan Alex Kurtzman. Mereka diserahi otoritas penuh untuk mereka ulang
kisah Star Trek.
Hampir
semua orang tahu bahwa JJ Abrams adalah penggemar Star Wars, bukan Star Trek.
Oleh karena itu, target pemasaran dari proyek reboot ini bukanlah penggemar
Star Trek tapi justru untuk non-fans. Iklan-iklan yang beredar waktu itu juga “this
is not your father’s Star Trek”. Maka banyak fans Star Trek mengatakan bahwa
Star Trek karya JJ Abrams bukanlah Star Trek-nya Roddenberry, karena tidak ada
penggambaran dunia utopis seperti yang diangankan oleh Roddenberry. Ini adalah
dunia alternatif dari Star Trek, dimana sifat-sifat altruistis tak berlaku dan sifat
manusia di masa depan sama saja dengan manusia sekarang.
Hal
ini kemudian ditegaskan oleh JJ Abrams di film Star Trek-nya yang kedua, diberi
judul Star Trek: Into Darkness. Berkat JJ Abrams, memang Star Trek mulai naik
daun lagi. Naskah film Into Darkness ditulis oleh Damon Lindelof, Roberto Urci,
dan Alex Kurtzman, menghadirkan deretan cast yang sama dengan film pertamanya,
ditambah dengan Benedict Cumberbatch, Peter Weller, serta Alice Eve yang
masing-masing memiliki peran sentral yang juga terhubung dengan Star Trek:
Original Series. Walaupun Abrams memiliki kebiasaan untuk merahasiakan naskah
dan plot twist, namun rasa-rasanya semua orang sudah bisa menebak siapa tokoh
antagonis yang diperankan oleh Cumberbatch. Dan nothing wrong with that, bahkan
menurut saya plot untuk peran antagonis ini disajikan secara menarik dengan cara
menyarikan beberapa episode terbaik Star Trek: Original Series. Cumberbatch
juga berhasil mempesona penonton dengan kharisma dan intelejensianya, sehingga
tokoh yang diperankan benar-benar menjadi rival abadi.
Chris
Pine dan Zachary Quinto secara sukses menghidupkan kembali tokoh Kirk dan Spock
yang dulu diperankan William Shatner dan Leonard Nimoy (walaupun Nimoy sekali
lagi masih muncul sebagai The Old Spock seperti film yang pertama). Chemistry
di antara keduanya juga memberikan nuansa yang menyentuh di akhir film, ketika
salah satu dari mereka harus mengorbankan dirinya demi menyelamatkan yang lain.
Bromance antara Kirk-Spock itu bahkan mengalahkan drama percintaan antar
spesies antara Spock dan Uhura.
Namun
diantara berbagai tribute kepada Original Series itu, tak salah jika merasa
bahwa kini Star Trek sudah lebih menjurus ke arah militerisasi. Dengan special
effect yang tak kalah canggih dari film pertamanya, terutama dengan trademark
lens flare, Abrams seolah memberi pernyataan bahwa inilah film Star Trek yang
dibuat oleh penggemar Star Wars. Misi Starfleet yang bersifat diplomatis,
scientific, eksplorasi dunia baru dan menyelesaikan masalah secara damai (“to
boldly go where no man has gone before”), kini digantikan oleh misi
militeristik untuk memburu satu orang teroris dengan semua senjata yang
dimiliki, dimana akibat perburuan itu adalah potensi perang dengan bangsa Klingon. Satir
politik terhadap US-Afghanistan memang, tapi mungkin akan lebih tepat jika
Abrams menggunakan naskah ini untuk Star Wars Episode VII yang akan
disutradarainya nanti. Atau jangan-jangan memang Abrams sedang menggunakan Star
Trek sebagai eksperimen untuk Star Wars? Apalagi special effect-nya ditangani
oleh Industrial Lights & Magic milik George Lucas.
Star
Trek: Into Darkness secara konsep memang tidak lebih baik dari film sebelumnya,
namun telah memberi warna sendiri terhadap franchise Star Trek secara
keseluruhan. Saya berharap film Star Trek tak berhenti sampai disini, dan Into
Darkness hanya berfungsi sebagai penghubung film sebelumnya dengan dunia Star
Trek yang diangankan oleh Gene Roddenberry.
No comments:
Post a Comment