Have fun and enjoy yourself

Thursday, May 16, 2013

Into Darkness: A Militarized Star Trek

 


Dunia Star Trek diciptakan oleh Gene Roddenberry, yang diawalinya dengan pembuatan proposal pada tahun 1964, berjudul awal “Wagon Train to the Stars”. Konsep ceritanya dibuat berdasarkan model novel “Gulliver’s Travel” karya Jonathan Swift, yang menggabungkan cerita petualangan suspense dan kisah moral.
 
Proposal Roddenberry itu kemudian disambut oleh NBC, yang kemudian diaplikasikan dalam serial televisi Star Trek pada tahun 1966. Sejak itu dimulailah berbagai saga Star Trek baik dalam bentuk serial live action, animasi, layar lebar, dan bahkan novel. Serial-serial TV yang kita kenal antara lain Star Trek: The Original Series, Star Trek: The Animated Series, Star Trek: The Next Generation, Star Trek: Deep Space Nine, Star Trek: Voyager, dan Star Trek: Enterprise. Film-film layar lebarnya yang berjumlah tak kurang dari 12 buah, juga tak kalah dalam membentuk mitos-mitos di seputar franchise ini.
 
Kisah-kisah Star Trek berputar di sekitar petualangan manusia dan aliens yang berada di Starfleet, sebuah organisasi humanitarian penjaga perdamaian di kawasan United Federation of Planets. Oleh karena Roddenberry menggambarkan dunia yang utopis, maka tokoh-tokoh utamanya juga dikisahkan menganut paham altruistic, yaitu sebuah paham dimana semua makhluk saling memberi sehingga tidak ada yang merasa kekurangan secara materi. Altruistic adalah kebalikan dari sifat egoistis, dan tokoh-tokoh di Star Trek harus menerapkan paham itu dalam segala hal, walau seringkali menghadapi situasi dan kondisi yang dilematis. Konflik dan pertikaian politis yang terjadi di Star Trek juga menggambarkan berbagai kultur yang terjadi di dunia nyata, antara lain: peperangan, kesetiaan, otoritarianisme, imperialisme, pertikaian kelas, ekonomi, rasisme, religi, Vietnam, dan juga politik. Roddenberry menginginkan Star Trek untuk menggambarkan the next step of human evolution, dimana manusia telah belajar dari kesalahannya di masa lalu dan mengakhiri kekejaman dalam bentuk apapun. Hal ini digambarkan antara lain dengan Vulcans, yang dulunya merupakan bangsa yang kejam namun sudah berubah dengan cara mengontrol emosinya. United Federation of Planets juga merupakan angan-angan Roddenberry tentang bentuk yang ideal dan optimis dari United Nations atau PBB. Bhinneka Tunggal Ika.
 
Selama 43 tahun, konsep Roddenberry yang demikian berusaha dipertahankan di semua franchise-nya baik di serial-serial TV, animasi, maupun layar lebarnya. Namun ternyata hal ini berbanding terbalik dengan popularitas franchise tersebut. Star Trek: Enterprise bahkan hanya bisa bertahan selama 4 season, jauh menurun dibanding serial-serial TV pendahulunya. Film layar lebar Star Trek: Nemesis juga jeblok dalam hal pendapatan, sehingga Paramount harus memutar otak untuk menggenjot rating franchise ini. Beberapa naskah dari Bryan Singer, J. Michael Stracynzski, Jonathan Frakes, dan William Shatner (pemeran James T. Kirk pada Original Series) ditolak mentah-mentah oleh Paramount. Pada akhirnya, proyek reboot Star Trek diserahkan ke Tim Kreatif yang baru yang digawangi oleh JJ Abrams, Roberto Orci, dan Alex Kurtzman. Mereka diserahi otoritas penuh untuk mereka ulang kisah Star Trek.
 
Hampir semua orang tahu bahwa JJ Abrams adalah penggemar Star Wars, bukan Star Trek. Oleh karena itu, target pemasaran dari proyek reboot ini bukanlah penggemar Star Trek tapi justru untuk non-fans. Iklan-iklan yang beredar waktu itu juga “this is not your father’s Star Trek”. Maka banyak fans Star Trek mengatakan bahwa Star Trek karya JJ Abrams bukanlah Star Trek-nya Roddenberry, karena tidak ada penggambaran dunia utopis seperti yang diangankan oleh Roddenberry. Ini adalah dunia alternatif dari Star Trek, dimana sifat-sifat altruistis tak berlaku dan sifat manusia di masa depan sama saja dengan manusia sekarang.
 
Hal ini kemudian ditegaskan oleh JJ Abrams di film Star Trek-nya yang kedua, diberi judul Star Trek: Into Darkness. Berkat JJ Abrams, memang Star Trek mulai naik daun lagi. Naskah film Into Darkness ditulis oleh Damon Lindelof, Roberto Urci, dan Alex Kurtzman, menghadirkan deretan cast yang sama dengan film pertamanya, ditambah dengan Benedict Cumberbatch, Peter Weller, serta Alice Eve yang masing-masing memiliki peran sentral yang juga terhubung dengan Star Trek: Original Series. Walaupun Abrams memiliki kebiasaan untuk merahasiakan naskah dan plot twist, namun rasa-rasanya semua orang sudah bisa menebak siapa tokoh antagonis yang diperankan oleh Cumberbatch. Dan nothing wrong with that, bahkan menurut saya plot untuk peran antagonis ini disajikan secara menarik dengan cara menyarikan beberapa episode terbaik Star Trek: Original Series. Cumberbatch juga berhasil mempesona penonton dengan kharisma dan intelejensianya, sehingga tokoh yang diperankan benar-benar menjadi rival abadi.
 
 
Chris Pine dan Zachary Quinto secara sukses menghidupkan kembali tokoh Kirk dan Spock yang dulu diperankan William Shatner dan Leonard Nimoy (walaupun Nimoy sekali lagi masih muncul sebagai The Old Spock seperti film yang pertama). Chemistry di antara keduanya juga memberikan nuansa yang menyentuh di akhir film, ketika salah satu dari mereka harus mengorbankan dirinya demi menyelamatkan yang lain. Bromance antara Kirk-Spock itu bahkan mengalahkan drama percintaan antar spesies antara Spock dan Uhura.
 
 
Namun diantara berbagai tribute kepada Original Series itu, tak salah jika merasa bahwa kini Star Trek sudah lebih menjurus ke arah militerisasi. Dengan special effect yang tak kalah canggih dari film pertamanya, terutama dengan trademark lens flare, Abrams seolah memberi pernyataan bahwa inilah film Star Trek yang dibuat oleh penggemar Star Wars. Misi Starfleet yang bersifat diplomatis, scientific, eksplorasi dunia baru dan menyelesaikan masalah secara damai (“to boldly go where no man has gone before”), kini digantikan oleh misi militeristik untuk memburu satu orang teroris dengan semua senjata yang dimiliki, dimana akibat perburuan itu adalah potensi perang dengan bangsa Klingon. Satir politik terhadap US-Afghanistan memang, tapi mungkin akan lebih tepat jika Abrams menggunakan naskah ini untuk Star Wars Episode VII yang akan disutradarainya nanti. Atau jangan-jangan memang Abrams sedang menggunakan Star Trek sebagai eksperimen untuk Star Wars? Apalagi special effect-nya ditangani oleh Industrial Lights & Magic milik George Lucas.
 
Star Trek: Into Darkness secara konsep memang tidak lebih baik dari film sebelumnya, namun telah memberi warna sendiri terhadap franchise Star Trek secara keseluruhan. Saya berharap film Star Trek tak berhenti sampai disini, dan Into Darkness hanya berfungsi sebagai penghubung film sebelumnya dengan dunia Star Trek yang diangankan oleh Gene Roddenberry.

No comments:

Post a Comment