Have fun and enjoy yourself

Friday, July 16, 2010

Inception: The Best Cinematic Experience of 2010

Tahun lalu, kita disuguhkan aksi Batman vs. The Joker dalam film “The Dark Knight”. Setelah berhasil mengembalikan Batman pada kodratnya di “Batman Begins”, Christopher Nolan sebagai sutradara di film Batman keduanya ini juga dengan sukses menjungkirbalikkan konsep good guys vs. bad guys. Nolan juga mengungkapkan secara gamblang “grey area” yang selama ini jarang ditampilkan dalam film bertemakan superhero. Maka sudah sepantasnya film itu masuk dalam jajaran film terlaris sepanjang masa, dengan pendapatan lebih dari USD 1 Milyar.

Tahun ini, Chris Nolan kembali menghadirkan “Inception” yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio, Joseph Gordon-Levitt, Ellen Page, Cillian Murphy, Marion Cotillard, dan Ken Watanabe. Seperti halnya “Avatar”-nya James Cameron, “Inception” adalah ambisi Nolan yang digagas dan ditulis pertama kali 10 tahun yang lalu. Tak salah jika memberikan film ini sebagai masterpiece dari Nolan. Untuk memahami ceritanya, tentu kita harus mengerti arti kata inception itu sendiri. Inception adalah kebalikan dari extraction.

Ringkasnya, film ini mengisahkan Dom Cobb (DiCaprio) yang memiliki keahlian supernatural masuk ke dalam mimpi orang dan mengambil ide-idenya, lazim disebut the art of extraction. Keahlian itu membuat Cobb disewa oleh berbagai perusahaan untuk mencuri ide-ide pesaingnya, sementara ia sendiri adalah seorang pelarian yang diburu oleh Pemerintah AS. Ketika ia berniat pensiun dari pekerjaan itu, seorang pengusaha (Watanabe) menyewanya untuk melakukan kebalikan dari extraction, yaitu inception: menaruh suatu ide dalam kepala seseorang. Imbalannya, bebas dari segala tuntutan hukum dan kembali ke keluarganya.

Disini kita tidak sedang berbicara tentang hipnotis, tapi suatu hal yang lebih sophisticated. Pada tahun 1984 terdapat film “Dreamscape”, tapi ini hal yang berbeda. Dalam melakukan pekerjaannya, Cobb tidak dapat begitu saja masuk ke dalam mimpi seseorang dan mengambil ide dengan mudahnya. Ia harus dibantu oleh timnya yang bekerja a la “Mission: Impossible”. Seorang arsitek mimpi terlebih dahulu mengkonstruksi dunia mimpi yang digunakan untuk memancing sang korban sesuai keinginan Cobb, dan ketika masuk ke dunia itu Cobb juga harus didampingi oleh seorang back-up, kalau sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan.

Dengan budget sebesar USD 160 Juta, “Inception” dapat dikatakan sebagai gabungan antara film-film James Bond dan “The Matrix”. Kita dapat merasakan nuansa “The Blade Runner” di dalamnya, juga “Memento” dan “The Dark Knight”, dimana keduanya adalah karya Nolan sendiri. Tapi bukan berarti film ini tidak memiliki cirikhasnya sendiri. Kalau “Memento” menggunakan metode storytelling yang mundur, maka dalam film ini Nolan menciptakan sebuah dunia mimpi dengan berbagai tingkatan (layer). Dengan kata lain, dunia mimpi di dalam dunia mimpi di dalam dunia mimpi. Yup, benar itu bukan salah ketik. Kekuatan masing-masing tingkatan mimpi itu tergantung pada stabilitas tingkatan sebelumnya, sehingga tantangan bagi Nolan adalah membuat script di dalam script di dalam script yang non-linear, tapi tetap harus terhubung secara benang merah satu sama lain.

Jadi saran untuk penonton film ini adalah: kita harus menontonnya lagi dan lagi untuk memahami esensi ceritanya. Jangan khawatir mengenai durasi film yang 2 ½ jam, karena pace film ini sangat cepat dan konstan. Bahkan waktu selama itu masih akan terasa kurang, dan itulah salah satu keahlian Nolan untuk menarik kita untuk menonton filmnya kembali. Menurut saya, ceritanya sangat menghibur sekaligus menantang untuk berpikir. Dan semua dilakukan Nolan tanpa embel-embel “3D”.

Pengalaman menonton “Inception” tentu saja berbeda dengan menonton “Mulholland Drive” atau “2001: A Space Odyssey”. Kedua film itu adalah masterpiece karena atmosfernya terbuka akan semua interpretasi. Sedangkan makna cerita “Inception” justru sangat jelas, keajaibannya adalah bahwa penonton tidak bisa menebak akhir ceritanya (walaupun adegan klimaksnya akan menghantui benak penonton sehingga memunculkan multi interpretasi juga).

Film ini mungkin tak akan dapat menyamai “The Dark Knight” dalam hal pendapatan Box-Office. Tapi tidak seperti “The Dark Knight” yang dicuekin di ajang Academy Awards dalam kategori Best Picture, rasanya keterlaluan apabila para juri di American Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) tidak menominasikan “Inception” dalam kategori tersebut.

Oh ya, Nolan juga mengeluarkan komik “Inception: The Cobol Job” sebagai prolog sebelum filmnya diluncurkan. Meski banyak yang mengatakan prolog tersebut tidak begitu esensial, tapi bagi yang berminat, dapat meng-klik website ini: http://movies.yahoo.com/feature/inception-comic.html

Tuesday, July 13, 2010

Toy Story 3: When grown-ups and children communicate

Saya selalu bersikap skeptis jika hendak menonton sequel sebuah film. Bukannya tidak setuju akan adanya sequel, tapi menurut saya, sequel adalah tantangan besar bagi sang pembuat film untuk lebih mengeksplorasi dan menggali lagi film originalnya. Tentunya dengan kualitas yang lebih baik dari pendahulunya itu.

Demikian pula dengan Toy Story 3, yang baru-baru ini saya tonton. Dengan niat untuk menemani anak mengisi liburan, terus terang saya tidak memiliki pengharapan apa-apa dari film ini. Tapi justru dengan berangkat dari “pikiran kosong” itu, Disney dan Pixar berhasil membuat saya berpikir dan bernalar setelah menonton film ini.

Menurut saya, film ini adalah salah satu film animasi yang berhasil mengemas banyak sekali elemen-elemen film horror dan suspense thriller dengan apik. Begitu apiknya, sebagai orang tua kita mungkin tidak sadar bahwa secara psikologis elemen-elemen itu langsung masuk ke pikiran bawah sadar anak-anak kita. Tidak berlebihan jika saya tangkap nuansa film noir mengenai penjara. Dan tak heran, karena ternyata belakangan diketahui bahwa produser dan para pembuat film Toy Story 3 ini memperoleh inspirasi dari perjalanan mereka ke… Alcatraz.

Sedikit untuk mengingatkan, walau film ini diawali dengan suasana cerah seperti halnya 2 film pendahulunya, namun kisah berikutnya segera berbalik ke kesedihan ketika Andy beranjak dewasa dan memutuskan untuk menyimpan mainan-mainan itu, kecuali Woody. Setelah “insiden kantong sampah” terjadi, mulailah segmen film horror ketika mainan-mainan itu masuk ke Sunnyside Daycare, sebuah tempat penitipan anak yang sempat memberikan harapan kepada jagoan-jagoan kita.

Tapi tak lama setelah masuk ke Daycare itu, mereka menyadari bahwa mainan-mainan disana diatur oleh mainan beruang diktator psikopat jahat berwarna pink yang bernama Lotso. Karakternya adalah gabungan dari Strother Martin dalam “Cool Hand Luke” dan Big Daddy dalam “Cat on a Hot Tin Roof”. Ia memiliki tukang pukul Big Baby, mainan bayi bermata satu yang mirip dengan Chucky dalam “Child’s Play”, dan juga tangan kanan sekaligus Humas-nya yang bernama Ken, mainan metroseksual yang memikat hati Barbie. Lotso mengatur kerajaannya itu dengan tangan besi, dan tidak segan-segan untuk mematahkan mainan apapun yang berusaha melarikan diri darinya.

Ternyata bukan itu saja kengeriannya, karena ternyata anak-anak yang masuk Daycare itu tak kalah brutalnya. Bagi kita para orang tua, mungkin tidak ada masalah karena begitulah kelakuan bayi terhadap mainannya. Tapi untuk anak-anak yang menonton, mungkin mereka tidak bisa menghapus bayangan ketika tokoh-tokoh utamanya di Toy Story diludahi, dipukuli, dan bahkan dimutilasi.

Mungkin seperti saya yang sampai sekarang tidak dapat menghapus bayangan adegan penyiksaan di film “Pengkhianatan G30S/PKI”.

Akhirnya, adegan klimaks dalam film ini jelas lebih “kelam” dari adegan apapun dalam serial Toy Story. Anak-anak diperkenalkan dengan konsep kepasrahan dan keberanian dalam menghadapi ajal.

Selepas menonton Toy Story 3 sampai saat ini, anak saya yang umurnya 7 tahun masih sering bertanya mengenai beberapa adegan “horror” dalam film itu. Walau saya sudah mencoba memberikan berbagai jawaban, tapi pertanyaan itu tetap saja dilontarkan oleh anak saya di kemudian hari. Pertanda bahwa ia belum dapat menerima jawaban-jawaban saya, serta pertanda juga bahwa Disney dan Pixar telah berhasil merasuki anak saya dengan adegan-adegan “horror” itu. Saya masih berpikir mengapa film ini mendapat rating G, sementara Wall-E dan Up mendapat rating PG.

Walau demikian, saya menangkap banyak unsur positif dari film ini. Secara kilas balik, dua film pertamanya terfokus kepada konsep dasar pertemanan, kecemburuan, dan kerjasama. Toy Story 3 lebih menyoroti aspek perpisahan, hilangnya keluguan anak-anak, dan hilangnya harapan untuk memiliki orang lain sebagai teman.

Selain itu, film ini juga berkisah mengenai pendewasaan serta tak terelakkannya sebuah perubahan – bahwa perubahan adalah fakta kehidupan, baik itu ke arah baik maupun buruk. Dan seperti yang saya tulis di atas, film ini juga mengajarkan tentang kepasrahan dalam menghadapi kematian, dan bahwa kematian akan lebih mudah dihadapi ketika kita sedang bersama orang yang kita sayangi.

Dan pada adegan ending Toy Story 3, barulah penonton diingatkan kepada bagaimana film originalnya dapat menyentuh hati para penggemarnya. Wajar jika beberapa penonton dewasa menitikkan air mata ketika melihatnya.

Setelah menangkap esensi tadi, segera saya sadari bahwa ternyata Toy Story 3 memberikan kesempatan kepada saya untuk berkomunikasi dengan anak saya mengenai hal-hal yang berat dalam hidup ini. Dan ketika saya melihat perkembangan sinetron dan hiburan di sekitar kita sehari-hari yang hanya berorientasi uang, uang, dan uang, menonton film ini mengingatkan saya bahwa masih ada hiburan yang membuat saya tertawa, menitikkan air mata, sekaligus berpikir dan bernalar.