Have fun and enjoy yourself

Tuesday, January 12, 2010

The Great Knowledge of Queen Seon Deok

Walaupun berdasarkan kisah sejarah di Korea, namun saya tak serta merta tertarik untuk menonton serial “The Great Queen Seon Deok” yang diputar di salah satu TV setiap sore. Tapi awal ketertarikan saya terhadap serial itu justru gara-gara istri saya yang selama ini menjadi penasihat politik sekaligus teman tidur saya selalu terpaku di depan TV untuk menontonnya. Seperti biasa, ketertarikan saya berlanjut ke pencarian informasi mengenai Seon Deok di web.

Dari pencarian itulah saya kemudian menjadi makin tertarik, karena dari sejarahnya Queen Seon Deok adalah pendiri observatorium pertama di Asia Timur, yang dinamakan Cheomseongdae (secara harfiah berarti “Star-Gazing Tower”).

Cheomseongdae saat ini menjadi salah satu bangunan ilmiah tertua di dunia. Desainnya pun dibuat secara rinci, setiap bagian dibangun berdasarkan filosofi astronomi dan astrologi.

The tower is built out of 362 pieces of cut granite which some claim represent the 362 days of the lunar year. Some surveys of the site have indicated that there are 366 blocks. It has 27 circular layers of stones (some associate it with the fact that Queen Seondeok was considered to be the 27th ruler of Silla) surmounted by a square structure. 12 of the layers are below the window level and 12 are above. There are 12 large base stones set in a square, with three stones on each side. These sets of 12 may symbolize the months of the year. (Wikipedia)

Setelah terpesona oleh peninggalan bersejarah itu, saya pun menemukan blog http://kadorama-recaps.blogspot.com yang memuat sinopsis dari serial itu dari episode ke episode. Karena saya tidak mengikuti serial tersebut dari awal, maka saya pun membaca sinopsis itu untuk mengejar “ketertinggalan” saya. Memang sih, seperti halnya drama-drama lainnya, pasti ada bumbu-bumbu drama dan percintaan yang menghiasi serial ini. Mengingat sejarah detilnya juga tersedia dengan berbagai versi (antara lain dari buku Samguk Sagi dan Samguk Yusa), serial ini pun dibuat berdasarkan legenda dari mulut ke mulut mengenai penguasa perempuan pertama di Korea itu. Tapi overall, dari segi pengaturan cerita, serial ini layak diacungi jempol karena berhasil menampilkan intrik-intrik politik yang asyik untuk diikuti. Sayangnya, penyiarannya di TV (Indosiar) adalah jam 17.00 – 18.30, dimana sebagian besar di antara waktu itu saya masih ada di dalam perjalanan pulang kantor. Tapi kalaupun saya lagi beruntung, minimal saya masih bisa menonton setengah jam terakhir. Andalan saya memang hanya blog sinopsisnya tadi.

Dari kisah QSD itu (yang di Korea sendiri baru habis tanggal 22 Desember 2009 lalu), saya pun dapat menarik beberapa pelajaran sejarah, ekonomi, bahkan hingga ke manajemen pengetahuan yang saya tekuni di kantor sejak tahun 2002. Di negaranya sendiri, serial ini telah menyabet 12 MBC Drama Awards 2009.

Pelajaran pertama yang saya dapatkan tentu adalah kebudayaan bangsa Korea kuno yang rupanya sangat dipengaruhi oleh ilmu perbintangan dalam menjalankan aktivitas mereka sehari-hari. Selain mempengaruhi kapan mereka harus bercocok tanam atau kapan harus memanen, ilmu perbintangan yang disebut oleh mereka sebagai “ilmu para dewa” itu juga sangat dominan dalam pemerintahan, dimana hanya segelintir orang yang memiliki pengetahuan itu. Adalah Lady Mishil, sang tokoh antagonis, yang menguasai pengetahuan “para dewa” itu, sehingga mengantarkannya menjadi Penjaga Segel Kerajaan (Royal Seal). Jabatan ini sangat berpengaruh di lingkungan kerajaan, karena menjadi penentu segala keputusan raja yang menyangkut kesejahteraan rakyatnya.

Kehadiran Deokman (nama kecil dari Seon Deok) tentu merubah segalanya. Ia yang sejak bayi dibuang oleh kerajaan rupanya banyak belajar dari pedagang-pedagang mancanegara, termasuk pedagang dari China yang memberinya buku mengenai ilmu astronomi dari jaman China kuno (ingat kisah Kaisar pertama China, Huang-Di, yang mengajarkan ilmu astronomi dari “langit”?). Pengetahuan astronomi itu pula yang mengantarkan Deokman kembali ke depan pintu istana ayahnya, dengan cara menghitung dan meramalkan kapan gerhana matahari akan terjadi. Bangsa Korea waktu itu mempercayai bahwa penerus raja akan datang bersamaan waktunya dengan gerhana matahari. Dengan penguasaan ilmu itu, maka kehadiran kembali Deokman ke istana disamakan waktunya dengan gerhana matahari, sehingga raja pun mengakui kembali anaknya yang (tanpa sengaja) telah ia buang itu.

Deokman juga belajar ilmu pengetahuan lainnya seperti matematika, ekonomi, dan politik dari pedagang-pedagang timur tengah. Dari proses pembelajaran itu, Deokman pun menyadari bahwa pengetahuan itu tak bisa dibendung di satu titik saja, namun harus disebarkan atau disharing-kan dengan orang lain. Ketika pengetahuan itu menjadi komoditas satu pihak saja, dalam hal ini kerajaan, maka kerajaan itu akan menjadi otoriter dan tidak mendapat penghormatan semestinya. Yang ada hanyalah rasa ketakutan, dan itulah yang dihindari oleh Deokman. Makanya ketika Deokman kembali masuk ke lingkungan kerajaan, ia langsung berinisiatif membangun Cheomseongdae. Tujuannya supaya rakyatnya dapat belajar sendiri mengenai ilmu perbintangan yang selama ini dimonopoli oleh kerajaan dan kaum bangsawan. Tentu saja pihak Mishil yang selama ini melakukan knowledge hoarding itu tidak dapat menerimanya, karena kekuasaannya jelas-jelas akan hilang. Konsep ”knowledge is power” milik Mishil terkalahkan oleh konsep ”shared knowledge is power” milik Deokman. Saat ini, konsep “shared knowledge is power” itu sangat mendasari sebuah ilmu yang booming sejak tahun 2000-an, yaitu manajemen pengetahuan.

Kekalahan ilmu itu tentu kemudian membuat Mishil melancarkan serangan politik lain ke Deokman, yaitu menyangkut ekonomi. Disinilah kita diperkenalkan mengenai pelajaran ekonomi yang mendasar, yaitu supply dan demand. Para bangsawan yang tunduk dengan Mishil ramai-ramai berspekulasi dengan menimbun hasil bumi di lumbungnya masing-masing, sehingga pasokan di pasar menjadi berkurang. Kurangnya pasokan itu tentunya membuat harga di pasaran melambung tinggi, sehingga menyengsarakan rakyat dan muncul kriminalitas. Deokman dan pengikutnya tadinya tak menyadari bahwa naiknya harga hasil bumi itu disebabkan adanya spekulan. Hal tersebut baru diketahui setelah Deokman memerintahkan salah satu pengikutnya untuk mencari informasi dengan diam-diam (rahasia) di pasar mengenai apa penyebab krisis itu. Dalam istilah modern, metode Deokman dalam memperoleh informasi itu dinamakan economic intelligence. Intelijen di bidang ekonomi, yang kini banyak digunakan oleh negara-negara adidaya.

Dari hasil intelijen itu, ditemukanlah penyebab utama krisis adalah ulah spekulan. Tujuan sementaranya memang adalah menaikkan harga barang di pasar, sehingga apabila barang itu dijual kembali akan menghasilkan keuntungan yang berlipat-lipat. Namun demikian, ternyata Deokman menemukan tujuan lain yang lebih besar dari spekulasi itu: Tanah. Ketika harga melambung tinggi, rakyat tidak akan sanggup membeli barang kebutuhan pokok itu ketika para bangsawan menjualnya. Secara economic psychology, mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkan kebutuhan dasar itu. Satu-satunya yang dapat dilakukan adalah memberikan tanah milik mereka ke para bangsawan itu. Dan ketika mereka sudah tak punya apa-apa lagi untuk diberikan, mereka akan sukarela menjadi budak kaum bangsawan. Mengetahui hal itu, Deokman dan pengikutnya segera bekerja keras untuk menurunkan harga barang.

Cara satu-satunya untuk menurunkan harga adalah membanjiri pasar dengan pasokan barang. Tapi masalahnya, Deokman tidak memilikinya. Sementara hasil bumi milik kerajaan tidak boleh diperjualbelikan, karena kerajaan dilarang berdagang dengan rakyat. Apa yang dilakukan Deokman? Melalui intelejen-nya, ia menciptakan rumor di masyarakat bahwa kerajaan akan membanjiri pasar dengan hasil bumi yang dimilikinya. Rumor itu seolah-olah diverifikasi ketika rakyat mendapati beberapa hasil bumi milik kerajaan yang terlihat di beberapa toko di pasar. Padahal, Deokman hanya ’menitipkan’ komoditas itu kepada para pedagang itu, bukan menjualnya. Seketika harga komoditas pun menurun, dan para spekulan terpaksa menjual kembali hasil bumi yang ditimbunnya untuk menghindari kerugian. Lagi-lagi, ini adalah pelajaran ekonomi yang fundamental dan sampai sekarang diaplikasikan dalam berbagai hal, termasuk dalam hal stabilisasi nilai mata uang. Ditambah dengan manajemen ekspektasi, dimana Deokman menciptakan rumor bahwa akan memasok komoditas dalam jumlah besar yang berujung pada turunnya harga di pasar. Dengan hanya ’menitipkan’ beberapa hasil bumi ke beberapa pedagang, Deokman berhasil menggiring ekspektasi pasar sehingga harga pun turun tanpa terelakkan. Lebih dari seribu tahun sebelum Adam Smith memperkenalkan teori ”invisible hand”, rupanya Deokman telah menerapkannya di kerajaan Silla.

Selain itu, dalam drama sejarah ini kita juga dapat mempelajari kancah perpolitikan kaum bangsawan Korea, dimana mereka lebih mengutamakan diplomasi daripada peperangan fisik. Adu pengetahuan ini digunakan oleh Deokman dan Mishil, dan ketika perseteruan itu sudah berujung pada perang saudara, Mishil merasa dirinya akan kalah perang. Dengan sifat kebangsawanannya, ia memilih untuk tidak mengorbankan pengikutnya lebih jauh lagi kemudian bunuh diri dengan meminum racun. Deokman pun ikut menangisi kematiannya, karena ternyata Mishil masih lebih memikirkan persatuan rakyat Silla daripada kepentingan kekuasaannya sendiri. Hal inilah yang ingin diungkapkan oleh sang sutradara, bahwa tokoh antagonis bisa memiliki sikap yang nasionalis. Sikap inilah yang jarang sekali dimiliki oleh kalangan negarawan sampai saat ini.

Dan last but not least, tentu saja yang patut kita jadikan pelajaran adalah kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh Deokman maupun Mishil, dimana keduanya menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk dominasi kekuasaan. Kala itu, hal ini tentunya menjadi sebuah paradoks di lingkungan dimana kaum pria mendominasi secara budaya.

No comments:

Post a Comment