Have fun and enjoy yourself

Thursday, January 21, 2010

The Haitian Earthquake Aftermath

Gempa bumi 7 Skala Richter pada tanggal 12 Januari 2010 telah meluluhlantakkan Haiti. Ibukota Port Au Prince praktis hancur, bahkan Istana Presiden pun tak bisa digunakan lagi. Belum lagi korban penduduk yang diestimasi lebih dari 100.000 hingga 200.000 jiwa. Sebuah bencana catastrophic yang melanda negara bekas jajahan Perancis itu.

Sontak, berita-berita di seluruh dunia pun mengabarkan mengenai perkembangan gempa itu dari detik ke detik. Dari perkembangan yang disiarkan setiap saat itu, saya melihat ada beberapa hal yang menggelitik: bahwa ada beberapa pihak yang memanfaatkan kesempatan di balik penderitaan warga Haiti yang hancur secara fisik itu.

Pertama, ada pernyataan Sekretaris Jendral PBB Ban Ki Moon bahwa dampak gempa Haiti lebih parah dari dampak tsunami yang terjadi di Aceh tanggal 26 Desember 2004. Otomatis otak saya pun berpikir keras: lebih parah apanya? Keheranan itu mengingat secara Skala Richter, gempa Haiti 7 SR sementara Aceh 8,9 SR. Lalu, dahsyatnya gempa itu nyatanya menimbulkan tsunami raksasa hingga sampai ke Srilanka (dan disanapun menimbulkan banyak korban jiwa). Sementara gempa Haiti hanya berdampak di Haiti saja. Republik Dominica yang bersebelahan dengannya hanya mengalami kerusakan kecil dan tidak ada korban jiwa. Kemudian, dari perkiraan korban saja, gempa di Aceh menimbulkan korban jiwa lebih dari 500.000 (yang ditemukan), sementara di Haiti ’hanya’ 100.000-200.000 jiwa.

Kedua, selain komentar Sekjen PBB di atas, PBB juga mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda duka terhadap bencana Haiti. Sebelumnya pada gempa di Aceh, apalagi gempa di manapun, PBB tidak mengibarkan bendera setengah tiang. Mengapa PBB sangat perhatian dengan Haiti? Apakah semata karena kantor United Nations Stabilization Mission in Haiti turut runtuh?

Ketiga, Pemerintah Amerika Serikat dan American Red Cross begitu responsif terhadap bencana ini, dan langsung mencari donasi dari dunia internasional untuk penanggulangan bencana. Bill Clinton dan George W. Bush, 2 mantan Presiden itu, ditunjuk Obama untuk mengawasi jalannya penanggulangan bencana itu. Wow, AS tak pernah mengutus 2 mantan Presiden untuk penanggulangan bencana, apalagi ke negara kecil.

Tapi yang lebih aneh adalah ketika saya melihat perhatian media Amerika Serikat itu terasa agak ’berlebihan’. Pemberitaan media massa seolah hanya terfokus ke situ selama beberapa hari bahkan minggu, terutama CNN. Internet juga dibanjiri dengan permintaan donasi di berbagai website. Juga ditambah dengan kampanye para selebritis yang menganjurkan untuk menyumbangkan dana ke American Red Cross. Pertandingan di NBA juga diselipi dengan iklan permintaan donasi. Facebook juga dipenuhi dengan group-group yang hampir semuanya menganjurkan untuk menyumbang dana ke American Red Cross. Bahkan setiap penggunaan aplikasi di Facebook juga dipotong dananya oleh American Red Cross. Terus terang, situasi yang mirip dengan kondisi ini saya lihat waktu pemilihan Presiden AS yang terakhir. Tentu saja kita tahu pemenang pemilihan itu, adalah Presiden yang didukung oleh banyak selebritis.

Memang wajar kalau selebritis menganjurkan untuk menyumbang, tapi yang nggak wajar adalah ketika terjadi bencana di tempat lain tidak ada ’kampanye besar-besaran’ seperti itu. Mengapa di Haiti?

Keempat, Pemerintah AS segera memposisikan diri sebagai koordinator bantuan gempa. Tapi dari sini muncul beberapa keanehan. Saat ini, militer AS mengendalikan bandara Port Au Prince yang cuma memiliki satu landasan pacu dan masih berfungsi dan digunakan dalam operasi bantuan. Kendali negeri adidaya atas bandara itu telah menuai protes negara-negara lain. Sebelumnya, 250 warga AS diterbangkan ke Pangkalan Angkatan Udara McGuire di New Jersey, AS, dengan menggunakan tiga pesawat militer dari Haiti. Pasukan AS awalnya melarang warga negara Perancis dan Kanada menaiki pesawat-pesawat itu. Namun kemudian mereka dibolehkan naik setelah diprotes oleh pejabat-pejabat pemerintah Perancis dan dan Kanada. Pesawat-pesawat pengirim bantuan dari negara-negara lain tidak diijinkan mendarat di Haiti sampai 30 jam setelah gempa terjadi. Selama 30 jam itu, yang mendarat adalah pesawat-pesawat militer AS. Selain itu, proses search and rescue di Haiti (yang juga dipimpin oleh AS) tidak dimulai hingga 48 jam setelah gempa terjadi.

Protes pun dilancarkan oleh Perancis, yang misi pertolongannya ditolak mendarat di bandara Port Au Prince. Organisasi Medicines Sans Frontiers (MSF) padahal sudah menyiapkan 12 ton bahan bantuan untuk warga Haiti. Namun pesawat mereka justru ditolak mendarat oleh otoritas Haiti sendiri, mungkin juga atas tekanan AS. Bahkan terkait penolakan tersebut, Menteri Kemanusiaan Perancis Alain Joyandet sempat beradu mulut dengan komandan militer AS di bandara itu.

Warga Haiti sendiri juga tidak diijinkan untuk mengambil bantuan di bandara, kemudian bantuan yang datang dikumpulkan di suatu tempat dan hanya diberikan kepada warga dengan ‘special case’.

OK, mungkin dengan kekacauan akibat gempa, proses koordinasi mungkin akan berjalan dengan lambat. Tapi hal itu masih tidak dapat menutupi keheranan saya akanperhatian’ AS terhadap Haiti.

Setelah melihat dan mendengar beberapa keanehan di atas, saya kemudian berusaha memperkirakan apa yang sebenarnya sedang terjadi di Haiti. Untuk itu saya akan mulai dengan hubungan ekonomi antara Haiti dengan AS.

Sebagai salah satu negara termiskin, Haiti selalu tak bisa lepas dari utang. Pendapatan nasionalnya sebesar USD $ 7 milyar per tahun, dan hampir seluruh hasil produksi nasionalnya dibeli oleh Amerika Serikat. Belum lagi utang Haiti kepada AS melalui World Bank, dan juga kewajiban Haiti sejak tahun 1940-an untuk membayar emas kepada Perancis. Tak terbantahkan lagi, Haiti dapat dikatakan tidak punya uang sama sekali. Jadi kesimpulannya, secara ekonomi, Haiti tidak ada pengaruh apa-apa terhadap AS. Lalu apa?

Lalu perhatian saya kembali ke hal yang ditengarai menjadi tujuan AS dalam perang di Irak dan Afghanistan: minyak. Apakah ada minyak di Haiti? Jawabannya: Ya.

http://open.salon.com/blog/ezili_danto/2009/10/13/oil_in_haiti_-_economic_reasons_for_the_unus_occupation

There is evidence that the United States found oil in Haiti decades ago and due to the geopolitical circumstances and big business interests of that era made the decision to keep Haitian oil in reserve for when Middle Eastern oil had dried up. This is detailed by Dr. Georges Michel in an article dated March 27, 2004 outlining the history of oil explorations and oil reserves in Haiti and in the research of Dr. Ginette and Daniel Mathurin.

There is also good evidence that these very same big US oil companies and their inter-related monopolies of engineering and defense contractors made plans, decades ago, to use Haiti's deep water ports either for oil refineries or to develop oil tank farm sites or depots where crude oil could be stored and later transferred to small tankers to serve U.S. and Caribbean ports.

Dan berikut adalah sumber yang menyatakan bahwa minyak bumi terletak tepat di bawah episentrum gempa.

http://www.margueritelaurent.com/pressclips/miningresources.html

Tak hanya minyak bumi, ternyata di tanah Haiti juga dipenuhi dengan perak, emas, dan tembaga.

Tapi apakah semata masalah tambang minyak, jadi AS berkepentingan dengan Haiti? Ternyata tidak. Secara geografis, Haiti terletak di laut Karibia. Seperti kita ketahui, Haiti terletak di sebelah Republik Dominica. Tapi yang lebih penting lagi, Haiti hanya dibatasi oleh sebuah selat kecil dengan negara musuh AS, yaitu Cuba. Dan juga, Haiti terletak tepat di tengah antara AS dengan musuhnya yang lain, yaitu Venezuela.

Apa implikasinya? AS akan sangat diuntungkan secara militer jika mendirikan pangkalan di Haiti. Mengapa dari dulu tidak didirikan pangkalan militer di situ, apalagi Haiti berutang banyak terhadap AS? Tentu saja karena hal itu akan merusak citra AS sebagaipenjaga perdamaian’. Dan tentunya pembangunan pangkalan secara terbuka akan memancing Cuba dan Venezuela untuk bereaksi keras. Nah, adanya bencana gempa ini tentu dapat menjadi titik tolak pembangunan pangkalan militer itu, yang dapat diselubungi dengan bantuan rekonstruksi pasca gempa. Pemerintah Haiti pun tak dapat berkutik, karena memang sangat membutuhkan bantuan rekonstruksi itu.

Pemerintah Venezuela rupanya sudah mengeluarkan statement mengenai kemungkinan pendirian pangkalan AS di Haiti tersebut. Bahkan Presiden Hugo Chavez secara terbuka menyatakan bahwa penyebab gempa tersebut adalah akibat ulah senjata militer AS (mungkin HAARP?).

http://www.disclose.tv/action/viewvideo/37678/Chavez__US_weapon_test_caused_Haiti_earthquake/

Dengan demikian, makin jelas kepentingan Pemerintah AS di Haiti. Bagaimana dengan American Red Cross? Mengapa mereka juga seakan menggebu-gebu, bahkan terkesan memonopoli penggalangan dana bantuan? Untuk menjawab itu, saya akan mengungkapkan jajaran Board of Directors dari American Red Cross sebagai berikut:

  • Gail J. McGovern (President, CEO)
  • Ann Kaplan (Vice Chairman of the Executive Committee; Vice Chair of the Compensation and Management Development Committee)
  • Suzanne Nora Johnson (Executive Committee; Chair of the Compensation and Management Development Committee)
  • Paula E. Boggs (Audit and Risk Management Committee)
  • Allan Goldberg (Chair, QRC Subcommittee, Audit and Risk Management Committee)
  • Sanford "Sandy" Belden (Chair of the Audit and Risk Management Committee; Executive Committee)
  • Steve Wunning (Vice Chair, Audit and Risk Management Committee; Compensation and Management Development Committee)
  • Cesar Aristeiguieta (Audit and Risk Management Committee)
  • H. Marshall Schwarz (Audit and Risk Management Committee)
  • Melanie Sabelhaus (Chair, Philanthropy Committee; Executive Committee)
  • Richard M. Fountain (Vice Chair, Philanthropy Committee)
  • Jerry "James" Goodwin (Philanthropy Committee)
  • Richard Patton (Philanthropy Committee)
  • Bonnie McElveen-Hunter (Chairman, Executive Committee)
  • Joe Pereles (Vice Chairman, Executive Committee)
  • Laurence E. Paul (Vice Chairman – Finance, Executive Committee)
  • Jim Keyes (Vice Chair, Governance and Board Development Committee)
  • Youngme Moon (Governance and Board Development Committee)
  • Anna Maria Larsen (Governance and Board Development Committee)

Dari jajaran Board of Directors itu, saya kembali ke salah satu aspek perekonomian Haiti. Mungkin pembaca sudah mengetahui, bahwa ekspor utama Haiti adalah kopi.

http://www.caribbeannetnews.com/news-18428--6-6--.html

Yang menarik, Paula E. Boggs (Audit and Risk Management Committee) dari American Red Cross di atas juga menjabat sebagai Executive Vice President, General Council, and Secretary dari perusahaan Starbucks Coffee Company.

http://alumni.jhu.edu/distinguishedalumni2009

Di bidang telekomunikasi, Haiti telah memiliki perusahaan telekomunikasi negara bernama Teleco. Sejak peristiwa penggelapan dana Teleco oleh Jean-Bertrand Aristide (http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-Bertrand_Aristide#Accusations_of_embezzlement_of_telecom_revenues), mantan Presiden Haiti, pemerintah Haiti didesak untuk menjual Teleco ke publik. Dengan adanya bencana ini, tentunya pemerintah Haiti tidak memiliki pilihan lain. Dan kebetulan, Gail McGovern (President, CEO) dari American Red Cross pernah menjabat di top management AT&T, dan sampai sekarang masih mempunyai pengaruh di dunia telekomunikasi AS.

http://en.wikipedia.org/wiki/Gail_J._McGovern

Tentunya rekonstruksi Haiti juga memerlukan biaya jutaan dollar dan jangka waktu proyek yang lama. Tidak hanya bangunan-bangunan pemerintah yang roboh, tapi juga rumah-rumah ratusan ribu penduduk yang membutuhkan prioritas. Sebuah perusahaan AS pun telah disetujui untuk mengerjakan rekonstruksi tersebut, yaitu Caterpillar, Inc. Mungkin karena Group President Caterpillar dan juga Director dari Kennametal, Inc. (perusahaan pembuat alat manufaktur) adalah Steve Wunning, yang menjabat Vice Chair, Audit and Risk Management Committee; Compensation and Management Development Committee di American Red Cross.

http://people.forbes.com/profile/steven-h-wunning/16433

Sementara itu, kondisi warga Haiti yang selamat dari gempa pun tak kalah mengenaskannya. Mereka kekurangan obat-obatan untuk mengobati luka-lukanya. Belum lagi profil kesehatan jangka panjang dari Haiti sendiri yang di bawah standar, termasuk dalam penanganan penyakit AIDS. Rupanya Merck and Co, Inc. dengan cepat langsung memasok kebutuhan obat-obatan itu, mungkin karena Allan Goldberg (Chair, QRC Subcommittee, Audit and Risk Management Committee) dari American Red Cross adalah Executive Director dari Merck and Co, Inc.

http://www.linkedin.com/pub/allan-goldberg/11/694/1bb

Ada lagi, Ann Kaplan (Vice Chairman of the Executive Committee; Vice Chair of the Compensation and Management Development Committee) dari American Red Cross, ternyata juga menjabat dalam Boards of Financial Guaranty Insurance Company and the Goldman Sachs Bank.

http://www.columbia.edu/cu/secretary/bios/kaplan/index.html

Juga Suzanne Nora Johnson (Executive Committee; Chair of the Compensation and Management Development Committee) dari American Red Cross ternyata sampai dengan tahun 2007 menjabat Vice Chairman dari Goldman Sachs, Chairman dari Global Markets Institute, Kepala dari Global Investment Research Division Global Markets Institute, dan anggota Management Committee dari Global Markets Institute.

http://en.wikipedia.org/wiki/Suzanne_Nora_Johnson

Dan itu baru sebagian Board of Directors dari American Red Cross.

Ternyata memang banyak sekali kepentingan yang ‘bermaindi bencana gempa Haiti ini, maka tak heran pihak-pihak yang saya sebutkan di atas terkesan menggebu-gebu memberikan bantuan. Dari kejadian ini saya jadi teringat film Syriana, sebuah thriller politik yang mengisahkan dominasi AS di Timur Tengah.

Memang tidak salah untuk segera memberikan bantuan, tapi saya khawatir bahwa manfaat tersebut hanya akan dirasakan oleh warga Haiti dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, utang yang tadinya sudah melilit mereka bukannya akan semakin longgar, tapi akan semakin mencekik leher. Itulah dunia kapitalisme dan neo-imperialisme.


Tuesday, January 12, 2010

The Great Knowledge of Queen Seon Deok

Walaupun berdasarkan kisah sejarah di Korea, namun saya tak serta merta tertarik untuk menonton serial “The Great Queen Seon Deok” yang diputar di salah satu TV setiap sore. Tapi awal ketertarikan saya terhadap serial itu justru gara-gara istri saya yang selama ini menjadi penasihat politik sekaligus teman tidur saya selalu terpaku di depan TV untuk menontonnya. Seperti biasa, ketertarikan saya berlanjut ke pencarian informasi mengenai Seon Deok di web.

Dari pencarian itulah saya kemudian menjadi makin tertarik, karena dari sejarahnya Queen Seon Deok adalah pendiri observatorium pertama di Asia Timur, yang dinamakan Cheomseongdae (secara harfiah berarti “Star-Gazing Tower”).

Cheomseongdae saat ini menjadi salah satu bangunan ilmiah tertua di dunia. Desainnya pun dibuat secara rinci, setiap bagian dibangun berdasarkan filosofi astronomi dan astrologi.

The tower is built out of 362 pieces of cut granite which some claim represent the 362 days of the lunar year. Some surveys of the site have indicated that there are 366 blocks. It has 27 circular layers of stones (some associate it with the fact that Queen Seondeok was considered to be the 27th ruler of Silla) surmounted by a square structure. 12 of the layers are below the window level and 12 are above. There are 12 large base stones set in a square, with three stones on each side. These sets of 12 may symbolize the months of the year. (Wikipedia)

Setelah terpesona oleh peninggalan bersejarah itu, saya pun menemukan blog http://kadorama-recaps.blogspot.com yang memuat sinopsis dari serial itu dari episode ke episode. Karena saya tidak mengikuti serial tersebut dari awal, maka saya pun membaca sinopsis itu untuk mengejar “ketertinggalan” saya. Memang sih, seperti halnya drama-drama lainnya, pasti ada bumbu-bumbu drama dan percintaan yang menghiasi serial ini. Mengingat sejarah detilnya juga tersedia dengan berbagai versi (antara lain dari buku Samguk Sagi dan Samguk Yusa), serial ini pun dibuat berdasarkan legenda dari mulut ke mulut mengenai penguasa perempuan pertama di Korea itu. Tapi overall, dari segi pengaturan cerita, serial ini layak diacungi jempol karena berhasil menampilkan intrik-intrik politik yang asyik untuk diikuti. Sayangnya, penyiarannya di TV (Indosiar) adalah jam 17.00 – 18.30, dimana sebagian besar di antara waktu itu saya masih ada di dalam perjalanan pulang kantor. Tapi kalaupun saya lagi beruntung, minimal saya masih bisa menonton setengah jam terakhir. Andalan saya memang hanya blog sinopsisnya tadi.

Dari kisah QSD itu (yang di Korea sendiri baru habis tanggal 22 Desember 2009 lalu), saya pun dapat menarik beberapa pelajaran sejarah, ekonomi, bahkan hingga ke manajemen pengetahuan yang saya tekuni di kantor sejak tahun 2002. Di negaranya sendiri, serial ini telah menyabet 12 MBC Drama Awards 2009.

Pelajaran pertama yang saya dapatkan tentu adalah kebudayaan bangsa Korea kuno yang rupanya sangat dipengaruhi oleh ilmu perbintangan dalam menjalankan aktivitas mereka sehari-hari. Selain mempengaruhi kapan mereka harus bercocok tanam atau kapan harus memanen, ilmu perbintangan yang disebut oleh mereka sebagai “ilmu para dewa” itu juga sangat dominan dalam pemerintahan, dimana hanya segelintir orang yang memiliki pengetahuan itu. Adalah Lady Mishil, sang tokoh antagonis, yang menguasai pengetahuan “para dewa” itu, sehingga mengantarkannya menjadi Penjaga Segel Kerajaan (Royal Seal). Jabatan ini sangat berpengaruh di lingkungan kerajaan, karena menjadi penentu segala keputusan raja yang menyangkut kesejahteraan rakyatnya.

Kehadiran Deokman (nama kecil dari Seon Deok) tentu merubah segalanya. Ia yang sejak bayi dibuang oleh kerajaan rupanya banyak belajar dari pedagang-pedagang mancanegara, termasuk pedagang dari China yang memberinya buku mengenai ilmu astronomi dari jaman China kuno (ingat kisah Kaisar pertama China, Huang-Di, yang mengajarkan ilmu astronomi dari “langit”?). Pengetahuan astronomi itu pula yang mengantarkan Deokman kembali ke depan pintu istana ayahnya, dengan cara menghitung dan meramalkan kapan gerhana matahari akan terjadi. Bangsa Korea waktu itu mempercayai bahwa penerus raja akan datang bersamaan waktunya dengan gerhana matahari. Dengan penguasaan ilmu itu, maka kehadiran kembali Deokman ke istana disamakan waktunya dengan gerhana matahari, sehingga raja pun mengakui kembali anaknya yang (tanpa sengaja) telah ia buang itu.

Deokman juga belajar ilmu pengetahuan lainnya seperti matematika, ekonomi, dan politik dari pedagang-pedagang timur tengah. Dari proses pembelajaran itu, Deokman pun menyadari bahwa pengetahuan itu tak bisa dibendung di satu titik saja, namun harus disebarkan atau disharing-kan dengan orang lain. Ketika pengetahuan itu menjadi komoditas satu pihak saja, dalam hal ini kerajaan, maka kerajaan itu akan menjadi otoriter dan tidak mendapat penghormatan semestinya. Yang ada hanyalah rasa ketakutan, dan itulah yang dihindari oleh Deokman. Makanya ketika Deokman kembali masuk ke lingkungan kerajaan, ia langsung berinisiatif membangun Cheomseongdae. Tujuannya supaya rakyatnya dapat belajar sendiri mengenai ilmu perbintangan yang selama ini dimonopoli oleh kerajaan dan kaum bangsawan. Tentu saja pihak Mishil yang selama ini melakukan knowledge hoarding itu tidak dapat menerimanya, karena kekuasaannya jelas-jelas akan hilang. Konsep ”knowledge is power” milik Mishil terkalahkan oleh konsep ”shared knowledge is power” milik Deokman. Saat ini, konsep “shared knowledge is power” itu sangat mendasari sebuah ilmu yang booming sejak tahun 2000-an, yaitu manajemen pengetahuan.

Kekalahan ilmu itu tentu kemudian membuat Mishil melancarkan serangan politik lain ke Deokman, yaitu menyangkut ekonomi. Disinilah kita diperkenalkan mengenai pelajaran ekonomi yang mendasar, yaitu supply dan demand. Para bangsawan yang tunduk dengan Mishil ramai-ramai berspekulasi dengan menimbun hasil bumi di lumbungnya masing-masing, sehingga pasokan di pasar menjadi berkurang. Kurangnya pasokan itu tentunya membuat harga di pasaran melambung tinggi, sehingga menyengsarakan rakyat dan muncul kriminalitas. Deokman dan pengikutnya tadinya tak menyadari bahwa naiknya harga hasil bumi itu disebabkan adanya spekulan. Hal tersebut baru diketahui setelah Deokman memerintahkan salah satu pengikutnya untuk mencari informasi dengan diam-diam (rahasia) di pasar mengenai apa penyebab krisis itu. Dalam istilah modern, metode Deokman dalam memperoleh informasi itu dinamakan economic intelligence. Intelijen di bidang ekonomi, yang kini banyak digunakan oleh negara-negara adidaya.

Dari hasil intelijen itu, ditemukanlah penyebab utama krisis adalah ulah spekulan. Tujuan sementaranya memang adalah menaikkan harga barang di pasar, sehingga apabila barang itu dijual kembali akan menghasilkan keuntungan yang berlipat-lipat. Namun demikian, ternyata Deokman menemukan tujuan lain yang lebih besar dari spekulasi itu: Tanah. Ketika harga melambung tinggi, rakyat tidak akan sanggup membeli barang kebutuhan pokok itu ketika para bangsawan menjualnya. Secara economic psychology, mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkan kebutuhan dasar itu. Satu-satunya yang dapat dilakukan adalah memberikan tanah milik mereka ke para bangsawan itu. Dan ketika mereka sudah tak punya apa-apa lagi untuk diberikan, mereka akan sukarela menjadi budak kaum bangsawan. Mengetahui hal itu, Deokman dan pengikutnya segera bekerja keras untuk menurunkan harga barang.

Cara satu-satunya untuk menurunkan harga adalah membanjiri pasar dengan pasokan barang. Tapi masalahnya, Deokman tidak memilikinya. Sementara hasil bumi milik kerajaan tidak boleh diperjualbelikan, karena kerajaan dilarang berdagang dengan rakyat. Apa yang dilakukan Deokman? Melalui intelejen-nya, ia menciptakan rumor di masyarakat bahwa kerajaan akan membanjiri pasar dengan hasil bumi yang dimilikinya. Rumor itu seolah-olah diverifikasi ketika rakyat mendapati beberapa hasil bumi milik kerajaan yang terlihat di beberapa toko di pasar. Padahal, Deokman hanya ’menitipkan’ komoditas itu kepada para pedagang itu, bukan menjualnya. Seketika harga komoditas pun menurun, dan para spekulan terpaksa menjual kembali hasil bumi yang ditimbunnya untuk menghindari kerugian. Lagi-lagi, ini adalah pelajaran ekonomi yang fundamental dan sampai sekarang diaplikasikan dalam berbagai hal, termasuk dalam hal stabilisasi nilai mata uang. Ditambah dengan manajemen ekspektasi, dimana Deokman menciptakan rumor bahwa akan memasok komoditas dalam jumlah besar yang berujung pada turunnya harga di pasar. Dengan hanya ’menitipkan’ beberapa hasil bumi ke beberapa pedagang, Deokman berhasil menggiring ekspektasi pasar sehingga harga pun turun tanpa terelakkan. Lebih dari seribu tahun sebelum Adam Smith memperkenalkan teori ”invisible hand”, rupanya Deokman telah menerapkannya di kerajaan Silla.

Selain itu, dalam drama sejarah ini kita juga dapat mempelajari kancah perpolitikan kaum bangsawan Korea, dimana mereka lebih mengutamakan diplomasi daripada peperangan fisik. Adu pengetahuan ini digunakan oleh Deokman dan Mishil, dan ketika perseteruan itu sudah berujung pada perang saudara, Mishil merasa dirinya akan kalah perang. Dengan sifat kebangsawanannya, ia memilih untuk tidak mengorbankan pengikutnya lebih jauh lagi kemudian bunuh diri dengan meminum racun. Deokman pun ikut menangisi kematiannya, karena ternyata Mishil masih lebih memikirkan persatuan rakyat Silla daripada kepentingan kekuasaannya sendiri. Hal inilah yang ingin diungkapkan oleh sang sutradara, bahwa tokoh antagonis bisa memiliki sikap yang nasionalis. Sikap inilah yang jarang sekali dimiliki oleh kalangan negarawan sampai saat ini.

Dan last but not least, tentu saja yang patut kita jadikan pelajaran adalah kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh Deokman maupun Mishil, dimana keduanya menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk dominasi kekuasaan. Kala itu, hal ini tentunya menjadi sebuah paradoks di lingkungan dimana kaum pria mendominasi secara budaya.