Film “Watchmen” yang baru-baru ini diputar di bioskop kita merupakan adaptasi dari graphic novel setebal 400 halaman dan sudah saya baca sejak SMA dulu. Awalnya memang saya tidak begitu menyukai komik itu, karena dialognya terlalu bertele-tele dan terkesan dipanjang-panjangkan. Saat inipun tidak sedikit orang yang berpendapat sama mengenai filmnya, bahkan di Indonesia filmnya dapat dikatakan tidak laku alias tidak ada yang nonton.
Sekilas, Watchmen yang berdurasi 2,5 jam di film memang berisikan hal-hal yang brutal, sadis, keras, bahkan menampilkan upaya perkosaan, pembunuhan wanita hamil dan anak kecil yang dicabik-cabik oleh anjing. Memang sadis dan keras, tapi memang sang Sutradara (Zack Snyder, sutradara film “300”) berusaha setia pada komiknya, memvisualisasikan kembali gambar statis di komik menjadi gambaran yang dinamis. Dan hasilnyapun berdarah-darah seperti komiknya, walaupun beberapa adegan di komik tidak divisualisasikan (mungkin karena tidak dianggap esensial).
Dari berbagai percakapan saya dengan orang-orang yang saya kenal, kebanyakan memang tidak menyukai Watchmen karena alur ceritanya yang kompleks. Sebagian juga merasa tidak nyaman dengan brutalisme yang ditampilkan, bahkan ada yang menganggap si pembuat komik (Alan Moore-Dave Gibbons) adalah orang-orang yang memiliki kelainan jiwa karena membuat komik sesadis itu untuk anak-anak. Tapi apa iya? Rasa-rasanya Alan Moore dan Dave Gibbons sendiri tidak akan rela kalau komiknya dibaca oleh anak-anak yang cenderung menelan mentah-mentah isi komiknya itu tanpa ada dasar kedewasaan berpikir.
Berbicara mengenai komik, kebanyakan orang (yang saya kenal) lebih nyaman dengan cerita kepahlawanan yang “normal” seperti Superman, yang mempunyai jalan cerita yang mudah diikuti. Sebagian orang juga berpaling ke jagoan lokal, seperti kisah Mahabharata dengan Gatotkaca (tapi sebenarnya Ghattotkacha berasal dari ranah India, jadi tidak dapat disebut jagoan lokal juga).
Mungkin hanya sedikit yang memperhatikan, Superman yang selalu mengedepankan “Truth, Justice, and the American Way” dari awal kemunculannya sampai sekarang lama kelamaan makin menunjukkan sikap seperti seorang fascist, tak beda jauh dari Hitler atau Mussolini. Sementara Gatotkaca yang mempunyai ‘otot kawat balung wesi’ ternyata dibesarkan untuk dijadikan alat oleh Arjuna –pamannya sendiri– supaya dapat membunuh Karna (Karnna), hanya karena seorang Gatotkaca mempunyai cacat genetik berwujud raksasa, lengkap dengan taring-taringnya. Hellooo, ada yang melihat konteks isu rasialis disini?
Sebagai penggemar komik, ketika masih anak-anak dulu memang saya seringkali mencerna mentah-mentah isi komik itu, dan menganggap semuanya hanya hitam-putih atau baik versus jahat. Namun seiring bertambahnya usia, saya melihat sedikit demi sedikit bahwa di balik komik-komik atau cerita superhero yang selama ini hanya saya anggap sebagai hiburan itu ternyata juga terselip ajaran-ajaran subliminal yang terinternalisasi ke dalam pikiran kita tanpa kita sadari.
Kembali ke Watchmen. Di balik kebrutalan visualisasinya ternyata komik/film itu adalah profil psikologi dari Amerika Serikat, pemerintah maupun masyarakatnya. Komik atau Graphic Novel ini merupakan kritikan tajam terhadap pemerintahan Amerika Serikat dan kehidupan masyarakat Amerika, bahkan salah satu tokoh sentral di komik ini mengatakan, “This is the American Dream” – paranoia, brutalisme, sadisme, dan loss of humanity, semuanya dibungkus rapi dalam kotak patriotisme, kebersamaan, dan slogan perdamaian bagi seluruh dunia.
Kritikan Alan Moore dan Dave Gibbons terhadap Amerika Serikat dalam Watchmen terungkap dari sifat 6 karakter utamanya, yang dieksplorasi secara mendalam dan cukup detail. Penyelaman karakter tersebut juga bukan tanpa perhitungan yang cermat. Dan belajar dari Superman, ternyata kepribadian masyarakat Amerika tidak cukup diwakili oleh satu orang saja.
The Comedian (Edward Blake)
Tokoh yang mati di awal film ini digambarkan mempunyai sifat kejam dan sinis terhadap lingkungan sekitar, walaupun memiliki idealisme buta dalam membela kehormatan negara dan bangsanya sendiri. Untuk membela kehormatan itu, ia tidak segan membunuh siapapun yang dianggap menghalangi Amerika untuk menjadi negara adidaya –viet-cong, bahkan masyarakat Amerika sendiri yang sedang berdemonstrasi dan juga Presiden JFK. Tokoh ini menggambarkan Pemerintah Amerika Serikat yang menganggap dirinya sebagai polisi dunia dan negara adidaya, mengintervensi segala aspek kehidupan masyarakatnya sendiri dan juga negara lain.
Dr. Manhattan (Jon Osterman)
Ilmuwan yang mengalami kecelakaan nuklir ini adalah satu-satunya anggota Watchmen yang memiliki kekuatan super seperti dewa, bahkan ia dapat mengetahui berbagai kejadian di masa depan. Namun kekuatan dewa itu ternyata mengakibatkan Dr. Manhattan kehilangan kemanusiaannya dan tidak peduli terhadap apapun kecuali dirinya sendiri. Bahkan ia tidak berbuat apapun untuk mencegah The Comedian menembak mati seorang perempuan yang dihamilinya di Vietnam, padahal dia sudah tahu bahwa hal itu akan terjadi. Tokoh ini menggambarkan kritik terhadap Amerika yang superpower namun tidak peduli lagi dengan kemanusiaan kecuali demi kepentingannya sendiri.
The Nite Owl (Daniel Dreiberg)
Dreiberg adalah seorang pahlawan yang digambarkan sebagai seorang yang baik hati, gagah berani, ahli dalam pertarungan tangan kosong, kaya raya, mempunyai berbagai peralatan canggih, namun tidak percaya diri ketika tidak memakai kostumnya dan impoten ketika berhubungan seks. Penggambaran tokoh ini merupakan kritik terhadap Pemerintah Amerika Serikat yang selalu berusaha tampil sempurna di luar, namun tidak berdaya ketika berusaha mengatasi masalah domestiknya sendiri.
The Silk Spectre (Laurie Juspeczyk)
Laurie Juspeczyk adalah tipikal ‘anak mami’, yang menjadi pahlawan bertopeng karena disuruh oleh Ibunya (Miss Jupiter) yang merasa dirinya sudah tua dan tidak cantik lagi. Berangkat dari obsesi sang Ibu, walaupun mempunyai ketrampilan bertarung yang tinggi, namun Laurie tumbuh menjadi perempuan yang tidak percaya diri dan selalu menggantungkan diri kepada laki-laki. Tokoh ini menggambarkan masyarakat Amerika yang tidak percaya diri dan selalu terombang-ambing di negaranya sendiri, menggantungkan diri terhadap apapun yang diputuskan pemerintahnya.
Ozymandias (Adrian Veidt)
Diilustrasikan sebagai orang terpintar di dunia, Veidt digambarkan sebagai orang yang mampu menguasai seluruh fungsi otaknya, sehingga menjadi prima baik secara fisik maupun mental. Obsesinya adalah perdamaian dunia dengan mencegah perang nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang diramalkan akan memakan korban milyaran jiwa. Namun untuk mewujudkan obsesi itu, dia rela mengorbankan berjuta-juta jiwa manusia dengan senjata mautnya dan memfitnah temannya sendiri. Tokoh ini menggambarkan kritik terhadap Pemerintah Amerika Serikat yang seringkali menggunakan perang dengan dalih mewujudkan perdamaian dunia (9/11, anyone?)
Rorschasch (Walter Kovacs)
“Never compromise, not even in the face of Armageddon” adalah slogannya. Sesuai dengan topengnya yang berwarna hitam-putih, begitu pula Rorschach melihat dunia – hitam dan putih. Tidak ada grey area, tidak ada kompromi terhadap apapun, terutama kejahatan. Rorschach adalah simbol dari Liberalisme murni, yang mempunyai idealisme bahwa masyarakat sudah sepatutnya mengatur dirinya sendiri tanpa ada intervensi apapun dari Pemerintah, sehingga keberadaannya sering dianggap sebagai ekstrimis oleh pihak berwenang. Pada akhirnya, tokoh ini dibunuh oleh Dr. Manhattan sebagai penggambaran Amerika Serikat yang kehilangan idealisme dan visinya. Walaupun tokoh ini mempunyai masa lalu yang kelam, namun dialah satu-satunya tokoh yang konsisten mempertahankan idealismenya sampai akhir cerita.
Sekilas, Watchmen yang berdurasi 2,5 jam di film memang berisikan hal-hal yang brutal, sadis, keras, bahkan menampilkan upaya perkosaan, pembunuhan wanita hamil dan anak kecil yang dicabik-cabik oleh anjing. Memang sadis dan keras, tapi memang sang Sutradara (Zack Snyder, sutradara film “300”) berusaha setia pada komiknya, memvisualisasikan kembali gambar statis di komik menjadi gambaran yang dinamis. Dan hasilnyapun berdarah-darah seperti komiknya, walaupun beberapa adegan di komik tidak divisualisasikan (mungkin karena tidak dianggap esensial).
Dari berbagai percakapan saya dengan orang-orang yang saya kenal, kebanyakan memang tidak menyukai Watchmen karena alur ceritanya yang kompleks. Sebagian juga merasa tidak nyaman dengan brutalisme yang ditampilkan, bahkan ada yang menganggap si pembuat komik (Alan Moore-Dave Gibbons) adalah orang-orang yang memiliki kelainan jiwa karena membuat komik sesadis itu untuk anak-anak. Tapi apa iya? Rasa-rasanya Alan Moore dan Dave Gibbons sendiri tidak akan rela kalau komiknya dibaca oleh anak-anak yang cenderung menelan mentah-mentah isi komiknya itu tanpa ada dasar kedewasaan berpikir.
Berbicara mengenai komik, kebanyakan orang (yang saya kenal) lebih nyaman dengan cerita kepahlawanan yang “normal” seperti Superman, yang mempunyai jalan cerita yang mudah diikuti. Sebagian orang juga berpaling ke jagoan lokal, seperti kisah Mahabharata dengan Gatotkaca (tapi sebenarnya Ghattotkacha berasal dari ranah India, jadi tidak dapat disebut jagoan lokal juga).
Mungkin hanya sedikit yang memperhatikan, Superman yang selalu mengedepankan “Truth, Justice, and the American Way” dari awal kemunculannya sampai sekarang lama kelamaan makin menunjukkan sikap seperti seorang fascist, tak beda jauh dari Hitler atau Mussolini. Sementara Gatotkaca yang mempunyai ‘otot kawat balung wesi’ ternyata dibesarkan untuk dijadikan alat oleh Arjuna –pamannya sendiri– supaya dapat membunuh Karna (Karnna), hanya karena seorang Gatotkaca mempunyai cacat genetik berwujud raksasa, lengkap dengan taring-taringnya. Hellooo, ada yang melihat konteks isu rasialis disini?
Sebagai penggemar komik, ketika masih anak-anak dulu memang saya seringkali mencerna mentah-mentah isi komik itu, dan menganggap semuanya hanya hitam-putih atau baik versus jahat. Namun seiring bertambahnya usia, saya melihat sedikit demi sedikit bahwa di balik komik-komik atau cerita superhero yang selama ini hanya saya anggap sebagai hiburan itu ternyata juga terselip ajaran-ajaran subliminal yang terinternalisasi ke dalam pikiran kita tanpa kita sadari.
Kembali ke Watchmen. Di balik kebrutalan visualisasinya ternyata komik/film itu adalah profil psikologi dari Amerika Serikat, pemerintah maupun masyarakatnya. Komik atau Graphic Novel ini merupakan kritikan tajam terhadap pemerintahan Amerika Serikat dan kehidupan masyarakat Amerika, bahkan salah satu tokoh sentral di komik ini mengatakan, “This is the American Dream” – paranoia, brutalisme, sadisme, dan loss of humanity, semuanya dibungkus rapi dalam kotak patriotisme, kebersamaan, dan slogan perdamaian bagi seluruh dunia.
Kritikan Alan Moore dan Dave Gibbons terhadap Amerika Serikat dalam Watchmen terungkap dari sifat 6 karakter utamanya, yang dieksplorasi secara mendalam dan cukup detail. Penyelaman karakter tersebut juga bukan tanpa perhitungan yang cermat. Dan belajar dari Superman, ternyata kepribadian masyarakat Amerika tidak cukup diwakili oleh satu orang saja.
The Comedian (Edward Blake)
Tokoh yang mati di awal film ini digambarkan mempunyai sifat kejam dan sinis terhadap lingkungan sekitar, walaupun memiliki idealisme buta dalam membela kehormatan negara dan bangsanya sendiri. Untuk membela kehormatan itu, ia tidak segan membunuh siapapun yang dianggap menghalangi Amerika untuk menjadi negara adidaya –viet-cong, bahkan masyarakat Amerika sendiri yang sedang berdemonstrasi dan juga Presiden JFK. Tokoh ini menggambarkan Pemerintah Amerika Serikat yang menganggap dirinya sebagai polisi dunia dan negara adidaya, mengintervensi segala aspek kehidupan masyarakatnya sendiri dan juga negara lain.
Dr. Manhattan (Jon Osterman)
Ilmuwan yang mengalami kecelakaan nuklir ini adalah satu-satunya anggota Watchmen yang memiliki kekuatan super seperti dewa, bahkan ia dapat mengetahui berbagai kejadian di masa depan. Namun kekuatan dewa itu ternyata mengakibatkan Dr. Manhattan kehilangan kemanusiaannya dan tidak peduli terhadap apapun kecuali dirinya sendiri. Bahkan ia tidak berbuat apapun untuk mencegah The Comedian menembak mati seorang perempuan yang dihamilinya di Vietnam, padahal dia sudah tahu bahwa hal itu akan terjadi. Tokoh ini menggambarkan kritik terhadap Amerika yang superpower namun tidak peduli lagi dengan kemanusiaan kecuali demi kepentingannya sendiri.
The Nite Owl (Daniel Dreiberg)
Dreiberg adalah seorang pahlawan yang digambarkan sebagai seorang yang baik hati, gagah berani, ahli dalam pertarungan tangan kosong, kaya raya, mempunyai berbagai peralatan canggih, namun tidak percaya diri ketika tidak memakai kostumnya dan impoten ketika berhubungan seks. Penggambaran tokoh ini merupakan kritik terhadap Pemerintah Amerika Serikat yang selalu berusaha tampil sempurna di luar, namun tidak berdaya ketika berusaha mengatasi masalah domestiknya sendiri.
The Silk Spectre (Laurie Juspeczyk)
Laurie Juspeczyk adalah tipikal ‘anak mami’, yang menjadi pahlawan bertopeng karena disuruh oleh Ibunya (Miss Jupiter) yang merasa dirinya sudah tua dan tidak cantik lagi. Berangkat dari obsesi sang Ibu, walaupun mempunyai ketrampilan bertarung yang tinggi, namun Laurie tumbuh menjadi perempuan yang tidak percaya diri dan selalu menggantungkan diri kepada laki-laki. Tokoh ini menggambarkan masyarakat Amerika yang tidak percaya diri dan selalu terombang-ambing di negaranya sendiri, menggantungkan diri terhadap apapun yang diputuskan pemerintahnya.
Ozymandias (Adrian Veidt)
Diilustrasikan sebagai orang terpintar di dunia, Veidt digambarkan sebagai orang yang mampu menguasai seluruh fungsi otaknya, sehingga menjadi prima baik secara fisik maupun mental. Obsesinya adalah perdamaian dunia dengan mencegah perang nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang diramalkan akan memakan korban milyaran jiwa. Namun untuk mewujudkan obsesi itu, dia rela mengorbankan berjuta-juta jiwa manusia dengan senjata mautnya dan memfitnah temannya sendiri. Tokoh ini menggambarkan kritik terhadap Pemerintah Amerika Serikat yang seringkali menggunakan perang dengan dalih mewujudkan perdamaian dunia (9/11, anyone?)
Rorschasch (Walter Kovacs)
“Never compromise, not even in the face of Armageddon” adalah slogannya. Sesuai dengan topengnya yang berwarna hitam-putih, begitu pula Rorschach melihat dunia – hitam dan putih. Tidak ada grey area, tidak ada kompromi terhadap apapun, terutama kejahatan. Rorschach adalah simbol dari Liberalisme murni, yang mempunyai idealisme bahwa masyarakat sudah sepatutnya mengatur dirinya sendiri tanpa ada intervensi apapun dari Pemerintah, sehingga keberadaannya sering dianggap sebagai ekstrimis oleh pihak berwenang. Pada akhirnya, tokoh ini dibunuh oleh Dr. Manhattan sebagai penggambaran Amerika Serikat yang kehilangan idealisme dan visinya. Walaupun tokoh ini mempunyai masa lalu yang kelam, namun dialah satu-satunya tokoh yang konsisten mempertahankan idealismenya sampai akhir cerita.
Saya baru nonton Watchmen. Saya suka ulasannya. :D
ReplyDeleteIni adalah komik/film DC terbaik menurutku
ReplyDeleteSaya suka karakter adrian ozymandias n roschasch