Have fun and enjoy yourself

Monday, November 9, 2009

Human Origins of the Seventh Kind, Part 1


Film “The Fourth Kind” kini sudah mulai ditayangkan di bioskop-bioskop seluruh dunia, bercerita mengenai file-file video terkait dengan kejadian aneh yang menimpa penduduk kota Anchorage, Alaska pada tahun 1972. Fokus utama dari film ini adalah investigasi yang dilakukan oleh Dr. Abigail Tyler atas kejadian yang menimpa diri dan keluarganya serta beberapa penduduk kota tersebut. Istilah “The Fourth Kind” merujuk pada klasifikasi pertemuan dengan extraterrestrials atau makhluk asing:

Close encounter of the first kind
adalah penampakan dari satu atau lebih pesawat asing (UFO). Close encounter of the second kind adalah penampakan yang disertai efek samping terhadap lingkungan: radiasi, luka bakar, kelumpuhan badan, gangguan siaran TV, hewan yang ketakutan, dan berbagai tanda fisik lainnya. Close encounter of the third kind berdefinisi penampakan/kontak dengan entitas yang terkait dan berada di dalam atau di sekitar pesawat asing (UFO), ataupun entitas asing yang dinilai mempunyai intelegensia, tanpa adanya UFO.

Sementara itu, close encounter of the fourth kind adalah penculikan manusia oleh makhluk asing (biasanya dalam keadaan tidak sadar). Close encounter of the fifth kind menggambarkan kontak bilateral manusia secara sukarela dan sadar dengan makhluk asing. Close encounter of the sixth kind menunjukkan insiden dengan makhluk asing yang mengakibatkan kematian. Dan yang terakhir, close encounter of the seventh kind adalah interaksi makhluk asing dengan manusia, sampai dengan perkawinan antar jenis, dan intervensi makhluk asing terhadap sejarah manusia.

Sebelum film “The Fourth Kind”, Steven Spielberg telah membuat film “The Encounters of The Third Kind” pada tahun 1977, menceritakan dengan detail proses pertemuan manusia dengan makhluk asing. Kemudian kisah itu diulang kembali oleh Spielberg dengan cerita yang berbeda dalam “E.T.: the Extra-Terrestrial” pada tahun 1982. Konon, Presiden Ronald Reagan mengundang khusus Steven Spielberg ke Gedung Putih untuk menonton film E.T. di ruang pribadinya. Dan ketika film itu selesai, komentar sang Presiden adalah bahwa film itu sangat mendekati kenyataan. Sebuah komentar yang sangat sulit diklarifikasi oleh Spielberg kepada Reagan sampai akhir hayatnya. Tapi satu hal yang pasti, Spielberg memang menulis cerita kedua film itu berdasarkan hasil wawancara dengan orang-orang yang mengaku melakukan kontak dengan makhluk asing.

Kembali ke film “The Fourth Kind”, apabila dilihat sekilas film ini hanya menunjukkan re-enactment mengenai apa yang terjadi dengan Dr. Abigail Tyler, disertai dengan metode hipnotisnya untuk mencari keterangan mengenai apa yang terjadi dengan beberapa orang di kota kecil Alaska tadi. Tapi rupanya setelah penulis mengamati secara detil, terdapat satu adegan yang rupanya menjadi agenda besar dari film ini. Adegan itu adalah ketika Dr. Tyler sendiri dihipnotis, dan kemudian meracau dalam bahasa yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Bahasa itu ternyata bahasa Sumeria kuno, dan setelah diterjemahkan oleh ahli bahasa ternyata artinya adalah “I am God”. Seperti disebutkan oleh sang aktor utama, Milla Jovovich pada awal film: at the end, we must choose what to believe.

Mengapa hal itu disebut penulis sebagai agenda besar? Memang adegan itu hanya muncul sekilas, dan tidak terlalu diekspos secara dalam oleh produser dan sutradara film “The Fourth Kind”, mungkin karena pertimbangan tertentu. Namun dengan adanya pernyataan Milla Jovovich di awal film dan juga penonjolan bahasa Sumeria yang menyebutkan kalimat itu, penulis berkeyakinan bahwa film ini mengubah (atau setidaknya berusaha untuk mengubah) keyakinan kita. Nah, untuk lebih memahami kaitannya, penulis akan mencoba menyuguhkan asal usul bangsa Sumeria.

Kebudayaan Sumeria dan Dewa-Dewanya

Sumeria

Bangsa Sumeria sering disebut sebagai ‘peradaban yang muncul secara tiba-tiba’. Ini karena memang kebudayaannya yang tiba-tiba muncul pada tahun 5000 SM tanpa adanya proses evolusi, seperti halnya berbagai kebudayaan dunia yang lain. Dalam berbagai buku sejarah, bangsa Sumeria selalu disebut sebagai kebudayaan manusia yang tertua, terletak di antara sungai Euphrat dan Tigris, Mesopotamia (sekarang menjadi wilayah negara Irak). Dalam waktu yang relatif singkat, kebudayaan bangsa Sumeria berkembang menjadi kebudayaan maju, yang menguasai ilmu matematika, sains, astrologi, arsitektur, agrikultur, dan diakui menjadi penemu roda, persenjataan militeristik, dan yang terpenting adalah sistem penulisan pertama di dunia. Bagaimana kebudayaan yang paling kuno dan primitif dapat memiliki pengetahuan semaju itu? Apabila ditelusuri lagi, kebudayaan-kebudayaan yang muncul sesudah itu hanya dapat mengadopsi sebagian-sebagian saja dari seluruh kebudayaan bangsa Sumeria tadi.

Penulis meyakini bahwa awal riset terhadap suatu kebudayaan harus mencari arti atau definisi dari kata-kata dari kebudayaan itu. Kata ‘Sumer’ berarti ‘Tempat Penguasa Cahaya’. Alasan atau logika apa yang mendasari penamaan itu? Mungkin saja ‘cahaya’ disini berarti pengetahuan atau pencerahan seperti halnya dalam kebudayaan-kebudayaan yang lain di dunia. Yang menarik, bangsa Sumeria menyebut dirinya ‘ùĝ saĝ gígpe’ yang diartikan sebagai ‘orang-orang berkepala besar’. Logika dibalik ini masih tak terpecahkan, karena bangsa Sumeria tak berbeda secara biologis dengan manusia lain pada periode yang sama. Oleh karena itu terdapat kemungkinan bahwa penyebutan ini menunjukkan bentuk tubuh apa yang mereka inginkan/cita-citakan, atau apa yang terkoneksi dengan mereka dengan cara tertentu, Ditambah lagi mitologi Sumeria yang menyebutkan banyak cerita mengenai peperangan antara manusia dan Dewa, interaksi antara manusia dan Dewa, serta transfer pengetahuan antara manusia dan Dewa.

Kebudayaan Sumeria sampai saat ini diakui masih sulit untuk digapai, tidak seperti kebudayaan-kebudayaan lainnya di dunia. Hal ini karena pada peninggalan-peninggalannya terdapat persilangan antara ’realitas’ dan ’mitos’. Tapi pada dasarnya, kebudayaan Sumeria berdasar pada kepercayaan polytheistic yang menerangkan sebab akibat antara Dewa dan manusia. Dewa yang disembah disebut Annunaki (terkadang Ananaki) yang artinya ’mereka yang mempunyai darah bangsawan’ atau juga dapat berarti putra dari langit (Anu) dan (Na) Bumi (Ki). Tapi bangsa Sumeria tidak pernah menyebut Annunaki sebagai Dewa, melainkan ’din.gir’. ’Din’ berarti ’suci, murni, terang, bercahaya’, dan ’Gir’ lazim digunakan untuk mendeskripsikan benda yang berujung tajam. Jadi ’din.gir’ dapat diartikan ’mereka yang suci dan berasal dari benda yang berujung tajam’. Julukan lainnya adalah ’Elu’ yang berarti ’mereka yang di tempat tinggi’ yang kemudian berevolusi ke dalam bahasa Babylonia, Assyria, dan Yahudi menjadi ’EL’ – yang dikonotasikan oleh bangsa Yunani sebagai ’Tuhan’.

Bagaimana bentuk ’Dewa’ Sumeria ini, dan apa peran keberadaan mereka diantara bangsa tertua dalam sejarah manusia modern?

Anu adalah Dewa utama bangsa Sumeria, Dewa Langit, Dewanya dewa-dewa. Dia adalah dewa tertinggi yang merupakan ayah dari Annunaki, mempunyai kekuatan untuk menghakimi yang melakukan kejahatan.

Anu, Dewa Langit

Enki atau Ea adalah Dewa Air, tapi lebih dikenal sebagai Dewa Pengetahuan dan Kebijaksanaan, karena Enki adalah Dewa yang mengajari manusia tentang pengetahuan. Enki berarti Lord (En) of Earth (Ki). Enki juga dikenal sebagai Dewa Kehidupan dan Pelestari, dan dilambangkan mengalirkan air dari bahunya.

Enki, Dewa Air

Sedangkan Enlil adalah Dewa Angin atau juga sering diartikan sebagai Dewa Pemerintah, bertindak sebagaiPerdana Menteri’ yang melaksanakan pemerintahan Annunaki di Bumi. Enlil dan Enki adalah kakak beradik.

Enlil, Dewa Angin

Masih terdapat Dewa-Dewa lain dari bangsa Sumeria antara lain Ki, Anshar, Ereshkigal, Inanna, Dumuzi, Ishtar, Marduk, Nammu, Nergal, Shamash, Sin, dan Tiamat. Namun Anu, Enki, dan Enlil adalah tiga Dewa utama dari mitologi Sumeria. Ketiganya dipuja oleh bangsa Sumeria di bangunan bernama Zigurrat.

Zigurrat, tempat pemujaan Dewa-Dewa Sumeria

Epik Enuma Elish

Dalam kebudayaan Babylonia, Akkadian, dan Assyrian yang muncul jauh sesudah Sumeria, terdapat sebuah kesamaan mitologi penciptaan yang disebut Enuma Elish. Mitologi ini rupanya berasal dari budaya Sumeria juga. Enuma Elish direkam dalam 7 tablet dengan bahasa Babylonia, secara eksplisit menyebutkan Dewa-Dewa bangsa Sumeria dan keterlibatan mereka dalam penciptaan. Dalam epik tersebut, Dewa Marduk yang merupakan Dewa utama dari bangsa Babylonia adalah putra dari Enki.

Enuma Elish dalam Tablet Peninggalan Sumeria

Berikut adalah terjemahan dari salah satu dari 7 tablet Enuma Elish mengenai penciptaan Bumi:
When the sky above was not named,
And the earth beneath did not yet bear a name,
And the primeval Apsû, who begat them,
And chaos, Tiamat, the mother of them both,
Their waters were mingled together,
And no field was formed, no marsh was to be seen;
When of the gods none had been called into being.


Mari kita bandingkan dengan kitab Injil mengenai penciptaan:
In the beginning of God's creating the skies and the earth, when the earth had been shapeless and formless, and darkness was upon the face of the deep, and God's spirit was hovering on the face of the water, God said, 'Let there be light!'

Sedangkan dalam kitab Al-Qur’an disebutkan:

"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS Al-Anbiyaa’:30)

Mengenai perbedaan siang dan malam, disebutkan juga oleh ketiganya:

Enuma Elish 5:12–13: “The Moon-god he caused to shine forth, the night he entrusted to him. He appointed him, a being of the night, to determine the days;”

Gen. 1:14: And God said, "Let there be lights in the expanse of the sky to separate the day from the night, and let them serve as signs to mark seasons and days and years”

QS. Yunus :67: Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar[699].

Mengenai penciptaan manusia:

Enuma Elish 6:4-9: That which he had conceived in his heart he imparted unto him:"My blood will I take and bone will I fashion. I will make man, that man may. I will create man who shall inhabit the earth”

Gen 1:26: "God said, "Let us make man in our image, after our likeness

QS. Al-Hijr: 28-29: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.

Untuk mengamati kemiripan ketiga kitab tersebut, penulis merekomendasikan untuk membaca semuanya dengan detil dan memahami elemen-elemen fundamental dari masing-masing. Apakah benar bahwa Kitab Sumeria tersebut menjadi referensi dari kitab-kitab yang muncul pada era selanjutnya?

Enki, Prometheus yang sebenarnya

Menurut mitologi Yunani, Prometheus adalah Dewa yang mencuri api dari Zeus dan memberikannya ke manusia, dimana api merupakan lambang dari pengetahuan. Prometheus dianggap sebagai simpatisan manusia dimana dia menentang Dewa-Dewa yang lain dan mengajarkan pengetahuan yang terlarang untuk manusia. Seperti halnya Enki, yang disebut sebagai Dewa Pengetahuan dan Kebijaksanaan. Enki adalah salah satu pemegang kunci pengetahuan yang disebut ME, yang mengandung rahasia teknologi, pengembangan kemasyarakatan, agrikultur, dan lain-lain.

Tablet yang menggambarkan transfer pengetahuan Dewa (di bagian luar) ke manusia (raja di bagian dalam), semuanya mengelilingi Pohon Pengetahuan (tengah)

Tablet di atas adalah dari kebudayaan Assyrian (turunan dari Sumeria) yang menggambarkan Dewa-Dewa Anunnaki di bagian luar dan manusia di bagian dalam. Menurut para sejarawan, Enki digambarkan sebagai salah satu Dewa di kiri atau kanan, memberikan kehidupan untuk manusia, menyediakan pencerahan spiritual dengan Pohon Pengetahuan yang berada di tengah-tengah. Semua dengan dilindungi oleh Anshar (Dewa yang terbang) dari atas.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Enki memberikan pengetahuan dan pencerahan kepada umat manusia. Penggambaran Pohon Pengetahuan yang ditransfer oleh Enki ke manusia sering digambarkan sebagai ular kembar (seperti tablet di atas). Pada ilmu pengetahuan modern, ular kembar inilah yang digunakan sebagai lambang pengobatan (ilmu kedokteran). Tapi yang anehnya, bentuknya juga sama dengan DNA manusia.

Kemiripan antara struktur DNA manusia dengan gambaran Pohon Pengetahuan

Pohon Pengetahuan sebagai lambang dalam dunia kesehatan

Dari kemiripan Pohon Pengetahuan dengan struktur DNA manusia dan juga dari miripnya ayat penciptaan dari berbagai kitab seperti tersebut di atas, banyak peneliti dan sejarawan yang berani menyimpulkan bahwa ‘Dewa’ bangsa Sumeria-lah yang menciptakan Bumi dan juga manusia pertama, Adam/Adamu/Adapa pada saat mereka ’datang’ ke Bumi 400.000 tahun yang lalu. Hal ini berani disimpulkan, karena dalam DNA manusia terdapat 223 gen yang tidak ditemukan dalam DNA semua makhluk hidup lain yang ada di permukaan bumi, seolah ke-223 gen itu muncul tiba-tiba tanpa asal muasal. Inilah yang benar-benar disebut kalangan ilmuwan sebagai missing link. Di antara 30.000 gen manusia, jumlah 223 memang terkesan sangat kecil, bahkan tidak mencapai satu persen. Tapi 223 gen itulah yang membedakan manusia dengan simpanse.

Oleh karena itu, dari berbagai kitab itu para peneliti berhipotesis bahwa 223 gen itulah yang merupakan darah dan tulang Dewa (Enuma Elish 6:4-9), atau yang diyakini oleh penganut Injil membentuk rupa manusia yang mirip dengan penciptanya (Gen 1:26), ataupun yang disebut kalangan Muslim dengan ruh (ciptaan)-Nya (QS. Al-Hijr: 28-29). Ke-223 gen ’Dewa’ itu ditambahkan ke dalam DNA hominid (makhluk primata) yang telah ada di Bumi sebagai hasil dari evolusi, seperti hipotesis Charles Darwin (The Origin of Species).

Lebih detil lagi berdasarkan apa yang tercantum dalam tablet-tablet peninggalan Sumeria, Enki-lah yang menjadi biological designer, bertanggung jawab menyilangkan DNA manusia dengan DNA ’Dewa’. Apa tujuannya, berdasarkan tablet-tablet tersebut rupanya Annunaki ingin menciptakan ras pekerja/budak yang dapat bekerja mengeksploitasi kekayaan bumi untuk mereka. Sebelum adanya ras pekerja itu, kaum Annunaki harus mengerjakan semuanya sendiri.


When the gods like men

Bore the work and suffered the toil-

The toil of the gods was great,

The work was heavy, the distress was much

(dari salah satu tablet peninggalan Sumeria)


Rupanya muncul keresahan di antara kaum Annunaki, yang hampir berujung pada pemberontakan. Untuk mencegah itu, maka Enlil meminta Enki untuk membuat ras pekerja yang mudah diatur dan dikendalikan. Para pekerja itu sengaja tidak diberikan pengetahuan yang memadai, sehingga selalu menuruti perintah Enlil. Para pekerja itulah yang membangun piramid dan Sphinx (dengan kepala singa, sebelum penduduk Mesir mengganti kepala Sphinx yang hancur akibat banjir besar dengan wajah Pharaoh pada sekitar 3000 SM).

Enki (duduk) menciptakan Adam, manusia pertama

Namun seperti halnya mitologi Prometheus di Yunani, rupanya Enki merasa kasihan dengan kaum pekerja itu yang tidak mempunyai kebebasan spiritual. Akhirnya kurang lebih pada 5000 SM, setelah ratusan ribu tahun para ’Dewa’ menguasai Bumi dan manusia, Enki membuka Pohon Pengetahuan supaya manusia dapat mempelajarinya, meski ’Dewa-Dewa’ yang lain menentangnya. Itulah yang menyebabkan kebudayaan Sumeria tiba-tiba menjadi maju dan menguasai berbagai teknologi, kemudian ditularkan ke kebudayaan-kebudayaan yang muncul sesudahnya. Sebuah hipotesis yang masih diperdebatkan hingga kini.


Enki dan Pohon Pengetahuan dalam berbagai kebudayaan, tradisi, serta religi

Nah, kembali lagi ke Enki, rupanya penggambaran ular dalam Pohon Pengetahuan juga terdapat dalam berbagai kebudayaan, misalnya Mesir dan Yunani. Banyak peneliti meyakini bahwa Thoth (Dewa Mesir) adalah anak dari Enki, atau malah Enki sendiri. Bagi mereka yang mempelajari budaya Mesir dan Yunani pasti mengetahui bahwa Thoth adalah nama lain dari Hermes (Dewa Yunani), dengan nama Hermes Trismegistus. Dia mewarisi sebuah tongkat (disebut caduceus) dari Enki yang bentuknya sama dengan Pohon Pengetahuan.

Hermes/Thoth, Dewa Yunani dan Mesir dengan Caduceus (tongkatnya)

Konon tongkat tersebut diwariskan turun temurun berbagai generasi, akhirnya yang terdokumentasi adalah ketika Musa menggunakan tongkat tersebut untuk menghadapi Pharaoh Ramses. Berbagai peristiwa tercatat dalam Injil dan Al-Qur’an, antara lain tongkat itu berubah menjadi ular besar dan memakan ular kecil-kecil milik dukun-dukun Pharaoh, juga Musa menggunakan tongkat itu untuk membelah Laut Merah ketika exodus dari Mesir. Apakah istilah ular besar dan ular kecil itu merupakan simbolisasi bahwa penguasaan pengetahuan Musa jauh lebih maju dari dukun-dukun Pharaoh? Hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut.

Selain Yunani dan Mesir, hubungan antara penggambaran ular dan transfer pengetahuan dari ’Dewa’ kepada manusia rupanya juga terdapat di agama Buddha dan Hindu. Dikisahkan bahwa Siddharta Gautama, sang Buddha, setelah mendapatkan pengetahuan dan pencerahan spiritual selalu digambarkan dengan dipayungi/dilindungi oleh ular raksasa yang berada di belakangnya. Sementara di agama Hindu, ular (disebut nāga) merupakan bentuk keseimbangan alam. Dia merupakan pelindung dan pembawa kemakmuran, tapi juga dapat menimbulkan bencana seperti banjir dan kekeringan jika manusia tidak memperlakukannya dengan baik. Dapat menjadi analogi dari pengetahuan juga bukan?

Demikian pula pada kebudayaan-kebudayaan lain seperti China, Indo-China, suku Indian, Maya, Viking, Afrika, Aborigin, dan hampir seluruh kebudayaan lainnya, ular atau naga selalu dipuja-puja sebagai pelindung manusia yang membawa kemakmuran. Bahkan mahkota pharaoh Mesir mempunyai ujung/puncak mahkota berupa ukiran ular. Penulis yakin bahwa semua simbolisasi ular itu terkait dengan Pohon Pengetahuan yang ditransfer oleh Enki kepada manusia, dimana pengetahuan bisa membawa kemakmuran tapi juga sekaligus dapat membawa bencana jika disalahgunakan oleh manusia.

Tapi yang lebih menarik adalah penggambaran ular, transfer pengetahuan, dan kaitannya dengan manusia yang tercantum dalam Injil dan Al-Qur’an (walau tidak menyebut ular secara spesifik, tapi disamarkan). Semua pasti tahu kisah diusirnya Adam dan Hawa dari Surga (Eden) karena memakan buah dari Pohon Pengetahuan (Injil) atau buah khuldi (Al-Qur’an).

Dua penggambaran Adam dan Hawa yang digoda oleh “ular” untuk memakan buah terlarang

Dalam kedua kitab tersebut, transfer pengetahuan sama-sama dikonotasikan sebagai sesuatu yang tabu atau negatif, atau seharusnya tidak dilakukan. Dalam agama Yahudi dan Nasrani, ular selalu diidentikkan dengan Satan, atau nama lainnya Iblis bagi kalangan Muslim. Ular atau Satan atau Iblis adalah sosok yang digambarkan menggoda manusia untuk selalu menuruti hawa nafsunya seperti halnya Adam dan Hawa yang tergoda untuk memakan buah/pengetahuan terlarang. Jadi dari penggambaran itu, tidak keliru apabila ada yang menyimpulkan bahwa sebenarnya pengetahuan itu dilarang oleh agama. Benarkah demikian? Mengapa pengetahuan itu menjadi suatu hal yang tabu? Lebih jauh lagi, apakah Injil dan Al-Qur’an mengharuskan kita untuk menjadi ras pekerja/budak saja, tanpa pengetahuan yang bermanfaat untuk kita sendiri?

Setelah penulis coba telaah lebih jauh lagi mengenai penggambaran dalam kitab-kitab itu, penulis menemukan bahwa asal kata ular dalam Injil adalah nâchâsh yang diartikan secara harfiah sebagai ’ular yang mendesis’ (the hissing serpent). Dalam Injil, disebutkan bahwa:

Genesis 3:13-14

13 Then the LORD God said to the woman, "What is this you have done?" The woman said, "The serpent deceived me, and I ate."

14 So the LORD God said to the serpent, "Because you have done this, "Cursed are you above all the livestock and all the wild animals! You will crawl on your belly and you will eat dust all the days of your life.

Tapi yang menarik, sebenarnya asal kata nâchâsh adalah dari NHSH (hebrew) yang berartimemecahkan masalahataumencari tahu’. Menarik bukan? Mungkin itu sebabnya Al-Qur’an yang diyakini merupakan penyempurna kitab-kitab sebelumnya tidak menggunakan istilah ular, namun hanya menggunakan istilah pohon saja:

QS. Al-Baqarah: 35: Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.

Untuk menjawab pertanyaan mengapa Adam (manusia) seharusnya tidak mendekati Pohon Pengetahuan yang terlarang itu, sebaiknya kita menelaah mengapa agama diturunkan di tengah-tengah peradaban manusia. Tentunya sebagian besar dari kita setuju bahwa agama diturunkan untuk memperbaiki kualitas peradaban kita. Terlepas dari keakuratan kitab-kitab suci itu, yang dapat ditangkap penulis adalah kesamaan anggapan dari Injil dan Al-Qur’an mengenai betapa pengetahuan yang didapatkan dari Pohon Pengetahuan dapat menjadi suatu hal yang berbahaya bagi manusia sendiri.

Hal itu bukan anggapan yang keliru, karena sudah terbukti bahwa hancurnya beberapa peradaban di masa lalu (ancient civilizations) adalah akibat takaburnya manusia dalam hal penguasaan pengetahuan, misalnya saja legenda Atlantis, Lemuria, Rama, dan Sumeria sendiri. Oleh karena itulah di dalam Injil dan Al-Qur’an pengetahuan cenderung bersifat destruktif, dan Enki digambarkan sebagai Satan/Iblis seperti tercantum dalam kitab-kitab itu. Tentunya hal ini anggapan yang ekstrim, karena agama memang harus menjadi suatu hal yang ekstrim dan dogmatis. Dalam praktiknya, penganut Injil dan Al-Qur’an justru didorong untuk mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya. Inti dari kisah Adam dan Hawa di kitab-kitab tersebut adalah bahwa manusia harus senantiasa mengendalikan pengetahuan yang dimilikinya, agar tidak terjerumus dalam hawa nafsunya sendiri.


Jadi Siapakah ’Dewa’ Sumeria?

Dari tablet-tablet peninggalannya, bangsa Sumeria secara spesifik menyebut Dewa-Dewanya sebagai ’pengunjung dari angkasa’. Apalagi ditambah dengan berbagai peninggalan berupa patung-patung yang menunjukkan berbagai bentuk makhluk non-manusia.

Berbagai artefak peninggalan Sumeria

Tentunya kita langsung paham bahwa Dewa bangsa Sumeria yang disebut Anunnaki kemungkinan besar adalah makhluk asing (alien). Hal ini menjadikan hal-hal terkait majunya kebudayaan bangsa Sumeria secara tiba-tiba menjadi masuk akal.

Majunya kebudayaan Sumeria bukan hanya menyangkut apa yang ada di Bumi, tapi juga menyangkut astronomi atau ilmu perbintangan. Dari salah satu tablet yang ditemukan, bangsa Sumeria menggambarkan suatu sistem tata surya yang helio-sentris (berpusat pada matahari), dan hampir dipastikan bahwa gambar tersebut adalah tata surya kita sendiri. Tata surya yang helio-sentris ini dituliskan oleh bangsa Sumeria ribuan tahun sebelum kejadian Nicolaus Copernicus mengemukakan konsep yang sama dan ditentang keras oleh kaum gereja yang berpaham geo-sentris (tata surya berpusat pada Bumi).

Tablet yang menunjukkan tata surya yang helio-sentris (di bagian kiri atas)

Lebih jauh lagi, dalam tablet-tablet itu bahkan diterangkan dengan jelas detil mengenai tata surya kita, sampai dengan deskripsi warna dari Uranus, Neptunus, dan Pluto ribuan tahun sebelum dikonfirmasi oleh para ilmuwan NASA bahwa warna-warna tersebut benar adanya!

Yang menarik pada ilustrasi di atas, dalam penggambaran tata surya oleh bangsa Sumeria terdapat 11 entitas yang mengelilingi matahari. Ke-11 entitas itulah adalah yang sekarang dinamakan Merkurius, Venus, Bumi, Bulan, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto, dan satu planet lagi yang belum dinamai oleh ilmuwan modern. Tapi bangsa Sumeria sudah memberi planet terakhir itu dengan nama Nibiru. Pembaca pasti sudah mengetahui kisah mengenai Nibiru atau yang populer disebut Planet X, sebuah rogue planet yang lintasan orbitnya berbeda dengan planet-planet lain di tata surya kita. Konon lintasan orbitnya adalah 3600 tahun (waktu Bumi), dan setiap kali ia melintas mendekati matahari pasti mengakibatkan bencana akibat daya gravitasi dan kadar elektromagnetis tinggi yang ditimbulkannya. Keberadaan Planet X sampai saat ini masih diperdebatkan. Namun banyak pihak dan ilmuwan yang diam-diam meyakini keberadaannya, termasuk pihak Vatican yang secara khusus membangun sebuah observatorium untuk mencari keberadaan makhluk asing, termasuk Planet X. Bahkan sejak tahun 2005, Vatican telah mengundang berbagai ilmuwan secara reguler untuk membahas kemungkinan adanya kehidupan selain di Bumi, dan implikasinya terhadap dunia religi.

Terkait hal tersebut, rupanya dalam Al-Qur’an juga disebutkan mengenai tata surya dan jumlah planet-planet dengan jumlah yang berbeda dari versi bangsa Sumeria:

QS. Yusuf: 4: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

”Bintang” di dalam versi ini dimaksudkan sebagai planet. Dengan demikian, dalam versi Al-Qur’an, tata surya kita memiliki 12 entitas yang mengelilingi matahari. Manakah diantara dua versi itu yang paling akurat? Penulis berkeyakinan tidak ada yang salah dari keduanya.

Dalam versi Nibiru, yang dilukiskan oleh bangsa Sumeria dalam tablet di atas merupakan penggambaran entitas tata surya kita yang masih utuh. Sedangkan dalam kenyataan, di antara Mars dan Jupiter terdapat sabuk asteroid yang seolah ’memisahkan’ Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars dengan Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto, dan planet berikutnya (Nibiru atau Planet X). Sabuk asteroid ini sudah disimpulkan oleh para ilmuwan dulunya merupakan sebuah planet yang hancur karena suatu sebab yang tak diketahui. Jadi apa yang dilukiskan dalam Al-Qur’an mungkin adalah tata surya sebelum planet diantara Mars dan Jupiter tersebut hancur. Selain itu juga terdapat kemungkinan lainnya lagi, bahwa tata surya kita merupakan sistem dengan matahari kembar. Ya, kembar. Teori ini dikemukakan oleh para ilmuwan pada tahun 1990-an. Mereka menemukan bahwa kembaran matahari tersebut tidak bersinar seperti halnya matahari, namun memiliki karakteristik seperti sebuah bintang dan hanya dapat dilihat dengan teleskop infra merah. Mungkinkah ’Dark Sun’ ini yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai anggota tata surya ke-13?

Hal itu masih diperdebatkan, karena ilmuwan belum menemukan bukti empiris, terutama mengenai keberadaan Nibiru atau Planet X (atau sudah, namun dirahasiakan dari publik karena akan memunculkan keresahan). Apalagi dalam pertemuan para astronom baru-baru ini di Praha, menyepakati bahwa Pluto bukanlah sebuah planet karena orbitnya yang tak beraturan, bahkan bersilangan dengan Neptunus.

Tapi terlepas dari berapa jumlah penghuni tata surya, dengan penggambaran yang helio-sentris dan juga deskripsi warna planet-planet sebenarnya sudah membuktikan satu hal, bahwa ilmu astronomi Sumeria sudah sedemikian maju. Hal ini akan menjadi logis apabila mereka ’dibantu’ oleh makhluk asing yang berteknologi tinggi dan mempunyai kemampuan space travel. Tentunya dengan kemampuan biological engineering, tidak mustahil mereka juga dapat menyilangkan DNA hominid yang ada di Bumi dengan DNA mereka sendiri, sehingga muncul spesies baru bernama Homo Sapiens.

Dari mana asal usul Annunaki? Berdasarkan tablet Sumeria itu, mereka berasal dari planet ke-12 tata surya kita yaitu Nibiru. Tapi hal ini tentunya masih berupa mitos, seiring dengan mitos apakah planet ke-12 itu ada atau hanya imajinasi belaka.


Annunaki dan banjir besar

Kita semua sudah tak asing dengan kisah banjir besar Nabi Nuh (dalam Al-Qur’an) atau Noah dalam kitab Injil. Dan kita juga mengetahui bahwa legenda banjir besar itu juga tersebar luas dalam berbagai kebudayaan di dunia, misalnya di China, Indochina, India, Indonesia, Australia, Andaman Islands, New Zealand, Malaysia, Yunani, Jerman, Irlandia, Finlandia, Amerika (Aztec, Caddo, Hopi, Maya, Inca, Mapuche, Menominee, Mi’kmaq), Polynesia, dan lain-lain. Namun dari semua kebudayaan itu, tidak ada yang menonjolkan satu tokoh manusia tertentu seperti halnya dalam Injil atau Al-Qur’an.

Ternyata, sebuah tablet peninggalan Sumeria yang dibuat sekitar tahun 1700 SM menceritakan kisah seorang tokoh manusia bernama Ziusudra yang diberi informasi oleh Enki bahwa akan terjadi banjir besar yang menenggelamkan seluruh Sumeria, dan Enki memerintahkannya untuk membuat kapal raksasa yang dapat mengangkut sebanyak-banyaknya orang. Dikisahkan bahwa Enlil mengetahui bagaimana banjir tersebut akan terjadi, namun memilih untuk diam karena dia memang berniat untuk menghapus peradaban Sumeria berikut penduduknya. Dari tablet-tablet itu pula dikisahkan bahwa waktu itu di Sumeria sudah banyak kaum Nephilim, yaitu orang-orang hasil perkawinan antara kaum Annunaki dengan manusia keturunan Adam. Penganut Injil menyebutnya dengan istilah ’Fallen Angels’. Dan seperti yang disebut dalam Injil:

Gen 6:1-4: After the sons of God took human wives there were giants in the Earth in those days; and also after that, when the sons of God came in unto the daughters of men, and they bare children to them, the same became the mighty men which were of old, men of renown. The Nephilim were upon the Earth, in those days and thereafter too, when the sons of the gods cohabitated with the daughters of the Adam, and they bore children unto them.

Kaum Nephilim ini berukuran raksasa, dan bersifat memberontak terhadap Enlil. Menyadari bahwa kaum Nephilim adalah suatu kesalahan yang membahayakan Annunaki, Enlil sengaja mendiamkan ketika akan terjadi banjir besar, dengan harapan semua Nephilim tersebut akan mati bersama dengan seluruh manusia yang telah diberikan pengetahuan oleh Enki. Enki sendiri sependapat dengan Enlil mengenai kaum Nephilim itu, namun ia tidak setuju apabila manusia juga ikut dimusnahkan. Oleh karena itu, iapun memberitahu salah satu manusia yang bernama Ziusudra tadi supaya membuat kapal raksasa. Akhirnya banjir besar pun terjadi dan peradaban Sumeria beserta kaum Nephilim musnah, kecuali Ziusudra dan pengikutnya. Apakah Ziusudra adalah Nabi Nuh atau Noah? Inilah yang belum terpecahkan, tapi yang jelas tablet Sumeria itu dibuat jauh sebelum munculnya Kitab Injil ataupun Al-Qur’an.

Berbicara tentang kaum Nephilim, Goliath (dalam Injil) atau Jalut (dalam Al-Qur’an) yang dilawan oleh Nabi Daud/King David adalah salah satu keturunan Nephilim yang tersisa. Legenda Titans, Hercules, Perseus, Achilles, dan Theseus dari Yunani juga merupakan manifestasi dari kaum Nephilim. Hanuman, dan Garuda dari India juga dimitoskan sebagai setengah ’Dewa’. Tapi di sisi lain, legenda kaum Nephilim memunculkan beberapa anggapan keliru yang menyebutkan bahwa manusia pada waktu itu semua berukuran raksasa.

Sementara itu, tablet yang mengisahkan penyebab banjir besar itu tidak ditemukan. Ada pihak yang berspekulasi bahwa pada saat itu adalah akhir dari zaman es, sehingga es yang mencair menimbulkan banjir besar. Tapi ada juga yang berspekulasi bahwa di saat itulah Planet Nibiru melintas mendekati matahari, sehingga menimbulkan pole shift atau pergeseran kutub dan bencana lainnya. Kutub yang bergeser tersebut tentu saja mencair dan memunculkan banjir besar tadi.

Ketika Annunaki menemukan bahwa manusia dapat menyelamatkan diri dari banjir tersebut, mereka memutuskan untuk meninggalkan Bumi dan membiarkan manusia membuat peradabannya sendiri sampai sekarang.


Apakah Annunaki = Tuhan?

Sebagian besar dari kita pasti sudah menonton film ”Knowing” yang dibintangi Nicolas Cage. Di film itu, disuguhkan konsep yang cukup mengejutkan penonton. Bahwa di akhir zaman, makhluk asing (alien) akan memegang peranan penting dalam melestarikan keberadaan manusia. Sosok alien dalam film itu ada 2 macam, yaitu ketika menyamar menjadi manusia dengan wajah pucat dan rambut pirang (seperti albino), dan sosok yang sebenarnya yang tinggi, berwarna putih, dan bercahaya. Sang sutradara rupanya ingin mengkombinasi bentuk alien tersebut dengan konsep malaikat yang ada di berbagai agama.

Tapi yang menarik dari penggambaran alien itu adalah ketika menyamar jadi sosok albino. Itu sangat sesuai dengan gambaran bangsa Sumeria mengenai Annunaki yang bersosok seperti albino, dengan mata biru dan rambut pirang. Apakah memang itu pesan yang disampaikan oleh pembuat film ”Knowing” secara implisit?

Dari pesan dalam ”Knowing” itu, kita kembali ke tablet-tablet peninggalan Sumeria, yang telah menunjukkan dengan logis bahwa Annunaki-lah yang menciptakan manusia pertama, Adam/Adamu/Adapa. Pertanyaan berikutnya: apakah itu berarti bahwa Enki adalah Tuhan yang kita sembah, seperti yang disebut dalam film ”The Fourth Kind”? Penulis tidak menganggap seperti itu.

Kaum Annunaki memang berperan besar dalam sejarah manusia: mulai dari menciptakan homo sapiens pertama di Bumi sampai dengan memberikan akses terhadap sebagian Pohon Pengetahuan sehingga membentuk peradaban manusia seperti yang kita alami sekarang. Tapi kaum Annunaki bukanlah pencipta Bumi ataupun alam semesta. Terdapat kekuatan yang lebih besar dari Annunaki yang menciptakan alam semesta dan juga Bumi. Kekuatan itu pula yang membuat Annunaki memiliki kemampuan untuk datang ke Bumi melalui space travel. Kekuatan itu adalah Tuhan kita, pencipta alam semesta. Adapun kalau Annunaki mempertuhankan diri mereka sendiri di hadapan manusia, itu semata karena mereka menguasai pengetahuan dan teknologi yang lebih maju sehingga dapat mengendalikan jalan pikiran manusia sebagai budaknya.

Bagi sebagian kebudayaan, hal ini menjadi rancu karena selama ribuan tahun, bahkan ratusan ribu tahun telah terjadi persilangan antara mitos dan realita. Tentunya apa yang tertanam dalam benak manusia selama ratusan ribu tahun itu ada yang menjadi kepercayaan yang permanen dan sulit untuk diubah. Hal ini mungkin terwujud dari penulisan kitab-kitab suci yang terkesan ’tidak konsisten’, mencampuradukkan antara penciptaan alam semesta dan penciptaan manusia. Proses pencampuradukan itu perlu kita waspadai sebagai bagian dari ’perang politik’ antara Enlil dan Enki. Karena dengan dikuasainya pengetahuan oleh manusia, maka Enlil akan kehilangan kekuasaannya yang telah berjalan ratusan ribu tahun itu. Oleh karena itu dihembuskanlah berita oleh Enlil kepada manusia bahwa Enki adalah ular atau Satan atau Iblis yang jahat dan menipu, dan Pohon Pengetahuan digambarkan sebagai suatu dosa (original sin), sehingga manusia menjadi ter-demotivasi untuk mencari pengetahuan.

’Perang politik’ itu telah terjadi selama Annunaki masih berada di Bumi, sebelum adanya banjir besar ketika anak keturunan Adam sudah menyebar di berbagai wilayah. Pada waktu itu manusia pun terpecah dua, yaitu pendukung Enlil dan Enki. Ketika mengetahui bahwa Bumi akan dilanda banjir besar, Enlil yang ingin menguasai Bumi diam saja. Harapannya adalah seluruh manusia dan kaum Nephilim mati, sehingga ia dapat mulai lagi dari awal tanpa harus ’berperang’ dengan saudaranya, Enki. Namun seperti sudah diceritakan di atas, Enki memberitahu Ziusudra untuk menyelamatkan manusia sebanyak mungkin. Proses penyelamatan itu berhasil, tak hanya menyelamatkan pengikut Enki tapi juga pengikut Enlil. Karena sudah luluh lantak akibat banjir, maka kegiatan eksploitasi alam oleh Annunaki tak dapat diteruskan dan merekapun meninggalkan Bumi.

Tapi rupanya ’perang politik’ masih berlanjut antara manusia pengikut Enki dan Enlil yang tersisa, sampai ribuan tahun berikutnya – bahkan sampai saat ini. Pengikut Enki ingin membuka Pohon Pengetahuan seluas-luasnya untuk dipelajari, sedangkan pengikut Enlil ingin manusia menjadi makhluk yang mudah dikontrol dan diarahkan oleh penguasa. Kepada siapakah kita berpihak?

Sumeria dan Akhir Zaman

Dari tulisan di atas, penulis ingin menekankan betapa eratnya kaitan budaya Sumeria dengan kebudayaan-kebudayaan dunia pada era setelahnya, termasuk dengan agama-agama yang dianut manusia sampai saat ini. Tentu saja hal ini terlepas dari apakah Sumeria sendiri benar-benar dipengaruhi oleh para ’Dewa’ atau Annunaki – yang ditengarai berasal dari ’langit’– itu atau tidak.

Tapi berbicara mengenai Annunaki, bangsa Sumeria percaya bahwa mereka akan kembali lagi ke Bumi suatu saat nanti, tapi tidak tahu kapan. Apabila kita mau konsisten, maka keyakinan bangsa Sumeria mengenai hal ini tentunya sedikit banyak mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan setelahnya. Kisah atau legenda atau kepercayaan yang sejalan dengan kepercayaan Sumeria ini justru datang dari Injil dan Al-Qur’an, yaitu legenda mengenai Ya’juj dan Ma’juj (dalam Al-Qur’an) atau Gog dan Magog (dalam Injil).

Siapakah bangsa Ya’juj dan Ma’juj itu? Sampai sekarang pertanyaan itu sama sekali terpecahkan. Tapi semua penganut Injil dan Al-Qur’an mempercayai bahwa kedua bangsa itu dulu pernah mendiami Bumi dan berperang. Menurut Al-Qur’an, seorang pemimpin manusia bernama Dzul-Qarnayn berhasil ’mengalihkan’ perang itu dengan membangun sebuah ”dinding”.

QS. Al-Kahfi: 94-97

93 Hingga apabila dia telah sampai di antara dua bendungan, dia mendapati di hadapan kedua bendungan itu suatu kaum yang tidak mengerti pembicaraan.

94 Mereka berkata: "Hai Dzul-Qarnayn, sesungguhnya Ya'juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"

95 Dzul-Qarnayn berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka,

96 Berilah aku potongan-potongan besi" Ketika besi itu telah terpotong sama rata diantara kedua kerang itu, berkatalah Dzul-Qarnayn: Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu".

97 Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.

Bahasa dari ke-4 ayat itu merupakan metafora dari sesuatu, yang sampai sekarang kaum agamawan dan sejarawan masih tidak dapat memecahkannya. Tapi penulis berpendapat bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa Dzul-Qarnayn telah menjebak kaum Ya’juj dan Ma’juj di dalam sebuah wormhole, sehingga mereka tidak dapat keluar dan menyebar kekacauan di Bumi. Wormhole digambarkan sebagai ”kerang” dalam ayat 96, karena memang secara fisik bentuknya seperti kerang.

Dalam Al-Qur’an, wormhole lazim disebut Ma’aarij (sarana yang digunakan para Malaikat untuk menghadap Allah SWT). Mekanisme kerjanya dibahas dalam QS Al-Ma’aarij, dimana disebutkan bahwa satu hari di dalam Ma’aarij setara dengan 50.000 tahun, sesuai dengan Teori Relativitas Einstein. Secara harfiah, bentuk singular dari kata ma’aarij adalah mi’raj (seperti dalam IsraMi’raj).

Jadi siapakah Ya’juj dan Ma’juj itu? Walau belum dapat dipastikan dengan jelas, tapi penulis berpendapat bahwa salah satu dari kedua kaum itu adalah Annunaki. Kalau benar demikian, menjelang akhir zaman nanti bendungan yang dibangun oleh Dzul-Qarnayn tidak akan mampu lagi menahan mereka di dalam wormhole, dan Annunaki akan kembali lagi ke Bumi seperti keyakinan bangsa Sumeria. Sekarang pertanyaannya: Siapakah kaum yang satunya lagi? Apakah sesama Annunaki atau sebuah ras lain lagi? Pertanyaan itu akan penulis coba jawab di tulisan berikutnya.

2 comments: