Have fun and enjoy yourself

Monday, November 9, 2009

Human Origins of the Seventh Kind, Part 1


Film “The Fourth Kind” kini sudah mulai ditayangkan di bioskop-bioskop seluruh dunia, bercerita mengenai file-file video terkait dengan kejadian aneh yang menimpa penduduk kota Anchorage, Alaska pada tahun 1972. Fokus utama dari film ini adalah investigasi yang dilakukan oleh Dr. Abigail Tyler atas kejadian yang menimpa diri dan keluarganya serta beberapa penduduk kota tersebut. Istilah “The Fourth Kind” merujuk pada klasifikasi pertemuan dengan extraterrestrials atau makhluk asing:

Close encounter of the first kind
adalah penampakan dari satu atau lebih pesawat asing (UFO). Close encounter of the second kind adalah penampakan yang disertai efek samping terhadap lingkungan: radiasi, luka bakar, kelumpuhan badan, gangguan siaran TV, hewan yang ketakutan, dan berbagai tanda fisik lainnya. Close encounter of the third kind berdefinisi penampakan/kontak dengan entitas yang terkait dan berada di dalam atau di sekitar pesawat asing (UFO), ataupun entitas asing yang dinilai mempunyai intelegensia, tanpa adanya UFO.

Sementara itu, close encounter of the fourth kind adalah penculikan manusia oleh makhluk asing (biasanya dalam keadaan tidak sadar). Close encounter of the fifth kind menggambarkan kontak bilateral manusia secara sukarela dan sadar dengan makhluk asing. Close encounter of the sixth kind menunjukkan insiden dengan makhluk asing yang mengakibatkan kematian. Dan yang terakhir, close encounter of the seventh kind adalah interaksi makhluk asing dengan manusia, sampai dengan perkawinan antar jenis, dan intervensi makhluk asing terhadap sejarah manusia.

Sebelum film “The Fourth Kind”, Steven Spielberg telah membuat film “The Encounters of The Third Kind” pada tahun 1977, menceritakan dengan detail proses pertemuan manusia dengan makhluk asing. Kemudian kisah itu diulang kembali oleh Spielberg dengan cerita yang berbeda dalam “E.T.: the Extra-Terrestrial” pada tahun 1982. Konon, Presiden Ronald Reagan mengundang khusus Steven Spielberg ke Gedung Putih untuk menonton film E.T. di ruang pribadinya. Dan ketika film itu selesai, komentar sang Presiden adalah bahwa film itu sangat mendekati kenyataan. Sebuah komentar yang sangat sulit diklarifikasi oleh Spielberg kepada Reagan sampai akhir hayatnya. Tapi satu hal yang pasti, Spielberg memang menulis cerita kedua film itu berdasarkan hasil wawancara dengan orang-orang yang mengaku melakukan kontak dengan makhluk asing.

Kembali ke film “The Fourth Kind”, apabila dilihat sekilas film ini hanya menunjukkan re-enactment mengenai apa yang terjadi dengan Dr. Abigail Tyler, disertai dengan metode hipnotisnya untuk mencari keterangan mengenai apa yang terjadi dengan beberapa orang di kota kecil Alaska tadi. Tapi rupanya setelah penulis mengamati secara detil, terdapat satu adegan yang rupanya menjadi agenda besar dari film ini. Adegan itu adalah ketika Dr. Tyler sendiri dihipnotis, dan kemudian meracau dalam bahasa yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Bahasa itu ternyata bahasa Sumeria kuno, dan setelah diterjemahkan oleh ahli bahasa ternyata artinya adalah “I am God”. Seperti disebutkan oleh sang aktor utama, Milla Jovovich pada awal film: at the end, we must choose what to believe.

Mengapa hal itu disebut penulis sebagai agenda besar? Memang adegan itu hanya muncul sekilas, dan tidak terlalu diekspos secara dalam oleh produser dan sutradara film “The Fourth Kind”, mungkin karena pertimbangan tertentu. Namun dengan adanya pernyataan Milla Jovovich di awal film dan juga penonjolan bahasa Sumeria yang menyebutkan kalimat itu, penulis berkeyakinan bahwa film ini mengubah (atau setidaknya berusaha untuk mengubah) keyakinan kita. Nah, untuk lebih memahami kaitannya, penulis akan mencoba menyuguhkan asal usul bangsa Sumeria.

Kebudayaan Sumeria dan Dewa-Dewanya

Sumeria

Bangsa Sumeria sering disebut sebagai ‘peradaban yang muncul secara tiba-tiba’. Ini karena memang kebudayaannya yang tiba-tiba muncul pada tahun 5000 SM tanpa adanya proses evolusi, seperti halnya berbagai kebudayaan dunia yang lain. Dalam berbagai buku sejarah, bangsa Sumeria selalu disebut sebagai kebudayaan manusia yang tertua, terletak di antara sungai Euphrat dan Tigris, Mesopotamia (sekarang menjadi wilayah negara Irak). Dalam waktu yang relatif singkat, kebudayaan bangsa Sumeria berkembang menjadi kebudayaan maju, yang menguasai ilmu matematika, sains, astrologi, arsitektur, agrikultur, dan diakui menjadi penemu roda, persenjataan militeristik, dan yang terpenting adalah sistem penulisan pertama di dunia. Bagaimana kebudayaan yang paling kuno dan primitif dapat memiliki pengetahuan semaju itu? Apabila ditelusuri lagi, kebudayaan-kebudayaan yang muncul sesudah itu hanya dapat mengadopsi sebagian-sebagian saja dari seluruh kebudayaan bangsa Sumeria tadi.

Penulis meyakini bahwa awal riset terhadap suatu kebudayaan harus mencari arti atau definisi dari kata-kata dari kebudayaan itu. Kata ‘Sumer’ berarti ‘Tempat Penguasa Cahaya’. Alasan atau logika apa yang mendasari penamaan itu? Mungkin saja ‘cahaya’ disini berarti pengetahuan atau pencerahan seperti halnya dalam kebudayaan-kebudayaan yang lain di dunia. Yang menarik, bangsa Sumeria menyebut dirinya ‘ùĝ saĝ gígpe’ yang diartikan sebagai ‘orang-orang berkepala besar’. Logika dibalik ini masih tak terpecahkan, karena bangsa Sumeria tak berbeda secara biologis dengan manusia lain pada periode yang sama. Oleh karena itu terdapat kemungkinan bahwa penyebutan ini menunjukkan bentuk tubuh apa yang mereka inginkan/cita-citakan, atau apa yang terkoneksi dengan mereka dengan cara tertentu, Ditambah lagi mitologi Sumeria yang menyebutkan banyak cerita mengenai peperangan antara manusia dan Dewa, interaksi antara manusia dan Dewa, serta transfer pengetahuan antara manusia dan Dewa.

Kebudayaan Sumeria sampai saat ini diakui masih sulit untuk digapai, tidak seperti kebudayaan-kebudayaan lainnya di dunia. Hal ini karena pada peninggalan-peninggalannya terdapat persilangan antara ’realitas’ dan ’mitos’. Tapi pada dasarnya, kebudayaan Sumeria berdasar pada kepercayaan polytheistic yang menerangkan sebab akibat antara Dewa dan manusia. Dewa yang disembah disebut Annunaki (terkadang Ananaki) yang artinya ’mereka yang mempunyai darah bangsawan’ atau juga dapat berarti putra dari langit (Anu) dan (Na) Bumi (Ki). Tapi bangsa Sumeria tidak pernah menyebut Annunaki sebagai Dewa, melainkan ’din.gir’. ’Din’ berarti ’suci, murni, terang, bercahaya’, dan ’Gir’ lazim digunakan untuk mendeskripsikan benda yang berujung tajam. Jadi ’din.gir’ dapat diartikan ’mereka yang suci dan berasal dari benda yang berujung tajam’. Julukan lainnya adalah ’Elu’ yang berarti ’mereka yang di tempat tinggi’ yang kemudian berevolusi ke dalam bahasa Babylonia, Assyria, dan Yahudi menjadi ’EL’ – yang dikonotasikan oleh bangsa Yunani sebagai ’Tuhan’.

Bagaimana bentuk ’Dewa’ Sumeria ini, dan apa peran keberadaan mereka diantara bangsa tertua dalam sejarah manusia modern?

Anu adalah Dewa utama bangsa Sumeria, Dewa Langit, Dewanya dewa-dewa. Dia adalah dewa tertinggi yang merupakan ayah dari Annunaki, mempunyai kekuatan untuk menghakimi yang melakukan kejahatan.

Anu, Dewa Langit

Enki atau Ea adalah Dewa Air, tapi lebih dikenal sebagai Dewa Pengetahuan dan Kebijaksanaan, karena Enki adalah Dewa yang mengajari manusia tentang pengetahuan. Enki berarti Lord (En) of Earth (Ki). Enki juga dikenal sebagai Dewa Kehidupan dan Pelestari, dan dilambangkan mengalirkan air dari bahunya.

Enki, Dewa Air

Sedangkan Enlil adalah Dewa Angin atau juga sering diartikan sebagai Dewa Pemerintah, bertindak sebagaiPerdana Menteri’ yang melaksanakan pemerintahan Annunaki di Bumi. Enlil dan Enki adalah kakak beradik.

Enlil, Dewa Angin

Masih terdapat Dewa-Dewa lain dari bangsa Sumeria antara lain Ki, Anshar, Ereshkigal, Inanna, Dumuzi, Ishtar, Marduk, Nammu, Nergal, Shamash, Sin, dan Tiamat. Namun Anu, Enki, dan Enlil adalah tiga Dewa utama dari mitologi Sumeria. Ketiganya dipuja oleh bangsa Sumeria di bangunan bernama Zigurrat.

Zigurrat, tempat pemujaan Dewa-Dewa Sumeria

Epik Enuma Elish

Dalam kebudayaan Babylonia, Akkadian, dan Assyrian yang muncul jauh sesudah Sumeria, terdapat sebuah kesamaan mitologi penciptaan yang disebut Enuma Elish. Mitologi ini rupanya berasal dari budaya Sumeria juga. Enuma Elish direkam dalam 7 tablet dengan bahasa Babylonia, secara eksplisit menyebutkan Dewa-Dewa bangsa Sumeria dan keterlibatan mereka dalam penciptaan. Dalam epik tersebut, Dewa Marduk yang merupakan Dewa utama dari bangsa Babylonia adalah putra dari Enki.

Enuma Elish dalam Tablet Peninggalan Sumeria

Berikut adalah terjemahan dari salah satu dari 7 tablet Enuma Elish mengenai penciptaan Bumi:
When the sky above was not named,
And the earth beneath did not yet bear a name,
And the primeval Apsû, who begat them,
And chaos, Tiamat, the mother of them both,
Their waters were mingled together,
And no field was formed, no marsh was to be seen;
When of the gods none had been called into being.


Mari kita bandingkan dengan kitab Injil mengenai penciptaan:
In the beginning of God's creating the skies and the earth, when the earth had been shapeless and formless, and darkness was upon the face of the deep, and God's spirit was hovering on the face of the water, God said, 'Let there be light!'

Sedangkan dalam kitab Al-Qur’an disebutkan:

"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS Al-Anbiyaa’:30)

Mengenai perbedaan siang dan malam, disebutkan juga oleh ketiganya:

Enuma Elish 5:12–13: “The Moon-god he caused to shine forth, the night he entrusted to him. He appointed him, a being of the night, to determine the days;”

Gen. 1:14: And God said, "Let there be lights in the expanse of the sky to separate the day from the night, and let them serve as signs to mark seasons and days and years”

QS. Yunus :67: Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar[699].

Mengenai penciptaan manusia:

Enuma Elish 6:4-9: That which he had conceived in his heart he imparted unto him:"My blood will I take and bone will I fashion. I will make man, that man may. I will create man who shall inhabit the earth”

Gen 1:26: "God said, "Let us make man in our image, after our likeness

QS. Al-Hijr: 28-29: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.

Untuk mengamati kemiripan ketiga kitab tersebut, penulis merekomendasikan untuk membaca semuanya dengan detil dan memahami elemen-elemen fundamental dari masing-masing. Apakah benar bahwa Kitab Sumeria tersebut menjadi referensi dari kitab-kitab yang muncul pada era selanjutnya?

Enki, Prometheus yang sebenarnya

Menurut mitologi Yunani, Prometheus adalah Dewa yang mencuri api dari Zeus dan memberikannya ke manusia, dimana api merupakan lambang dari pengetahuan. Prometheus dianggap sebagai simpatisan manusia dimana dia menentang Dewa-Dewa yang lain dan mengajarkan pengetahuan yang terlarang untuk manusia. Seperti halnya Enki, yang disebut sebagai Dewa Pengetahuan dan Kebijaksanaan. Enki adalah salah satu pemegang kunci pengetahuan yang disebut ME, yang mengandung rahasia teknologi, pengembangan kemasyarakatan, agrikultur, dan lain-lain.

Tablet yang menggambarkan transfer pengetahuan Dewa (di bagian luar) ke manusia (raja di bagian dalam), semuanya mengelilingi Pohon Pengetahuan (tengah)

Tablet di atas adalah dari kebudayaan Assyrian (turunan dari Sumeria) yang menggambarkan Dewa-Dewa Anunnaki di bagian luar dan manusia di bagian dalam. Menurut para sejarawan, Enki digambarkan sebagai salah satu Dewa di kiri atau kanan, memberikan kehidupan untuk manusia, menyediakan pencerahan spiritual dengan Pohon Pengetahuan yang berada di tengah-tengah. Semua dengan dilindungi oleh Anshar (Dewa yang terbang) dari atas.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Enki memberikan pengetahuan dan pencerahan kepada umat manusia. Penggambaran Pohon Pengetahuan yang ditransfer oleh Enki ke manusia sering digambarkan sebagai ular kembar (seperti tablet di atas). Pada ilmu pengetahuan modern, ular kembar inilah yang digunakan sebagai lambang pengobatan (ilmu kedokteran). Tapi yang anehnya, bentuknya juga sama dengan DNA manusia.

Kemiripan antara struktur DNA manusia dengan gambaran Pohon Pengetahuan

Pohon Pengetahuan sebagai lambang dalam dunia kesehatan

Dari kemiripan Pohon Pengetahuan dengan struktur DNA manusia dan juga dari miripnya ayat penciptaan dari berbagai kitab seperti tersebut di atas, banyak peneliti dan sejarawan yang berani menyimpulkan bahwa ‘Dewa’ bangsa Sumeria-lah yang menciptakan Bumi dan juga manusia pertama, Adam/Adamu/Adapa pada saat mereka ’datang’ ke Bumi 400.000 tahun yang lalu. Hal ini berani disimpulkan, karena dalam DNA manusia terdapat 223 gen yang tidak ditemukan dalam DNA semua makhluk hidup lain yang ada di permukaan bumi, seolah ke-223 gen itu muncul tiba-tiba tanpa asal muasal. Inilah yang benar-benar disebut kalangan ilmuwan sebagai missing link. Di antara 30.000 gen manusia, jumlah 223 memang terkesan sangat kecil, bahkan tidak mencapai satu persen. Tapi 223 gen itulah yang membedakan manusia dengan simpanse.

Oleh karena itu, dari berbagai kitab itu para peneliti berhipotesis bahwa 223 gen itulah yang merupakan darah dan tulang Dewa (Enuma Elish 6:4-9), atau yang diyakini oleh penganut Injil membentuk rupa manusia yang mirip dengan penciptanya (Gen 1:26), ataupun yang disebut kalangan Muslim dengan ruh (ciptaan)-Nya (QS. Al-Hijr: 28-29). Ke-223 gen ’Dewa’ itu ditambahkan ke dalam DNA hominid (makhluk primata) yang telah ada di Bumi sebagai hasil dari evolusi, seperti hipotesis Charles Darwin (The Origin of Species).

Lebih detil lagi berdasarkan apa yang tercantum dalam tablet-tablet peninggalan Sumeria, Enki-lah yang menjadi biological designer, bertanggung jawab menyilangkan DNA manusia dengan DNA ’Dewa’. Apa tujuannya, berdasarkan tablet-tablet tersebut rupanya Annunaki ingin menciptakan ras pekerja/budak yang dapat bekerja mengeksploitasi kekayaan bumi untuk mereka. Sebelum adanya ras pekerja itu, kaum Annunaki harus mengerjakan semuanya sendiri.


When the gods like men

Bore the work and suffered the toil-

The toil of the gods was great,

The work was heavy, the distress was much

(dari salah satu tablet peninggalan Sumeria)


Rupanya muncul keresahan di antara kaum Annunaki, yang hampir berujung pada pemberontakan. Untuk mencegah itu, maka Enlil meminta Enki untuk membuat ras pekerja yang mudah diatur dan dikendalikan. Para pekerja itu sengaja tidak diberikan pengetahuan yang memadai, sehingga selalu menuruti perintah Enlil. Para pekerja itulah yang membangun piramid dan Sphinx (dengan kepala singa, sebelum penduduk Mesir mengganti kepala Sphinx yang hancur akibat banjir besar dengan wajah Pharaoh pada sekitar 3000 SM).

Enki (duduk) menciptakan Adam, manusia pertama

Namun seperti halnya mitologi Prometheus di Yunani, rupanya Enki merasa kasihan dengan kaum pekerja itu yang tidak mempunyai kebebasan spiritual. Akhirnya kurang lebih pada 5000 SM, setelah ratusan ribu tahun para ’Dewa’ menguasai Bumi dan manusia, Enki membuka Pohon Pengetahuan supaya manusia dapat mempelajarinya, meski ’Dewa-Dewa’ yang lain menentangnya. Itulah yang menyebabkan kebudayaan Sumeria tiba-tiba menjadi maju dan menguasai berbagai teknologi, kemudian ditularkan ke kebudayaan-kebudayaan yang muncul sesudahnya. Sebuah hipotesis yang masih diperdebatkan hingga kini.


Enki dan Pohon Pengetahuan dalam berbagai kebudayaan, tradisi, serta religi

Nah, kembali lagi ke Enki, rupanya penggambaran ular dalam Pohon Pengetahuan juga terdapat dalam berbagai kebudayaan, misalnya Mesir dan Yunani. Banyak peneliti meyakini bahwa Thoth (Dewa Mesir) adalah anak dari Enki, atau malah Enki sendiri. Bagi mereka yang mempelajari budaya Mesir dan Yunani pasti mengetahui bahwa Thoth adalah nama lain dari Hermes (Dewa Yunani), dengan nama Hermes Trismegistus. Dia mewarisi sebuah tongkat (disebut caduceus) dari Enki yang bentuknya sama dengan Pohon Pengetahuan.

Hermes/Thoth, Dewa Yunani dan Mesir dengan Caduceus (tongkatnya)

Konon tongkat tersebut diwariskan turun temurun berbagai generasi, akhirnya yang terdokumentasi adalah ketika Musa menggunakan tongkat tersebut untuk menghadapi Pharaoh Ramses. Berbagai peristiwa tercatat dalam Injil dan Al-Qur’an, antara lain tongkat itu berubah menjadi ular besar dan memakan ular kecil-kecil milik dukun-dukun Pharaoh, juga Musa menggunakan tongkat itu untuk membelah Laut Merah ketika exodus dari Mesir. Apakah istilah ular besar dan ular kecil itu merupakan simbolisasi bahwa penguasaan pengetahuan Musa jauh lebih maju dari dukun-dukun Pharaoh? Hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut.

Selain Yunani dan Mesir, hubungan antara penggambaran ular dan transfer pengetahuan dari ’Dewa’ kepada manusia rupanya juga terdapat di agama Buddha dan Hindu. Dikisahkan bahwa Siddharta Gautama, sang Buddha, setelah mendapatkan pengetahuan dan pencerahan spiritual selalu digambarkan dengan dipayungi/dilindungi oleh ular raksasa yang berada di belakangnya. Sementara di agama Hindu, ular (disebut nāga) merupakan bentuk keseimbangan alam. Dia merupakan pelindung dan pembawa kemakmuran, tapi juga dapat menimbulkan bencana seperti banjir dan kekeringan jika manusia tidak memperlakukannya dengan baik. Dapat menjadi analogi dari pengetahuan juga bukan?

Demikian pula pada kebudayaan-kebudayaan lain seperti China, Indo-China, suku Indian, Maya, Viking, Afrika, Aborigin, dan hampir seluruh kebudayaan lainnya, ular atau naga selalu dipuja-puja sebagai pelindung manusia yang membawa kemakmuran. Bahkan mahkota pharaoh Mesir mempunyai ujung/puncak mahkota berupa ukiran ular. Penulis yakin bahwa semua simbolisasi ular itu terkait dengan Pohon Pengetahuan yang ditransfer oleh Enki kepada manusia, dimana pengetahuan bisa membawa kemakmuran tapi juga sekaligus dapat membawa bencana jika disalahgunakan oleh manusia.

Tapi yang lebih menarik adalah penggambaran ular, transfer pengetahuan, dan kaitannya dengan manusia yang tercantum dalam Injil dan Al-Qur’an (walau tidak menyebut ular secara spesifik, tapi disamarkan). Semua pasti tahu kisah diusirnya Adam dan Hawa dari Surga (Eden) karena memakan buah dari Pohon Pengetahuan (Injil) atau buah khuldi (Al-Qur’an).

Dua penggambaran Adam dan Hawa yang digoda oleh “ular” untuk memakan buah terlarang

Dalam kedua kitab tersebut, transfer pengetahuan sama-sama dikonotasikan sebagai sesuatu yang tabu atau negatif, atau seharusnya tidak dilakukan. Dalam agama Yahudi dan Nasrani, ular selalu diidentikkan dengan Satan, atau nama lainnya Iblis bagi kalangan Muslim. Ular atau Satan atau Iblis adalah sosok yang digambarkan menggoda manusia untuk selalu menuruti hawa nafsunya seperti halnya Adam dan Hawa yang tergoda untuk memakan buah/pengetahuan terlarang. Jadi dari penggambaran itu, tidak keliru apabila ada yang menyimpulkan bahwa sebenarnya pengetahuan itu dilarang oleh agama. Benarkah demikian? Mengapa pengetahuan itu menjadi suatu hal yang tabu? Lebih jauh lagi, apakah Injil dan Al-Qur’an mengharuskan kita untuk menjadi ras pekerja/budak saja, tanpa pengetahuan yang bermanfaat untuk kita sendiri?

Setelah penulis coba telaah lebih jauh lagi mengenai penggambaran dalam kitab-kitab itu, penulis menemukan bahwa asal kata ular dalam Injil adalah nâchâsh yang diartikan secara harfiah sebagai ’ular yang mendesis’ (the hissing serpent). Dalam Injil, disebutkan bahwa:

Genesis 3:13-14

13 Then the LORD God said to the woman, "What is this you have done?" The woman said, "The serpent deceived me, and I ate."

14 So the LORD God said to the serpent, "Because you have done this, "Cursed are you above all the livestock and all the wild animals! You will crawl on your belly and you will eat dust all the days of your life.

Tapi yang menarik, sebenarnya asal kata nâchâsh adalah dari NHSH (hebrew) yang berartimemecahkan masalahataumencari tahu’. Menarik bukan? Mungkin itu sebabnya Al-Qur’an yang diyakini merupakan penyempurna kitab-kitab sebelumnya tidak menggunakan istilah ular, namun hanya menggunakan istilah pohon saja:

QS. Al-Baqarah: 35: Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.

Untuk menjawab pertanyaan mengapa Adam (manusia) seharusnya tidak mendekati Pohon Pengetahuan yang terlarang itu, sebaiknya kita menelaah mengapa agama diturunkan di tengah-tengah peradaban manusia. Tentunya sebagian besar dari kita setuju bahwa agama diturunkan untuk memperbaiki kualitas peradaban kita. Terlepas dari keakuratan kitab-kitab suci itu, yang dapat ditangkap penulis adalah kesamaan anggapan dari Injil dan Al-Qur’an mengenai betapa pengetahuan yang didapatkan dari Pohon Pengetahuan dapat menjadi suatu hal yang berbahaya bagi manusia sendiri.

Hal itu bukan anggapan yang keliru, karena sudah terbukti bahwa hancurnya beberapa peradaban di masa lalu (ancient civilizations) adalah akibat takaburnya manusia dalam hal penguasaan pengetahuan, misalnya saja legenda Atlantis, Lemuria, Rama, dan Sumeria sendiri. Oleh karena itulah di dalam Injil dan Al-Qur’an pengetahuan cenderung bersifat destruktif, dan Enki digambarkan sebagai Satan/Iblis seperti tercantum dalam kitab-kitab itu. Tentunya hal ini anggapan yang ekstrim, karena agama memang harus menjadi suatu hal yang ekstrim dan dogmatis. Dalam praktiknya, penganut Injil dan Al-Qur’an justru didorong untuk mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya. Inti dari kisah Adam dan Hawa di kitab-kitab tersebut adalah bahwa manusia harus senantiasa mengendalikan pengetahuan yang dimilikinya, agar tidak terjerumus dalam hawa nafsunya sendiri.


Jadi Siapakah ’Dewa’ Sumeria?

Dari tablet-tablet peninggalannya, bangsa Sumeria secara spesifik menyebut Dewa-Dewanya sebagai ’pengunjung dari angkasa’. Apalagi ditambah dengan berbagai peninggalan berupa patung-patung yang menunjukkan berbagai bentuk makhluk non-manusia.

Berbagai artefak peninggalan Sumeria

Tentunya kita langsung paham bahwa Dewa bangsa Sumeria yang disebut Anunnaki kemungkinan besar adalah makhluk asing (alien). Hal ini menjadikan hal-hal terkait majunya kebudayaan bangsa Sumeria secara tiba-tiba menjadi masuk akal.

Majunya kebudayaan Sumeria bukan hanya menyangkut apa yang ada di Bumi, tapi juga menyangkut astronomi atau ilmu perbintangan. Dari salah satu tablet yang ditemukan, bangsa Sumeria menggambarkan suatu sistem tata surya yang helio-sentris (berpusat pada matahari), dan hampir dipastikan bahwa gambar tersebut adalah tata surya kita sendiri. Tata surya yang helio-sentris ini dituliskan oleh bangsa Sumeria ribuan tahun sebelum kejadian Nicolaus Copernicus mengemukakan konsep yang sama dan ditentang keras oleh kaum gereja yang berpaham geo-sentris (tata surya berpusat pada Bumi).

Tablet yang menunjukkan tata surya yang helio-sentris (di bagian kiri atas)

Lebih jauh lagi, dalam tablet-tablet itu bahkan diterangkan dengan jelas detil mengenai tata surya kita, sampai dengan deskripsi warna dari Uranus, Neptunus, dan Pluto ribuan tahun sebelum dikonfirmasi oleh para ilmuwan NASA bahwa warna-warna tersebut benar adanya!

Yang menarik pada ilustrasi di atas, dalam penggambaran tata surya oleh bangsa Sumeria terdapat 11 entitas yang mengelilingi matahari. Ke-11 entitas itulah adalah yang sekarang dinamakan Merkurius, Venus, Bumi, Bulan, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto, dan satu planet lagi yang belum dinamai oleh ilmuwan modern. Tapi bangsa Sumeria sudah memberi planet terakhir itu dengan nama Nibiru. Pembaca pasti sudah mengetahui kisah mengenai Nibiru atau yang populer disebut Planet X, sebuah rogue planet yang lintasan orbitnya berbeda dengan planet-planet lain di tata surya kita. Konon lintasan orbitnya adalah 3600 tahun (waktu Bumi), dan setiap kali ia melintas mendekati matahari pasti mengakibatkan bencana akibat daya gravitasi dan kadar elektromagnetis tinggi yang ditimbulkannya. Keberadaan Planet X sampai saat ini masih diperdebatkan. Namun banyak pihak dan ilmuwan yang diam-diam meyakini keberadaannya, termasuk pihak Vatican yang secara khusus membangun sebuah observatorium untuk mencari keberadaan makhluk asing, termasuk Planet X. Bahkan sejak tahun 2005, Vatican telah mengundang berbagai ilmuwan secara reguler untuk membahas kemungkinan adanya kehidupan selain di Bumi, dan implikasinya terhadap dunia religi.

Terkait hal tersebut, rupanya dalam Al-Qur’an juga disebutkan mengenai tata surya dan jumlah planet-planet dengan jumlah yang berbeda dari versi bangsa Sumeria:

QS. Yusuf: 4: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

”Bintang” di dalam versi ini dimaksudkan sebagai planet. Dengan demikian, dalam versi Al-Qur’an, tata surya kita memiliki 12 entitas yang mengelilingi matahari. Manakah diantara dua versi itu yang paling akurat? Penulis berkeyakinan tidak ada yang salah dari keduanya.

Dalam versi Nibiru, yang dilukiskan oleh bangsa Sumeria dalam tablet di atas merupakan penggambaran entitas tata surya kita yang masih utuh. Sedangkan dalam kenyataan, di antara Mars dan Jupiter terdapat sabuk asteroid yang seolah ’memisahkan’ Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars dengan Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto, dan planet berikutnya (Nibiru atau Planet X). Sabuk asteroid ini sudah disimpulkan oleh para ilmuwan dulunya merupakan sebuah planet yang hancur karena suatu sebab yang tak diketahui. Jadi apa yang dilukiskan dalam Al-Qur’an mungkin adalah tata surya sebelum planet diantara Mars dan Jupiter tersebut hancur. Selain itu juga terdapat kemungkinan lainnya lagi, bahwa tata surya kita merupakan sistem dengan matahari kembar. Ya, kembar. Teori ini dikemukakan oleh para ilmuwan pada tahun 1990-an. Mereka menemukan bahwa kembaran matahari tersebut tidak bersinar seperti halnya matahari, namun memiliki karakteristik seperti sebuah bintang dan hanya dapat dilihat dengan teleskop infra merah. Mungkinkah ’Dark Sun’ ini yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai anggota tata surya ke-13?

Hal itu masih diperdebatkan, karena ilmuwan belum menemukan bukti empiris, terutama mengenai keberadaan Nibiru atau Planet X (atau sudah, namun dirahasiakan dari publik karena akan memunculkan keresahan). Apalagi dalam pertemuan para astronom baru-baru ini di Praha, menyepakati bahwa Pluto bukanlah sebuah planet karena orbitnya yang tak beraturan, bahkan bersilangan dengan Neptunus.

Tapi terlepas dari berapa jumlah penghuni tata surya, dengan penggambaran yang helio-sentris dan juga deskripsi warna planet-planet sebenarnya sudah membuktikan satu hal, bahwa ilmu astronomi Sumeria sudah sedemikian maju. Hal ini akan menjadi logis apabila mereka ’dibantu’ oleh makhluk asing yang berteknologi tinggi dan mempunyai kemampuan space travel. Tentunya dengan kemampuan biological engineering, tidak mustahil mereka juga dapat menyilangkan DNA hominid yang ada di Bumi dengan DNA mereka sendiri, sehingga muncul spesies baru bernama Homo Sapiens.

Dari mana asal usul Annunaki? Berdasarkan tablet Sumeria itu, mereka berasal dari planet ke-12 tata surya kita yaitu Nibiru. Tapi hal ini tentunya masih berupa mitos, seiring dengan mitos apakah planet ke-12 itu ada atau hanya imajinasi belaka.


Annunaki dan banjir besar

Kita semua sudah tak asing dengan kisah banjir besar Nabi Nuh (dalam Al-Qur’an) atau Noah dalam kitab Injil. Dan kita juga mengetahui bahwa legenda banjir besar itu juga tersebar luas dalam berbagai kebudayaan di dunia, misalnya di China, Indochina, India, Indonesia, Australia, Andaman Islands, New Zealand, Malaysia, Yunani, Jerman, Irlandia, Finlandia, Amerika (Aztec, Caddo, Hopi, Maya, Inca, Mapuche, Menominee, Mi’kmaq), Polynesia, dan lain-lain. Namun dari semua kebudayaan itu, tidak ada yang menonjolkan satu tokoh manusia tertentu seperti halnya dalam Injil atau Al-Qur’an.

Ternyata, sebuah tablet peninggalan Sumeria yang dibuat sekitar tahun 1700 SM menceritakan kisah seorang tokoh manusia bernama Ziusudra yang diberi informasi oleh Enki bahwa akan terjadi banjir besar yang menenggelamkan seluruh Sumeria, dan Enki memerintahkannya untuk membuat kapal raksasa yang dapat mengangkut sebanyak-banyaknya orang. Dikisahkan bahwa Enlil mengetahui bagaimana banjir tersebut akan terjadi, namun memilih untuk diam karena dia memang berniat untuk menghapus peradaban Sumeria berikut penduduknya. Dari tablet-tablet itu pula dikisahkan bahwa waktu itu di Sumeria sudah banyak kaum Nephilim, yaitu orang-orang hasil perkawinan antara kaum Annunaki dengan manusia keturunan Adam. Penganut Injil menyebutnya dengan istilah ’Fallen Angels’. Dan seperti yang disebut dalam Injil:

Gen 6:1-4: After the sons of God took human wives there were giants in the Earth in those days; and also after that, when the sons of God came in unto the daughters of men, and they bare children to them, the same became the mighty men which were of old, men of renown. The Nephilim were upon the Earth, in those days and thereafter too, when the sons of the gods cohabitated with the daughters of the Adam, and they bore children unto them.

Kaum Nephilim ini berukuran raksasa, dan bersifat memberontak terhadap Enlil. Menyadari bahwa kaum Nephilim adalah suatu kesalahan yang membahayakan Annunaki, Enlil sengaja mendiamkan ketika akan terjadi banjir besar, dengan harapan semua Nephilim tersebut akan mati bersama dengan seluruh manusia yang telah diberikan pengetahuan oleh Enki. Enki sendiri sependapat dengan Enlil mengenai kaum Nephilim itu, namun ia tidak setuju apabila manusia juga ikut dimusnahkan. Oleh karena itu, iapun memberitahu salah satu manusia yang bernama Ziusudra tadi supaya membuat kapal raksasa. Akhirnya banjir besar pun terjadi dan peradaban Sumeria beserta kaum Nephilim musnah, kecuali Ziusudra dan pengikutnya. Apakah Ziusudra adalah Nabi Nuh atau Noah? Inilah yang belum terpecahkan, tapi yang jelas tablet Sumeria itu dibuat jauh sebelum munculnya Kitab Injil ataupun Al-Qur’an.

Berbicara tentang kaum Nephilim, Goliath (dalam Injil) atau Jalut (dalam Al-Qur’an) yang dilawan oleh Nabi Daud/King David adalah salah satu keturunan Nephilim yang tersisa. Legenda Titans, Hercules, Perseus, Achilles, dan Theseus dari Yunani juga merupakan manifestasi dari kaum Nephilim. Hanuman, dan Garuda dari India juga dimitoskan sebagai setengah ’Dewa’. Tapi di sisi lain, legenda kaum Nephilim memunculkan beberapa anggapan keliru yang menyebutkan bahwa manusia pada waktu itu semua berukuran raksasa.

Sementara itu, tablet yang mengisahkan penyebab banjir besar itu tidak ditemukan. Ada pihak yang berspekulasi bahwa pada saat itu adalah akhir dari zaman es, sehingga es yang mencair menimbulkan banjir besar. Tapi ada juga yang berspekulasi bahwa di saat itulah Planet Nibiru melintas mendekati matahari, sehingga menimbulkan pole shift atau pergeseran kutub dan bencana lainnya. Kutub yang bergeser tersebut tentu saja mencair dan memunculkan banjir besar tadi.

Ketika Annunaki menemukan bahwa manusia dapat menyelamatkan diri dari banjir tersebut, mereka memutuskan untuk meninggalkan Bumi dan membiarkan manusia membuat peradabannya sendiri sampai sekarang.


Apakah Annunaki = Tuhan?

Sebagian besar dari kita pasti sudah menonton film ”Knowing” yang dibintangi Nicolas Cage. Di film itu, disuguhkan konsep yang cukup mengejutkan penonton. Bahwa di akhir zaman, makhluk asing (alien) akan memegang peranan penting dalam melestarikan keberadaan manusia. Sosok alien dalam film itu ada 2 macam, yaitu ketika menyamar menjadi manusia dengan wajah pucat dan rambut pirang (seperti albino), dan sosok yang sebenarnya yang tinggi, berwarna putih, dan bercahaya. Sang sutradara rupanya ingin mengkombinasi bentuk alien tersebut dengan konsep malaikat yang ada di berbagai agama.

Tapi yang menarik dari penggambaran alien itu adalah ketika menyamar jadi sosok albino. Itu sangat sesuai dengan gambaran bangsa Sumeria mengenai Annunaki yang bersosok seperti albino, dengan mata biru dan rambut pirang. Apakah memang itu pesan yang disampaikan oleh pembuat film ”Knowing” secara implisit?

Dari pesan dalam ”Knowing” itu, kita kembali ke tablet-tablet peninggalan Sumeria, yang telah menunjukkan dengan logis bahwa Annunaki-lah yang menciptakan manusia pertama, Adam/Adamu/Adapa. Pertanyaan berikutnya: apakah itu berarti bahwa Enki adalah Tuhan yang kita sembah, seperti yang disebut dalam film ”The Fourth Kind”? Penulis tidak menganggap seperti itu.

Kaum Annunaki memang berperan besar dalam sejarah manusia: mulai dari menciptakan homo sapiens pertama di Bumi sampai dengan memberikan akses terhadap sebagian Pohon Pengetahuan sehingga membentuk peradaban manusia seperti yang kita alami sekarang. Tapi kaum Annunaki bukanlah pencipta Bumi ataupun alam semesta. Terdapat kekuatan yang lebih besar dari Annunaki yang menciptakan alam semesta dan juga Bumi. Kekuatan itu pula yang membuat Annunaki memiliki kemampuan untuk datang ke Bumi melalui space travel. Kekuatan itu adalah Tuhan kita, pencipta alam semesta. Adapun kalau Annunaki mempertuhankan diri mereka sendiri di hadapan manusia, itu semata karena mereka menguasai pengetahuan dan teknologi yang lebih maju sehingga dapat mengendalikan jalan pikiran manusia sebagai budaknya.

Bagi sebagian kebudayaan, hal ini menjadi rancu karena selama ribuan tahun, bahkan ratusan ribu tahun telah terjadi persilangan antara mitos dan realita. Tentunya apa yang tertanam dalam benak manusia selama ratusan ribu tahun itu ada yang menjadi kepercayaan yang permanen dan sulit untuk diubah. Hal ini mungkin terwujud dari penulisan kitab-kitab suci yang terkesan ’tidak konsisten’, mencampuradukkan antara penciptaan alam semesta dan penciptaan manusia. Proses pencampuradukan itu perlu kita waspadai sebagai bagian dari ’perang politik’ antara Enlil dan Enki. Karena dengan dikuasainya pengetahuan oleh manusia, maka Enlil akan kehilangan kekuasaannya yang telah berjalan ratusan ribu tahun itu. Oleh karena itu dihembuskanlah berita oleh Enlil kepada manusia bahwa Enki adalah ular atau Satan atau Iblis yang jahat dan menipu, dan Pohon Pengetahuan digambarkan sebagai suatu dosa (original sin), sehingga manusia menjadi ter-demotivasi untuk mencari pengetahuan.

’Perang politik’ itu telah terjadi selama Annunaki masih berada di Bumi, sebelum adanya banjir besar ketika anak keturunan Adam sudah menyebar di berbagai wilayah. Pada waktu itu manusia pun terpecah dua, yaitu pendukung Enlil dan Enki. Ketika mengetahui bahwa Bumi akan dilanda banjir besar, Enlil yang ingin menguasai Bumi diam saja. Harapannya adalah seluruh manusia dan kaum Nephilim mati, sehingga ia dapat mulai lagi dari awal tanpa harus ’berperang’ dengan saudaranya, Enki. Namun seperti sudah diceritakan di atas, Enki memberitahu Ziusudra untuk menyelamatkan manusia sebanyak mungkin. Proses penyelamatan itu berhasil, tak hanya menyelamatkan pengikut Enki tapi juga pengikut Enlil. Karena sudah luluh lantak akibat banjir, maka kegiatan eksploitasi alam oleh Annunaki tak dapat diteruskan dan merekapun meninggalkan Bumi.

Tapi rupanya ’perang politik’ masih berlanjut antara manusia pengikut Enki dan Enlil yang tersisa, sampai ribuan tahun berikutnya – bahkan sampai saat ini. Pengikut Enki ingin membuka Pohon Pengetahuan seluas-luasnya untuk dipelajari, sedangkan pengikut Enlil ingin manusia menjadi makhluk yang mudah dikontrol dan diarahkan oleh penguasa. Kepada siapakah kita berpihak?

Sumeria dan Akhir Zaman

Dari tulisan di atas, penulis ingin menekankan betapa eratnya kaitan budaya Sumeria dengan kebudayaan-kebudayaan dunia pada era setelahnya, termasuk dengan agama-agama yang dianut manusia sampai saat ini. Tentu saja hal ini terlepas dari apakah Sumeria sendiri benar-benar dipengaruhi oleh para ’Dewa’ atau Annunaki – yang ditengarai berasal dari ’langit’– itu atau tidak.

Tapi berbicara mengenai Annunaki, bangsa Sumeria percaya bahwa mereka akan kembali lagi ke Bumi suatu saat nanti, tapi tidak tahu kapan. Apabila kita mau konsisten, maka keyakinan bangsa Sumeria mengenai hal ini tentunya sedikit banyak mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan setelahnya. Kisah atau legenda atau kepercayaan yang sejalan dengan kepercayaan Sumeria ini justru datang dari Injil dan Al-Qur’an, yaitu legenda mengenai Ya’juj dan Ma’juj (dalam Al-Qur’an) atau Gog dan Magog (dalam Injil).

Siapakah bangsa Ya’juj dan Ma’juj itu? Sampai sekarang pertanyaan itu sama sekali terpecahkan. Tapi semua penganut Injil dan Al-Qur’an mempercayai bahwa kedua bangsa itu dulu pernah mendiami Bumi dan berperang. Menurut Al-Qur’an, seorang pemimpin manusia bernama Dzul-Qarnayn berhasil ’mengalihkan’ perang itu dengan membangun sebuah ”dinding”.

QS. Al-Kahfi: 94-97

93 Hingga apabila dia telah sampai di antara dua bendungan, dia mendapati di hadapan kedua bendungan itu suatu kaum yang tidak mengerti pembicaraan.

94 Mereka berkata: "Hai Dzul-Qarnayn, sesungguhnya Ya'juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"

95 Dzul-Qarnayn berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka,

96 Berilah aku potongan-potongan besi" Ketika besi itu telah terpotong sama rata diantara kedua kerang itu, berkatalah Dzul-Qarnayn: Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu".

97 Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.

Bahasa dari ke-4 ayat itu merupakan metafora dari sesuatu, yang sampai sekarang kaum agamawan dan sejarawan masih tidak dapat memecahkannya. Tapi penulis berpendapat bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa Dzul-Qarnayn telah menjebak kaum Ya’juj dan Ma’juj di dalam sebuah wormhole, sehingga mereka tidak dapat keluar dan menyebar kekacauan di Bumi. Wormhole digambarkan sebagai ”kerang” dalam ayat 96, karena memang secara fisik bentuknya seperti kerang.

Dalam Al-Qur’an, wormhole lazim disebut Ma’aarij (sarana yang digunakan para Malaikat untuk menghadap Allah SWT). Mekanisme kerjanya dibahas dalam QS Al-Ma’aarij, dimana disebutkan bahwa satu hari di dalam Ma’aarij setara dengan 50.000 tahun, sesuai dengan Teori Relativitas Einstein. Secara harfiah, bentuk singular dari kata ma’aarij adalah mi’raj (seperti dalam IsraMi’raj).

Jadi siapakah Ya’juj dan Ma’juj itu? Walau belum dapat dipastikan dengan jelas, tapi penulis berpendapat bahwa salah satu dari kedua kaum itu adalah Annunaki. Kalau benar demikian, menjelang akhir zaman nanti bendungan yang dibangun oleh Dzul-Qarnayn tidak akan mampu lagi menahan mereka di dalam wormhole, dan Annunaki akan kembali lagi ke Bumi seperti keyakinan bangsa Sumeria. Sekarang pertanyaannya: Siapakah kaum yang satunya lagi? Apakah sesama Annunaki atau sebuah ras lain lagi? Pertanyaan itu akan penulis coba jawab di tulisan berikutnya.

Sunday, October 25, 2009

NASA: Bagaikan Pungguk Merindukan Bulan


Bulan selalu menjadi pusat perhatian setiap manusia. Bukan hanya fungsinya sebagai penentu kalender bangsa-bangsa kuno (termasuk kalender Islam) ataupun bagian dari navigation tools, namun juga teka-teki asal-usul Bulan sampai sekarang masih diliputi misteri dan banyak menimbulkan tanya. Walaupun berbagai misi eksplorasi telah diluncurkan sejak tahun 1961, tak pelak masih banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab dari eksistensi Bulan. Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya sekarang sudah dapat terjawab oleh manusia, mengingat Bulan adalah objek langit yang terdekat jaraknya dari Bumi. Namun dengan teknologi yang sudah sedemikian canggih, mengapa manusia masih juga belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?

Tulisan ini mencoba untuk menelusuri kemungkinan jawaban pertanyaan-pertanyaan itu, dimulai dari awal keingintahuan penulis sendiri setelah membaca karya-karya dari H.G. Wells. Seperti halnya Jules Verne (1828-1905), H.G. Wells (1866-1946) adalah seorang visioner yang menghasilkan berbagai karya-karya novel science fiction yang abadi sepanjang masa, antara lain The First Men In The Moon, The Food Of The Gods And How It Came To Earth, The Invisible Man, The Island of Dr. Moreau, The Time Machine, The War Of The Worlds, dan berbagai karya science fiction lainnya. Sama halnya karya-karya Jules Verne yang melegenda, hampir seluruh visi dan karya H.G. Wells itu dihasilkan pada akhir abad ke-19, 100 tahun sebelum manusia benar-benar dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.

Salah satu karya Wells yaitu “The Time Machine” telah dibuat filmnya dua kali tahun 1960 dan 2002, mengisahkan tentang seorang time traveller yang berkelana ke tahun 802.701 dan menemukan bahwa manusia sudah berevolusi kembali seperti masa prasejarah. Film versi tahun 2002 disutradarai oleh cucu sang novelis sendiri yaitu Simon Wells, yang melengkapi karya kakeknya dengan teori paradoks waktu. Dalam film ini, dikisahkan bahwa Alexander Hartdegen (Guy Pearce) berkelana melintasi waktu ke masa depan untuk mencari jawaban atas takdir kematian kekasihnya yang tak terelakkan. Yang penulis angkat disini adalah ketika tahun 2030 manusia mulai melakukan kolonisasi di Bulan. Namun demikian, pada tahun 2037 terjadi pemberontakan sehingga koloni manusia di Bulan dibom, akibatnya Bulan menjadi terbelah dan meluncur keluar dari orbitnya. Kehancuran Bulan mengakibatkan punahnya umat manusia sehingga kembali ke peradaban jaman batu yang primitif.



Karya Wells yang lain, “The First
Men in the Moon” juga pernah dibuat filmnya pada tahun 1919 dengan format film bisu dan hitam putih serta versi kedua pada tahun 1964, yang mengisahkan eksplorasi manusia pertama di bulan oleh Kerajaan Inggris pada tahun 1890, dan pertemuan dengan Selenites, makhluk asing penduduk bulan berwujud serangga yang tinggal di kota underground.

Terkait dengan novelisasi dari Wells itu maupun penulis sains-fiksi yang lain, tak dapat dipungkiri sebenarnya sudah sejak lama manusia ingin menginjakkan kakinya di Bulan. Pada periode tahun 50-an keinginan itu ditandai oleh “Space Race” antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dimana masing-masing berlomba-lomba untuk melakukan perjalanan ruang angkasa ke bulan. Adalah Yuri Gagarin dari Uni Soviet yang pertama kali melakukan perjalanan di ruang angkasa, namun Neil Armstrong dan Edwin Aldrin dari Amerika Serikat lah yang pertama kali menginjakkan kakinya di Bulan dalam misi Apollo 11 pada tanggal 20 Juli 1969. Misi Bulan Soviet (Soviet Moonshot) sendiri terhenti di tengah jalan dengan dengan sebab tidak jelas, banyak yang mengatakan bahwa program tersebut telah memakan banyak korban jiwa kosmonot Soviet.

Setelah beberapa kali melakukan misi ke Bulan, proyek Apollo pun dihentikan oleh NASA pada tahun 1972 dengan alasan tidak tersedianya anggaran. Misi Apollo 18, 19, dan 20 yang telah direncanakan oleh NASA dengan detil tiba-tiba dibatalkan. Menurut penjelasan NASA waktu itu, ada pemotongan anggaran yang mengakibatkan anggaran yang ada dialokasikan untuk membuat pesawat ulang-alik yang lebih efisien. Namun demikian, sekarang ketika teknologi NASA sudah sedemikian maju dan beberapa pesawat ulang-alik sudah dibuat (Challenger, Enterprise, Atlantis, Columbia, Discovery, Endeavour), nampaknya NASA masih enggan untuk meneruskan misi ke Bulan yang terhenti di tengah jalan itu dengan teknologi yang sudah dicapai. Jadi apakah semata masalah anggaran yang mengakibatkan misi Apollo dibatalkan, sampai sekarang NASA tidak pernah mengungkapkannya. Apalagi anggaran untuk misi Apollo hanyalah 34% dari total keseluruhan anggaran NASA (www.nasa.gov). Tapi menurut sumber-sumber dari NASA, sebenarnya misi Apollo 18, 19, dan 20 tetap dijalankan, bahkan dengan bekerjasama dengan pihak Uni Soviet. Tujuannya sangat rahasia.

Walau demikian, dari misi-misi Apollo yang berhasil mendaratkan manusia di Bulan telah terkumpul berbagai obyek bebatuan dan mineral dari permukaan Bulan, dan kini tersimpan rapi di Museum Smithsonian. Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap obyek-obyek tersebut, dan menghasilkan berbagai teori mengenai terbentuknya Bulan:

Teori pertama adalah sebuah teori ‘resmi’ dari NASA. Obyek-obyek yang diteliti tersebut ternyata memiliki kesamaan komponen dengan komponen yang membentuk Bumi. Jadi disimpulkan bahwa pada suatu waktu dulu, Bulan terbentuk dari bagian Bumi yang terpecah, konon karena bertabrakan dengan benda langit yang lain. Sementara benda langit yang menabrak Bumi itu hancur berkeping-keping membentuk sabuk asteroid yang tersebar di antara planet Mars dan Jupiter.

Selain teori itu, masih ada teori-teori lain yang kontroversial. Konon pada masa lalu, manusia pernah mengalami masa kemajuan teknologi yang jauh lebih tinggi dibandingkan saat ini. Teori ini terkait dengan berbagai legenda ancient civilization yang tersebar di dunia, yang akhirnya hancur (kemungkinan karena penguasaan teknologi yang maju dikombinasikan dengan keserakahan abadi umat manusia). Pada masa ancient civilization itu, produktivitas manusia sudah menjadi suatu keharusan, sehingga konsep siang-malam menjadi suatu hal yang dihindari. Manusia tidak mau kegelapan malam menjadi suatu hal yang menghalangi produktivitas mereka. Oleh karena itu, dengan kemajuan teknologi yang dimiliki, mereka membuat benda angkasa yang menjadi tiruan Matahari, ditempatkan dalam orbit Bumi sedemikian sehingga dapat menerangi bagian Bumi yang gelap. Benda angkasa tersebut bentuknya dibuat jauh lebih kecil dari Matahari dan Bumi. Rasio ukuran benda itu dengan Matahari adalah tepat 1:400, serta rasio jarak benda itu dengan Bumi dan jarak Bumi-Matahari juga 1:400. Dengan posisi penempatannya yang tepat itu, apabila benda itu dilihat dari Bumi seolah ukurannya menjadi sama dengan Matahari. Bagaimana mekanisme pencahayaannya ke Bumi, juga berhubungan dengan posisi benda itu. Dengan bahan khusus (menurut penelitian para ahli adalah Chromium, Titanium, dan Zirconium, yang dikombinasikan menjadi bahan yang anti karat, tahan panas, dan sangat tahan terhadap serangan/benturan apapun), permukaan benda itu dapat memantulkan cahaya Matahari dengan cahaya yang sama terangnya, bahkan sama menyilaukannya. Bedanya, benda ini tidak memancarkan panas seperti halnya Matahari. Sejak saat itu Bumi tidak mengenal istilah malam yang gelap. Siang disinari oleh Matahari, sedangkan malam disinari oleh benda buatan yang spektakuler itu. Sekarang, setelah beratus ribu tahun, bahkan mungkin jutaan tahun, benda itupun sudah diselubungi oleh debu-debu angkasa, sehingga cahaya matahari yang dipantulkan pun sudah redup, tidak terang benderang seperti ketika ia pertama kali dibuat. Benda itulah yang kita kenal sekarang sebagai Bulan. Salah satu fakta yang mendasari ini adalah bahwa semua kawah meteor di Bulan dangkal, tidak ada yang dalam. Hal itu sangat mustahil, apalagi mengingat Bulan tidak memiliki atmosfer seperti di Bumi yang menahan laju meteor yang jatuh di permukaannya. Juga orbit Bulan yang hampir bulat sempurna, tidak seperti planet-planet maupun obyek langit lainnya di tatasurya.

Selain teori Bulan buatan manusia, ada juga teori bahwa Bulan adalah satelit buatan makhluk asing yang sengaja ‘dibawa’ ke orbit Bumi. Dengan dasar teori yang hampir sama dengan teori Bulan buatan manusia, teori ini mengatakan bahwa Bulan ’diorbitkan’ di Bumi sekitar 11.500 hingga 13.000 tahun yang lalu, juga satelit planet Jupiter yang bernama Phobos yang memiliki karakteristik mirip dengan Bulan. Latar belakangnya adalah hieroglyph yang terdapat di Tihuanaco, Bolivia yang menyatakan demikian. Ditambah dengan informasi mengenai komponen Bulan yang dibawa oleh misi Apollo, menunjukkan bahwa Bulan telah berumur setidaknya 4,5 milyar tahun. Padahal batuan tertua di Bumi mengindikasikan bahwa Bumi baru berumur 3,7 milyar tahun. Hal inilah yang memunculkan hipotesis bahwa Bulan sengaja ’ditempatkan’ di orbit Bumi. Apakah tujuan itu, tidak ada yang tahu pasti. Terdapat dugaan bahwa Bulan berfungsi sebagai ’mata-mata’ bagi makhluk asing untuk mengamati kehidupan di Bumi. Ada juga dugaan lain sebagai space station, tempat persinggahan bagi makhluk asing. Namun ada juga yang mengatakan bahwa Bulan pada waktunya nanti berfungsi seperti perahu Nabi Nuh, membawa contoh DNA dan berbagai makhluk bumi yang diperlukan untuk memulai dunia baru, ketika nanti Bumi mengalami kehancuran.

Konsep bulan buatan itu masih kontroversial, namun demikian bukan suatu hal yang mustahil. Dan teori itu juga terkait dengan teori lainnya yang disebut ”Hollow Moon”. Teori ini muncul berdasarkan analisis seismograf dari berbagai misi Apollo di Bulan, yang menunjukkan bahwa ketika modul-modul Apollo itu meninggalkan permukaan Bulan, muncul getaran di permukaan Bulan (moonquake) yang waktunya cukup lama, 55 menit. Hal ini tidak mungkin terjadi apabila modul tersebut mendarat di permukaan yang solid. Getaran di permukaan solid memang muncul, tapi tidak selama ketika modul tersebut mendarat di Bulan. Getaran tersebut dianalogikan seperti ketika kita memukul kaleng susu. Ketika kaleng itu penuh berisi susu, maka getaran hanya muncul sebentar. Namun ketika kaleng itu dikosongkan, waktu getaran yang muncul menjadi lebih lama. Hal inilah yang menyimpulkan bahwa di dalam Bulan terdapat ruang kosong (hollow), sehingga kembali ke fantasi H.G. Wells di novel “The First Men in the Moon”. Benarkah di bawah permukaan Bulan terdapat suatu peradaban? Sampai sekarang tidak ada yang tahu (atau paling tidak, cuma ada beberapa orang/pihak yang tahu). Atau mungkinkah itu sebenarnya yang membuat NASA tiba-tiba membatalkan seluruh misinya ke Bulan pada tahun 1972?

Banyak sekali teori konspirasi yang beredar sejak tahun 70-an mengenai Bulan. Salah satunya adalah ”bocoran” foto-foto hasil eksplorasi misi Apollo dari orang dalam NASA bahwa di Bulan terdapat berbagai artifak kuno, menunjukkan bahwa dulu pernah ada peradaban (manusia atau bukan manusia) di permukaan Bulan. Dari foto-foto tersebut, mengindikasikan bahwa NASA melakukan rekayasa terhadap sebagian besar foto yang diambil oleh misi Apollo di Bulan, yang ternyata tidak semua berwarna abu-abu. Rekayasa tersebut dapat berupa penghapusan obyek, pengaburan (blurring) obyek, juga pengubahan warna obyek menjadi seluruhnya abu-abu.

Apabila benar, apa tujuan NASA melakukan rekayasa terhadap foto-foto itu? Dan lebih jauh lagi, apa sebenarnya yang membuat NASA ”ketakutan” sehingga meninggalkan misi Apollo secara tiba-tiba pada tahun 1972 silam? Tentunya tidak ada yang tahu jawaban pastinya selain para pejabat NASA dan juga pengambil kebijakan di atasnya, dengan kata lain pemerintah Amerika Serikat. Sekedar informasi tambahan, rumor yang beredar saat ini mengatakan bahwa sudah sejak lama NASA sudah berada di bawah kendali Angkatan Bersenjata AS, bahkan dalam waktu dekat US Navy akan membangun stasiun angkasa luar (Naval Space Command) dengan bantuan tenaga ahli NASA. Hal ini menambah pertanyaan di benak penulis, apa kepentingan pembuatan stasiun luar angkasa oleh Angkatan Laut Amerika? Selain memunculkan pertanyaan, juga mengingatkan penulis pada serial Star Trek, dimana Starfleet berada dibawah kendali US Navy, sehingga setiap pesawat diberikan awalan nama ’USS’ seperti kapal laut Amerika Serikat. Penulis pernah mengungkapkan pada note terdahulu, HAARP adalah proyek di bawah kendali US Navy juga.

Di tengah hingar bingar kontroversi misi Apollo yang sampai sekarang masih belum jelas kebenarannya, juga keterkaitan NASA dengan pihak militer yang semakin hari semakin mengemuka, sejak tahun 1990 Jepang, Eropa, Russia, China, dan India telah meluncurkan misi non-awak ke Bulan untuk meneliti dan memetakan permukaannya secara detil. Prestasi menonjol ditorehkan oleh India dengan probe-nya yang dinamai Chandrayaan-I yang menemukan indikasi adanya banyak air di sisi kutub Bulan. Namun demikian, mengapa mereka tidak menggunakan teknologi pada misi Apollo (termasuk misi berawak), juga tak terjelaskan. NASA sendiri sebagai pemilik teknologi Apollo pada tahun 1994 malah juga kembali lagi mundur menggunakan misi non-awak Clementine. Namun yang menarik kali ini, sejak tahun 1994 itu semua proyek NASA ke Bulan didanai oleh militer AS.

Misi NASA ke Bulan yang baru-baru ini saja menghiasi media adalah LCROSS (Lunar Crater Observation and Sensing Satellite), sebuah misi ”kamikaze” dari probe NASA yang sengaja ditabrakkan ke permukaan Bulan, untuk mencitrakan pecahan permukaan Bulan dari hasil tumbukan yang terjadi, yang kemudian dilakukan analisis spektrum apakah dari pecahan permukaan Bulan tersebut ada indikasi komponen air atau tidak. LCROSS diterbangkan oleh NASA dengan roket Atlas V pada tanggal 18 Juni 2009, bersama dengan LRO (Lunar Reconnaissance Orbiter, satelit yang diluncurkan untuk mengorbit Bulan). LCROSS sendiri terdiri dari dua probe. Satu probe berukuran lebih besar, dan probe yang kedua, dinamakan Centaur, berada di dalam probe pertama. Pada tanggal 9 Oktober 2009, Centaur ’ditembakkan’ oleh probe yang membawanya sehingga menabrak permukaan Bulan dengan dua kali kecepatan peluru (10.000 km/jam), menghasilkan kawah sedalam 4 meter. Probe pembawa yang berada di belakangnya kemudian memotret hasil tumbukan itu yang berupa debu-debu dan pecahan-pecahan batu, sebelum menabrakkan diri juga ke permukaan Bulan, menghasilkan kawah sedalam 2 meter. Hasil pemotretan/pencitraan itu kemudian dianalisis oleh ilmuwan NASA untuk meneliti kebenaran tentang keberadaan air di Bulan.

Banyak sekali protes yang menentang ’pengeboman’ terhadap Bulan ini. Umumnya protes dilakukan atas dasar ekologi, bahwa tidak seharusnya manusia merusak alam sedemikian rupa. Meski ilmuwan NASA berdalih bahwa misi ini tidak menggunakan bahan peledak, terutama karena adanya Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies (yang dibuat oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet) yang menyatakan bahwa Bulan harus bebas dari segala kegiatan militer. Namun pernyataan ini dinilai tidak sesuai dengan kenyataan, mengingat target ekskavasi dari hasil tumbukan LCROSS adalah sebanyak 350 ton tanah Bulan. Oleh karena itu, banyak pihak yang bersikukuh bahwa istilah ’pengeboman’ adalah istilah yang tepat, karena untuk mengangkat tanah sebanyak itu pasti membutuhkan bahan peledak yang cukup besar. Yang lebih menarik, setelah eksperimen senilai USD$79 juta tersebut dilaksanakan (dan disiarkan langsung oleh CNN serta beberapa stasiun TV internasional), penulis melihat bahwa terdapat beberapa keanehan yang terjadi selama dan sesudah proses penabrakan LCROSS. Antara lain minimnya informasi sebelum, selama, dan sesudah tumbukan LCROSS. Biasanya NASA menampilkan informasi yang sangat lengkap mengenai misi yang dijalankannya, namun entah kenapa untuk LCROSS ini informasi yang disajikan hanya sepotong-potong. Bahkan setengah jam sebelum tumbukan direncanakan untuk terjadi, terdapat Breaking News hampir di seluruh media televisi mengenai hadiah Nobel perdamaian untuk Presiden Barack Obama, yang tiba-tiba memenangkan penghargaan itu tanpa ada satu pihak pun yang menominasikan. Berita penghargaan Nobel itu langsung mendominasi berbagai acara di TV, seketika menghentikan siaran langsung terhadap LCROSS dan hanya digantikan oleh still caption tanpa penjelasan apapun.

Hasil dari tumbukan LCROSS tidak pernah diumumkan ke publik. Tidak seperti ketika Chandrayaan-I menemukan komponen air di Bulan, NASA tidak pernah menjelaskan apakah misi LCROSS menemukan air atau tidak. NASA hanya menjelaskan bahwa misi penabrakan LCROSS ke Bulan telah berhasil. Berhasil dalam hal apa, itu yang masih menjadi pertanyaan besar. Tapi yang lebih aneh lagi, dalam video live detik-detik saat tumbukan di www.nasa.gov, gambar di monitor tiba-tiba berubah menjadi hitam/menghilang 10 detik sebelum probe pembawa seharusnya menabrak permukaan Bulan. Padahal seharusnya gambar menghilang pada saat terjadi tabrakan?

Foto-foto yang dijanjikan oleh NASA akan muncul secara live juga tidak pernah muncul. Yang ada hanyalah still caption dari permukaan Bulan tanpa penjelasan apa-apa. Foto-foto yang muncul sehari kemudian di website NASA tidak dapat meyakinkan bahwa proses tumbukan berhasil dengan sukses. Selain itu, NASA juga meramalkan bahwa ledakan akibat tumbukan tersebut dapat disaksikan dengan menggunakan teleskop amatir. Namun demikian, kenyataannya hampir semua teleskop tidak melihat tumbukan tersebut. Bahkan teleskop angkasa luar Hubble yang tadinya akan merekam kejadian tersebut detik demi detik, malah tidak muncul dengan gambar apapun. Beberapa hari kemudian, barulah muncul foto di website NASA, namun apakah foto itu asli ataukah hasil rekayasa yang kini sangat mudah dilakukan?

Foto tumbukan Centaur di permukaan Bulan, muncul beberapa hari sesudahnya

Dengan semua keanehan tersebut, sampai saat ini tidak ada pihak yang mempertanyakan secara resmi mengenai keberhasilan misi LCROSS yang dibiayai oleh pembayaran pajak warga negara AS ini, apalagi di saat krisis yang melanda AS saat ini tentunya yang diperlukan adalah efisiensi.

Keanehan-keanehan itu tentu saja menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di kalangan publik, terutama yang menyoroti transparansi dan integritas NASA dalam hal dunia keilmuan. Apakah NASA benar-benar sudah ’ditunggangi’ oleh militer AS, sehingga titik beratnya lebih condong ke arah aspek pertahanan dan intelijen militer?

Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan mengapa terjadi public disinformation dari NASA. NASA sepertinya memang menghindari ’sesuatu’ di Bulan. Penulis belum mau mengatakan makhluk asing atau bukan, karena penulis memang belum pernah melihat buktinya secara langsung. Tapi sesuatu yang membuat NASA tiba-tiba menghentikan misi Apollo secara tiba-tiba dan juga menghentikan misi berawak ke Bulan selama 30 tahun belakangan ini, pasti sesuatu yang besar. Sudah banyak sekali kesaksian dari astronot-astronot NASA yang menyatakan bahwa di Bulan sudah terdapat kehidupan ‘lain’. Foto-foto yang diambil oleh para astronot itu pun disimpan, bahkan sebagian direkayasa oleh NASA. Neil Armstrong bahkan pernah keceplosan ketika diwawancara, dan mengatakan bahwa ‘they warned us off’. Berikut rekaman radio dari Apollo 11 yang legendaris begitu melakukan pendaratan di Bulan:


Apollo 11: What was it? What the hell was it? That's all I want to know!"
Mission Control: What's there?... malfunction (garble) ... Mission Control calling Apollo 11 ...

Apollo 11: These babies were huge, sir!... Enormous!... Oh, God! You wouldn't believe it! ... I'm telling you there are other space-craft out there... lined up on the far side of the crater edge! ... They're on the Moon watching us!

Apollo 11: Those are giant things. No, no, no - this is not an optical illusion. No one is going to believe this!

Houston (Christopher Craft): What... what... what? What the hell is happening? What's wrong with you?

Apollo 11: They're here under the surface.

Houston: What's there? (muffled noise) Emission interrupted; interference control calling 'Apollo 11'.

Apollo 11: We saw some visitors. They were here for a while, observing the instruments.

Houston: Repeat your last information!

Apollo 11: I say that there were other spaceships. They're lined up in the other side of the crater!

Houston: Repeat, repeat!

Apollo 11: Let us sound this orbita... in 625 to 5... Automatic relay connected ... My hands are shaking so badly I can't do anything. Film it? God, if these damned cameras have picked up anything - what then?

Houston: Have you picked up anything?

Apollo 11: I didn't have any film at hand. Three shots of the saucers or whatever they were that were ruining the film

Houston: Control, control here. Are you on your way? What is the uproar with the UFOs over?

Apollo 11: They've landed here. There they are and they're watching us.
Houston: The mirrors, the mirrors - have you set them up?

Apollo 11: Yes, they're in the right place. But whoever made those spaceships surely can come tomorrow and remove them. Over and out.


Pada beberapa tahun terakhir ini, muncul isu-isu yang menyebutkan bahwa pendaratan NASA di Bulan adalah rekayasa semata, dan video pendaratan itu sebenarnya dibuat di dalam studio. Isu ini didukung oleh berbagai foto yang menunjukkan keanehan pencahayaan, sehingga orang-orang percaya bahwa isu itu benar. Penulis menganggap isu itu justru disebarluaskan oleh NASA sendiri, untuk menutupi suatu hal yang lebih besar lagi. Dengan munculnya isu itu, orang-orang tidak akan mempertanyakan apa yang telah dilihat oleh para astronot, ataupun mempertanyakan obyek bebatuan yang dibawa dari Bulan. Hal ini terbukti dari bukti foto satelit LRO (Lunar Reconnaissance Orbiter) yang diluncurkan pada awal Oktober 2009, membuktikan bahwa pendaratan di Bulan memang benar-benar terjadi.

Tak kalah menariknya, keberadaan makhluk asing selalu dideteksi oleh para astronot hampir di setiap misi Apollo. Salah satu astronot Apollo 13, James Lovell, ketika melintas di sisi gelap Bulan bahkan memberikan kode “Please be informed that there is a Santa Claus,” dimana ‘Santa Claus’ adalah kode untuk pesawat yang tak dikenal. Lebih jauh lagi, William Rutledge, salah satu astronot Apollo 20 yang misinya dirahasiakan oleh NASA akhirnya membocorkan informasi ke media dan menyatakan bahwa misi mereka adalah mengangkat pesawat asing yang terdampar di sisi gelap Bulan.

Pesawat asing yang terdampar di sisi gelap Bulan, yang diangkat oleh misi Apollo 20

Oleh sebab itulah, ketika NASA akan meneruskan kembali misinya ke Bulan pada tahun 1994, mereka membutuhkan suatu jaminan bahwa misinya tidak ’diganggu’, maka NASA menggandeng militer AS sebagai ‘bodyguard’. Tentu saja imbalannya ilmuwan NASA juga bekerja untuk kepentingan militer, seperti membangun Naval Space Command dan juga membuat senjata a la Star Wars. Oleh karena itu strategi yang digunakan NASA untuk kembali ke Bulan pun dengan mengirimkan probe dan satelit mata-mata, untuk memetakan permukaannya. Jepang, Eropa, Rusia, China, dan India pun melakukan hal yang sama. Yang orang-orang tidak ketahui bahwa sebenarnya AS dan negara-negara itu bekerjasama dalam menghadapi ‘musuh’ yang sama (common enemy), sehingga NASA baru bergerak setelah negara-negara tersebut mengirimkan probe-nya untuk memetakan permukaan bulan dengan sudut pandang berbeda-beda. Perlu ditekankan disini bahwa masing-masing negara sudah mempunyai misi sendiri-sendiri sebagai vantage point, tapi tujuan utamanya tetap satu yaitu memetakan tanah ‘musuh’. NASA dan AS sengaja untuk ‘berbagi tugas’ dengan negara-negara lain, sebab pemetaan itu membutuhkan anggaran yang sangat besar, tidak mungkin dibiayai sendiri oleh AS. Setelah India mengumumkan bahwa probe Chandrayaan-I telah menemukan komponen air di Bulan, hal itu seolah menjadi ‘kode’ bahwa pemetaan telah dilakukan secara lengkap dan NASA beserta militer AS meneruskan eksperimennya dengan misi LCROSS.

Lebih jauh lagi, misi LCROSS sebenarnya bukan misi mencari air, tapi benar-benar misi pengeboman dengan hulu ledak tinggi. Setelah dilakukan pemetaan oleh probe-probe negara lain tadi, kini NASA sudah mendapatkan gambaran menyeluruh tentang permukaan Bulan. Informasi itu di-upload ke satelit mata-mata LRO (Lunar Reconnaissance Orbiter), yang diluncurkan bersamaan dengan LCROSS. Satelit itulah yang kini mengirimkan berbagai informasi mengenai Bulan dan aktivitasnya ke NASA dan Pentagon, yang berfungsi sebagai ujung tombak pertahanan Bumi, khususnya Amerika Serikat. Agar penempatan posisi LRO di orbit Bulan dapat berjalan dengan lancar, maka LCROSS-lah yang ’bertugas’ untuk melindungi dan berfungsi sebagai pengalih perhatian agar proses penempatan satelit itu berjalan lancar. Tapi memang paranoia AS itu terbukti, dan siapapun atau apapun yang tinggal di Bulan ternyata sanggup mengantisipasi serangan itu.

Ketika probe Centaur ‘ditembakkan’ ke permukaan Bulan, seharusnya muncul ledakan besar ketika probe itu menyentuh permukaan Bulan. Tapi ledakan itu tidak terjadi atau tidak terlihat sampai ke Bumi, seperti yang tadinya diklaim oleh NASA. Itukah penyebab NASA mengalihkan pemberitaan secara mendadak ke Obama yang memenangkan Nobel perdamaian? Kemudian apabila dilihat dari website NASA yang menyiarkan terus peristiwa itu, menjelang kedua probe LCROSS ditabrakkan ke Bulan, terdapat peningkatan panas permukaan Bulan. Bukankah Bulan tidak aktif? Mengapa muncul panas di permukaan Bulan? Dan akhirnya, 10 detik sebelum waktu tabrakan yang sebenarnya, layar monitor sudah gelap pertanda kameranya sudah mati/hancur. Apakah ada yang menghalangi probe itu untuk menabrak bulan? Pertanyaan lebih lanjut, apakah probe itu ditembak?

Penulis masih menerka-nerka apa yang menggagalkan LCROSS. Sekali lagi, belum tentu bahwa ada makhluk asing yang menghuni Bulan. Kalaupun ada, mengapa selama ini mereka tidak berkomunikasi dengan kita? Atau apakah selama ini komunikasi sudah dilakukan, namun dirahasiakan oleh pihak-pihak tertentu? Tapi juga terdapat kemungkinan lain, bahwa sebenarnya Bulan sudah tak dihuni makhluk hidup, namun karena Bulan dulunya dibuat oleh manusia atau makhluk lain dan dijalankan dengan super-komputer, mungkin saja super-komputer itu masih ada sampai saat ini dan menciptakan mekanisme pertahanan diri menghadapi serangan apapun. Dulu, mungkin mekanisme itu dibuat untuk melindungi Bulan dari hujan meteor. Sekarang, setelah jutaan tahun, sensor pertahanannya pun makin melemah dan hanya bereaksi terhadap serangan yang bersifat besar, antara lain LCROSS. Mungkin, AS (NASA dan Pentagon) sudah mengetahui adanya super-komputer di Bulan sejak berjalannya misi Apollo pada akhir tahun 60-an. Agaknya hal itu yang menyebabkan NASA merahasiakan misi Apollo 18, 19, dan 20 dan kerjasamanya dengan pihak Uni Soviet, untuk melakukan konsolidasi internal sambil bersama dengan ilmuwan Rusia menelaah super-komputer Bulan, yang jelas-jelas berada di luar jangkauan pengetahuan mereka. Sementara itu, militer AS rupanya masih meneruskan kebijakan “Star Wars” yang dicetuskan oleh Presiden Ronald Reagan pada tahun 80-an. Selain membangun Naval Space Command secara rahasia, Pentagon juga mengembangkan misil antar planet. Sebagai sarana eksperimen misil itu, dipakailah Bulan dan pertahanan super-komputernya sekaligus untuk mengetahui sejauh mana tingkat sensitivitas dari sistem pertahanan tersebut. Percobaan pertama berupa uji coba misil tersebut memang dapat dikatakan berhasil, dengan biaya yang tidak terlalu tinggi (US$79 juta) Pentagon berhasil meluncurkan misil ke luar atmosfer Bumi. Tinggal dilakukan modifikasi terhadap hulu ledaknya, dan voila! Terciptalah misil antar planet yang pertama di Bumi, sanggup menghancurkan berbagai macam obyek angkasa luar. Percobaan kedua juga dapat dikatakan berhasil, yaitu mengetahui sensitivitas sistem pertahanan super-komputer Bulan. Paling tidak, meski jutaan tahun di bawah debu kosmik tapi masih bisa melindungi diri dari ancaman yang berkecepatan 10.000 km/jam. Dengan demikian, sekarang ilmuwan-ilmuwan NASA tinggal mencari jalan untuk mengendalikan super-komputer itu. Apabila berhasil, maka Bulan dapat menjadi pelindung Bumi apabila ada ancaman tabrakan meteor dan sebagainya. Namun sisi buruknya, ‘penguasa’ Bulan juga dapat mentarget kota-kota atau negara manapun di Bumi demi kepentingannya sendiri seperti halnya HAARP. Oleh karena itulah NASA selama 40 tahun terakhir diam-diam mencari jalan untuk ‘menaklukkan’ Bulan, namun tampaknya sampai sekarang masih belum berhasil.
Bagaikan pungguk merindukan Bulan…