Have fun and enjoy yourself

Tuesday, December 3, 2013

FROZEN: Breaking Disney's Princess Tradition


Frozen adalah film animasi produksi Walt Disney yang disutradarai oleh Chris Buck dan Jennifer Lee, dan diluncurkan pada saat perayaan Thanksgiving di Amerika. Frozen juga ditayangkan tepat pada saat sang icon Disney yang legendaris, Mickey Mouse, merayakan ulang tahunnya yang ke-85. Perayaan ulang tahun Mickey itu ditandai dengan sebuah film pendek sebelum Frozen dimulai, yang berjudul “Get A Horse!”. Film pendek ini disajikan secara apik, menggabungkan teknologi hitam putih dengan teknologi 3D. Suara Mickey Mouse pun menggunakan suara asli dari mendiang Walt Disney.
 
Karena event khusus inilah, maka Frozen pun sangat terasa spesial. Menurut saya, inilah film animasi yang berhasil mengembalikan cirikhas Disney seperti halnya Snow White and The Seven Dwarfs, Sleeping Beauty, Cinderella maupun Pinocchio. Cirikhas Disney tersebut adalah membungkus suasana sedih dan kepedihan hati dengan semangat, keceriaan, sekaligus kemegahan yang membuat penonton terpesona. Film terakhir yang menurut saya berhasil membawa semangat Disney seperti itu adalah The Lion King (1994).
 
Secara visual, selama 108 menit sejak awal hingga akhir Frozen berhasil mempesona penonton sehingga benar-benar terasa memanjakan mata. Tak heran, karena konsep hingga persiapan produksinya dilakukan oleh Disney selama tak kurang dari 11 tahun. Pembuatan animasi salju dan es juga dibuat secara teliti, termasuk pergerakan salju dan es ketika manusia dan hewan berjalan melaluinya. Dari segi musik, Christophe Beck telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, sehingga gubahannya benar-benar dapat menyatu dengan film dan tokoh-tokohnya. Lagu-lagu catchy “Let It Go” dan “Do You Want To Build A Snowman?” bisa membuat anak-anak saya mendendangkannya selama beberapa hari ini.
 
Ceritanya sendiri mengambil inspirasi dari “The Snow Queen” karya Hans Christian Andersen, sang pengarang fairy tale yang masyhur dari Denmark itu. Namun demikian, alur cerita di film ini tidak sama persis dengan karya HC Andersen tersebut. Sebagai catatan, beberapa produksi Disney juga mengambil inspirasi dari HC Andersen misalnya The Little Mermaid, The Little Matchgirl, dan Lilo & Stitch (terinspirasi dari The Ugly Duckling).
 
Dalam Frozen, dikisahkan dua kakak beradik Princess Elsa dan Princess Anna yang harus berjuang sendiri mengatasi masalah di antara mereka berdua dan juga di kerajaannya, setelah orangtua mereka (Raja dan Ratu Kerajaan Arendelle) meninggal. Masalah itupun semakin kompleks karena Elsa sejak lahir dikaruniai kekuatan (atau kutukan?) untuk mengubah benda dan udara di sekitarnya menjadi es. Seiring dengan pertumbuhannya, kekuatan Elsa ini pun semakin sulit untuk ia kendalikan. Padahal selain orangtuanya, tidak ada yang tahu bahwa ia memiliki kekuatan yang indah sekaligus mengerikan itu. Bahkan Anna, sang adik, juga tak tahu karena sejak kecil ia tak diijinkan menemui kakaknya walau hanya sebentar. Hingga pada suatu saat, Elsa sudah cukup dewasa untuk meneruskan tahta ayahnya sebagai Ratu Arendelle.
 
Saya tidak heran apabila Frozen dapat meraih Academy Awards sebagai Best Animation di penghargaan Oscar tahun depan, meruntuhkan dominasi Pixar yang merajalela selama beberapa tahun belakangan. Dari segi visual dan musik tak diragukan lagi, apalagi dari segi cerita ia menampilkan karakter-karakter dengan sifat yang belum pernah dimunculkan di sejarah animasi Disney. Kalau biasanya karakter-karakter Disney jelas batas antara baik dan buruk, hitam dan putih, maka di Frozen konsep itu semua jadi abu-abu. Bahkan menurut saya tidak ada tokoh yang benar-benar antagonis di film ini. Bahkan tokoh yang dianggap paling “jahat” di film ini pun memiliki alasan yang valid untuk perbuatannya, tak seperti Maleficent di Sleeping Beauty atau Evil Queen di Snow White yang jahat tanpa alasan. Justru tokoh di Frozen yang paling jelas keberpihakannya malah tokoh yang bukan manusia, yaitu Olaf sang snowman dan Sven si reindeer.

Menurut saya sebagai orang dewasa penikmat film, inovasi Disney terhadap pengembangan karakter-karakter di Frozen ini merupakan hal yang bagus, karena membuat filmnya terasa lebih manusiawi dan riil.
 
Namun...
 
Di sisi lain, ketika saya menonton film ini di bioskop, di sekitar saya banyak anak-anak yang bertanya kepada orangtuanya: Kenapa tokoh ini jadi jahat? Kenapa tokoh ini berbuat seperti itu? Dan saya juga mendengarkan para orangtua yang kerepotan menjawab, sehingga tidak dapat memuaskan keingintahuan anak-anak itu. Ya, memang untuk anak-anak akan terasa berat untuk mencerna kompleksitas sifat manusia di film ini. Bahkan secara psikologis karakter-karakternya, The Avengers jauh lebih ringan daripada Frozen.
 
Bukan berarti bahwa anak-anak tidak dapat menonton Frozen. Film ini adalah untuk anak-anak DAN dewasa. Apalagi film ini menurut saya adalah filmnya kaum feminis yang dapat memotivasi anak-anak perempuan agar tidak tergantung kepada laki-laki. Namun kita sebagai orangtua harus bisa menyiapkan jawaban yang pas untuk pertanyaan yang mungkin ditanyakan oleh anak-anak kita. Saya bisa menyebutkan beberapa contoh di Frozen yang menurut saya agak “berat” sehingga mungkin ditanyakan oleh anak-anak.
 
Semoga tidak menjadi spoiler ya.
 
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah dari isu mendasar film ini, yaitu mengenai "bad parenting" atau kasus salah didik orangtua terhadap anak:

Mengapa Elsa dikurung di dalam kamar oleh ayah ibunya sendiri?

Mengapa Anna tidak boleh menemui kakaknya sendiri?

Ketika Raja dan Ratu Arendelle menyadari bahwa kekuatan Elsa menjadi semakin besar, tindakan pertama mereka sebagai orangtua alih-alih membantu anaknya mengendalikan kekuatannya. Mereka malah berupaya keras menyembunyikan erat-erat anaknya dari dunia luar. Elsa kemudian dipasung dan dikurung di dalam kamarnya selama bertahun-tahun, tidak boleh ditemui siapapun bahkan oleh adiknya sendiri. Kata-kata wasiat orangtuanya hanyalah “conceal, don’t feel” (tutupi, jangan pernah merasakan apapun). Bahkan sang adik, Anna, juga ikut menjadi korban kebijakan Raja dan tidak pernah bergaul dengan siapapun.
 
Padahal di akhir film ini, ketahuan bahwa satu-satunya yang dapat mengendalikan kekuatan Elsa hanyalah rasa cinta terhadap adiknya dan juga sesama. Jadi penonton anak-anak sekalipun dapat menyimpulkan bahwa Raja dan Ratu tidak pernah mengajarkan cinta kepada Elsa, sehingga ia tidak pernah dapat mengendalikan kekuatannya. Konsep ini jelas-jelas mematahkan tradisi di Disney bahwa  sosok orangtua adalah sempurna. Terlebih lagi, ketika Raja dan Ratu meninggal, Elsa dan Anna tumbuh melalui masa remaja dengan sendirinya tanpa adanya penasihat atau pegawai kerajaan yang membantu.
 
Alangkah tidak adilnya bagi Anna yang harus ikut menanggung beban kebijakan orangtuanya itu. Sampai dewasa Anna tidak tahu sama sekali alasan mengapa kakaknya menutup diri dari dunia luar, termasuk dari dirinya sendiri. Padahal itu akibat Anna sengaja dibuat lupa oleh orangtuanya akan kekuatan kakaknya. Dan parahnya, karena alasan yang tidak dijelaskan oleh orangtuanya, Anna sendiri juga dilarang oleh orangtuanya bergaul dengan dunia luar. Secara normal, hal ini tentu akan menimbulkan trauma psikologis bagi Anna.
 
Sementara di pihak Elsa, kesendirian karena terkunci di dalam kamar selama bertahun-tahun tentu juga menimbulkan trauma psikologis. Bagaimana mungkin dia sanggup untuk tiba-tiba menghadapi begitu banyak orang sekaligus? Dan bagaimana mungkin ayahnya, Sang Raja Arendelle yang mengetahui beban Elsa yang begitu besar, tega untuk mewariskan beban tahta kerajaan kepada Elsa, bukannya kepada Anna? Boro-boro mengendalikan kekuatannya, untuk berjalan ke luar menghadapi orang-orang saja bagi Elsa sudah hampir mustahil.
 
Ketika pada akhirnya Elsa lari dari semuanya dan mendirikan istana es sendiri di puncak gunung, di situlah ia baru merasa bebas. Terus terang ketika Elsa menyanyikan “Let It Go” dengan gembira, saya justru merasa kasihan dan berpikir bagaimana jika ini terjadi pada anak saya. Elsa merasa gembira ketika ia sendiri, karena sejak kecil ia selalu ditinggal sendiri oleh orangtuanya di dalam kamarnya. Ironis sekali, dan tak terasa mata pun jadi berkaca-kaca.
 
Tapi terus terang, adegan itu juga membuat saya bertanya tentang konsistensi cerita: bagaimana seorang Elsa yang sepanjang hidupnya menyembunyikan diri, lalu mendirikan istana es raksasa di atas gunung yang bisa dilihat oleh semua orang?

Untuk Anna, yang secara luar biasa tetap bersemangat walau dilarang bergaul dengan dunia luar, juga menghadapi masalah yang tak kalah peliknya. Kalau Elsa memiliki masalah dalam dirinya sendiri, maka Anna bermasalah mengenai cara penilaian/judgment terhadap orang-orang di sekitarnya, dimana ia tidak pernah diajarkan oleh orangtuanya mengenai hal itu. Sepanjang hidupnya, Anna tidak boleh bersosialisasi dan tidak memiliki seorangpun penasihat, maka tak heran kalau ia tak tahu cara membedakan orang dengan itikad baik atau buruk.

Dan oleh karena film ini dibuat berdasar sudut pandang Anna, maka penonton anak-anak pun akan menghadapi masalah judgment yang sama. Bagi sebagian anak, persepsi seperti ini dapat mengganggu secara mental apabila tidak didampingi oleh penjelasan yang rasional dari orangtuanya. Apalagi di tengah-tengah film terdapat perubahan karakter yang cukup mengejutkan dan menurut saya terlalu berat untuk anak-anak, dan meruntuhkan satu tradisi lainnya yang telah terbangun dengan kuat di film-film Disney terdahulu.
 
Overall, Frozen memiliki semua komponen dasar dari film animasi Disney. Fun, energetic, penuh dengan pesan moral dan cinta, serta memiliki positivitas dalam hal memandang kehidupan yang keras. Bagi anak-anak, tentu menyenangkan karena bisa memperkenalkan dua princess sekaligus. Apalagi dengan konsep yang feminis, kedua princess tak lagi mengharapkan pangerannya datang dengan mengendarai kuda putih. Namun dengan storytelling yang cukup berat, mungkin audiens yang paling tepat untuk film animasi luar biasa ini adalah kaum remaja.

No comments:

Post a Comment