Kali ini saya ingin membahas dua film yang tayang dua minggu terakhir
di Indonesia, Godzilla dan X-Men: Days of Future Past. Kenapa dua film itu dibahas sekaligus? Karena
keduanya memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama merupakan “produk” yang
dihasilkan sebagai dampak dari perang.
Godzilla atau Gojira muncul pertama kali pada tahun 1954 dalam film
karya Ishiro Honda. Monster raksasa atau daikaiju ini diciptakan sebagai dampak
ketakutan warga Jepang terhadap bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan
Nagasaki pada akhir Perang Dunia II. Bom atom yang dijatuhkan ke kedua kota
tersebut ternyata membangunkan reptil prasejarah yang telah tidur selama jutaan
tahun. Reptil yang dinamakan Godzilla ini menggunakan radioaktif sebagai energi
utamanya, karena dulu tingkat radiasi Bumi (sebelum masa dinosaurus) sangat
tinggi. Sebagai puncak dari piramida biologi, Godzilla tak terima ketika ada predator
lain yang menguasai permukaan Bumi. Oleh karena itu ia sering dilukiskan “membela”
manusia, walau sebenarnya ia tidak peduli dengan manusia. Namun demikian, karena
seringnya Godzilla membela manusia, dikisahkan manusia sudah menganggapnya seperti
dewa pelindung.
Sejak 1954, Godzilla sudah muncul dalam berbagai media: layar lebar, televisi,
novel, komik, dan sebagainya. Bahkan salah satu edisi Marvel Comics pernah
menampilkan Godzilla vs. The Avengers. Di layar lebar, Hollywood pernah
membangkitkan Godzilla pada tahun 1998 dengan duet sutradara-produser yang
ngehits pada waktu itu, Roland Emmerich dan Dean Devlin. Walau keduanya telah sukses
membuat Independence Day, namun ternyata kebangkitan Godzilla di tangan mereka
mengalami kegagalan, terutama ketika mereka melukiskan Godzilla sebagai iguana
yang bermutasi.
Hingga kemudian Legendary Pictures memutuskan untuk mengisahkan ulang
Godzilla versi 1954 ke versi Hollywood. Direkrutlah sutradara Gareth Edwards
yang telah sukses dengan film berbujet rendah namun viral yaitu Monsters. Dan
di tangan Edwards, Godzilla benar-benar terlahir kembali di Amerika dengan jiwa
awalnya. Bahkan tak hanya itu, Edwards juga berhasil menciptakan plot untuk
menciptakan monster lain yang sepadan dengan Godzilla, disebut dengan MUTO (Massive
Unidentified Terrestrial Organism). Sehingga di pertengahan hingga akhir film,
penonton disuguhkan adegan smackdown antar monster yang extravaganza.
Namun Godzilla bukanlah film yang sempurna. Selain pertarungan monster
yang luar biasa, di sisi lain plot yang melibatkan manusia hanya terasa sebagai
“pelengkap”. Hanya satu peran manusia yang cukup menawan, yaitu Bryan Cranston
yang memerankan Joe Brody. Cranston berhasil memerankan tokoh yang persisten
dan gigih, apapun rintangannya yang melintang. Motivasinya jelas, menuntut penjelasan
mengapa istrinya meninggal di awal film. Namun para pemeran yang lain, termasuk
Ken Watanabe yang asli Jepang, seolah hanya berakting sepintas lalu. Aaron
Taylor-Johnson dan Elizabeth Olsen tidak ada chemistry, walau peran mereka
suami istri. Bahkan rasanya tidak akan berpengaruh apabila peran Elizabeth
Olsen dihilangkan dari film ini.
Kesimpulan untuk Godzilla, film ini layak mendapat sequel dengan
mengurangi porsi peran manusia.
Setelah itu kita bahas X-Men: Days of Future Past. Seperti halnya Godzilla, X-Men diciptakan pertama kali karena adanya ketakutan terhadap perang yang terjadi pada 1960-an, yaitu perang dingin (Cold War) antara US dan Uni Soviet. Disamping itu juga dipicu oleh adanya African-American Civil Rights Movement pada tahun 60-an, memunculkan isu-isu sosial, prasangka, agama, LGBT dan rasisme dalam seri komik X-Men.
Isu-isu sosial itulah yang kemudian dibawa oleh Bryan Singer ke dalam film X-Men (2000) dan lanjut ke X2: X-Men United (2003). Ketika Singer mengerjakan Superman Returns, kursi sutradara film ketiga X-Men: The Last Stand diambil alih oleh Brett Ratner. Kritikus film memuji upaya Singer untuk memunculkan isu-isu sosial seperti halnya dalam komik. Sementara untuk Ratner, walau isu-isu masih ada, namun filmnya dikritisi karena berbagai adegan yang kontroversial seperti matinya Scott Summers (Cyclops), Jean Grey, bahkan Professor Charles Xavier.
Setelah spin-off Wolverine: X-Men Origins (2009) yang disutradarai Gavin Hood, Bryan Singer kembali ke franchise X-Men ini sebagai penulis naskah. Bekerjasama dengan sutradara Matthew Vaughn (Kick Ass), dibuatlah film X-Men yang menurut saya terbaik, yaitu X-Men: First Class (2011) dengan bintang-bintang baru dan juga nuansa baru. Tak hanya menyoroti isu-isu sosial, namun film ini juga mengambil elemen Forrest Gump, dimana tokoh-tokoh utamanya berperan penting dalam sejarah Amerika.
Kesuksesan First Class membuat Bryan Singer tertarik untuk menyutradarai kembali film franchise X-Men, oleh karenanya ia mengambil alih peran Matthew Vaughn tersebut dan mencanangkan proyek X-Men berikutnya, yaitu Days of Future Past. Biasanya dalam suatu film, sang sutradara juga berusaha menyelipkan satu “pesan”. Dari plot ceritanya, dapat saya simpulkan bahwa tujuan proyek ini bagi Singer cuma satu, yaitu menghapus X-Men: The Last Stand atau menganggapnya tidak ada. Bahkan ia sampai konsultasi dengan James Cameron untuk menciptakan plot kembali ke masa lalu yang dapat melupakan film karya Ratner itu. Dulu ketika menyutradarai Superman Returns ia juga melakukan hal yang sama, “melupakan” Superman III dan Superman IV.
Hal ini tentu sejalan dengan fans X-Men yang selama ini selalu mengolok-olok film karya Brett Ratner itu. Bisa jadi Singer memberikan “tamparan” untuk Brett Ratner, sebagai hukuman atas kontroversi X-Men: The Last Stand.
Tapi yang menjadi masalah, Bryan Singer terlalu terfokus kepada hal itu sehingga melupakan hal-hal lainnya. Tadinya saya berharap bahwa film ini memberikan suatu hal yang lebih besar dan kompleks, tapi yang saya dapat hanya mutan-mutan yang saling tembak satu sama lain atau dengan Sentinel. Para aktor pun tampaknya sudah terlalu “lelah” setelah berperan di X-Men selama 14 tahun. Dari deretan aktor X-Men senior selain Jackman, Stewart, dan McKellen, hanya Ellen Page yang dapat porsi lumayan. Halle Berry, Anna Paquin, Daniel Cudmore, dan Shawn Ashmore hanya menjadi "pelengkap nostalgia". Bahkan scene dari Anna Paquin banyak dipotong oleh Singer, sehingga lebih banyak screentime dari Rogue di trailer dibandingkan film utamanya.
Secara fundamental, dalam film Days of Future Past mengambil elemen-elemen dari berbagai film antara lain Somewhere in Time (1980), Terminator series, Back To The Future trilogy, Avatar, Superman Returns, serta Star Trek (2009) dan Super 8 (dua karya sutradara JJ Abrams).
Kesimpulannya, sama halnya seperti The Avengers, film ini cuma menjadi ajang pamer special effects tapi tidak ada isinya, apalagi pesan moral atau isu sosial yang menjadi nyawa dari X-Men. Kontinuitas dengan semua film X-Men hingga The Wolverine juga banyak menjadi pertanyaan.
Ibarat cake ulang tahun, dari kejauhan bentuknya nampak cantik dan enak, namun ketika didekati tampak retak-retak. Kalah jauh dibanding film pertama dan keduanya, apalagi dibanding First Class…
Bryan Singer has lost his touch.
UPDATE:
Setelah dibuka pada saat liburan Memorial Day di US, X-Men: Days of Future Past meraih pendapatan opening sebesar USD $90,700,000. Namun ironisnya, pendapatan opening ini masih kalah dengan film "rival"-nya, yaitu X-Men: The Last Stand yang memperoleh USD $102,750,665 pada tahun 2006.