"A great civilization never goes down, unless it
destroys itself from within” (Soekarno)
Setiap kali mendengar pekik "MERDEKA" di
acara-acara seremonial Kemerdekaan RI, hati saya selalu merasa miris. Miris
karena selalu muncul pertanyaan: Apakah kata "MERDEKA" itu berjalan seiring
sejalan dengan pikiran, jiwa dan semangat sang pemekik? Bertambah miris ketika
saya melihat Peta Kepemilikan Migas di Indonesia tahun 2012 (dari SKK Migas)
ini:
Peta di atas tentu menunjukkan bagaimana tak berdayanya Indonesia. Padahal
di Pasal 33 UUD 45 disebutkan lho, bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Tapi
mungkin dalihnya adalah investasi atau penanaman modal asing dengan bagi hasil
dan sebagainya dan sebagainya (dengan asumsi tidak dikorup yaa).
Dan katanya, industri migas masih jadi andalan Indonesia dalam hal
ekspor. Secara logika, kalau yang menjadi andalan saja sudah dikuasai negara
lain, gimana dengan yang tidak diandalkan?
Itu baru soal fisik yang kasat mata.
Indonesia memang kaya raya. “Bukan lautan, hanya kolam susu”, kata
Koes Bersaudara. Tak heran Indonesia menjadi incaran negara-negara lain dalam
hal kekayaan alamnya. Tak hanya migas seperti ilustrasi di atas, hasil hutan,
perkebunan, hingga ke perikanan di laut tiap detik menjadi incaran mereka. Saking
tersedot habisnya kekayaan alam Indonesia, untuk menstabilkan harganya kita
harus membuka keran impor yang luar biasa besar. Tak heran, alhasil mata uang
kita sendiri juga menjadi tak berdaya di negaranya sendiri.
Bagaimana dengan mentalitasnya?
Hampir tiap hari saya mendengar ada kekerasan di media. Pembunuhan,
perkosaan, dan premanisme tampaknya sudah menjadi santapan sehari-hari di TV,
suratkabar, tabloid, majalah, dan juga berita online. Tapi yang lebih parah lagi
adalah banyaknya tawuran antar kampung dan antar suku yang terjadi dari dulu
hingga sekarang. Perkelahian massal antar ratusan orang yang hanya dipicu oleh
saling senggol di konser dangdut, atau karena rebutan pacar. Masih segar di
ingatan kita bagaimana bentrok massa yang brutal di Sampit antara orang-orang
suku Dayak dan Madura, padahal sumber masalahnya adalah perebutan pengelolaan
HPH oleh orang-orang tak bertanggungjawab di ibukota.
Tak hanya itu, anak-anak sekolah pun seakan tak mau kalah ikut-ikut
tawuran demi membela almamater mereka. Dari SMA, SMP, hingga SD seolah-olah
silih berganti menggunakan jalanan untuk kegiatan ekstrakurikuler yang
mematikan ini. Saya sampai pada taraf nggak akan heran kalau di masa depan
anak-anak TK juga mulai ikut-ikut tawuran.
Di Jakarta bahkan terdapat beberapa sekolah yang memiliki rutinitas
tawuran secara turun temurun. Namun ironisnya, sekolah-sekolah tersebut masih
menjadi favorit para orang tua supaya anaknya bisa masuk mengenyam pendidikan
di situ.
Nah, sementara sekolah-sekolah favorit di Jakarta membudayakan tawuran
antar sekolah secara turun temurun dan terus mendapat subsidi dari pemerintah, di
sisi lain masih ada anak-anak yang tiap hari berjuang menyabung nyawa, hanya
untuk berangkat sekolah. Di harian asing bahkan Indonesia sempat terkenal
dengan adanya “jembatan Indiana Jones” yang harus diseberangi oleh anak-anak SD
di Lebak, Banten. Walaupun jembatan tersebut akhirnya sudah diperbaiki (karena
malu diekspos media asing), tapi masih ada ribuan jembatan serupa yang tak
terekspos media.
Kalau ada anak berotak brilyan yang berpotensi untuk memajukan bangsa
Indonesia di masa depan meninggal akibat jatuh dari jembatan di atas, siapa
yang akan bertanggung jawab terhadap hilangnya amanah Tuhan itu?
Namun berbicara tentang mentalitas, tentu rasanya tak cukup
membicarakan keadilan dalam pendidikan anak-anak bangsa. Faktor penentu
mentalitas lainnya adalah dalam hal agama. Apakah ada keadilan dalam hal
beragama di Indonesia?
Indonesia memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Unity in Diversity.
Dua-duanya bukan bahasa Indonesia. Yang satu bahasa Sansekerta, yang satu
bahasa Inggris, tapi artinya sama: Berbeda-beda tapi tetap satu. Bayangkan
saja, ada lebih dari 17.000 pulau dengan lebih dari 200 suku bangsa. Tentu
agamanya juga banyak dong. Kebetulan mayoritas adalah Islam. Sekali lagi,
kebetulan. Tapi bukan berarti Indonesia adalah negara Islam, karena bukan itu
mimpinya para founding fathers kita.
Sekilas sejarah. Untuk yang sudah tahu ya monggo skip ke bagian
selanjutnya. Dulu, era perang fisik Indonesia diakhiri ketika Perang Aceh usai
pada tahun 1905. Sejak itu muncullah era perang intelektualitas yang kita kenal
dengan milestone Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, hingga ke Proklamasi
Kemerdekaan. Para pemuda Indonesia yang berhasil menuntut ilmu dengan penuh
perjuangan tak kenal lelah untuk memperjuangkan konsep kebangsaan, dengan
risiko keluar masuk bui. Bahkan WR Supratman yang memperkenalkan Indonesia Raya
juga dituduh melakukan plagiat terhadap sebuah lagu Belanda. Namun
risiko-risiko itu tak menyurutkan semangat juang mereka. Karena mereka sadar
bahwa membangun semangat
nasionalisme, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mewujudkannya,
harus mengikis primordialisme dan menekan sektarianisme yang waktu itu
digaungkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan politik devide et impera. Dan
kemudian perjuangan itu membuahkan hasil Sumpah Pemuda pada 1928 yang diikuti
oleh Kemerdekaan Indonesia 16 tahun kemudian.
Berdasarkan heterogenitas
Indonesia dengan segala budaya dan agamanya, para founding fathers
memperjuangkan konsep dan elemen dasar wawasan kebangsaan yaitu kemajemukan
(pluralism), toleransi, dan otonomi. Ahmad Baso (1997), menyatakan bahwa dalam
faham kemajemukan masyarakat atau pluralisme dengan sikap mengacu dan menerima
kemajemukan masyarakat itu bernilai positif sebagai rahmat Tuhan kepada
manusia. Hal tersebut akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi yang
dinamis dan melalui pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme merupakan suatu perangkat untuk mendorong pengayaan budaya
bangsa atau dengan istilah “keindonesiaan” adalah interaksi
yang kaya (resourceful) dan dinamis antara pelaku budaya beraneka ragam itu
dalam satu melting pot.
Namun apa yang terjadi? Kasus
Poso, Ambon, Ahmadiyah, Syiah Sampang, dan GKI Yasmin. Kasus-kasus itu adalah
sedikit di antara sekian banyak kasus-kasus yang terjadi dalam hal keadilan
beragama di Indonesia. Sedih rasanya masih ada warga negara Indonesia yang tak
dapat beribadah di rumahnya sendiri dengan aman. Kalau saya bilang sih, itu
bullying skala nasional.
Banyak yang berdalih, di Amerika kan Islam ditekan? Di Perancis nggak
boleh pakai hijab? Di Mesir kan Ikhwanul Muslimin ditembakin? Tapi kita BUKAN
Amerika. Kita BUKAN Perancis. Kita BUKAN Mesir.
Kita lebih baik dari mereka. Kita INDONESIA.
Lalu di mana peran Pemerintah? Wawasan kebangsaan (nasionalisme) tentu membutuhkan keteladanan,
terutama dari pemegang kekuasaan, yakni pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah
memiliki tanggung jawab untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Lebih dari
itu, Pemerintah juga harus memastikan bahwa nasionalisme dan pluralisme yang
dicita-citakan founding fathers dapat terimplementasi di segala aspek. Caranya?
Menegakkan hukum dan keadilan sosial. Menghukum yang melanggar aturan, dan
membela yang benar.
Dalam kenyataannya? Setiap kali terjadi gesekan sosial akibat
intoleransi, hanya satu kata yang menjadi inti dari pidato Presiden SBY yang
panjang lebar itu:
PRIHATIN.
Prihatin tanpa tindak lanjut dan ketegasan yang jelas. Akibatnya,
preman-preman yang melakukan bullying juga merasa dilindungi, karena tidak
pernah dihukum dengan pelanggaran yang dilakukannya. Mungkin, sekali lagi
mungkin, karena para preman itu juga awalnya (atau masih) merupakan binaan dari
Pemerintah sendiri.
Sayangnya, hal ini kemudian diperparah oleh adanya orientasi
pembangunan yang terpusat ke ibukota, bukan mengacu pada aplikasi instrumen pemberdayaan (empowerment) masyarakat
menuju kesejahteraan. Tak
heran bila wawasan kebangsaan dan semangat pluralisme “dijinakkan” melalui
politik homogenisasi demi pembangunan.
Dengan segala masalah kebangsaan yang dihadapi Indonesia baik secara
fisik maupun mentalitas itu, tak salah rasanya kalau banyak yang menganggap
kita semua masih terjebak di politik devide et impera. Semua disibukkan dengan
urusan tawuran dan kekerasan antar suku, agama, golongan, bahkan sekolah,
hingga tidak menyadari bahwa kekayaan alam kita disedot habis oleh negara lain.
Demi menjaga pluralisme yang menjadi cita-cita founding fathers, kita
memang tidak boleh membubarkan FPI atau ormas-ormas lain yang sudah diakui
pemerintah sebagai meresahkan. Dan perlu ditekankan bahwa Indonesia tidak akan
berhasil mengusung cita-cita mulia tersebut apabila ormas-ormas meresahkan itu
dibubarkan paksa, karena mau tidak mau kita harus mengakui bahwa mereka adalah
bagian dari Indonesia. NAMUN, dengan menggunakan analogi FPI, jangan sampai 17
Agustus hanya diingat dan diperingati oleh anak cucu kita sebagai Hari
Milad FPI (yang kebetulan didirikan oleh sisa-sisa Rezim Orde Baru pada tanggal
17 Agustus 1998).
Indonesia kita jauh lebih berharga untuk diperjuangkan.