Have fun and enjoy yourself

Thursday, August 22, 2013

MERDEKA…???

 
"A great civilization never goes down, unless it destroys itself from within” (Soekarno)

Setiap kali mendengar pekik "MERDEKA" di acara-acara seremonial Kemerdekaan RI, hati saya selalu merasa miris. Miris karena selalu muncul pertanyaan: Apakah kata "MERDEKA" itu berjalan seiring sejalan dengan pikiran, jiwa dan semangat sang pemekik? Bertambah miris ketika saya melihat Peta Kepemilikan Migas di Indonesia tahun 2012 (dari SKK Migas) ini:

 
Peta di atas tentu menunjukkan bagaimana tak berdayanya Indonesia. Padahal di Pasal 33 UUD  45 disebutkan lho, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Tapi mungkin dalihnya adalah investasi atau penanaman modal asing dengan bagi hasil dan sebagainya dan sebagainya (dengan asumsi tidak dikorup yaa).

Dan katanya, industri migas masih jadi andalan Indonesia dalam hal ekspor. Secara logika, kalau yang menjadi andalan saja sudah dikuasai negara lain, gimana dengan yang tidak diandalkan?

Itu baru soal fisik yang kasat mata.

Indonesia memang kaya raya. “Bukan lautan, hanya kolam susu”, kata Koes Bersaudara. Tak heran Indonesia menjadi incaran negara-negara lain dalam hal kekayaan alamnya. Tak hanya migas seperti ilustrasi di atas, hasil hutan, perkebunan, hingga ke perikanan di laut tiap detik menjadi incaran mereka. Saking tersedot habisnya kekayaan alam Indonesia, untuk menstabilkan harganya kita harus membuka keran impor yang luar biasa besar. Tak heran, alhasil mata uang kita sendiri juga menjadi tak berdaya di negaranya sendiri.

Bagaimana dengan mentalitasnya?

Hampir tiap hari saya mendengar ada kekerasan di media. Pembunuhan, perkosaan, dan premanisme tampaknya sudah menjadi santapan sehari-hari di TV, suratkabar, tabloid, majalah, dan juga berita online. Tapi yang lebih parah lagi adalah banyaknya tawuran antar kampung dan antar suku yang terjadi dari dulu hingga sekarang. Perkelahian massal antar ratusan orang yang hanya dipicu oleh saling senggol di konser dangdut, atau karena rebutan pacar. Masih segar di ingatan kita bagaimana bentrok massa yang brutal di Sampit antara orang-orang suku Dayak dan Madura, padahal sumber masalahnya adalah perebutan pengelolaan HPH oleh orang-orang tak bertanggungjawab di ibukota.

 
Tak hanya itu, anak-anak sekolah pun seakan tak mau kalah ikut-ikut tawuran demi membela almamater mereka. Dari SMA, SMP, hingga SD seolah-olah silih berganti menggunakan jalanan untuk kegiatan ekstrakurikuler yang mematikan ini. Saya sampai pada taraf nggak akan heran kalau di masa depan anak-anak TK juga mulai ikut-ikut tawuran.

 
Di Jakarta bahkan terdapat beberapa sekolah yang memiliki rutinitas tawuran secara turun temurun. Namun ironisnya, sekolah-sekolah tersebut masih menjadi favorit para orang tua supaya anaknya bisa masuk mengenyam pendidikan di situ.

Nah, sementara sekolah-sekolah favorit di Jakarta membudayakan tawuran antar sekolah secara turun temurun dan terus mendapat subsidi dari pemerintah, di sisi lain masih ada anak-anak yang tiap hari berjuang menyabung nyawa, hanya untuk berangkat sekolah. Di harian asing bahkan Indonesia sempat terkenal dengan adanya “jembatan Indiana Jones” yang harus diseberangi oleh anak-anak SD di Lebak, Banten. Walaupun jembatan tersebut akhirnya sudah diperbaiki (karena malu diekspos media asing), tapi masih ada ribuan jembatan serupa yang tak terekspos media.
 


Kalau ada anak berotak brilyan yang berpotensi untuk memajukan bangsa Indonesia di masa depan meninggal akibat jatuh dari jembatan di atas, siapa yang akan bertanggung jawab terhadap hilangnya amanah Tuhan itu?

Namun berbicara tentang mentalitas, tentu rasanya tak cukup membicarakan keadilan dalam pendidikan anak-anak bangsa. Faktor penentu mentalitas lainnya adalah dalam hal agama. Apakah ada keadilan dalam hal beragama di Indonesia?

Indonesia memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Unity in Diversity. Dua-duanya bukan bahasa Indonesia. Yang satu bahasa Sansekerta, yang satu bahasa Inggris, tapi artinya sama: Berbeda-beda tapi tetap satu. Bayangkan saja, ada lebih dari 17.000 pulau dengan lebih dari 200 suku bangsa. Tentu agamanya juga banyak dong. Kebetulan mayoritas adalah Islam. Sekali lagi, kebetulan. Tapi bukan berarti Indonesia adalah negara Islam, karena bukan itu mimpinya para founding fathers kita.

Sekilas sejarah. Untuk yang sudah tahu ya monggo skip ke bagian selanjutnya. Dulu, era perang fisik Indonesia diakhiri ketika Perang Aceh usai pada tahun 1905. Sejak itu muncullah era perang intelektualitas yang kita kenal dengan milestone Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, hingga ke Proklamasi Kemerdekaan. Para pemuda Indonesia yang berhasil menuntut ilmu dengan penuh perjuangan tak kenal lelah untuk memperjuangkan konsep kebangsaan, dengan risiko keluar masuk bui. Bahkan WR Supratman yang memperkenalkan Indonesia Raya juga dituduh melakukan plagiat terhadap sebuah lagu Belanda. Namun risiko-risiko itu tak menyurutkan semangat juang mereka. Karena mereka sadar bahwa membangun semangat nasionalisme, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mewujudkannya, harus mengikis primordialisme dan menekan sektarianisme yang waktu itu digaungkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan politik devide et impera. Dan kemudian perjuangan itu membuahkan hasil Sumpah Pemuda pada 1928 yang diikuti oleh Kemerdekaan Indonesia 16 tahun kemudian.

Berdasarkan heterogenitas Indonesia dengan segala budaya dan agamanya, para founding fathers memperjuangkan konsep dan elemen dasar wawasan kebangsaan yaitu kemajemukan (pluralism), toleransi, dan otonomi. Ahmad Baso (1997), menyatakan bahwa dalam faham kemajemukan masyarakat atau pluralisme dengan sikap mengacu dan menerima kemajemukan masyarakat itu bernilai positif sebagai rahmat Tuhan kepada manusia. Hal tersebut akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi yang dinamis dan melalui pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme merupakan suatu perangkat untuk mendorong pengayaan budaya bangsa atau dengan istilah “keindonesiaan” adalah interaksi yang kaya (resourceful) dan dinamis antara pelaku budaya beraneka ragam itu dalam satu melting pot.

Namun apa yang terjadi? Kasus Poso, Ambon, Ahmadiyah, Syiah Sampang, dan GKI Yasmin. Kasus-kasus itu adalah sedikit di antara sekian banyak kasus-kasus yang terjadi dalam hal keadilan beragama di Indonesia. Sedih rasanya masih ada warga negara Indonesia yang tak dapat beribadah di rumahnya sendiri dengan aman. Kalau saya bilang sih, itu bullying skala nasional.
 
 
Banyak yang berdalih, di Amerika kan Islam ditekan? Di Perancis nggak boleh pakai hijab? Di Mesir kan Ikhwanul Muslimin ditembakin? Tapi kita BUKAN Amerika. Kita BUKAN Perancis. Kita BUKAN Mesir.

Kita lebih baik dari mereka. Kita INDONESIA.

Lalu di mana peran Pemerintah? Wawasan kebangsaan (nasionalisme) tentu membutuhkan keteladanan, terutama dari pemegang kekuasaan, yakni pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Lebih dari itu, Pemerintah juga harus memastikan bahwa nasionalisme dan pluralisme yang dicita-citakan founding fathers dapat terimplementasi di segala aspek. Caranya? Menegakkan hukum dan keadilan sosial. Menghukum yang melanggar aturan, dan membela yang benar.

Dalam kenyataannya? Setiap kali terjadi gesekan sosial akibat intoleransi, hanya satu kata yang menjadi inti dari pidato Presiden SBY yang panjang lebar itu:

PRIHATIN.

Prihatin tanpa tindak lanjut dan ketegasan yang jelas. Akibatnya, preman-preman yang melakukan bullying juga merasa dilindungi, karena tidak pernah dihukum dengan pelanggaran yang dilakukannya. Mungkin, sekali lagi mungkin, karena para preman itu juga awalnya (atau masih) merupakan binaan dari Pemerintah sendiri.
 

Sayangnya, hal ini kemudian diperparah oleh adanya orientasi pembangunan yang terpusat ke ibukota, bukan mengacu pada aplikasi instrumen pemberdayaan (empowerment) masyarakat menuju kesejahteraan. Tak heran bila wawasan kebangsaan dan semangat pluralisme “dijinakkan” melalui politik homogenisasi demi pembangunan.

Dengan segala masalah kebangsaan yang dihadapi Indonesia baik secara fisik maupun mentalitas itu, tak salah rasanya kalau banyak yang menganggap kita semua masih terjebak di politik devide et impera. Semua disibukkan dengan urusan tawuran dan kekerasan antar suku, agama, golongan, bahkan sekolah, hingga tidak menyadari bahwa kekayaan alam kita disedot habis oleh negara lain.

Demi menjaga pluralisme yang menjadi cita-cita founding fathers, kita memang tidak boleh membubarkan FPI atau ormas-ormas lain yang sudah diakui pemerintah sebagai meresahkan. Dan perlu ditekankan bahwa Indonesia tidak akan berhasil mengusung cita-cita mulia tersebut apabila ormas-ormas meresahkan itu dibubarkan paksa, karena mau tidak mau kita harus mengakui bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia. NAMUN, dengan menggunakan analogi FPI, jangan sampai 17 Agustus hanya diingat dan diperingati oleh anak cucu kita sebagai Hari Milad FPI (yang kebetulan didirikan oleh sisa-sisa Rezim Orde Baru pada tanggal 17 Agustus 1998).
 
Indonesia kita jauh lebih berharga untuk diperjuangkan.

Tuesday, August 20, 2013

Captain America: The Winter Soldier questions unanswered (yet)


Masih beberapa bulan lagi sebelum tayang, tapi rasanya sudah banyak pertanyaan bersliweran di jagad maya mengenai film ini, misalnya:

Bagaimana Bucky Barnes menjadi Winter Soldier? Apakah sesuai dengan cerita komik?

Bagaimana hubungan Winter Soldier dengan Natasha Romanoff? Bagaimana hubungan Steve Rogers dengan Natasha Romanoff? Bagaimana hubungan Steve Rogers dengan Sharon Carter?

Tokoh apa yang diperankan Robert Redford?

Apakah Robert Redford akan memerankan Nick Fury yang asli, sementara yang diperankan Samuel L. Jackson selama ini hanyalah decoy?

Apa fungsi seragam Secret Avengers yang dikenakan oleh Steve Rogers?

 
Dengan teknologi apa Falcon terbang? Apakah buatan Stark?

Apakah Nick Fury menggunakan Captain America untuk kepentingan politik?

Apakah S.H.I.E.L.D akan menggunakan teknologi tesseract yang sudah dijadikan senjata, seperti pada The Avengers?

Apa peran Crossbones dan Arnim Zola? Apakah Arnim Zola akan dibangkitkan dalam tubuh robotnya?

Dan… pertanyaannya terus berlanjut.