A hero can be anyone. Even a man doing something as simple and reassuring as putting a coat around a little boy's shoulders to let him know that the world hadn't ended.
- Batman -
Akhir-akhir ini sampai beberapa tahun ke depan adalah tahun-tahunnya film superhero. Setelah kesuksesan Iron Man, Thor, The Incredible Hulk, dan Captain America: The First Avenger, tahun ini Marvel mengawali “parade superhero movie” dengan The Avengers. Diikuti oleh The Amazing Spider-Man, dan yang baru saja diluncurkan oleh DC Comics tanggal 20 Juli 2012 lalu adalah The Dark Knight Rises sebagai akhir dari trilogi Batman versi Christopher Nolan. Tahun-tahun mendatang akan muncul Man Of Steel, Ant-Man, Guardians of the Galaxy, Captain America: The Winter Soldier, Thor: The Dark World, Iron Man 3, dan seterusnya.
Tapi walaupun di dunia komik DC dan Marvel memiliki basis massa masing-masing, namun di dunia perfilman Marvel memang jauh lebih ekspansif dibandingkan DC. Sejauh ini, DC masih mengandalkan Trilogi Batman versi Nolan sebagai peraup untung utama, walaupun ada beberapa tokoh superhero lain yang juga difilmkan misalnya Green Lantern dan Watchmen. Dan tak dapat dipungkiri, memang berkat Christopher Nolan-lah DC dapat meraih keuntungan di dunia perfilman. Hal ini karena kesuksesan Nolan menceritakan kembali kisah Batman dalam versinya sendiri, membuatnya sebagai suatu tokoh yang fresh dan berbeda dari interpretasi sineas-sineas yang pernah menokohkan Batman di layar perak seperti Tim Burton dan Joel Schumacher. Tak heran, kemudian DC meminta Christopher Nolan dan adiknya, Jonathan, untuk menceritakan kembali kisah Superman melalui film Man Of Steel yang disutradarai oleh Zack Snyder (300, Watchmen, Sucker Punch). Man Of Steel sedianya akan diluncurkan akhir tahun 2012 ini, namun karena satu dan lain hal diundur menjadi 14 Juni 2013. Mungkin pengunduran ini dilakukan karena peluncurannya bersamaan dengan film The Hobbit, prequel dari trilogi Lord of the Rings besutan Peter Jackson.
Konsep Batman yang modern tentu tak lepas dari peran besar Tim Burton pada tahun 1989. Sebelumnya, selama puluhan tahun Batman divisualisasikan oleh Adam West sebagai Batman dan Burt Ward sebagai Robin dalam film seri Batman yang kita kenal sepanjang masa itu, lengkap dengan Boff, Bonk, Pow, Plop, Kapow, swa-a-p, whamm, zzzzzwap, bam, dan berbagai efek visual lain.
Batman versi Burton ditampilkan dalam versi noir, penuh dengan misteri dan kegelapan. Versi ini lebih ditekankan pada sekuelnya, Batman Returns. Burton berusaha menampilkan sisi gelap dari Batman dan lawan-lawannya. Saking gelapnya, beberapa adegan di Batman Returns bahkan sangat mengganggu (disturbing) bagi anak-anak yang menyaksikannya. Mungkin karena hal tersebut, Warner Bros kemudian memutuskan untuk mengganti Tim Burton dengan Joel Schumacher. Dan image gelap Batman pun diubah oleh Schumacher menjadi glamor. Dua filmnya (Batman Forever dan Batman & Robin) menampilkan Batman yang penuh warna, seperti halnya Batman versi serial TVnya. Walau terkesan agak childish, tapi Schumacher juga menyelipkan konsep-konsep psikologi, terutama mengenai kepribadian ganda yang dialami oleh Batman dan lawan-lawannya. Dan satu hal lagi, sambil mengakar ke serial TVnya, kostum Batman versi Schumacher masih menggunakan referensi versi Tim Burton yang gelap dan menakutkan (namun jadi bahan tertawaan karena ditambah dengan nipple yang sangat terkenal itu).
Flopnya Batman & Robin pada tahun 1997 menyebabkan Warner Bros dan DC Comics harus berpikir ulang untuk membuat publik kembali berekspektasi tinggi terhadap kualitas film-filmnya, khususnya Batman. Setelah enam tahun berlalu, akhirnya pada tahun 2003 Warner Bros merekrut Christopher Nolan dan David S. Goyer untuk menulis ulang kisah Batman, dengan beberapa referensi komik antara lain Batman: Year One, The Man Who Falls, dan Batman: The Long Halloween. Nolan juga ditunjuk sebagai sutradara film yang akhirnya diberi judul Batman Begins pada tahun 2005 itu. Dengan alur cerita yang sengaja dibuat realistis dan gelap, serta berbasis humanisme dan realisme yang meminimalkan efek CGI, Batman Begins meraup sukses secara komersial maupun di kalangan kritikus film. Walau demikian, kostum tetap mengacu pada Batman versi Burton.
Musuh utama Batman di tangan Nolan, kembali ke akar utamanya seperti di komiknya yaitu korupsi dan mafia di kalangan penegak hukum. Pada Batman Begins, Bruce Wayne muda meninggalkan Gotham karena merasa tak puas dengan proses pengadilan di Gotham yang sudah korup dan berafiliasi dengan mafia. Di perantauannya itulah, Bruce berguru kepada Ra’s al Ghul dan League of Shadows dalam hal teknik beladiri ninja dan penguasaan diri. Seperti halnya Schumacher, Nolan juga mendalami aspek psikologis. Tapi tak seperti Schumacher yang mengeksplorasi kepribadian ganda, Nolan lebih menekankan pada bagaimana seorang manusia mengendalikan ketakutannya sendiri. Oleh karena itulah, Batman Begins dibuat seperti layaknya film horror. Dan film ini mendapatkan satu nominasi Academy Awards dalam hal Best Cinematography.
Film lanjutannya pada tahun 2008 adalah The Dark Knight yang fenomenal itu. Inilah film layar lebar Batman pertama yang tak menggunakan kata “Batman” di judulnya. Referensi yang digunakan oleh Nolan tetap Batman: The Long Halloween dan Batman: The Killing Joke. Dalam film ini, Nolan mengekskalasi permasalahan tak hanya kepada Batman saja, namun juga terhadap berbagai elemen di kota Gotham, termasuk figur-figur politik dan juga figur-figur media. Nolan ingin menceritakan tentang seluruh kota Gotham, bukan Batman semata. Dan siapa yang tak terkesan dengan penampilan Heath Ledger sebagai The Joker? Konon, penyebab kematian aktor muda ini adalah karena terlalu menjiwai peran Joker, sehingga membutuhkan berbagai obat-obatan untuk mengeluarkan peran tersebut dari benaknya. Tak heran, ia pun diganjar Piala Oscar secara post-humous (anumerta) sebagai Best Supporting Actor pada tahun 2009.
Di film The Dark Knight, Nolan lebih mengeksplorasi kemampuan Bruce Wayne sebagai seorang detektif. Trio Batman-Gordon-Dent juga menjadi salah satu highlight terpenting dalam film ini, baik secara politis maupun penegakan hukum di Gotham. Walau pada akhirnya kombinasi ketiganya hancur dipecah belah oleh Joker dengan cara yang luar biasa brilian, namun seluruh Mafia di Gotham telah berhasil dibuat bertekuk lutut oleh trio detektif-komisaris polisi-jaksa wilayah itu. Menonton The Dark Knight serasa layaknya menonton sebuah pertandingan catur, masing-masing pihak muncul dengan strategi yang super brilian. Joker secara sistematis telah berhasil memaksa Batman, Gordon, dan Dent untuk membuat keputusan yang sangat berlawanan dengan etika. Dan tak seperti Batman Begins yang happy ending, The Dark Knight harus diakhiri dengan tragedi yang harus dipikul oleh Bruce Wayne dan Jim Gordon sepanjang hidupnya. The Dark Knight menyabet 8 nominasi Academy Awards dan memenangkan dua diantaranya.
Kesuksesan karya-karya Nolan sejak Batman Begins, The Dark Knight, dan kemudian diikuti juga oleh Inception, akhirnya membawanya ke akhir trilogi Batman, yaitu The Dark Knight Rises. Hampir seluruh kru dari Inception dikerahkan oleh Nolan untuk membuat film ini. Bahkan sebagian besar peran utamanya adalah pemeran utama di Inception: Tom Hardy, Marion Cotillard, Joseph Gordon Levitt, Cillian Murphy, dan Michael Caine. Semula, karena kesuksesan The Joker, Nolan ingin menampilkan Leonardo DiCaprio juga sebagai The Riddler sebagai musuh utama Batman dalam film ini. Namun karena dirasa metodenya akan mirip dengan The Joker, maka Nolan memutuskan untuk beralih ke Bane. Bane tidak mau ditampilkan seperti bodyguard oleh Nolan, tapi kembali ke komiknya, yaitu sangat pintar dan juga sangat kuat. Dan seperti referensi Nolan untuk film ini, Knightfall, Bane sanggup mematahkan punggung Batman dengan mudah. Berbeda dengan Joker yang sangat anarkis, Bane adalah seorang monster mengerikan dengan otak yang jenius. Selain Knightfall, referensi yang digunakan Nolan adalah The Dark Knight Returns, No Man’s Land, dan juga kisah karangan Charles Dickens, A Tale of Two Cities. Kali ini Batman harus menghadapi ketakutan yang terbesar sepanjang hidupnya, yakni terhadap kemampuan dirinya sendiri yang sudah menua, apalagi dalam menghadapi Bane yang memiliki latar belakang militer dan kekuatan luar biasa, karena topeng yang dikenakannya mengeluarkan gas yang dapat menahan rasa sakit.
Nolan telah menyatakan bahwa The Dark Knight Rises adalah film Batman terakhirnya, dan dia ingin menciptakan “a perfect ending” untuk Bruce Wayne. Oleh karena itu, sebagaimana layaknya ucapan selamat tinggal, Nolan membuat film ini menjadi suatu hal yang sangat emosional. Emosional bagi Bruce Wayne, emosional bagi Gotham, dan terutama emosional bagi para penonton film ini. Oleh karena itu sejak awal film kita seolah dibawa menyelami kesedihan dan keputusasaan yang dirasakan oleh Bruce Wayne, yang berdampak signifikan pada orang-orang di sekitarnya. Sepanjang film, Bruce harus memerangi egonya sendiri, menerima fakta bahwa ia kini sudah tak sanggup lagi secara fisik menjadi Batman, dan menemukan cara untuk move on dari Batman dan memulai hidup baru. Untuk mencapai tujuan itu, kita akan merasakan bagaimana Bruce Wayne dijatuhkan, ditempa, dihancurkan secara fisik, finansial dan mental, diinjak harga dirinya, serta dipaksa untuk melihat kehancuran apa yang dicintainya: Gotham.
Sementara itu, elemen-elemen kota Gotham yang korup dan hancur pada kedua film Batman sebelumnya kini dikisahkan telah menemukan jatidirinya. Berkat pengorbanan Batman di akhir film The Dark Knight, pihak Kepolisian kini memiliki taji untuk menaklukkan berbagai kejahatan yang ada di Gotham. Namun mereka tak menyadari bahwa League of Shadows diam-diam bergerak di bawah tanah, karena masih menyimpan dendam akibat kegagalan Ra’s al Ghul pada Batman Begins. Bahkan Batman sendiri tak menyadari ancaman ini, apabila tak diingatkan dan dibantu oleh orang-orang di sekitarnya: James Gordon, Alfred Pennyworth, seorang polisi muda bernama John Blake, dan juga oleh seorang catburglar yang kita kenal dengan nama Selina Kyle (yang di film ini tidak disebut dengan nama Catwoman). Oleh karena itu, dari segi cerita The Dark Knight Rises akan berputar kembali ke awal dan asal usul League of Shadows, sehingga membentuk lingkaran yang sempurna untuk Trilogi Batman versi Christopher Nolan.
Untuk endingnya, saya hanya bisa berkomentar satu hal: jenius. Seperti halnya Inception, Christopher Nolan sekali lagi berhasil membuat ending yang penuh twist dan multi-interpretasi, sehingga begitu selesai film ini para penontonnya akan tergerak untuk berdiskusi lebih lanjut tentang apa yang terjadi. Bahkan saya yakin, tak sedikit yang ingin menontonnya kembali. Namun bagi penonton yang cermat, tentu tak akan sulit menyimpulkan bagaimana akhir cerita dari film ini.
Dari ketiga film Batman versi Nolan, menurut saya justru film inilah yang lebih banyak menyerupai komiknya. Saya juga agak kagum bagaimana Nolan menggarap cerita The Dark Knight Rises secara lebih ringan, dibandingkan dengan Batman Begins dan The Dark Knight. Nolan lebih menitikberatkan pada sisi emosional, dan menyerahkan pekerjaan itu ke aktor-aktor papan atas yang terlibat disini. Seluruh aktor utama mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Pada hasil akhir, aktor-aktor ini jelas terbukti dapat memenuhi ekspektasi Nolan dan juga penonton, memberikan Batman sebuah ucapan selamat tinggal yang menyentuh.
Secara alur cerita, The Dark Knight Rises memang memiliki kelemahan. Dan sayangnya Nolan juga tidak bisa menghindari kemiripan di antara Bruce Wayne dan Tony Stark (kaya raya, berada di bawah bayang-bayang ayahnya, berinvestasi ke clean energy, mengembangkan fusion reactor yang ramah lingkungan, serta adegan pamungkas dengan bom nuklir). Selain itu, untuk saya, editing suara Bane serasa kurang greget dan kelihatan sekali ditambahkan secara tergesa-gesa, walau aksennya Tom Hardy sudah pas (mengingat latar belakang Bane yang berasal dari Kepulauan Karibia). Olah peran Hardy juga patut mendapat apresiasi karena sebagian besar wajahnya tertutup topeng, dan ia hanya dapat berekspresi melalui mata dan gerakan tubuhnya. Namun apakah layak mendapat Oscar seperti Heath Ledger? Menurut saya belum.
Namun lain halnya dengan sinematografi dan musik latarnya (karya Hans Zimmer) yang sangat luar biasa. Dan yang utama, penonton film ini juga tak akan sanggup beranjak dari kursinya, karena kontinuitas yang terjaga dengan apik.
Overall, it’s not a perfect movie, but it’s a perfect ending for Christopher Nolan.