Have fun and enjoy yourself

Tuesday, May 10, 2011

THOR: Where Science Explains Magic


Perjalanan menuju “The Avengers” semakin dekat, dimana minggu lalu Marvel merilis feature film tentang tokoh utamanya yang ketiga setelah Iron Man dan Hulk, yaitu Thor. Maka tinggal satu tokoh utama The Avengers yang belum dirilis filmnya, tak lain adalah Captain America. Tapi disamping keempat tokoh utama itu, masih banyak tokoh-tokoh The Avengers yang bergantian muncul pada film-film itu seperti Nick Fury, Natasha Romanoff, Agent Coulson, J.A.R.V.I.S, General “Thunderbolt” Ross, dan yang terbaru adalah Clint Barton alias Hawkeye muncul sebagai cameo dalam film Thor.

Tentu saja, tantangan paling besar dalam membuat The Avengers adalah bagaimana mempersatukan alam Thor yang bernuansakan keajaiban dewa-dewa Nordik dengan alam Iron Man yang penuh dengan teknologi canggih. Sampai dengan saat ini, Marvel sudah berhasil dalam usahanya “membumikan” ilmu pengetahuan sehingga serumit apapun dunia Iron Man namun publik tidak pernah meragukan keriilannya. Bahkan dapat dikatakan teknologi James Bond pun masih “kalah nyata” dengan teknologi Stark Industries.

Tantangan inilah yang kemudian diserahkan ke Kenneth Branagh, sutradara kaliber Oscar, untuk memikirkannya dalam menyutradarai Thor. Sebab tak bisa dipungkiri, film perdana Branagh tentang karakter superhero inilah yang menjadi salah satu tonggak utama The Avengers. Apabila Branagh gagal, maka kemungkinan besar proyek The Avengers juga tak akan terealisasi.

Dalam menjelaskan aspek kerelijiusan dalam dunia Marvel ini, dapat saya katakan bahwa Branagh mengambil risiko yang sangat besar. Fantastisnya dunia Thor dijelaskan dengan satu pemahaman: bahwa Thor sebenarnya bukanlah dewa kaum Nordik. Ia hanyalah makhluk yang memiliki kecanggihan teknologi sehingga diinterpretasikan sebagai dewa oleh manusia yang pengetahuannya masih sangat terbatas. Sihir atau magic, hanyalah science yang belum kita pahami. Sementara asal usulnya, Asgard, tak lain adalah suatu tempat yang berlokasi di gugus planet lain.

Dengan kata lain, Thor adalah alien.

Dalam catatan saya, ini adalah kali pertama Marvel secara terang-terangan menawarkan teori bahwa yang dianggap “dewa” oleh kaum-kaum di masa lalu dapat dijelaskan secara ilmiah sebagai makhluk yang memiliki teknologi yang jauh lebih canggih dan tak dapat dicerna akal manusia pada waktu itu.

Teori yang ditawarkan Marvel dan Branagh itu tercermin dalam kata-kata Thor kepada Jane Foster, bahwa Asgard adalah tempat dimana magic dan science dapat berjalan seiring. Dalam film ini, Asgard juga tidak digambarkan sebagai dunia yang politeistik seperti halnya Olympus dalam “Clash of The Titans”. Dan lebih jauh lagi, film ini juga tidak berusaha menggiring penonton ke arah neo-paganisme yang memuja alien sebagai Tuhan. Film ini justru menekankan bahwa “dewa-dewa” itu dan manusia berkedudukan sejajar dan sama kuat, tidak ada yang lebih superior dalam hal moralitas.

Jane Foster, sang astrophysicist itu sendiri, memiliki keyakinan bahwa semua fenomena yang tak terjelaskan di dunia ini pada akhirnya akan dipahami melalui science. Sebagaimana kalimat Arthur C. Clarke dalam Third Law: “advanced technology is just like magic until its scientifically understood”. Oleh karena itu kita tak akan heran dalam film ini Branagh memasukkan banyak unsur-unsur yang mengkaitkan dunia kedewaan dengan teknologi, seperti Bifrost Bridge yang digunakan untuk menghubungkan antara Asgard dan Bumi digambarkan sebagai wormhole, tempat mendaratnya Thor dilukiskan seperti crop circle, senjata Odin berbentuk robot raksasa yang dinamakan Destroyer (sempat dikira S.H.I.E.L.D dan militer sebagai ciptaan Tony Stark), serta sumber tenaga yang dinamakan The Casket of Ancient Winters, atau Cosmic Cube yang ada di trailer film Captain America: The First Avenger.

Berbicara aspek relijiusitas, di awal film Thor juga dikisahkan tentang dua ras alien yang berperang di Bumi di masa lalu: Asgardian Warriors dan Frost Giants. Melihat peperangan ini saya teringat berbagai cerita dari berbagai budaya mengenai dahsyatnya perang di masa lalu di Bumi yang melibatkan makhluk-makhluk yang tak dapat kita pahami sebagai manusia, termasuk dalam agama Islam berupa Ya’juj dan Ma’juj atau Gog dan Magog dalam agama Nasrani. Ya’juj/Gog dan Ma’juj/Magog bahkan dipercaya akan datang kembali menandai awal dari proses kiamat. Sepertinya Branagh juga secara sekilas berusaha menyilangkan konsep dewa-alien dengan kisah-kisah dalam berbagai agama dan kepercayaan. Dan bukan tidak mungkin, ke depannya Marvel juga akan mengelaborasi konsep itu dalam The Avengers.

Tapi seperti halnya Iron Man, yang tak kalah menarik dalam film Thor adalah pengembangan karakternya. Di sini kita melihat Thor (Chris Hemsworth) di awal film yang sangat dimanja dan diberikan fasilitas tak terbatas oleh ayahnya, Odin (Anthony Hopkins). Bahkan sang ayah sudah mem-plot Thor untuk menjadi penguasa Asgard berikutnya, menggantikan dirinya. Karena keinginannya yang selalu terpenuhi, Thor menjadi arogan dan bertindak semaunya. Namun kemudian Thor bertindak di luar batas toleransi dan merusak perdamaian di antara Asgard dan Frost Giants, sehingga Odin mencabut semua “fasilitas” super-powernya (termasuk Mjolnir, palu godam yang menjadi senjata andalannya). Thor dibuang ke Bumi oleh Odin melalui Bifrost Bridge, dan di Bumi ia belajar mengenai kemanusiaan dan pengorbanan dari Jane Foster (Natalie Portman). Di Bumi, peran Hemsworth sangat pas dalam berbagai adegan yang mengharuskan Thor untuk beradaptasi dengan manusia, bagaikan ikan yang keluar dari akuarium. Akhirnya melalui berbagai peristiwa, Thor memperoleh kembali kekuatannya dan menjadi pahlawan yang tak lagi egosentris.

Namun yang mencuri perhatian adalah Loki, musuh bebuyutan Thor yang diperankan dengan brilian oleh Tom Hiddleston. Berawal dari keinginannya untuk menjadi penguasa Asgard menggantikan Odin, ia-lah yang secara tak langsung menyebabkan Thor kehilangan kekuasaannya. Tapi akhirnya hal itu malah berujung pada pengetahuannya bahwa ia sebenarnya bukan anak biologis Odin. Inilah yang menyebabkannya menjadi seorang yang penuh dendam dan tipuan. Loki menjadi penjahat karena pengaruh lingkungannya. Ia telah ditipu oleh orang-orang di sekitarnya sepanjang hidupnya, dan dia harus menerima kenyataan bahwa dia tak akan pernah menjadi penguasa selama Thor masih ada. Luar biasanya, kita sebagai penonton pun dapat merasa bersimpati kepadanya.

Overall, walaupun dengan kualitas 3D yang kurang bagus sehingga lebih enak ditonton dalam format 2D, menurut saya Thor adalah film yang sangat menghibur dan cukup inovatif. Dan terpenting, film ini sudah berhasil mencanangkan tonggak kuat ketiga setelah Iron Man dan The Incredible Hulk untuk film The Avengers (apalagi jika kita menonton sampai tuntas hingga film credit berakhir).