Tapi nevermind the hosts, karena saya ingin membahas film yang menjadi Best Picture, yaitu “The King’s Speech” karya Tom Hooper. Membicarakan film itu tentunya tak lengkap tanpa menyandingkan pesaing utamanya, “The Social Network” karya David Fincher. Walau keduanya diplot sebagai kisah nyata (kecuali “The Social Network” yang tidak dikonfirmasi kebenarannya oleh Mark Zuckerberg), namun keduanya bersetting waktu yang berbeda. Yang pertama bersetting waktu tahun 1930-an menjelang Perang Dunia II, dan yang kedua bersetting waktu tahun 2000-an ketika berkecamuk perang informasi di dunia world wide web alias internet.
Tapi ada satu lagi yang menjadi persamaan antara dua film itu, yaitu teknologi komunikasi. Keduanya menandai kelahiran moda-moda komunikasi baru dan bagaimana moda itu mempengaruhi masyarakat. “The King’s Speech” memotret seorang calon raja Inggris yang berjuang dengan dirinya supaya dapat berbicara kepada rakyatnya melalui teknologi radio yang baru. Sementara “The Social Network” menyoroti kelahiran Facebook, yang saat ini menjadi media sosial yang digunakan oleh hampir semua orang. Masing-masing menceritakan bagaimana mimpi diinvestasikan dalam teknologi-teknologi itu, seiring dengan mimpi buruk yang dapat ditimbulkan oleh teknologi baru itu terhadap penggunanya.
Dalam “The King’s Speech”, penemuan radio microphone menyebabkan seorang bangsawan kerajaan tidak hanya dilihat oleh rakyatnya sedang duduk tegap di atas kuda di atas bukit, namun ia harus dapat hadir (dalam bentuk suara) di dalam rumah seluruh rakyatnya, untuk memberikan motivasi di tengah keadaan yang paling sulit kala itu, Perang Dunia II. Radio microphone itu disamping membantu manusia, namun juga mengancam untuk mengendalikan manusia. Sepanjang film, Prince Albert (Duke of York, calon Raja George VI) selalu diberitahu oleh Lionel Louge: “Let the microphone do the work”. Di bagian lain film, King George V (ayah Albert) bahkan mendeskripsikan microphone sebagai “devilish device”, membuat saya berpikir bahwa dalam film ini teknologilah yang mengambil peran antagonis. Ketika melihat lampu indikator mikrofon yang menyala merah ketika sedang live itu, saya juga langsung teringat dengan komputer HAL di 2001: A Space Odyssey karya Stanley Kubrick.
Kalau kita ingat film “The Great Dictator”, Charlie Chaplin kala itu telah menyoroti peran teknologi. Hitler menggunakan mikrofon sebagai alat untuk berkuasa. Dia sangat menguasai teknologi itu, bahkan memunculkan mitos bahwa mikrofon itu dapat menunduk dengan sendirinya ketika ia berpidato. Chaplin menegaskan bahwa di tangan yang salah, mikrofon itu dapat menjadi alat yang berbahaya. Winston Churchill juga berpendapat bahwa teknologi wireless adalah kotak Pandora, yang bila dibuka oleh tangan yang salah maka dapat merusak kaidah-kaidah kemanusiaan.
Dalam konteks kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat orang-orang yang lebih menitikberatkan teknologi komunikasi dibandingkan dengan kebutuhan sosialisasinya. Bahkan ada contoh ekstrim dimana sekelompok orang sedang duduk-duduk di kafe dan saling mengirimkan SMS atau BBM satu sama lain, tanpa ada pembicaraan satu patah kata pun. Inilah yang disebut oleh King George V sebagai “devilish” yang merusak kaidah-kaidah kemanusiaan. Dan sesuai gambaran dalam “The Social Network”, kaidah-kaidah kemanusiaan itu perlahan-lahan hilang akibat ketergantungan dengan teknologi.
Pada akhir “The King’s Speech”, Hooper memberikan solusi terhadap ketakutan akan teknologi ini dengan kalimat yang diucapkan oleh Lionel kepada Bertie: “say it to me, like a friend”. Ya, teknologi semengerikan apapun dikalahkan oleh kebutuhan dasar manusia itu sendiri, yaitu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan manusia lain. Mungkin inilah yang menyebabkan pesan film ini lebih kuat daripada pesaingnya, ketika manusia menjadi penguasa atas ciptaannya sendiri.