Have fun and enjoy yourself

Tuesday, September 13, 2011

Finding a Hero inside Us: Courage, Anarchy, and Humility

Akhirnya puzzle terakhir dari The Avengers sudah muncul ke dunia sinema. “Captain America: The First Avenger” telah ditayangkan secara internasional pada Juli 2011, dan di Indonesia pada awal September 2011. Jadi sudah 4 superhero Marvel utama plus satu komandan yang akan membentuk “dream team” The Avengers tahun 2012: Iron Man, Hulk, Thor, Captain America, dan Nick Fury. Walaupun dalam komiknya, anggota The Avengers tidak terbatas pada kelima tokoh itu. Masih ada Black Widow dan Hawkeye (yang kini masih berupa peran sekunder dalam filmnya), Ant Man/Giant Man, Wasp, Black Panther, Namor The Sub-Mariner, serta Scarlet Witch dan Quicksilver (anak-anak Magneto). Tapi memang rasa-rasanya kelima tokoh tadi sudah cukup representatif untuk menjadi The Avengers.

Setelah pertama kali membaca komiknya 30 tahun yang lalu, saya memang menjadi salah satu penggemar Captain America. Saya selalu memvisualisasikan di otak saya bagaimana sosok Captain America jika tampil di dunia sinema, seperti halnya Superman (versi Christopher Reeve) dan Flash Gordon yang waktu itu telah tayang di bioskop. Akhirnya pada tahun 1980-an memang muncul Captain America yang diperankan Reb Brown, tapi masih jauh dari visualisasi yang pas.

Sepuluh tahun kemudian, Captain America muncul kembali dalam film layar lebar. Kali ini pemerannya adalah Matt Salinger, putra dari pengarang novel “The Catcher in the Rye” JD Salinger. Tapi walaupun kostumnya jauh lebih baik dari versi 80-an, namun secara karakter dan cerita masih juga kurang memuaskan, bahkan filmnya dikategorikan “straight to home video” (mungkin karena kuping palsunya).

Sejak itu para sineas seolah “menjauhi” Captain America. Hingga 18 tahun kemudian, Marvel Studios memutuskan untuk melakukan reboot terhadap karakter-karakter The Avengers, diawali dengan mengontrak Jon Favreau untuk menyutradarai Iron Man. Sejak itulah, mimpi menghadirkan Captain America ke layar lebar seolah lahir kembali. Dan setelah karakter-karakter Nick Fury, Hulk, dan Thor bermunculan, mimpi itupun menjadi nyata.

Dari pengamatan saya, embel-embel “America” pada Captain America terkadang menjadi alasan orang untuk menjadi apatis terhadap film ini. Orang-orang yang tidak familiar dengan komiknya mungkin menganggap bahwa Captain America hanya orang yang simpel, pengibar bendera Amerika, dan selalu menurut perintah dari siapapun yang berkuasa di Gedung Putih. Tapi para pembaca komik setianya pasti tahu bahwa sebenarnya nama ini diberikan hanya sekedar untuk lelucon politik, sebuah eksploitasi terhadap sebuah sosok jujur dan idealis dengan tujuan meningkatkan citra politik pemerintah.

Menjadikan seseorang badut politik demi sebuah pencitraan.

Steve Rogers sendiri sebenarnya menggunakan nama ini untuk merendah, agar tetap low profile dan tidak menyombongkan namanya sendiri di depan pasukan lain.

Sejak kasus Watergate, Marvel memang meningkatkan levelnya dalam kritik terhadap politik yang sedang berlaku di AS. Meski di awal berfungsi sebagai propaganda AS, namun secara evolusioner Captain America malah justru seringkali membangkang dan memberontak terhadap pemerintah Amerika. Berbeda dengan Superman yang cenderung menjadi “redneck” yang patuh dengan pemerintah, Captain America tak pernah/jarang sekali mau berurusan dengan aparat pemerintahan, walau dia sendiri berpangkat Kapten di militer AS. Contoh terakhir adalah pembangkangannya terhadap Superhuman Registration Act, atau undang-undang yang mewajibkan semua superhero membuka identitasnya. Undang-undang ini ekuivalen dengan Patriot Act yang dicetuskan oleh Presiden Bush setelah peristiwa 9/11. Pembangkangan Captain America itu akhirnya berujung pada Civil War, dan bahkan pada kematian Sang Kapten sendiri.

Nyali untuk menghadapi segala penindasan, sifatnya yang anti-birokrasi/hierarkhi atau yang sering kita sebut sebagai “anarki”, serta sifatnya yang rendah hati adalah yang saya kagumi dari Captain America. Menurut saya, ketiga sifat itu berhasil diangkat oleh sang sutradara “Captain America: The First Avenger” Joe Johnston (The Rocketeer, Jumanji, Jurassic Park 3, The Wolfman) dan tentu saja sang aktor pemeran Steve Rogers, Chris Evans. Nyali adalah sesuatu yang sangat jarang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin. Birokrasi hampir selalu berujung pada korupsi. Dan arogansi adalah satu hal yang selalu dibenci dari Pemerintah yang merasa berkuasa, baik itu di Amerika Serikat maupun negara-negara lain.

Evans menyajikan performa sebagai Steve Rogers yang lebih serius dari karakter-karakter yang pernah ia perankan sebelumnya. Kebanyakan dari peran-peran Chris Evans memang cenderung stereotype, yaitu karakter konyol yang suka melontarkan lelucon-lelucon, seperti karakter Johnny Storm dalam “The Fantastic Four” yang juga ia perankan. Maka sebelum film ini tayang banyak sekali suara-suara sumbang yang menyangsikan Evans dapat memerankan Steve Rogers yang serius, idealis, rendah hati sekaligus bernyali besar tanpa basa-basi. Tapi akhirnya setelah menyaksikan filmnya, para kritikus pun mengubah pendapat dan memuji karakterisasi Steve Rogers versi Chris Evans. Berdasar pengamatan saya, kualitas performa Evans itu sangat kentara pada paruh pertama film, ketika Rogers belum bertransformasi menjadi Captain America. Dengan didukung oleh special-effects yang serupa dengan “The Curious Case of Benjamin Button”, Evans memerankan Rogers yang kurus dan penyakitan namun sangat gigih untuk mendaftarkan diri menjadi sukarelawan Perang Dunia II, hanya dengan alasan dia tidak suka dengan siapapun yang berperilaku menindas.

Namun di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa Hugo Weaving memang spesialis dalam hal membawakan peran-peran yang dingin dan mengerikan. Ia berperan sebagai Johann Schmidt atau yang disebut Adolf Hitler sebagai “Red Skull”, Ketua HYDRA (Divisi Riset Nazi). Dengan special effects yang tak kalah canggihnya dari CGI Steve Rogers, Weaving membuat kita percaya bahwa Schmidt adalah seorang yang jenius sekaligus super jahat dengan penampilan yang membuat bergidik. Tapi memang, masih kalah jauh dari Heath Ledger sebagai Joker dalam “The Dark Knight”. Berbeda dengan komiknya yang memprofilkannya sebagai manusia biasa dengan kelicikan luar biasa, Red Skull dalam film ini adalah negative side-effect dari serum super soldier, percobaan Nazi yang serupa dengan Captain America namun dengan hasil akhir yang jauh berbeda. Sehingga secara kekuatan ia setara dengan Rogers, namun serum itu juga melipatgandakan pikiran jahatnya.

Sang pembuat serum, Dr. Abraham Erskine, diperankan dengan pas oleh Stanley Tucci, nominator Oscar serta pemenang Emmy dan Golden Globe Award. Tentu kita masih ingat dengan Dr. Yinsen yang memberi wejangan tentang kehidupan kepada Tony Stark (Iron Man) ketika sedang ditawan Ten Rings di Afghanistan, sehingga mengubah cara pandang Stark terhadap dunia sekitarnya. Dr. Erskine juga dianggap Rogers seperti ayah dan mentornya. Dan walau hanya muncul sekilas, ikatan emosional antara Erskine dan Rogers dapat dirasakan nyata. Ketika Cap akhirnya terjun ke medan perang, juga dapat terasa bagaimana nasihat Erskine mendasari semua tindakannya. Perlu dicatat, Erskine adalah pembelot Nazi yang berkebangsaan Jerman. Dari sini dapat dilihat bagaimana film ini tidak Amerika-sentris. Bahkan ilmuwan yang digunakan adalah eks-Nazi juga. Peran Amerika hanya sebagai penyedia infrastruktur, dalam hal ini oleh Howard Stark yang diperankan oleh Dominic Cooper. Howard Stark adalah ayah dari Tony Stark, Iron Man.

Tapi sebenarnya yang mencuri perhatian adalah Tommy Lee Jones sang pemenang Oscar sebagai Col. Chester Phillips. Perannya memang biasa dan sangat konvensional, tapi dibawakan sepenuh hati sehingga penonton pun dapat menaruh rasa hormat. Seorang komandan militer yang keras dan kaku namun berdedikasi terhadap pekerjaannya, selalu fokus dengan tujuan dan tak peduli dengan siapa ia bekerja. Baginya superhero atau bukan, semua adalah satu tim yang harus saling mendukung. Peran Phillips sebagai komandan menjadi vital pada saat Captain America benar-benar tidak dapat bekerja seorang diri.

Peran Peggy Carter, agen Inggris yang diperankan Hayley Atwell juga tak kalah penting. Ia menjadi motivator sang Kapten ketika harus memilih untuk terjun langsung ke medan perang atau terus menjadi badut pemerintah. Namun tak seperti “love interest” superhero lain, Peggy Carter juga turut memegang senjata dan berperang di sisi Captain America, tak sekedar menjadi “damsel in distress”.

Peran lain yang perlu dihighlight adalah Dr. Arnim Zola yang diperankan oleh Toby Jones, peraih BAFTA Award. Menurut saya, peran inilah yang dirombak oleh Marvel Studios secara besar-besaran. Di komiknya, Zola adalah ilmuwan yang sama gilanya dengan Schmidt, bahkan tak segan-segan untuk mencangkokkan otaknya sendiri ke sebuah robot agar ia dapat hidup selamanya. Namun dalam film ini, karakter Arnim Zola adalah ilmuwan yang hanya terpaksa mengikuti keinginan Schmidt.

Selain itu, ada juga karakter yang mengalami perubahan storyline yaitu James Buchanan “Bucky” Barnes yang diperankan oleh Sebastian Stan. Dalam komik, Bucky dikisahkan sebagai remaja 15 tahun yang menjadi sidekick Captain America, dan digunakan oleh Pemerintah AS sebagai sarana promosi agar remaja-remaja di AS mau mendaftar sebagai sukarelawan Perang Dunia II. Namun dalam film, Bucky adalah teman masa kecil dan seumuran Steve Rogers yang selalu melindungi pemuda kurus itu ketika dipukuli oleh preman-preman. Bucky kemudian diterima masuk ke militer, sebelum Rogers mengikuti program super soldier. Ketika mereka bertemu di medan perang dua tahun kemudian, Rogers telah bertransformasi menjadi Captain America. Tapi Johnston masih berusaha setia dengan komik, yaitu Bucky akhirnya (diasumsikan) mati. Yang menjadi pertanyaan, apakah akan ada Winter Soldier? Mungkin saja, karena di film ini yang menjadi keahlian Bucky adalah menjadi sniper, seperti halnya Winter Soldier.

Tentunya peran Captain America pada Perang Dunia II tak lengkap tanpa tim tentara yang bekerja bahu membahu dengannya, terkenal dengan nama “The Howling Commandos”. Dalam komik, pasukan ini dipimpin oleh Nick Fury, yang kala itu masih berpangkat Sersan. Pasukan itu kemudian diberikan suntikan Infinity Serum yang dapat memperlambat penuaan mereka. Namun tentunya dalam film hal ini akan menjadi tak masuk akal, mengingat satu serum super soldier saja sudah cukup tak masuk dinalar. Oleh karena itu, pasukan komando ini semua adalah tentara biasa namun dari latar belakang bangsa yang berbeda-beda (pasukan internasional). Yang menjadi ketuanya adalah Timothy “Dum Dum” Dugan yang diperankan oleh Neil McDonough, lengkap dengan cirikhas topi bundar dan kumis tebalnya.

Dulu saya berekspektasi bahwa film Captain America pada Perang Dunia II akan bernuansa seperti “Saving Private Ryan” atau “Band of Brothers” yang sarat dengan peperangan. Namun akhirnya saya sadari bahwa apabila demikian akan menjadi film yang sangat panjang dan melelahkan. Apalagi setelah melihat dan merasakan bagaimana melelahkannya “Transformers: Dark of the Moon” yang dipenuhi adegan action meledak-ledak yang terlalu berkepanjangan, saya menyadari bahwa ekspektasi saya untuk Captain America terlalu besar. Keputusan Joe Johnston untuk mempersingkat adegan perang terbuka dengan HYDRA saya kira sangat bijak, selain tidak mempengaruhi jalan cerita juga tidak efisien, mengingat anggaran pembuatannya yang membengkak, mencapai USD 140 juta. Tentu Marvel Studios yang telah diakuisisi oleh Walt Disney juga harus memperhitungkan anggaran pembuatan The Avengers yang kini telah selesai masa shooting.

Berbicara tentang The Avengers, tentu kita tahu bahwa antara film Marvel satu dengan yang lain pasti terdapat interkonektivitas. Film “Captain America: The First Avenger”, sepertinya menjadi perekat antara semua film tokoh Marvel, yaitu Iron Man, Hulk, dan Thor, karena semua komponen dalam film-film itu ada semua di sini.

Dengan Iron Man, tentu penghubungnya adalah Howard Stark, ayah dari Tony Stark. Howard Stark adalah pendiri Stark Industries dan pendiri S.H.I.E.L.D, penyedia infrastruktur teknologi untuk eksperimen super soldier, yang serumnya diciptakan oleh Dr. Abraham Erskine.

Dengan Hulk, penghubungnya adalah serum super soldier itu sendiri. Dr. Abraham Erskine hanya menciptakan serum untuk eksperimen terhadap Steve Rogers, dan ia dibunuh sebelum dapat memperbanyak serum itu. Sejak itu, Stark Industries dan militer AS berusaha mereproduksi serum itu untuk menciptakan tentara super seperti Captain America. Salah satu eksperimen adalah yang dilakukan oleh Bruce Banner, yang kemudian berjalan salah dan berakibat transformasi menjadi Hulk.

Bahan untuk membuat tameng Captain America yang bulat adalah mineral bernama vibranium (mungkin saudaranya unobtanium). Bahan ini ditambang dari daerah Wakanda, Afrika, satu-satunya daerah di Afrika yang berhasil menangkal invasi Nazi. Pemimpin daerah kecil namun berteknologi tinggi ini adalah Black Panther.

Namun referensi yang paling banyak digunakan dalam film ini adalah Thor. Dimana dikisahkan Red Skull sangat terobsesi untuk memperoleh “kekuatan dewa” yang disembunyikan di salah satu kastil di Norwegia. “Magic vs. Science” seperti yang didengungkan dalam Thor juga banyak disinggung di film ini. Dan akhirnya, ketika Schmidt memperoleh sumber “kekuatan dewa” yang berupa tesseract atau cosmic cube itu, ia menggunakannya untuk senjata dan bahan bakar, seperti halnya yang dilakukan oleh Odin (ayah Thor) di Asgard. Bagi yang sudah menonton Thor tentunya sudah tahu bahwa Thor bukanlah dewa, tapi makhluk ruang angkasa yang dapat melakukan space travel dengan menggunakan lubang cacing (wormhole) yang disebut “Nine Realms”.

Penggemar The Avengers tentu sudah mendengar rumor bahwa musuh utama dari para superhero itu adalah Loki, saudara tiri dari Thor yang diperankan oleh Tom Hiddleston. Bahkan beberapa “bocoran” skenario sudah beredar, yang menyebutkan bahwa Loki akan membawa pasukan dari luar angkasa untuk menginvasi Bumi. Maka tak heran kalau Thor besutan sutradara Kenneth Branagh menjadi referensi utama dari The Avengers.

Kembali ke “Captain America: The First Avenger”. Secara cerita, mungkin terkesan biasa-biasa saja. Tapi menurut saya, jalinan cerita yang biasa ini menjadi berkesan karena Joe Johnston dan kru mengerjakannya dengan sepenuh hati. Mungkin karena pengalaman dengan beberapa film Captain America sebelumnya, mereka benar-benar menginginkan film ini menjadi suguhan yang dapat berelasi terhadap para penontonnya.

Bagi penonton yang kritis pasti dapat membaca bahwa film ini sebenarnya adalah satir untuk dunia politik AS. Apa yang ingin disampaikan oleh Marvel dan Johnston adalah bahwa propaganda Amerika Serikat sebenarnya sama saja dengan propaganda Nazi. Poster propaganda AS yang ditampilkan pada credit akhir film tak ubahnya bagai sindiran telak bagi negara yang merasa adidaya itu. Untuk program super soldier: Ilmuwannya sama, teknologinya juga sama, hanya saja AS lebih beruntung karena mendapat serum yang up-to-date. Begitu samanya propaganda AS dan Nazi, maka sampai akhir film tidak ada satu adegan pun yang benar-benar menunjukkan bahwa Captain America benar-benar mengalahkan Red Skull.

Setelah menampilkan Tony Stark/Iron Man yang kapitalis dan teknokrat yang unggul, kali ini Marvel menampilkan Steve Rogers dengan kepribadian yang unggul, baik dengan kostum maupun tidak. Untuk itu, Johnston memasukkan banyak sekali unsur-unsur keseharian dalam berbagai adegannya yang sarat dengan pesan moral, terutama tentang nyali untuk bertindak melindungi yang tertindas dan membuat terobosan yang menembus batas-batas hierarkhi, serta pentingnya kenaifan dan kerendahan hati tanpa beban. Tapi mungkin yang paling penting adalah nasihat Dr. Abraham Erskine kepada Steve Rogers: Whatever happens, stay who you are. Not just a soldier, but a good man.

Pribadi Steve Rogers memang sangat menarik untuk dieksplorasi. Tapi yang lebih menarik untuk ditelaah pada The Avengers dan sequelnya nanti adalah ketika ia harus memasuki abad-21 setelah “tertidur” selama 70 tahun di es. Cara berpikir dan memori yang berbeda dengan lingkungan secara moral, budaya, dan teknologi akan membuat Steve Rogers mengalami anachronism. Perjuangannya untuk beradaptasi dalam dunia modern akan menjadi tantangannya yang terbesar.

Pesan saya untuk yang menantikan The Avengers, jangan beranjak dari kursi setelah film berakhir. Setelah credit roll yang super panjang, kejutan menanti anda.

Tuesday, May 10, 2011

THOR: Where Science Explains Magic


Perjalanan menuju “The Avengers” semakin dekat, dimana minggu lalu Marvel merilis feature film tentang tokoh utamanya yang ketiga setelah Iron Man dan Hulk, yaitu Thor. Maka tinggal satu tokoh utama The Avengers yang belum dirilis filmnya, tak lain adalah Captain America. Tapi disamping keempat tokoh utama itu, masih banyak tokoh-tokoh The Avengers yang bergantian muncul pada film-film itu seperti Nick Fury, Natasha Romanoff, Agent Coulson, J.A.R.V.I.S, General “Thunderbolt” Ross, dan yang terbaru adalah Clint Barton alias Hawkeye muncul sebagai cameo dalam film Thor.

Tentu saja, tantangan paling besar dalam membuat The Avengers adalah bagaimana mempersatukan alam Thor yang bernuansakan keajaiban dewa-dewa Nordik dengan alam Iron Man yang penuh dengan teknologi canggih. Sampai dengan saat ini, Marvel sudah berhasil dalam usahanya “membumikan” ilmu pengetahuan sehingga serumit apapun dunia Iron Man namun publik tidak pernah meragukan keriilannya. Bahkan dapat dikatakan teknologi James Bond pun masih “kalah nyata” dengan teknologi Stark Industries.

Tantangan inilah yang kemudian diserahkan ke Kenneth Branagh, sutradara kaliber Oscar, untuk memikirkannya dalam menyutradarai Thor. Sebab tak bisa dipungkiri, film perdana Branagh tentang karakter superhero inilah yang menjadi salah satu tonggak utama The Avengers. Apabila Branagh gagal, maka kemungkinan besar proyek The Avengers juga tak akan terealisasi.

Dalam menjelaskan aspek kerelijiusan dalam dunia Marvel ini, dapat saya katakan bahwa Branagh mengambil risiko yang sangat besar. Fantastisnya dunia Thor dijelaskan dengan satu pemahaman: bahwa Thor sebenarnya bukanlah dewa kaum Nordik. Ia hanyalah makhluk yang memiliki kecanggihan teknologi sehingga diinterpretasikan sebagai dewa oleh manusia yang pengetahuannya masih sangat terbatas. Sihir atau magic, hanyalah science yang belum kita pahami. Sementara asal usulnya, Asgard, tak lain adalah suatu tempat yang berlokasi di gugus planet lain.

Dengan kata lain, Thor adalah alien.

Dalam catatan saya, ini adalah kali pertama Marvel secara terang-terangan menawarkan teori bahwa yang dianggap “dewa” oleh kaum-kaum di masa lalu dapat dijelaskan secara ilmiah sebagai makhluk yang memiliki teknologi yang jauh lebih canggih dan tak dapat dicerna akal manusia pada waktu itu.

Teori yang ditawarkan Marvel dan Branagh itu tercermin dalam kata-kata Thor kepada Jane Foster, bahwa Asgard adalah tempat dimana magic dan science dapat berjalan seiring. Dalam film ini, Asgard juga tidak digambarkan sebagai dunia yang politeistik seperti halnya Olympus dalam “Clash of The Titans”. Dan lebih jauh lagi, film ini juga tidak berusaha menggiring penonton ke arah neo-paganisme yang memuja alien sebagai Tuhan. Film ini justru menekankan bahwa “dewa-dewa” itu dan manusia berkedudukan sejajar dan sama kuat, tidak ada yang lebih superior dalam hal moralitas.

Jane Foster, sang astrophysicist itu sendiri, memiliki keyakinan bahwa semua fenomena yang tak terjelaskan di dunia ini pada akhirnya akan dipahami melalui science. Sebagaimana kalimat Arthur C. Clarke dalam Third Law: “advanced technology is just like magic until its scientifically understood”. Oleh karena itu kita tak akan heran dalam film ini Branagh memasukkan banyak unsur-unsur yang mengkaitkan dunia kedewaan dengan teknologi, seperti Bifrost Bridge yang digunakan untuk menghubungkan antara Asgard dan Bumi digambarkan sebagai wormhole, tempat mendaratnya Thor dilukiskan seperti crop circle, senjata Odin berbentuk robot raksasa yang dinamakan Destroyer (sempat dikira S.H.I.E.L.D dan militer sebagai ciptaan Tony Stark), serta sumber tenaga yang dinamakan The Casket of Ancient Winters, atau Cosmic Cube yang ada di trailer film Captain America: The First Avenger.

Berbicara aspek relijiusitas, di awal film Thor juga dikisahkan tentang dua ras alien yang berperang di Bumi di masa lalu: Asgardian Warriors dan Frost Giants. Melihat peperangan ini saya teringat berbagai cerita dari berbagai budaya mengenai dahsyatnya perang di masa lalu di Bumi yang melibatkan makhluk-makhluk yang tak dapat kita pahami sebagai manusia, termasuk dalam agama Islam berupa Ya’juj dan Ma’juj atau Gog dan Magog dalam agama Nasrani. Ya’juj/Gog dan Ma’juj/Magog bahkan dipercaya akan datang kembali menandai awal dari proses kiamat. Sepertinya Branagh juga secara sekilas berusaha menyilangkan konsep dewa-alien dengan kisah-kisah dalam berbagai agama dan kepercayaan. Dan bukan tidak mungkin, ke depannya Marvel juga akan mengelaborasi konsep itu dalam The Avengers.

Tapi seperti halnya Iron Man, yang tak kalah menarik dalam film Thor adalah pengembangan karakternya. Di sini kita melihat Thor (Chris Hemsworth) di awal film yang sangat dimanja dan diberikan fasilitas tak terbatas oleh ayahnya, Odin (Anthony Hopkins). Bahkan sang ayah sudah mem-plot Thor untuk menjadi penguasa Asgard berikutnya, menggantikan dirinya. Karena keinginannya yang selalu terpenuhi, Thor menjadi arogan dan bertindak semaunya. Namun kemudian Thor bertindak di luar batas toleransi dan merusak perdamaian di antara Asgard dan Frost Giants, sehingga Odin mencabut semua “fasilitas” super-powernya (termasuk Mjolnir, palu godam yang menjadi senjata andalannya). Thor dibuang ke Bumi oleh Odin melalui Bifrost Bridge, dan di Bumi ia belajar mengenai kemanusiaan dan pengorbanan dari Jane Foster (Natalie Portman). Di Bumi, peran Hemsworth sangat pas dalam berbagai adegan yang mengharuskan Thor untuk beradaptasi dengan manusia, bagaikan ikan yang keluar dari akuarium. Akhirnya melalui berbagai peristiwa, Thor memperoleh kembali kekuatannya dan menjadi pahlawan yang tak lagi egosentris.

Namun yang mencuri perhatian adalah Loki, musuh bebuyutan Thor yang diperankan dengan brilian oleh Tom Hiddleston. Berawal dari keinginannya untuk menjadi penguasa Asgard menggantikan Odin, ia-lah yang secara tak langsung menyebabkan Thor kehilangan kekuasaannya. Tapi akhirnya hal itu malah berujung pada pengetahuannya bahwa ia sebenarnya bukan anak biologis Odin. Inilah yang menyebabkannya menjadi seorang yang penuh dendam dan tipuan. Loki menjadi penjahat karena pengaruh lingkungannya. Ia telah ditipu oleh orang-orang di sekitarnya sepanjang hidupnya, dan dia harus menerima kenyataan bahwa dia tak akan pernah menjadi penguasa selama Thor masih ada. Luar biasanya, kita sebagai penonton pun dapat merasa bersimpati kepadanya.

Overall, walaupun dengan kualitas 3D yang kurang bagus sehingga lebih enak ditonton dalam format 2D, menurut saya Thor adalah film yang sangat menghibur dan cukup inovatif. Dan terpenting, film ini sudah berhasil mencanangkan tonggak kuat ketiga setelah Iron Man dan The Incredible Hulk untuk film The Avengers (apalagi jika kita menonton sampai tuntas hingga film credit berakhir).