Have fun and enjoy yourself

Sunday, October 25, 2009

NASA: Bagaikan Pungguk Merindukan Bulan


Bulan selalu menjadi pusat perhatian setiap manusia. Bukan hanya fungsinya sebagai penentu kalender bangsa-bangsa kuno (termasuk kalender Islam) ataupun bagian dari navigation tools, namun juga teka-teki asal-usul Bulan sampai sekarang masih diliputi misteri dan banyak menimbulkan tanya. Walaupun berbagai misi eksplorasi telah diluncurkan sejak tahun 1961, tak pelak masih banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab dari eksistensi Bulan. Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya sekarang sudah dapat terjawab oleh manusia, mengingat Bulan adalah objek langit yang terdekat jaraknya dari Bumi. Namun dengan teknologi yang sudah sedemikian canggih, mengapa manusia masih juga belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?

Tulisan ini mencoba untuk menelusuri kemungkinan jawaban pertanyaan-pertanyaan itu, dimulai dari awal keingintahuan penulis sendiri setelah membaca karya-karya dari H.G. Wells. Seperti halnya Jules Verne (1828-1905), H.G. Wells (1866-1946) adalah seorang visioner yang menghasilkan berbagai karya-karya novel science fiction yang abadi sepanjang masa, antara lain The First Men In The Moon, The Food Of The Gods And How It Came To Earth, The Invisible Man, The Island of Dr. Moreau, The Time Machine, The War Of The Worlds, dan berbagai karya science fiction lainnya. Sama halnya karya-karya Jules Verne yang melegenda, hampir seluruh visi dan karya H.G. Wells itu dihasilkan pada akhir abad ke-19, 100 tahun sebelum manusia benar-benar dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.

Salah satu karya Wells yaitu “The Time Machine” telah dibuat filmnya dua kali tahun 1960 dan 2002, mengisahkan tentang seorang time traveller yang berkelana ke tahun 802.701 dan menemukan bahwa manusia sudah berevolusi kembali seperti masa prasejarah. Film versi tahun 2002 disutradarai oleh cucu sang novelis sendiri yaitu Simon Wells, yang melengkapi karya kakeknya dengan teori paradoks waktu. Dalam film ini, dikisahkan bahwa Alexander Hartdegen (Guy Pearce) berkelana melintasi waktu ke masa depan untuk mencari jawaban atas takdir kematian kekasihnya yang tak terelakkan. Yang penulis angkat disini adalah ketika tahun 2030 manusia mulai melakukan kolonisasi di Bulan. Namun demikian, pada tahun 2037 terjadi pemberontakan sehingga koloni manusia di Bulan dibom, akibatnya Bulan menjadi terbelah dan meluncur keluar dari orbitnya. Kehancuran Bulan mengakibatkan punahnya umat manusia sehingga kembali ke peradaban jaman batu yang primitif.



Karya Wells yang lain, “The First
Men in the Moon” juga pernah dibuat filmnya pada tahun 1919 dengan format film bisu dan hitam putih serta versi kedua pada tahun 1964, yang mengisahkan eksplorasi manusia pertama di bulan oleh Kerajaan Inggris pada tahun 1890, dan pertemuan dengan Selenites, makhluk asing penduduk bulan berwujud serangga yang tinggal di kota underground.

Terkait dengan novelisasi dari Wells itu maupun penulis sains-fiksi yang lain, tak dapat dipungkiri sebenarnya sudah sejak lama manusia ingin menginjakkan kakinya di Bulan. Pada periode tahun 50-an keinginan itu ditandai oleh “Space Race” antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dimana masing-masing berlomba-lomba untuk melakukan perjalanan ruang angkasa ke bulan. Adalah Yuri Gagarin dari Uni Soviet yang pertama kali melakukan perjalanan di ruang angkasa, namun Neil Armstrong dan Edwin Aldrin dari Amerika Serikat lah yang pertama kali menginjakkan kakinya di Bulan dalam misi Apollo 11 pada tanggal 20 Juli 1969. Misi Bulan Soviet (Soviet Moonshot) sendiri terhenti di tengah jalan dengan dengan sebab tidak jelas, banyak yang mengatakan bahwa program tersebut telah memakan banyak korban jiwa kosmonot Soviet.

Setelah beberapa kali melakukan misi ke Bulan, proyek Apollo pun dihentikan oleh NASA pada tahun 1972 dengan alasan tidak tersedianya anggaran. Misi Apollo 18, 19, dan 20 yang telah direncanakan oleh NASA dengan detil tiba-tiba dibatalkan. Menurut penjelasan NASA waktu itu, ada pemotongan anggaran yang mengakibatkan anggaran yang ada dialokasikan untuk membuat pesawat ulang-alik yang lebih efisien. Namun demikian, sekarang ketika teknologi NASA sudah sedemikian maju dan beberapa pesawat ulang-alik sudah dibuat (Challenger, Enterprise, Atlantis, Columbia, Discovery, Endeavour), nampaknya NASA masih enggan untuk meneruskan misi ke Bulan yang terhenti di tengah jalan itu dengan teknologi yang sudah dicapai. Jadi apakah semata masalah anggaran yang mengakibatkan misi Apollo dibatalkan, sampai sekarang NASA tidak pernah mengungkapkannya. Apalagi anggaran untuk misi Apollo hanyalah 34% dari total keseluruhan anggaran NASA (www.nasa.gov). Tapi menurut sumber-sumber dari NASA, sebenarnya misi Apollo 18, 19, dan 20 tetap dijalankan, bahkan dengan bekerjasama dengan pihak Uni Soviet. Tujuannya sangat rahasia.

Walau demikian, dari misi-misi Apollo yang berhasil mendaratkan manusia di Bulan telah terkumpul berbagai obyek bebatuan dan mineral dari permukaan Bulan, dan kini tersimpan rapi di Museum Smithsonian. Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap obyek-obyek tersebut, dan menghasilkan berbagai teori mengenai terbentuknya Bulan:

Teori pertama adalah sebuah teori ‘resmi’ dari NASA. Obyek-obyek yang diteliti tersebut ternyata memiliki kesamaan komponen dengan komponen yang membentuk Bumi. Jadi disimpulkan bahwa pada suatu waktu dulu, Bulan terbentuk dari bagian Bumi yang terpecah, konon karena bertabrakan dengan benda langit yang lain. Sementara benda langit yang menabrak Bumi itu hancur berkeping-keping membentuk sabuk asteroid yang tersebar di antara planet Mars dan Jupiter.

Selain teori itu, masih ada teori-teori lain yang kontroversial. Konon pada masa lalu, manusia pernah mengalami masa kemajuan teknologi yang jauh lebih tinggi dibandingkan saat ini. Teori ini terkait dengan berbagai legenda ancient civilization yang tersebar di dunia, yang akhirnya hancur (kemungkinan karena penguasaan teknologi yang maju dikombinasikan dengan keserakahan abadi umat manusia). Pada masa ancient civilization itu, produktivitas manusia sudah menjadi suatu keharusan, sehingga konsep siang-malam menjadi suatu hal yang dihindari. Manusia tidak mau kegelapan malam menjadi suatu hal yang menghalangi produktivitas mereka. Oleh karena itu, dengan kemajuan teknologi yang dimiliki, mereka membuat benda angkasa yang menjadi tiruan Matahari, ditempatkan dalam orbit Bumi sedemikian sehingga dapat menerangi bagian Bumi yang gelap. Benda angkasa tersebut bentuknya dibuat jauh lebih kecil dari Matahari dan Bumi. Rasio ukuran benda itu dengan Matahari adalah tepat 1:400, serta rasio jarak benda itu dengan Bumi dan jarak Bumi-Matahari juga 1:400. Dengan posisi penempatannya yang tepat itu, apabila benda itu dilihat dari Bumi seolah ukurannya menjadi sama dengan Matahari. Bagaimana mekanisme pencahayaannya ke Bumi, juga berhubungan dengan posisi benda itu. Dengan bahan khusus (menurut penelitian para ahli adalah Chromium, Titanium, dan Zirconium, yang dikombinasikan menjadi bahan yang anti karat, tahan panas, dan sangat tahan terhadap serangan/benturan apapun), permukaan benda itu dapat memantulkan cahaya Matahari dengan cahaya yang sama terangnya, bahkan sama menyilaukannya. Bedanya, benda ini tidak memancarkan panas seperti halnya Matahari. Sejak saat itu Bumi tidak mengenal istilah malam yang gelap. Siang disinari oleh Matahari, sedangkan malam disinari oleh benda buatan yang spektakuler itu. Sekarang, setelah beratus ribu tahun, bahkan mungkin jutaan tahun, benda itupun sudah diselubungi oleh debu-debu angkasa, sehingga cahaya matahari yang dipantulkan pun sudah redup, tidak terang benderang seperti ketika ia pertama kali dibuat. Benda itulah yang kita kenal sekarang sebagai Bulan. Salah satu fakta yang mendasari ini adalah bahwa semua kawah meteor di Bulan dangkal, tidak ada yang dalam. Hal itu sangat mustahil, apalagi mengingat Bulan tidak memiliki atmosfer seperti di Bumi yang menahan laju meteor yang jatuh di permukaannya. Juga orbit Bulan yang hampir bulat sempurna, tidak seperti planet-planet maupun obyek langit lainnya di tatasurya.

Selain teori Bulan buatan manusia, ada juga teori bahwa Bulan adalah satelit buatan makhluk asing yang sengaja ‘dibawa’ ke orbit Bumi. Dengan dasar teori yang hampir sama dengan teori Bulan buatan manusia, teori ini mengatakan bahwa Bulan ’diorbitkan’ di Bumi sekitar 11.500 hingga 13.000 tahun yang lalu, juga satelit planet Jupiter yang bernama Phobos yang memiliki karakteristik mirip dengan Bulan. Latar belakangnya adalah hieroglyph yang terdapat di Tihuanaco, Bolivia yang menyatakan demikian. Ditambah dengan informasi mengenai komponen Bulan yang dibawa oleh misi Apollo, menunjukkan bahwa Bulan telah berumur setidaknya 4,5 milyar tahun. Padahal batuan tertua di Bumi mengindikasikan bahwa Bumi baru berumur 3,7 milyar tahun. Hal inilah yang memunculkan hipotesis bahwa Bulan sengaja ’ditempatkan’ di orbit Bumi. Apakah tujuan itu, tidak ada yang tahu pasti. Terdapat dugaan bahwa Bulan berfungsi sebagai ’mata-mata’ bagi makhluk asing untuk mengamati kehidupan di Bumi. Ada juga dugaan lain sebagai space station, tempat persinggahan bagi makhluk asing. Namun ada juga yang mengatakan bahwa Bulan pada waktunya nanti berfungsi seperti perahu Nabi Nuh, membawa contoh DNA dan berbagai makhluk bumi yang diperlukan untuk memulai dunia baru, ketika nanti Bumi mengalami kehancuran.

Konsep bulan buatan itu masih kontroversial, namun demikian bukan suatu hal yang mustahil. Dan teori itu juga terkait dengan teori lainnya yang disebut ”Hollow Moon”. Teori ini muncul berdasarkan analisis seismograf dari berbagai misi Apollo di Bulan, yang menunjukkan bahwa ketika modul-modul Apollo itu meninggalkan permukaan Bulan, muncul getaran di permukaan Bulan (moonquake) yang waktunya cukup lama, 55 menit. Hal ini tidak mungkin terjadi apabila modul tersebut mendarat di permukaan yang solid. Getaran di permukaan solid memang muncul, tapi tidak selama ketika modul tersebut mendarat di Bulan. Getaran tersebut dianalogikan seperti ketika kita memukul kaleng susu. Ketika kaleng itu penuh berisi susu, maka getaran hanya muncul sebentar. Namun ketika kaleng itu dikosongkan, waktu getaran yang muncul menjadi lebih lama. Hal inilah yang menyimpulkan bahwa di dalam Bulan terdapat ruang kosong (hollow), sehingga kembali ke fantasi H.G. Wells di novel “The First Men in the Moon”. Benarkah di bawah permukaan Bulan terdapat suatu peradaban? Sampai sekarang tidak ada yang tahu (atau paling tidak, cuma ada beberapa orang/pihak yang tahu). Atau mungkinkah itu sebenarnya yang membuat NASA tiba-tiba membatalkan seluruh misinya ke Bulan pada tahun 1972?

Banyak sekali teori konspirasi yang beredar sejak tahun 70-an mengenai Bulan. Salah satunya adalah ”bocoran” foto-foto hasil eksplorasi misi Apollo dari orang dalam NASA bahwa di Bulan terdapat berbagai artifak kuno, menunjukkan bahwa dulu pernah ada peradaban (manusia atau bukan manusia) di permukaan Bulan. Dari foto-foto tersebut, mengindikasikan bahwa NASA melakukan rekayasa terhadap sebagian besar foto yang diambil oleh misi Apollo di Bulan, yang ternyata tidak semua berwarna abu-abu. Rekayasa tersebut dapat berupa penghapusan obyek, pengaburan (blurring) obyek, juga pengubahan warna obyek menjadi seluruhnya abu-abu.

Apabila benar, apa tujuan NASA melakukan rekayasa terhadap foto-foto itu? Dan lebih jauh lagi, apa sebenarnya yang membuat NASA ”ketakutan” sehingga meninggalkan misi Apollo secara tiba-tiba pada tahun 1972 silam? Tentunya tidak ada yang tahu jawaban pastinya selain para pejabat NASA dan juga pengambil kebijakan di atasnya, dengan kata lain pemerintah Amerika Serikat. Sekedar informasi tambahan, rumor yang beredar saat ini mengatakan bahwa sudah sejak lama NASA sudah berada di bawah kendali Angkatan Bersenjata AS, bahkan dalam waktu dekat US Navy akan membangun stasiun angkasa luar (Naval Space Command) dengan bantuan tenaga ahli NASA. Hal ini menambah pertanyaan di benak penulis, apa kepentingan pembuatan stasiun luar angkasa oleh Angkatan Laut Amerika? Selain memunculkan pertanyaan, juga mengingatkan penulis pada serial Star Trek, dimana Starfleet berada dibawah kendali US Navy, sehingga setiap pesawat diberikan awalan nama ’USS’ seperti kapal laut Amerika Serikat. Penulis pernah mengungkapkan pada note terdahulu, HAARP adalah proyek di bawah kendali US Navy juga.

Di tengah hingar bingar kontroversi misi Apollo yang sampai sekarang masih belum jelas kebenarannya, juga keterkaitan NASA dengan pihak militer yang semakin hari semakin mengemuka, sejak tahun 1990 Jepang, Eropa, Russia, China, dan India telah meluncurkan misi non-awak ke Bulan untuk meneliti dan memetakan permukaannya secara detil. Prestasi menonjol ditorehkan oleh India dengan probe-nya yang dinamai Chandrayaan-I yang menemukan indikasi adanya banyak air di sisi kutub Bulan. Namun demikian, mengapa mereka tidak menggunakan teknologi pada misi Apollo (termasuk misi berawak), juga tak terjelaskan. NASA sendiri sebagai pemilik teknologi Apollo pada tahun 1994 malah juga kembali lagi mundur menggunakan misi non-awak Clementine. Namun yang menarik kali ini, sejak tahun 1994 itu semua proyek NASA ke Bulan didanai oleh militer AS.

Misi NASA ke Bulan yang baru-baru ini saja menghiasi media adalah LCROSS (Lunar Crater Observation and Sensing Satellite), sebuah misi ”kamikaze” dari probe NASA yang sengaja ditabrakkan ke permukaan Bulan, untuk mencitrakan pecahan permukaan Bulan dari hasil tumbukan yang terjadi, yang kemudian dilakukan analisis spektrum apakah dari pecahan permukaan Bulan tersebut ada indikasi komponen air atau tidak. LCROSS diterbangkan oleh NASA dengan roket Atlas V pada tanggal 18 Juni 2009, bersama dengan LRO (Lunar Reconnaissance Orbiter, satelit yang diluncurkan untuk mengorbit Bulan). LCROSS sendiri terdiri dari dua probe. Satu probe berukuran lebih besar, dan probe yang kedua, dinamakan Centaur, berada di dalam probe pertama. Pada tanggal 9 Oktober 2009, Centaur ’ditembakkan’ oleh probe yang membawanya sehingga menabrak permukaan Bulan dengan dua kali kecepatan peluru (10.000 km/jam), menghasilkan kawah sedalam 4 meter. Probe pembawa yang berada di belakangnya kemudian memotret hasil tumbukan itu yang berupa debu-debu dan pecahan-pecahan batu, sebelum menabrakkan diri juga ke permukaan Bulan, menghasilkan kawah sedalam 2 meter. Hasil pemotretan/pencitraan itu kemudian dianalisis oleh ilmuwan NASA untuk meneliti kebenaran tentang keberadaan air di Bulan.

Banyak sekali protes yang menentang ’pengeboman’ terhadap Bulan ini. Umumnya protes dilakukan atas dasar ekologi, bahwa tidak seharusnya manusia merusak alam sedemikian rupa. Meski ilmuwan NASA berdalih bahwa misi ini tidak menggunakan bahan peledak, terutama karena adanya Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies (yang dibuat oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet) yang menyatakan bahwa Bulan harus bebas dari segala kegiatan militer. Namun pernyataan ini dinilai tidak sesuai dengan kenyataan, mengingat target ekskavasi dari hasil tumbukan LCROSS adalah sebanyak 350 ton tanah Bulan. Oleh karena itu, banyak pihak yang bersikukuh bahwa istilah ’pengeboman’ adalah istilah yang tepat, karena untuk mengangkat tanah sebanyak itu pasti membutuhkan bahan peledak yang cukup besar. Yang lebih menarik, setelah eksperimen senilai USD$79 juta tersebut dilaksanakan (dan disiarkan langsung oleh CNN serta beberapa stasiun TV internasional), penulis melihat bahwa terdapat beberapa keanehan yang terjadi selama dan sesudah proses penabrakan LCROSS. Antara lain minimnya informasi sebelum, selama, dan sesudah tumbukan LCROSS. Biasanya NASA menampilkan informasi yang sangat lengkap mengenai misi yang dijalankannya, namun entah kenapa untuk LCROSS ini informasi yang disajikan hanya sepotong-potong. Bahkan setengah jam sebelum tumbukan direncanakan untuk terjadi, terdapat Breaking News hampir di seluruh media televisi mengenai hadiah Nobel perdamaian untuk Presiden Barack Obama, yang tiba-tiba memenangkan penghargaan itu tanpa ada satu pihak pun yang menominasikan. Berita penghargaan Nobel itu langsung mendominasi berbagai acara di TV, seketika menghentikan siaran langsung terhadap LCROSS dan hanya digantikan oleh still caption tanpa penjelasan apapun.

Hasil dari tumbukan LCROSS tidak pernah diumumkan ke publik. Tidak seperti ketika Chandrayaan-I menemukan komponen air di Bulan, NASA tidak pernah menjelaskan apakah misi LCROSS menemukan air atau tidak. NASA hanya menjelaskan bahwa misi penabrakan LCROSS ke Bulan telah berhasil. Berhasil dalam hal apa, itu yang masih menjadi pertanyaan besar. Tapi yang lebih aneh lagi, dalam video live detik-detik saat tumbukan di www.nasa.gov, gambar di monitor tiba-tiba berubah menjadi hitam/menghilang 10 detik sebelum probe pembawa seharusnya menabrak permukaan Bulan. Padahal seharusnya gambar menghilang pada saat terjadi tabrakan?

Foto-foto yang dijanjikan oleh NASA akan muncul secara live juga tidak pernah muncul. Yang ada hanyalah still caption dari permukaan Bulan tanpa penjelasan apa-apa. Foto-foto yang muncul sehari kemudian di website NASA tidak dapat meyakinkan bahwa proses tumbukan berhasil dengan sukses. Selain itu, NASA juga meramalkan bahwa ledakan akibat tumbukan tersebut dapat disaksikan dengan menggunakan teleskop amatir. Namun demikian, kenyataannya hampir semua teleskop tidak melihat tumbukan tersebut. Bahkan teleskop angkasa luar Hubble yang tadinya akan merekam kejadian tersebut detik demi detik, malah tidak muncul dengan gambar apapun. Beberapa hari kemudian, barulah muncul foto di website NASA, namun apakah foto itu asli ataukah hasil rekayasa yang kini sangat mudah dilakukan?

Foto tumbukan Centaur di permukaan Bulan, muncul beberapa hari sesudahnya

Dengan semua keanehan tersebut, sampai saat ini tidak ada pihak yang mempertanyakan secara resmi mengenai keberhasilan misi LCROSS yang dibiayai oleh pembayaran pajak warga negara AS ini, apalagi di saat krisis yang melanda AS saat ini tentunya yang diperlukan adalah efisiensi.

Keanehan-keanehan itu tentu saja menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di kalangan publik, terutama yang menyoroti transparansi dan integritas NASA dalam hal dunia keilmuan. Apakah NASA benar-benar sudah ’ditunggangi’ oleh militer AS, sehingga titik beratnya lebih condong ke arah aspek pertahanan dan intelijen militer?

Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan mengapa terjadi public disinformation dari NASA. NASA sepertinya memang menghindari ’sesuatu’ di Bulan. Penulis belum mau mengatakan makhluk asing atau bukan, karena penulis memang belum pernah melihat buktinya secara langsung. Tapi sesuatu yang membuat NASA tiba-tiba menghentikan misi Apollo secara tiba-tiba dan juga menghentikan misi berawak ke Bulan selama 30 tahun belakangan ini, pasti sesuatu yang besar. Sudah banyak sekali kesaksian dari astronot-astronot NASA yang menyatakan bahwa di Bulan sudah terdapat kehidupan ‘lain’. Foto-foto yang diambil oleh para astronot itu pun disimpan, bahkan sebagian direkayasa oleh NASA. Neil Armstrong bahkan pernah keceplosan ketika diwawancara, dan mengatakan bahwa ‘they warned us off’. Berikut rekaman radio dari Apollo 11 yang legendaris begitu melakukan pendaratan di Bulan:


Apollo 11: What was it? What the hell was it? That's all I want to know!"
Mission Control: What's there?... malfunction (garble) ... Mission Control calling Apollo 11 ...

Apollo 11: These babies were huge, sir!... Enormous!... Oh, God! You wouldn't believe it! ... I'm telling you there are other space-craft out there... lined up on the far side of the crater edge! ... They're on the Moon watching us!

Apollo 11: Those are giant things. No, no, no - this is not an optical illusion. No one is going to believe this!

Houston (Christopher Craft): What... what... what? What the hell is happening? What's wrong with you?

Apollo 11: They're here under the surface.

Houston: What's there? (muffled noise) Emission interrupted; interference control calling 'Apollo 11'.

Apollo 11: We saw some visitors. They were here for a while, observing the instruments.

Houston: Repeat your last information!

Apollo 11: I say that there were other spaceships. They're lined up in the other side of the crater!

Houston: Repeat, repeat!

Apollo 11: Let us sound this orbita... in 625 to 5... Automatic relay connected ... My hands are shaking so badly I can't do anything. Film it? God, if these damned cameras have picked up anything - what then?

Houston: Have you picked up anything?

Apollo 11: I didn't have any film at hand. Three shots of the saucers or whatever they were that were ruining the film

Houston: Control, control here. Are you on your way? What is the uproar with the UFOs over?

Apollo 11: They've landed here. There they are and they're watching us.
Houston: The mirrors, the mirrors - have you set them up?

Apollo 11: Yes, they're in the right place. But whoever made those spaceships surely can come tomorrow and remove them. Over and out.


Pada beberapa tahun terakhir ini, muncul isu-isu yang menyebutkan bahwa pendaratan NASA di Bulan adalah rekayasa semata, dan video pendaratan itu sebenarnya dibuat di dalam studio. Isu ini didukung oleh berbagai foto yang menunjukkan keanehan pencahayaan, sehingga orang-orang percaya bahwa isu itu benar. Penulis menganggap isu itu justru disebarluaskan oleh NASA sendiri, untuk menutupi suatu hal yang lebih besar lagi. Dengan munculnya isu itu, orang-orang tidak akan mempertanyakan apa yang telah dilihat oleh para astronot, ataupun mempertanyakan obyek bebatuan yang dibawa dari Bulan. Hal ini terbukti dari bukti foto satelit LRO (Lunar Reconnaissance Orbiter) yang diluncurkan pada awal Oktober 2009, membuktikan bahwa pendaratan di Bulan memang benar-benar terjadi.

Tak kalah menariknya, keberadaan makhluk asing selalu dideteksi oleh para astronot hampir di setiap misi Apollo. Salah satu astronot Apollo 13, James Lovell, ketika melintas di sisi gelap Bulan bahkan memberikan kode “Please be informed that there is a Santa Claus,” dimana ‘Santa Claus’ adalah kode untuk pesawat yang tak dikenal. Lebih jauh lagi, William Rutledge, salah satu astronot Apollo 20 yang misinya dirahasiakan oleh NASA akhirnya membocorkan informasi ke media dan menyatakan bahwa misi mereka adalah mengangkat pesawat asing yang terdampar di sisi gelap Bulan.

Pesawat asing yang terdampar di sisi gelap Bulan, yang diangkat oleh misi Apollo 20

Oleh sebab itulah, ketika NASA akan meneruskan kembali misinya ke Bulan pada tahun 1994, mereka membutuhkan suatu jaminan bahwa misinya tidak ’diganggu’, maka NASA menggandeng militer AS sebagai ‘bodyguard’. Tentu saja imbalannya ilmuwan NASA juga bekerja untuk kepentingan militer, seperti membangun Naval Space Command dan juga membuat senjata a la Star Wars. Oleh karena itu strategi yang digunakan NASA untuk kembali ke Bulan pun dengan mengirimkan probe dan satelit mata-mata, untuk memetakan permukaannya. Jepang, Eropa, Rusia, China, dan India pun melakukan hal yang sama. Yang orang-orang tidak ketahui bahwa sebenarnya AS dan negara-negara itu bekerjasama dalam menghadapi ‘musuh’ yang sama (common enemy), sehingga NASA baru bergerak setelah negara-negara tersebut mengirimkan probe-nya untuk memetakan permukaan bulan dengan sudut pandang berbeda-beda. Perlu ditekankan disini bahwa masing-masing negara sudah mempunyai misi sendiri-sendiri sebagai vantage point, tapi tujuan utamanya tetap satu yaitu memetakan tanah ‘musuh’. NASA dan AS sengaja untuk ‘berbagi tugas’ dengan negara-negara lain, sebab pemetaan itu membutuhkan anggaran yang sangat besar, tidak mungkin dibiayai sendiri oleh AS. Setelah India mengumumkan bahwa probe Chandrayaan-I telah menemukan komponen air di Bulan, hal itu seolah menjadi ‘kode’ bahwa pemetaan telah dilakukan secara lengkap dan NASA beserta militer AS meneruskan eksperimennya dengan misi LCROSS.

Lebih jauh lagi, misi LCROSS sebenarnya bukan misi mencari air, tapi benar-benar misi pengeboman dengan hulu ledak tinggi. Setelah dilakukan pemetaan oleh probe-probe negara lain tadi, kini NASA sudah mendapatkan gambaran menyeluruh tentang permukaan Bulan. Informasi itu di-upload ke satelit mata-mata LRO (Lunar Reconnaissance Orbiter), yang diluncurkan bersamaan dengan LCROSS. Satelit itulah yang kini mengirimkan berbagai informasi mengenai Bulan dan aktivitasnya ke NASA dan Pentagon, yang berfungsi sebagai ujung tombak pertahanan Bumi, khususnya Amerika Serikat. Agar penempatan posisi LRO di orbit Bulan dapat berjalan dengan lancar, maka LCROSS-lah yang ’bertugas’ untuk melindungi dan berfungsi sebagai pengalih perhatian agar proses penempatan satelit itu berjalan lancar. Tapi memang paranoia AS itu terbukti, dan siapapun atau apapun yang tinggal di Bulan ternyata sanggup mengantisipasi serangan itu.

Ketika probe Centaur ‘ditembakkan’ ke permukaan Bulan, seharusnya muncul ledakan besar ketika probe itu menyentuh permukaan Bulan. Tapi ledakan itu tidak terjadi atau tidak terlihat sampai ke Bumi, seperti yang tadinya diklaim oleh NASA. Itukah penyebab NASA mengalihkan pemberitaan secara mendadak ke Obama yang memenangkan Nobel perdamaian? Kemudian apabila dilihat dari website NASA yang menyiarkan terus peristiwa itu, menjelang kedua probe LCROSS ditabrakkan ke Bulan, terdapat peningkatan panas permukaan Bulan. Bukankah Bulan tidak aktif? Mengapa muncul panas di permukaan Bulan? Dan akhirnya, 10 detik sebelum waktu tabrakan yang sebenarnya, layar monitor sudah gelap pertanda kameranya sudah mati/hancur. Apakah ada yang menghalangi probe itu untuk menabrak bulan? Pertanyaan lebih lanjut, apakah probe itu ditembak?

Penulis masih menerka-nerka apa yang menggagalkan LCROSS. Sekali lagi, belum tentu bahwa ada makhluk asing yang menghuni Bulan. Kalaupun ada, mengapa selama ini mereka tidak berkomunikasi dengan kita? Atau apakah selama ini komunikasi sudah dilakukan, namun dirahasiakan oleh pihak-pihak tertentu? Tapi juga terdapat kemungkinan lain, bahwa sebenarnya Bulan sudah tak dihuni makhluk hidup, namun karena Bulan dulunya dibuat oleh manusia atau makhluk lain dan dijalankan dengan super-komputer, mungkin saja super-komputer itu masih ada sampai saat ini dan menciptakan mekanisme pertahanan diri menghadapi serangan apapun. Dulu, mungkin mekanisme itu dibuat untuk melindungi Bulan dari hujan meteor. Sekarang, setelah jutaan tahun, sensor pertahanannya pun makin melemah dan hanya bereaksi terhadap serangan yang bersifat besar, antara lain LCROSS. Mungkin, AS (NASA dan Pentagon) sudah mengetahui adanya super-komputer di Bulan sejak berjalannya misi Apollo pada akhir tahun 60-an. Agaknya hal itu yang menyebabkan NASA merahasiakan misi Apollo 18, 19, dan 20 dan kerjasamanya dengan pihak Uni Soviet, untuk melakukan konsolidasi internal sambil bersama dengan ilmuwan Rusia menelaah super-komputer Bulan, yang jelas-jelas berada di luar jangkauan pengetahuan mereka. Sementara itu, militer AS rupanya masih meneruskan kebijakan “Star Wars” yang dicetuskan oleh Presiden Ronald Reagan pada tahun 80-an. Selain membangun Naval Space Command secara rahasia, Pentagon juga mengembangkan misil antar planet. Sebagai sarana eksperimen misil itu, dipakailah Bulan dan pertahanan super-komputernya sekaligus untuk mengetahui sejauh mana tingkat sensitivitas dari sistem pertahanan tersebut. Percobaan pertama berupa uji coba misil tersebut memang dapat dikatakan berhasil, dengan biaya yang tidak terlalu tinggi (US$79 juta) Pentagon berhasil meluncurkan misil ke luar atmosfer Bumi. Tinggal dilakukan modifikasi terhadap hulu ledaknya, dan voila! Terciptalah misil antar planet yang pertama di Bumi, sanggup menghancurkan berbagai macam obyek angkasa luar. Percobaan kedua juga dapat dikatakan berhasil, yaitu mengetahui sensitivitas sistem pertahanan super-komputer Bulan. Paling tidak, meski jutaan tahun di bawah debu kosmik tapi masih bisa melindungi diri dari ancaman yang berkecepatan 10.000 km/jam. Dengan demikian, sekarang ilmuwan-ilmuwan NASA tinggal mencari jalan untuk mengendalikan super-komputer itu. Apabila berhasil, maka Bulan dapat menjadi pelindung Bumi apabila ada ancaman tabrakan meteor dan sebagainya. Namun sisi buruknya, ‘penguasa’ Bulan juga dapat mentarget kota-kota atau negara manapun di Bumi demi kepentingannya sendiri seperti halnya HAARP. Oleh karena itulah NASA selama 40 tahun terakhir diam-diam mencari jalan untuk ‘menaklukkan’ Bulan, namun tampaknya sampai sekarang masih belum berhasil.
Bagaikan pungguk merindukan Bulan…